Minggu, 12 Desember 2021

Mengandalkan Kuasa Tuhan

Mat 21:23-27

 

Kata kuasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kemampuan atau kesanggupan untuk berbuat sesuatu. Kata kuasa juga menunjuk pada wewenang atas sesuatu. Atau untuk menentukan sesuatu. Arti lain dari kata kuasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti pengaruh yang ada pada seseorang karena jabatannya atau martabatnya. Dan kuasa juga menerangkan orang yang diberi wewenang. Menurut catatan refleksi dari Ziarah Batin (Senin/16/12/2013), kata kuasa disamakan dengan otoritas. Otoritas berasal dari bahasa Latin auctoritas yang berarti kuasa. Kuasa berasal dari kata augere yang bermakna menambah atau membuat lebih besar.

 

Kata kuasa atau otoritas sejatinya memiliki makna yang positif. Ia bukanlah sebentuk hak istimewa yang dimiliki seseorang untuk melakukan hal apa saja atau bahkan menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan dan memuaskan kepentingan pribadi dan kelompok. Kuasa atau wewenang sebenarnya adalah sebuah instrumen atau sarana bagi seseorang yang memilikinya untuk membawa kebaikan bagi orang lain. Seseorang dapat menggunakan kuasa yang dipunyai untuk mewartakan kebaikan. Kuasa sebagai instrumen untuk menumbuhkan, memajukan, dan memberdayakan kepentingan orang lain. Termasuk juga di dalamnya kepentingan yang melingkupi diri orang yang memiliki kuasa. Tentu saja kepentingan yang dimaksud di sini adalah kepentingan yang membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi banyak orang.

 

Kuasa, wewenang atau otoritas yang melekat dalam diri seseorang dalam praksisnya tidak selalu berada di jalur yang aman. Sekalipun kuasa yang dimiliki selalu diarahkan demi tujuan yang baik atau sesuai dengan asas pemanfaatan yang diharapkan oleh semua pihak. Tetap saja, ada saja orang atau pihak tertentu yang merasa terganggu dan tidak nyaman. Ketidaknyamanan yang terjadi bisa saja dilatari oleh faktor ketidaksukaan, iri hati, merasa tersaingi, dan kemapanan kepentingan pribadi yang mulai goyah.Orang mulai merasa terancam dengan posisi, jabatan, dan status yang disandangnya akibat kuasa, wewenang atau otoritas tertentu yang berseberangan dengan kepentingan dirinya.

 

Sebagai contoh kita temukan dalam teks bacaan Injil hari ini. Para elit agama zaman Yesus yang terdiri dari imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi merasa tidak nyaman dan terancam dengan kehadiran Yesus. Apalagi tidak saja dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan-Nya yang fenomenal, Yesus berhasil menarik simpati dan perhatian dari public untuk mengikuti dan percaya kepada-Nya. Para pemimpin agama melihat dengan terang benderang segala hal luar biasa yang dilakukan oleh Yesus. Mereka tidak saja takut kehilangan simpati publik, Namun takut kehilangan kuasa atau otoritas yang dimiliki sebagai pemimpin agama yang disegani dan dihormati. Efek lebih lanjut, pasti segala kebutuhan, keinginan, dan kenikmatan yang selama ini diperoleh akan lenyap. Karena mereka merasa akan dan segera ditinggalkan oleh para loyalis dan umat pada umumnya.

 

Berangkat dari ketakutan, kecemasan, dan ketidaknyaman ini, mereka memberanikan diri untuk mempertanyakan kuasa yang digunakan oleh Yesus. “Dengan kuasa manakah Engkau melakukan hal-hal itu? Dan siapakah yang memberi kuasa itu kepada-Mu?” (Mat 21:23). Ini esensi pertanyaan yang provokatif sekaligus menjebak. Para pemimpin agama berusaha mencari celah dengan memainkan emosi Yesus sehingga mereka dapat menemukan kesalahan-Nya. Tetapi Yesus sedikit pun tidak terpancing. Malahan Ia balik menyerang mereka dengan mengajukan pertanyaan. “Dari manakah baptisan Yohanes? Dari sorga atau dari manusia?” (Mat 21:25). Yesus berjanji akan memberi jawaban tentang kuasa yang dimilik-Nya namun sesudah mereka memberi jawab tentang jenis kuasa yang dimiliki oleh Yohanes. Mereka terkejut dan tidak menyangka akan mendapat pertanyaan yang mematikan dari Yesus.

 

Para pemimpin agama berada di persimpangan jalan pikiran yang buntu. Mau maju ketemu tebing. Mau mundur masuk jurang. Jikalau mereka mengatakan kuasa Yohanes dari Allah, dengan sendirinya mereka mengakui kebodohan dan ketidakpercayaan mereka dengan tidak mau menerima Yohanes. Jika mereka mengatakan dari manusia, mereka takut akan amukan rakyat yang mengganggap Yohanes sebagai nabi yang diutus Allah. Pertanyaan Yesus menjadi sebuah serangan balik yang meyakinkan mereka tidak bisa berbuat apa-apa di hadapan Yesus. Dan kali ini, Yesus berhasil membuktikan kehebatan-Nya dengan memenangkan momen perdebatan melawan elit agama.

 

Namun intisari atau pokok dari teks bacaan Injil hari ini tentu tidak demikian. Hal yang ingin digarisbawahi adalah soal kuasa, wewenang, atau otoritas ilahi yang dimiliki oleh Yesus. Seandainya Yesus tidak memiliki kuasa ilahi, pasti Ia tidak akan bisa melakukan segala mukjizat lewat kata-kata dan perbuatan. Hanya dengan kuasa ilahilah, yang memungkinkan Yesus untuk membawa kebaikan dan keselamatan melalui kata-kata dan perbuatan-Nya yang ajaib. Yesus berani melawan arus kencang dan sistem yang mapan saat itu, karena Ia memiliki kuasa Allah untuk memperbaiki pelbagai kuasa duniawi yang telah menyimpang. Yesus ingin semua orang dari segala lapisan masyarakat yang berbeda - dari masyarakat kelas bawah sampai kelas atas - menjadi terbuka matanya melihat kuasa ilahi yang ada dalam diri-Nya. Namun hanya segelintir orang yang mampu menangkap pancaran kuasa ilahi itu.

 

Kita juga, seperti kebanyakan orang, termasuk bersama para pemimpin agama zaman Yesus, yang seringkali tidak atau kurang mengakui kuasa, wewenang, atau otoritas ilahi dari Yesus dalam setiap dinamika yang mewarnai hidup. Kita lebih banyak percaya untuk lebih mengandalkan kuasa, wewenang, atau otoritas pribadi. Kita merasa diri lebih hebat dan mengklaim mampu menyelesaikan segala persoalan hidup tanpa intervensi Tuhan. Bisa juga kita mengandalkan kuasa lain selain kuasa ilahi dari Tuhan. Kita bisa saja mengandalkan kekuatan paranormal dan lebih percaya dengan dukun atau orang pintar untuk menyelesaikan problem atau kesukaran hidup yang dialami. Kita tidak yakin dengan kuasa ilahi Yesus karena tidak sungguh mendekatkan diri kepada-Nya. Kita tidak percaya dengan kehadiran Yesus dalam setiap perjuangan dan pergulatan hidup yang kita alami. Kita tidak mau berserah diri kepada Tuhan, karena kita meragukan dan bahkan tidak percaya dengan otoritas ilahi yang dimiliki-Nya.

 

Hari ini Tuhan datang menyapa agar kita segera kembali kepada track yang benar. Hanya kuasa ilahi Tuhanlah yang mampu membawa kebaikan dan keselamatan hidup yang kekal; baik di dunia maupun akhirat. Jenis kuasa yang lain mungkin saja bisa membawa kebaikan dan keselamatan. Namun kebaikan dan keselamatan itu tidak bersifat abadi. Akan ada waktunya kekuatan itu akan pudar dan hilang bersama berlalunya waktu. Kuasa ilahi Tuhan tidak mengenal waktu dan ruang. Ia menembus dua dimensi itu dalam hidup manusia. Semoga kita semakin berbenah diri untuk senantiasa mengandalkan kuasa ilahi Tuhan dalam seluruh pengalaman, perjuangan, pergulatan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Bersama Santa Lusia dari Sisilia (Italia) yang pestanya kita rayakan pada hari ini, mari kita semakin mendekatkan diri kepada Tuhan dalam masa Adven ini, agar kuasa ilahi-Nya semakin terang menuntun jalan hidup kita. Selamat memasuki masa Adven pekan ketiga. Tuhan memberkati. ***AKD***


Selasa, 30 November 2021

HARAPAN AKAN KESELAMATAN

Luk 15:29-37

           

Hari ini kita mengenang pesta Beato Dionisius dan Beato Redemptus. Dua orang martir Kristus yang menumpahkan darah  di tanah rencong Aceh. Beato Dionisius adalah seorang imam berkebangsawan Perancis. Ia lahir pada tanggal 12 Desember 1600. Sedangkan Beato Redemptus adala seorang bruder dari ordo Carmel, berkebangsawan Portugal. Ia lahir pada tanggal15 Maret 1598. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1638, wakil raja Portugal di Goa, Pedro da Silva, bermaksud mengirim misi diplomatik untuk menjalin persahabatan dengan sultan Aceh. Misi ini dipimpin oleh seorang duta yang bernama  Dom Francisco Sousa de Castro. Para anggota misi terdiri dari Pater Dionisius, Bruder Redemptus, dua orang biarawan Fransiskan, dan 60 awak kapal.

 

Namun perjalanan misi ini berakhir dengan kisah tragis. Semua awak kapal, termasuk Pater Dionisius dan Bruder Redemptus ditangkap dan dipenjara oleh penduduk setempat atas perintah Sultan Aceh. Para awak kapal juga disiksa agar mereka dapat menyangkal imannya. Karena tidak tahan dengan siksaan, beberapa awak kapal membeli kebebasan dengan menyangkal iman mereka akan Yesus. Sedangkan Pater Dionisius dan Bruder Redemptus terus menguatkan iman rekan-rekan seperjalanan yang lain agar mereka tetap teguh akan iman kepada Yesus dan tidak takut menghadapi kematian. Akhirnya, sambil memohon pengampunan kepada Tuhan melalui perantara Pater Dionisus, semua awak kapal menyerahkan nyawa sebagai seorang martir Kristus yang sejati. Pater Dionisius dan Bruder Redemptus akhirnya dibeatifikasi pada tanggal 10 Juni 1900 oleh Paus Leo XIII.

 

Dalam pekan pertama Adven ini, pikiran kita diarahkan pada satu kata kunci yaitu harapan. Harapan adalah sebuah kebajikan ilahi. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1817), mengajarkan bahwa harapan adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita merindukan Kerajaan Sorga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus. Dan tidak mengandalkan kekuatan kita, tetapi bantuan rahmat Roh Kudus. “Marilah kita berpegang teguh kepada pengakuan tentang harapan kita, sebab Ia yang menjanjikannya, setia” (Ibr 10:23). Allah telah melimpahkan Roh Kudsus kepada kita melalui Yesus Kristus, Sang Juru Selamat, supaya kita sebagai orang-orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima kehidupan abadi, sesuai dengan pengharapan kita” (Titus 3:6-7).

 

Bacaan Injil hari ini mengarahkan diri kita agar selalu memiliki harapan kepada Tuhan. Harapan itu terwujud dalam diri orang-orang yang datang kepada Yesus. Mereka membawa orang lumpuh, orang timpang, orang buta, dan pelbagai sakit lainnya. Mereka meletakkan orang-orang sakit itu di hadapan Yesus dengan satu harapan agar dapat disembuhkan. Dan Yesus memenuhi harapan orang banyak dengan menyembuhkan orang sakit yang di bawa ke hadapan-Nya. Tidak hanya itu, Yesus juga membaca harapan lain yang terbersit dari wajah orang-orang yang mengikuti-Nya. Ia mengenyangkan rasa lapar mereka dengan menggandakan roti dan ikan yang tersedia. Banyak mukjizat yang dilakukan oleh Yesus, mau menunjukkan bahwa Allah melalui Diri Yesus, sangat mengasihi umat manusia. Dan bukti kasih itu telah dibuktikan oleh Yesus sendiri dengan memenuhi segala harapan yang terpatri dalam diri manusia. Segala penyakit manusia disembuhkan dan rasa lapar “diobati” dengan limpahan makanan.

 

Harapan akan kasih Allah yang tak terbatas tidak semestinya terpenuhi secara terbatas pada hal-hal fisik seperti digambarkan di atas. Sejatinya, Allah dalam diri Yesus juga datang untuk membawa keselamatan secara total bagi hidup manusia. Ia datang untuk membebaskan kita dari pelbagai luka dan sakit kemanusiaan. Yesus datang untuk mengampuni dosa-dosa dan memampukan kita sebagai manusia biasa untuk hidup sebagai anak-anak terang. Tuhan tidak mau kita jatuh dan terpuruk. Ia datang memberi harapan agar kita mau bangkit lagi. Tuhan ingin kita dapat menjadi manusia baru. Manusia yang bisa belajar dari kegagalan hidupnya. Dan kemudian dapat menatap hari esoknya dengan lebih baik melalui perbuatan-perbuatan yang selalu terarah kepada Kehendak Tuhan.

 

Saya dan anda memang tercipta sebagai manusia biasa. Secara kodrati, napas kita ditiupkan oleh Tuhan. Namun kita memiliki akal dan kehendak bebas yang menuntun dan menuntut kita untuk berpikir dan berbuat sesuatu tanpa adanya intenversi ilahi. Dengan hal ini, kita cenderung menggunakan akal dan kehendak bebas tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Tuhan. Kita seringkali mencemari atau menodai “tubuh bait Allah kita”, dengan pikiran dan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Kita keluar dari jalur yang benar dan mengambil jalur lain. Jalur yang tidak membawa kepada keselamatan, Karena jalur itu begerak menuju kepada ketidakselamatan. Kita lebih mempercayai kemampuan diri sendiri, daripada kemampuan Tuhan yang kita imani. Kita acapkali terseret jauh dari jalan menuju keselamatan, oleh karena sikap ego dan arogansi pribadi.

 

Harapan akan keselamatan itu tidak pernah hilang. Kita tetap memiliki harapan akan keselamatan. Seperti wajah-wajah penuh pengharapan dari orang-orang yang disembuhkan dari sakit sekaligus dikenyangkan dari rasa lapar, kita juga memiliki pengharapan yang sama. Kita memiliki pengharapan agar Tuhan menyembuhkan kecacatan pribadi yang kita miliki. Jikalau mata kita masih buta untuk melihat sesama lain yang sedang sakit, kita memiliki harapan agar mata kita kembali terbuka sehingga dapat menunjukkan kepedulian kepada mereka. Jikalau tangan dan kaki kita masih lumpuh oleh karena sikap ego dan gengsi, kita memiliki harapan agar disembuhkan. Sehingga kita lebih mudah menaruh empati dan perhatian bagi sesama. Jikalau telinga kita masih tuli untuk mendengar jeritan akan keprihatinan sosial. Kita memiliki harapan akan telinga kita menjadi sembuh. Sehingga kita lebih bersikap terbuka dan peka untuk berpartisipasi dalam pelbagai keprihatinan sosial.

Dan terutama pada masa Adven yang pertama ini, kita memiliki harapan agar Tuhan sudi mengampuni segala dosa dan kesalahan. Sehingga dengan hati yang layak dan pantas, kita dapat mempersiapkan kedatangan-Nya di masa Natal. Ingatlah bahwa kedatangan Yesus pada hari Natal hanyalah awal dari pemenuhan janji-Nya untuk menebus dan menyembuhkan manusia. Pemenuhan janji yang total akan terjadi kelak, yaitu pada saat kedatangan-Nya kembali untuk kedua kalinya, yakni akhir zaman, pada saat dimana kita akan berjumpa dengan Yesus secara langsung (I Kor 13:12). Marilah kita selalu memiliki harapan akan keselamatan di masa Adven. Amin. ***AKD***

Minggu, 14 November 2021

Kita Tidak Menjadi Orang Buta Lagi

Luk 18:35-43

           

Hari ini kita merayakan pesta St. Albertus Agung. Albertus lahir di Lauingen, Jerman Selatan pada tahun 1206. Ia berasal dari keluarga bangsawan Bollstadt. Sejak kecil ia sangat menyukai keindahan alam. Tidak hanya itu, ia juga suka menjelajahi hutan dan sungai yang ada di daerahnya. Pengalaman ini menjadi inspirasi dalam tulisannya kelak tentang ilmu alam dan tumbuh-tumbuhan. Pendidikan tinggi ditempuhnya di Universitas Padua. Rupanya jalur pendidikan ini menjadi batu loncatan bagi Albertus untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Albertus akhirnya memutuskan untuk hidup membiara dalam ordo Dominikan. Albertus dikenal sebagai orang yang cerdas dan saleh. Karena itulah, rekan-rekan dan orang-orang sezamannya menyematkan gelar “yang agung, tiang gereja, doktor umum”kepadanya. Albertus Agung meninggal dunia pada tanggal 15 November 1280 dalam usia 87 tahun.

 

Kisah penyembuhan seorang buta oleh Yesus dalam teks Injil pada hari ini menjadi inspirasi yang menarik buat kita. Karena tidak bisa melihat, si buta hanya mengandalkan ketajaman indra pendengarannya untuk mengetahui situasi di sekitarnya. Ketika mendengar informasi tentang kehadiran Yesus dari orang-orang yang lalu lalang, secara spontanitas ia berteriak: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ada orang yang coba menghalanginya dengan menyuruh dia diam. Tetapi semakin keras ia berteriak: “Anak Daud, Kasihanilah aku!” Menyaksikan keteguhan iman dari si buta, akhirnya Yesus memelekkan mata orang buta itu sehingga ia dapat melihat.

 

Ada satu aspek penting yang menjadi kunci keselamatan dari si buta. Aspek itu adalah keteguhan iman. Walau tidak melihat sosok Yesus, namun ia begitu percaya akan mendapatkan keselamatan. Selain itu ia juga mendapat tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Ada orang yang berusaha menghalangi dia dengan menyuruhnya diam. Kalau saja ia tidak memiliki iman yang kuat, mungkin ia akan menyerah dan diam. Namun kita mendengar bahwa si buta ini semakin keras berteriak meminta pertolongan dari Yesus. Ini menjadi sinyal yang kuat bahwa si buta sangat memiliki iman yang kuat kepada Yesus. Karena keteguhan iman inilah, akhirnya si buta mendapatkan keselamatan dari Yesus.

 

Sebagai seorang pengikut Yesus, mungkin kita tidak mengalami kebutaan secara fisik. Tetapi kita mengalami kebutaan dalam hati kita. Hati kita menjadi buta terhadap pelbagai realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita bersikap apatis, tidak mau peduli, dan tidak mau tahu tatkala menyaksikan aneka hidup yang timpang dan memprihatinkan. Banyak orang yang sebenarnya sementara sakit, menderita dan mengalami kesusahan. Namun karena mata hati  telah menjadi buta, menyebabkan kita tidak mau peduli atau tidak mau tahu. Kita seringkali lebih sibuk dengan urusan pribadi. Kita acapkali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Dan tidak pernah merasa malu atau tidak tahu malu untuk menjadi batu  sandungan bagi orang lain. Di satu sisi, kita menginginkan segala sesuatu yang baik dan mudah demi kepentingan pribadi. Di sisi yang lain, kita cenderung mempersulit dan mengharapkan yang tidak baik atau tidak enak bagi orang lain.

 

Hari kita belajar dari si buta untuk tidak menjadi “orang buta” lagi. Kita memohon dengan sangat, bantuan dari Tuhan agar sudi melelehkan hati kita yang beku. Kita mau lebih bersikap peduli dan penuh semangat dalam melayani orang lain tanpa dibatasi oleh sekat-sekat. Entah itu sekat keluarga, suku, agama, golongan, atau pun kepentingan politik. Kita mau peduli dan melayani dengan hati yang tulus. Memang tidak mulus seperti yang kita pikir atau bayangkan. Pasti ada banyak tantangan yang mencoba membelokkan niat hati kita. Entah itu tantangan yang datang dari luar. Atau pun bisa tantangan yang muncul dari hati kita sendiri misalnya rasa malas, capek, bosan, dan iri hati. Dengan iman yang teguh, kita merasa yakin bahwa Tuhan akan selalu mempermudah dan melapangkan jalan hidup kita. Tuhan akan menerangi kebutaan hati kita dengan cahaya-Nya yang bernyala-nyala. Kuncinya hanya satu. Percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia.

 

Kita mungkin tidak seperti Santo Albertus Agung yang telah melakukan hal-hal besar dalam hidupnya demi memuliakan nama Tuhan di sorga. Dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, kita dapat membuktikan diri untuk bersikap terbuka dan peduli dengan situasi dan orang lain di sekitar kita. Terutama bagi mereka yang sementara mengalami sakit dan kesusahan. Jika semangat keterbukaan dan kepedulian telah merasuki pribadi, maka kita telah menjadi orang-orang hidup yang mendapatkan keselamatan dalam hidup dari Tuhan. Amin. ***AKD***

Minggu, 07 November 2021

Mengampuni Tanpa Batas

 

Luk 17:1-6

           

Tentang entitas mengampuni, mungkin kita pernah mendengar ada orang berkata: “Untuk dia yang telah bersalah, saya cukup menerima dua kali kata maaf dan memaafkan dia. Rasanya sangat sulit membuka ruang untuk kesempatan ketiga dan seterusnya. Sebagai manusia, saya mempunyai keterbatasan. Sangat sulit untuk menerima kesalahan yang telah ia lakukan berulang kali. Saya tidak memberi maaf lebih dari itu”. Atau bisa saja kita pernah mengalaminya secara langsung. Ada seorang saudara yang telah melakukan kesalahan dan menyakiti hati kita. Jangankan untuk kedua kali, bahkan baru pertama kali pun, kita sudah menutup pintu hati untuk memberi maaf atau pengampunan. Bagi kita sebagai manusia biasa, rasanya sulit sekalih untuk memberi ampun kepada mereka yang telah bersalah kepada kita. Dan ini realitas yang tidak bisa kita elakkan. Kita tidak menerima begitu saja fenomena kesesatan yang dilakukan oleh orang lain.

 

Yesus sudah mewanti-wanti para murid-Nya akan fenomena kesesatan yang terjadi dalam kehidupan. “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya” (Luk 17:1). Kesesatan itu dapat terjadi karena manusia tidak dapat menggunakan kebebasannya secara baik. Manusia cenderung menyalahgunakan kebebasannya sebagai manusia dengan melakukan banyak kesesatan dalam hidup. kesesatan-kesesatan itu tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain. Fatalnya, orang yang berperilaku sesat tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Ia tetap merasa diri nyaman dan terus melakukan perbuatannya. Yesus tidak hanya mengecam, tetapi berkata dengan sangat keras terhadap orang-orang seperti ini: “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini” (Luk 17:2).

 

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mau mengakui kesalahannya dan memohon pengampunan. Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa mereka harus membuka hati untuk mengampuni. Tidak hanya dengan memberi teguran atau nasihat. Dengan radikal Yesus menandaskan bahwa kerelaan untuk mengampuni tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja. Itu harus dilakukan berulang kali. “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (Luk 17:4). Angka tujuh bukanlah angka kuantitas. Angka tujuh adalah nilai kualitatif. Sebuah nilai yang tidak bisa dijumlahkan. Sebuah nilai tanpat akhir. Di dalamnya tergambar semangat untuk mengampuni tanpa batas.

 

Mengampuni dengan batas-batas tertentu adalah perbuatan yang manusiawi. Sebaliknya, mengampuni tanpa batas adalah perbuatan yang sangat bernilai kristiani. Saya dan anda mungkin seringkali tenggelam untuk mengampuni dengan batas-batas tertentu. Satu kali memberi ampun, itu wajar. Dua kali memberi ampun, itu juga masih wajar. Tiga kali memberi ampun, sudah mulai tidak wajar. Empat kali memberi ampun, sudah tidak wajar lagi. Apalagi memberi ampun untuk yang kelima kali dan seterusnya. Anda tentu bersepakat dengan saya bahwa mengampuni itu harus ada batas toleransinya. Kalau kita terus memberi ruang untuk mengampuni, apakah ada jaminan bahwa orang akan berhenti dari perbuatan dosanya. Bisa saja yang terjadi adalah orang yang bersalah memanfaatkan kebaikan sekaligus celah yang kita miliki untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Sampai pada titik ini, kita berkesimpulan bahwa mengampuni tanpa batas itu tidak wajar dan tidak masuk akal.

 

Namun yang terjadi pada hari ini, sungguh di luar batas normal alur pikiran manusiawi kita. Yesus menghendaki agar tidak boleh ada kata akhir untuk mengampuni. Mengampuni itu harus tanpa batas. Tanpa ada kepentingan lain di dalamnya. Selain tujuan yang mulia agar orang dapat bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Rasanya sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Tetapi tidak ada kata menyerah untuk tidak melakukannya. Semangat pengampunan tanpa batas harus senantiasa diresapi, dihayati, dan dilaksanakan. Semangat pengampunan tanpa batas mengisi ruang dimensi spiritual dalam pribadi kita. Mengampuni tanpa batas memberi kesempatan bagi kita untuk semakin mendewasakan atau mematangkan kadar iman kepada Tuhan. Dan kita mulai menyadari bahwa mengampuni tanpa batas itu adalah sebuah perbuatan khas kristiani. Sebuah perbuatan yang tidak bisa dikompromi apalagi ditawar-tawar oleh seseorang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Yesus Kristus. Mari kita menanamkan semangat mengampuni tanpa batas dalam diri dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Kita percaya, Tuhan akan melimpahi berkat-Nya bagi orang yang melakukan kehendak-Nya. Amin. ***AKD***

Selasa, 02 November 2021

Menjadi Pemimpin Yang Amanah

Luk 14:25-33

           

Dalam suatu kesempatan, seorang atasan saya pernah berkata bahwa menjadi pemimpin itu harus memiliki amanah. Memiliki amanah artinya dapat dipercaya karena memiliki karakter positif dalam dirinya. Seorang pemimpin harus memiliki karakter atau sikap yang baik manakala dirinya dipercayakan untuk mengemban tugas yang mulia itu. Pemimpin disebut beramanah karena memiliki juga keteladanan untuk diikuti oleh orang lain.  Jikalau tidak beramanah, seorang pemimpin tidak layak dipanggil sebagai seorang pemimpin. Menjadi pemimpin yang beramanah tidak mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia harus bekerja demi kepentingan banyak orang. Seorang pemimpin yang beramanah juga tidak memiliki orientasi untuk mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia harus bekerja untuk memberi kesejahteraan terhadap orang yang dipimpinnya. Dan seorang pemimpin yang beramanah harus memiliki tanggung jawab dan semangat pengorbanan yang tinggi. Ia harus berada di depan ketika orang yang dipimpinnya mengalami kesulitan atau pun keterpurukan. Ia harus selalu menunjukkan semangat pelayanan sebagai bagian hakiki dari jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang beramanah.

 

Pada awal bacaan Injil hari ini, penginjil Lukas memperlihatkan kepada kita bahwa ada banyak orang berduyun-berduyun mengikuti Yesus. Mereka mengikuti Yesus tentu dengan pelbagai alasan atau motivasi. Ada yang mengikuti Yesus karena ingin mendapatkan kesembuhan dari penyakit. Ada juga yang mengikuti Yesus karena terpesona dengan kata-kata dan aksi mukjizat-Nya. Ada yang mengikuti Yesus karena memiliki motif politik supaya Yesus dapat membebaskan bangsa mereka (Israel) dari bangsa penjajah romawi. Dan mungkin ada juga yang memiliki motivasi yang murni untuk mengikuti Yesus karena sungguh-sungguh telah percaya kepada Allah.

 

Kepada mereka semua  yang mengikuti-Nya, Yesus membentangkan tiga syarat utama. Pertama, orang-orang harus melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga. “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk14:26). Yesus kelihatan tidak manusiawi dengan syarat pertama yang diajukan-Nya ini. Bahkan syarat ini seolah-olah berlawanan dengan perintah Allah sendiri untuk mengasihi sesama. Termasuk di dalamnya perintah keempat dari dekalog (sepuluh perintah Allah) untuk menghormati orang tua. Sebenarnya Yesus tidak bermaksud demikian. Melepaskan keterikatan dengan keluarga tidak berarti harus membenci mereka. Ikatan keluarga tetap menjadi sebuah ikatan emosional yang penting. Namun tidak menjadi fokus sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk mau mengikuti Yesus.

 

Kedua, mereka harus memikul salib. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27). Seseorang yang mau mengikuti Yesus harus siap menghadapi banyak tantangan, hambatan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Ia harus memiliki sikap sabar, semangat untuk berjuang dan berkorban demi tujuan utamanya menjadi murid Yesus. Ketiga, orang-orang harus membebaskan diri dari keterikatan dengan materi atau kekayaan. “Dengan pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Mengikuti Yesus bukan menjadi suatu peluang untuk mencari kekayaan atau harta duniawi. Bahkan orang harus rela kehilangan segalanya. Orang-orang tidak akan mendapatkan kekayaan atau materi ketika menjatuhkan pilihan untuk mengikuti Yesus. Untuk itu, mengikuti Yesus berarti orang harus membebaskan diri mereka dari keterikatan dengan barang-barang duniawi. Membebaskan diri bukan berarti tidak memilikinya sama sekalih. Orang dapat tetap memiliki kekayaan namun tidak hidup untuknya. Kekayaan hanya menjadi instrumen atau sarana demi membagi semangat kasih Allah kepada orang lain.

 

Gegap gempita pesta demokrasi pilkades (pemilihan kepala desa) terasa kian nyaring bunyinya. Maklum saja saat-saat awal bulan ini (November 2021) menjadi kesempatan terakhir bagi para calon kepala desa mempresentasikan diri dan visi misinya secara terbuka kepada para konstituen. Mereka akan menampilkan diri yang terbaik sehingga bisa dipilih pada saat hari “H” nanti, yakni pada tanggal 8 November 2021. Iklim politik di desa menjadi panas karena terus diperbincangkan. Tidak saja bagi para pemilih di desa-desa yang melakukan hajatan politik pilkades. Namun bagi kita semua yang tidak turut ambil bagian secara langsung dalam pesta demokrasi tersebut, sungguh merasakan ketegangan, polemik, dinamika yang berkembang. Seperti apa profil pemimpin desa yang tampil. Latar keluarga, pendidikan, kapasitas dan kapabilitas diri, dan soal integritas menjadi tolok ukur yang dipertaruhkan. Berikutnya soal visi dan misi para pemimpin itu. Apa yang menjadi harapan atau cita-cita ideal. Kira-kira apa yang ingin mereka perjuangkan setelah terpilih nanti.

 

Di atas semua itu, benang merahnya adalah apakah mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki amanah atau tidak. Memiliki amanah berarti harus memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas diri yang baik. Dalam konteks bacaan Injil, pemimpin yang memiliki amanah sudah sewajarnya memenuhi tiga syarat yang diberikan oleh Yesus. Pertama, mereka harus siap bekerja untuk banyak orang atau demi kepentingan umum. Mereka tidak boleh mementingkan kepentingan pribadi, keluarga, dan tim suksesnya. Kedua, mereka harus bekerja dengan semangat pelayanan dan pengorbanan yang tinggi demi warga atau masyarakat yang dipimpinnya. Mereka tidak boleh anti kritik. Bahkan siap untuk dihina dan dicaci maki manakala melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Mereka harus siap dievaluasi demi perbaikan yang lebih baik lagi. Ketiga, mereka tidak boleh memanfaatkan jabatan yang diberikan oleh masyarakat untuk menumpuk kekayaan demi kejayaan pribadi dan keluarga. Mereka tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan materi misalnya dengan melakukan korupsi atau menerima gratifikasi dari proyek tertentu. Pemimpin yang beramanah sesungguhnya adalah pemimpin yang melepaskan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus.

 

Menjadi pemimpin yang beramanah bukan hanya menjadi milik para calon pemimpin di desa. Kita semua sebagai pengikut Yesus adalah tipikal para pemimpin yang memiliki amanah. Karena hakikat pemimpin pada dasarnya adalah menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Dengan menjadi pengikut Yesus, kita sebenarnya telah mengikrarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki amanah. Kita semestinya membebaskan diri dari kepentingan keluarga, karena kita bekerja demi melayani semua orang tanpa memandang status dan latar belakang. Kita harus berani “memikul salib Yesus” dengan bekerja keras, penuh tanggung jawab dan semangat pelayanan. Dan terakhir, kita perlu membebaskan diri dari orientasi diri untuk mencari dan menumpuk kekayaan. Kita perlu mencukupkan diri dengan apa yang telah kita dapatkan. Kalaupun memiliki kekayaan atau materi yang berlimpah, semestinya diarahkan untuk menjadi sarana pewartaan bagi orang lain yang sementara mengalami kesusahan dan penderitaan. Mari kita selalu bekerja, menunjukkan jati diri dan dedikasi sebagai seorang pemimpin yang memiliki amanah dengan mengikuti apa yang telah disabdakan Yesus pada hari ini. Amin. ***AKD***

 

Senin, 25 Oktober 2021

Perjumpaan Yang Menyelamatkan

Luk 13:10-17

           

Pengalaman perjumpaan tentu membawa makna atau pesan tertentu bagi orang-orang yang mengalami perjumpaan. Biasanya orang menghendaki agar perjumpaan itu harus membawa sebuah kebaikan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Dan sebaliknya orang akan menolak atau sulit menerima apabila mengalami perjumpaan yang membawa ketidakbaikan, kesedihan, dan dukacita. Perjumpaan dengan sahabat lama, anggota keluarga yang berada di tempat yang jauh, rekan kerja, atau pun orang yang baru saja dikenal, selalu berada dalam dua kutub pengalaman. Pengalaman yang membawa pesan dan kesan positif. Serta pengalaman yang mengakomodir pesan dan kesan yang negatif atau tidak membawa keberuntungan.

 

Pengalaman perjumpaan yang dialami oleh seorang perempuan- yang telah delapan belas tahun dirasuki oleh roh jahat- adalah pengalaman yang membawa kebaikan, kegembiraan, dan kebahagiaan. Betapa tidak, selama delapan belas tahun, ia begitu tersiksa menahan sakit sehingga menyebabkan punggungnya menjadi bungkuk. Dan ia tidak bisa berdiri dengan tegak. Mungkin juga selama delapan belas tahun, si perempuan pesakit menjadi korban bully, hinaan, dan cercaan. Bahkan mungkin juga ia mendapat penolakan dan dikucilkan dari lingkup pergaulan sosialnya.

 

Namun semuanya menjadi sirna tatkala ia berhadapan muka dengan Yesus. Sebuah perjumpaan yang membawa keselamatan dan kegembiraan. Karena penyakit yang telah dideritanya selama delapan belas tahun menjadi lenyap atau hilang. Perempuan itu menjadi sembuh total dan dapat berjalan dengan normal. Dapat dibayangkan apabila ia tidak bertemu dengan Yesus, tentu ia akan terus bergulat dengan penyakitnya sepanjang napas hidupnya.

 

Ada beberapa point penting yang bisa kita petik dari bacaan Injil (Luk 13:10-17). Pertama, sikap compassion atau belaskasihan yang ditunjukkan oleh Yesus. Ketika ia melihat si perempuan pesakit, timbul rasa keprihatinan atau rasa iba. Rasa prihatin inilah yang mendorong Yesus untuk menunjukkan perhatian-Nya kepada si perempuan. Bentuk nyata dari perhatian itu adalah melepaskan si perempuan dari kungkungan iblis sehingga penyakitnya menjadi hilang. Kedua, tindakan Yesus yang melampaui hukum sabat. Kata sabat sendiri dalam bahasa Ibrani adalah Shabbat yang berarti istirahat atau berhenti bekerja. Sabat adalah hari istirahat setiap Sabtu dalam agama Yahudi. Hari Sabat dirayakan dari saat sebelum matahari terbenam pada hari Jumat hingga tibanya malam pada hari Sabtu. Isi hukum hari Sabat berisi pelbagai kewajiban dan larangan yang harus ditaati oleh setiap umat. Isi larangan itu, jauh lebih banyak dari kewajiban; yakni berisi 39 larangan. Termasuk di dalamnya larangan untuk menyembuhkan orang sakit. Karena kegiatan menyembuhkan merupakan bagian dari kerja yang harus dihindari.

 

Terhadap aturan hari Sabat yang kaku dan kelihatan tidak manusiawi ini, Yesus memberi sindiran bahwa hidup manusia itu lebih penting dari aturan itu sendiri.  Yesus berkata: “Hai orang-orang munafik, bukankah setiap orang di antaramu melepaskan lembunya atau keledainya pada hari Sabat dari kandangnya dan membawanya ke tempat minuman?” (Luk13:15). Dengan kata-kata demikian, Yesus ingin menegaskan bahwa binatang saja membutuhkan air untuk hidup. Apalagi si perempuan yang sudah menderita sakit selama delapan belas tahun. Ia berhak mendapatkan keselamatan karena kasih Allah. Dan tidak seharusnya ia semakin dibelenggu oleh aturan atau hukum yang membawa ketidakselamatan dalam dirinya. Kasih Allah jauh melampaui segala jenis hukum yang dibuat oleh manusia. Termasuk hukum yang tertulis dalam kitab suci. Karena spirit dari hukum itu bukanlah demi seperangkat hukum tetapi demi memenuhi spirit kasih Allah yang membawa kebaikan dan keselamatan bagi manusia.

 

Banyak orang di sekitar kita yang mungkin saja sementara mengalami rasa sakit, kesulitan, hambatan, pergulatan, atau juga keterpurukan dalam hidup. Yesus memberi pencerahan agar kita mampu memiliki sikap keprihatianan, rasa iba atau rasa empati. Dari sikap dasar inilah yang mendorong kita untuk bisa menunjukkan kepedulian dengan tindakan-tindakan konkrit. Mungkin tindakan kita tidak seberapa besar nilainya. Namun apa pun yang kita lakukan bisa membawa kekuatan, peneguhan, dan penghiburan bagi mereka yang kita layani. Perjumpaan kita bersama orang lain hendaknya menjadi perjumpaan yang membawa kebaikan dan kegembiraan. Oleh karena itu, kita harus keluar dari zona nyaman yang membentengi kita dengan semacam seperangkat aturan pribadi yang membelenggu. Misalnya rasa gengsi, jaga imej, tidak mau berjuang, tidak mau bersusah payah atau berkorban, dan mau menjadi pribadi penikmat saja. Mari kita mulai berbenah diri dan mulai terjun dalam pengalaman perjumpaan bersama orang lain untuk membawa kebaikan dan keselamatan karena, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Amin. ***AKD***

Selasa, 12 Oktober 2021

Memilih Yang Prioritas

Luk 11:42-46

Imbas dari pelonggaran PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di masa pandemi Covid-19 menyebabkan aneka dimensi kegiatan manusia mulai berdenyut dan bergerak seperti sedia kala. Di bidang pendidikan, anak-anak mulai kembali ke sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar secara langsung. Walaupun dengan sistim shifting dan harus menaati protokol kesehatan secara ketat. Di bidang ekonomi, tidak ada lagi pembatasan jam malam. Semua orang bebas melakukan transaksi barang dan jasa di mana dan kapan saja. Memang tetap wajib protokol kesehatan, namun kelihatan banyak orang tidak mengindahkannya. Di bidang agama, pelbagai bentuk pesta iman orang Katolik seperti sakramen permandian, komuni pertama, dan perkawinan mulai diizinkan untuk diberikan.

 

Ruang-ruang kehidupan yang mulai terbuka ini ternyata menampilkan wajah ganda. Di satu sisi, ada efek positif yang mau dikedepankan. Anak-anak tidak mengalami hambatan dalam belajar. Roda ekonomi kembali bergerak normal sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Dan tentunya secara khusus dalam bidang agama, pembinaan kualitas iman dan mental umat beriman tetap terjaga. Di lain sisi, wajah kehidupan manusia seakan tercoreng. Ada eforia yang muncul di tengah masyarakat (umat) bahwa badai pandemi telah berlalu dari hidup manusia. Pola pikir ini yang mendorong manusia untuk tidak lagi menaati protokol kesehatan. Banyak orang tidak lagi mengenakan masker ketika bepergian ke luar rumah atau berada di tempat publik. Larangan untuk menjaga jarak sudah tidak diindahkan. Banyak titik kumpul yang mempertemukan banyak orang. Misalnya di pasar, di jalan, di tempat pesta, dan sebagainya.

 

Eforia yang paling kelihatan dan dirasakan bagi kita orang Katolik adalah pada saat diadakan resepsi syukur atas penyelenggaraan pesta iman. Orang hanya taat pada protokol kesehatan ketika berada di gereja. Itu pun bukan dilakukan atas dasar kesadaran. Ketika sudah berada di luar gereja, aturan itu dianggap sudah selesai alias tidak berlaku lagi. Di tempat penyelenggaraan pesta syukur, kita melihat ada konsentrasi massa. Jangan tanya lagi soal masker atau jaga jarak. Karena sudah pasti tidak akan terlihat di sana. Kalaupun ada, mungkin hanya sebagian kecil yang bermasker. Itu pun tidak diletakkan pada posisi yang semestinya.

 

Tidak hanya pada soal kepatuhan protokol kesehatan yang mengalami stagnasi. Tetapi juga dalam aspek lain yang lebih mendalam seperti nilai ugahari (kesederhanaan). Pada dasarnya, Gereja Katolik tetap memberikan himbauan moral agar dalam masa pandemi ini, umat tidak boleh berfoya-foya; menghamburkan uang dan barang untuk mengadakan pesta dalam jenis apa pun. Apalagi perayaan syukur dalam pesta iman. Yang menjadi inti atau prioritas adalah penerimaan sakramen di dalam gereja. Bukan di luar gereja, dengan mengadakan pesta pora yang meriah. Namun realitas yang terjadi sungguh terbalik dengan aturan dan harapan ideal. Banyak orang Katolik yang salah menaruh prioritas dalam hidupnya. Orang Katolik lebih banyak mengutamakan sesuatu yang indah, bagus, dan hebat pada tataran permukaan. Orang rela mengadakan pesta pora dengan anggaran biaya yang besar. Tentu saja dengan mengumpulkan undangan yang tidak sedikit pula. Orang ingin dikenal, mencari nama baik, dan diakui oleh semua orang. Keinginan atau nafsu yang kuat ini mengalahkan nilai atau spirit yang lebih mendalam atau mendasar yakni spirit ugahari atau hidup dalam nilai kesederhanaan. 

 

Pengarusutamaan prestise, martabat, dan pamor pribadi sebenarnya sudah terlaksana di kalangan orang Farisi di masa Yesus. Orang Farisi sejatinya adalah sebuah kelompok yang baik. Perjuangan kelompok ini sebenarnya sangat mulia. Mereka ingin mempertahankan kemurnian ajaran dan tradisi agama Yahudi yang mulai tergerus oleh budaya dan agama asing kala itu. Namun perlahan-lahan, perjuangan dan motivasi kelompok ini mulai dipertanyakan. Eksistensi mereka mulai diragukan. Di satu pihak, mereka adalah orang-orang yang legalistik-formal. Orang-orang yang sangat menekankan aturan dan hukum dalam hidup keagamaan. Namun di pihak lain, mereka mengabaikan spirit dari aturan dan hukum itu sendiri yakni hukum kasih Allah. Mereka memaksa orang menaati aturan keagamaan yang keras untuk mendongkrak prestise mereka sebagai tokoh agama. Mereka menindas orang untuk memberikan persembahan atas nama Tuhan demi memuaskan nafsu pribadi. Mereka suka tampil di ruang-ruang publik untuk mendapat penghomatan dan sembah sujud.

 

Atas perilaku mereka yang mengutamakan hukum dan mengabaikan nilai kasih Allah, Yesus memberi kecaman yang keras. Yesus menegaskan bahwa orang-orang Farisi salah menaruh prioritas dalam hidup. Mereka lebih mementingkan ego pribadi dan kelompok dengan mengorbankan orang lain. Mereka lebih memprioritaskan hidup dalam kenikmatan. Hidup penuh kekayaan dan nama besar dengan memanfaatkan kebodohan, ketidaktahuan dan keluguan umat. Mereka lupa dan mengabaikan nilai yang paling luhur yakni nilai kasih Allah. Kasih Allah itu tidak terwujud dalam seperangkat peraturan yang formal dan kaku. Kasih Allah itu akan nampak dalam perilaku kasih terhadap sesama manusia sebagai citra Allah.

 

Kecaman Yesus terhadap orang Farisi berlaku juga terhadap kita orang beriman. Kita acapkali berlaku sebagai orang-orang Farisi modern yang lebih mementingkan ego, sibuk mencari nama baik dan harga diri. Kita menaruh hal-hal yang tidak penting sebagai prioritas dan meletakkan aspek fundamental kehidupan di bawah kaki. Afirmasi semangat kasih yang digaungkan oleh Yesus terdistribusi dalam pelajaran kontekstual kehidupan kita. Spirit kasih harus menjadi prioritas dan menjelma dalam dua semangat.  Pertama, semangat kasih di masa pandemi ini menuntun kita untuk selalu taat pada protokol kesehatan. Kita patuh pada prokes bukan hanya demi menjaga diri kita sendiri tetapi juga bagi orang lain. Orang-orang yang senantiasa berinteraksi dan menjadi sasaran pelayanan kita. Kedua, semangat ugahari atau hidup dalam kesederhanaan. Kita tidak berfoya-foya untuk menghamburkan harta atau kekayaan demi gengsi dan mendapatkan harga diri. Semangat ugahari memacu kita untuk hidup hemat. Dan lebih penting adalah kita mau menunjukkan solidaritas kita terhadap orang-orang kecil. Orang-orang yang lebih membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita. Mari kita mengutamakan hal yang lebih prioritas dalam hidup dengan mengaplikasikan dua semangat kasih dalam kehidupan. Kita tetap menaati protokol kesehatan dan menata diri untuk hidup dalam spirit kesederhanaan. Semoga. ***AKD***

Senin, 27 September 2021

Fokus Dalam Jalan Tuhan

Luk 9:1-6

Sewaktu melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah tinggi di Jakarta (Periode tahun 2003-2007), ada seorang dosen yang menjadi idola banyak mahasiswa, termasuk saya. Ia seorang imam dari ordo fransiskan (OFM). Ia diidolakan bukan karena memiliki wajah dan penampilan yang menarik. Ada tiga alasan mengapa ia begitu familiar dan disukai di kalangan mahasiswa. Pertama, gaya komunikasinya yang menarik ketika membawakan materi di dalam kelas. Ia sangat pandai menggunakan ilustrasi-ilustrasi untuk menyederhanakan materi atau bahan kuliahnya yang tergolong berat. Selain itu, ia juga tidak pelit memberikan nilai. Minimal mendapat nilai B, jikalau mengikuti proses pembelajaran mata kuliahnya sampai tuntas. Kedua, gaya bicaranya sangat santun ketika berhadapan dengan mahasiswa di luar kelas. Hampir setiap mahasiswa dari berbagai tingkat, ia tahu namanya. Ketiga, pola hidupnya sangat sederhana. Model pakaiannya biasa-biasa saja. Tampak jadul karena tidak mengikuti arus zaman. Tidak jarang ia cukup memakai sandal ke kampus. Ia juga tidak memiliki mobil. Tentu sangat kontras dengan kebanyakan dosen lain yang datang ke kampus dengan mobil-mobil yang bagus.

 

Sepuluh tahun kemudian, rentang waktu dari tahun 2007 – 2017, saya membaca dari sebuah berita online bahwa beliau telah ditunjuk oleh otoritas tahta suci Roma menjadi uskup Pangkal Pinang pada tanggal 28 Juni 2017. Beliau adalah Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, yang menggantikan uskup sebelumya, Mgr. Hilarius Moa Nurak, OFM. Dan pada tanggal, 23 September 2017 (Besok genap 14 tahun mengabdikan diri sebagai uskup), Romo Sunarko, resmi ditahbiskan menjadi uskup Pangkal Pinang yang baru. Saya tidak terkejut mendengar berita ini. Saya berkeyakinan bahwa beliau sangat pantas menyandang jabatan mulia tersebut. Bukan karena kepintaran intelektual atau kehebatan gaya komunikasinya. Yang paling utama karena beliau telah dan akan selalu menampilkan pribadi sebagai hamba Tuhan yang populis, sederhana dan rendah hati. Ia rela menanggalkan segala keterikatannya dengan dunia untuk mengabdi Tuhan dengan setia dan total.

 

Hari ini, melalui bacaan Injil (Luk 9:1-6), Yesus memanggil kedua belas murid dan mengutus mereka untuk pergi mewartakan Injil ke berbagai daerah. Yesus juga membekali mereka dengan kemampuan ilahi untuk mengusir setan-setan dan menyembuhkan penyakit-penyakit. Kemampuan teknis ini sangat urgen untuk meyakinkan orang-orang yang mendengar warta Allah melalui para murid. Jadi, dalam diri para rasul melekat dua kemampuan. Kemampuan komunikasi untuk menyampaikan sabda Allah dan kemampuan teknis untuk melakukan tindakan mukjizat.

 

Yang menarik dan menjadi titik fokus kita adalah pesan Yesus kepada para murid untuk tidak boleh membawa apa-apa dalam misi mulia itu. “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk 9:3). Secara akal sehat, pesan Yesus ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin warta Kerajaan Allah dapat tuntas dan sukses dikerjakan oleh para murid tanpa faktor-faktor yang mendukungnya. Sepertinya, Yesus sengaja membiarkan para murid untuk hidup miskin dan penuh kesulitan di daerah misi. Mereka harus berjuang sendiri untuk tetap eksis. Di samping harus mengerjakan misi mulia untuk membawa sebanyak mungkin orang untuk percaya kepada Allah. Ini misson impossible (misi tidak masuk akal).

 

Namun tidak dinyatakan secara tekstual apabila para murid melakukan penolakan atau mengeluh soal syarat yang diajukan oleh Yesus. Mungkin dalam hati mereka juga bingung, mengeluh, dan protes. Kita hanya membaca dan mendengar kalau para murid pergi dan melakukan apa yang dikatakan oleh Yesus. Ini berarti, dalam situasi yang serba terbatas para murid tetap menyatakan kesiapannya untuk pergi mewartakan Injil. Yesus mengharapkan agar para murid tetap fokus pada tugas utamanya dan tidak memikirkan hal-hal lain yang bisa mengganggu dan membelokkan tujuan utama mereka. Di atas semua itu, Yesus menghendaki agar para murid hanya mengandalkan kekuatan Tuhan dalam berkarya. Mereka tidak boleh mengandalkan kekuatan diri mereka sendiri. Karena jika demikian, keterbatasan manusiawi akan mematahkan semangat juang dan mematikan benih sabda yang telah ditanam dalam diri mereka. Para murid sepenuhnya harus bergantung pada kekuatan yang telah diberikan oleh Tuhan Yesus. Dalam segala kekurangan, mereka akan mendapatkan kelebihan. Dan inilah yang terjadi. Walaupun mendapatkan banyak tantangan dan hambatan, para murid dapat menuntaskan warta keselamatan yang diberikan oleh Yesus. Berkat kehadiran mereka, banyak orang menjadi percaya dan disembuhkan dari berbagai penyakit.

 

Sebagai seorang murid Kristus di masa kini, kita juga menghadapi pelbagai tantangan yang acapkali menggoyahkan semangat untuk mewartakan Injil Kristus di tengah dunia. Tantangan yang paling besar sebenarnya datang dari dalam diri. Kita masih memiliki keterikatan yang kuat dengan hal-hal duniawi. Orientasi mencari kekayaan, jabatan, dan prestise diri kadang masih membelenggu sehingga menutup mata hati dan pikiran kita untuk berbagi kasih dan kebaikan untuk orang lain. Kita masih dituntun oleh sikap ego untuk lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan dengan orang lain. Bahkan kepentingan umum juga diabaikan demi memuaskan kepentingan pribadi. Kita juga dikendalikan oleh arogansi pribadi yang menganggap sesama dan Tuhan tidak begitu penting dalam hidup. Kita lebih sibuk mengandalkan diri untuk mengejar aneka prioritas seperti kekayaan, kemewahan dan kenikmatan sehingga kita melupakan Tuhan dan sesama dalam hidup.

 

Tuhan Yesus telah menggugah kita semua pada hari ini untuk meninggalkan segala keterikatan duniawi agar kita lebih fokus berjalan dalam nama-Nya. Meninggalkan bukan berarti melepaskan diri secara total. Meninggalkan menunjuk pada pesan agar kita tidak menjadikan barang duniawi sebagai orientasi atau tujuan utama dalam hidup. Tentu saja kita boleh mencari, mengejar dan mendapatkan kekayaan, jabatan dan status hidup yang lebih baik. Semua itu kita lakukan tanpa melupakan aktualisasi diri sebagai seorang murid Kristus yang sejati. Kekayaan, jabatan, dan status hidup yang mentereng dapat menjadi sarana yang baik bagi kita untuk mewujudkan semangat kasih bersama orang lain.

 

Mari kita selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam tugas dan pengabdian kita di tengah dunia. Kita dapat menggunakan segala potensi, kekuatan, kehebatan, dan keunggulan yang dimiliki untuk menjadi corong Tuhan dengan berbagi kebaikan di tengah dunia. Sehingga nama-Nya yang agung tetap harum dan abadi sepanjang segala zaman. Amin. ***AKD***

 

Rabu, 15 September 2021

Iman Tanpa Perbuatan Adalah Mati

Luk 7 :1-10

 

Hari ini kita merayakan pesta Santo Yohanes Krisostomus dari Antiokhia. Seorang hamba Tuhan yang terlahir dari keluarga bangsawan yang saleh. Ia adalah seorang imam yang sangat populer di kalangan umat yang dilayaninya. Ia sangat dikenal dan disukai karena kepandaiannya dalam berbicara dan berkotbah. Karena memiliki bakat dalam  ilmu retorika inilah, ia diberi gelar Krisostomus yang berarti “Si mulut emas”. Tidak hanya pandai berbicara, Krisostomus juga memiliki keprihatinan dan keberpihakan kepada orang-orang kecil dan miskin. Sang imam Tuhan ini, tidak hanya menampilkan sisi cerdas dan religius. Ia juga berani tampil mengkritik para penguasa dan bangsawan yang tidak memiliki standar hidup yang baik dan benar. Dengan integritas diri dan keteladanan yang dimiliki, Krisostomus sangat dicintai dan dipuji oleh umatnya. Setiap perkataannya pasti diikuti. Santo Yohanes Krisostomus tidak hanya memiliki iman yang kokoh. Ia sungguh menghidupi imannya dalam perbuatan-perbuatan nyata di tengah dunia.

 

Bacaan Injil hari ini mengetengahkan sebuah kisah yang sangat menarik. Ada seorang perwira baik hati yang meminta pertolongan kepada Yesus untuk menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Kita dapat memastikan bahwa perwira ini sangat peduli dan mengasihi hambanya. Tidak hanya kepada sang hamba, perwira ini juga memiliki perhatian dan kepedulian terhadap bangsa Yahudi. Walaupun ia sendiri bukan berasal dari kalangan bangsa Yahudi. Berdasarkan kesaksian beberapa tua-tua Yahudi, sangat jelas diketahui bahwa sang perwira adalah seorang pribadi yang baik hati. Sehingga sangat tepat apabila Yesus yang berasal dari golongan Yahudi harus menolong sang perwira yang sementara mengalami kesusahan. Dengan kata lain, sang perwira non Yahudi sangat pantas memperoleh keselamatan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan baik dan dedikasinya terhadap bangsa Yahudi.

 

Yesus tentu memberi apresiasi atas segala tindakan baik yang dilakukan oleh sang perwira. Namun hal ini bukan menjadi titik fokus Yesus. Ada aspek lain yang lebih mendalam dan menyentuh hati-Nya. Aspek itu adalah iman yang teguh. Sang perwira tidak mengenal Yesus sebelumnya. Mungkin ia hanya mendengar cerita dari orang lain. Latarnya yang bukan dari Yahudi juga sebenarnya dapat mempengaruhi pribadinya untuk lebih bersikap ego dan apatis. Tetapi ternyata tidak demikian. Sang perwira yang mungkin berasal dari bangsa kafir, mampu menunjukkan iman yang teguh kepada Yesus. Ia sangat percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Imannya yang kokoh ternyata mempengaruhi disposisi batinnya. Ia merasa tidak pantas menerima Yesus di rumahnya. Sebaliknya, ia juga merasa tidak layak untuk datang menemui Yesus. Sebuah bentuk perwujudan iman yang ditunjukkan dengan sikap kerendahan hati. Kepolosan dan kerendahan hati sang perwira ini memantik rasa kagum dalam diri Yesus. Yesus memuji iman sang perwira dengan berkata: “Iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel” (Luk 7:9). Sang perwira  itu pantas mendapat buah yang baik dari imannya yang teguh. Hamba yang dikasihinya mendapat kesembuhan.

 

Sang perwira telah memberi pelajaran yang sangat berharga dalam hidup iman kita sebagai orang Katolik. Bahwa yang pertama, iman itu harus dimiliki. Karena dimiliki maka harus ada proses mengenal, memahami dan menginternalisasikannya dalam hati. Kedua, iman itu akan menjadi hidup apabila diwujudnyatakan dalam tindakan-tindakan konkrit. Sang perwira tidak hanya memiliki iman yang teguh. Ia mampu mengimplementasikan buah-buah iman itu melalui sikap kerendahan hati, keprihatinan, perhatian, kepedulian dan belas kasih kepada orang lain yang ada di sekitarnya.

 

Dalam pengalaman hidup, ketika ditanya mengenai identitas iman, mungkin kita dengan bangga menegaskan diri sebagai orang Katolik. Kita juga menyatakan bahwa kita sungguh percaya kepada Yesus, sang guru ilahi. Akan tetapi, dalam banyak hal, kita belum mampu menghidupi iman itu dalam perbuatan-perbuatan konkrit. Kita masih merasa iman itu hanya dalam tataran warisan dan belum mampu  memilikinya secara total dalam hidup. Iman yang kita miliki hanya sebatas dalam bingkai identitas pribadi. Atau hanya sekedar memenuhi catatan dan syarat administratif semata.

 

Santo Yohanes Krisostomus telah memberi inspirasi yang berharga bahwa iman yang teguh itu bukanlah ditaruh dalam kata-kata yang indah dan menghipnotis banyak orang. Iman yang teguh haruslah diletakkan dalam sikap keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Orang harus disiap dibenci, dimusuhi dan dibuang manakala berani membela hak-hak orang kecil dan tidak takut melawan kemapanan yang sementara berkuasa.

 

Spirit hidup Santo Krisostomus dan kisah hidup sang perwira dalam bacaan Injil telah membuka pikiran dan hati tentang bagaimana memaknai esensi hidup iman kita. Iman yang kokoh tidak semestinya tinggal dalam menara gading yang indah. Iman itu tidak egois dan apatis. Iman itu harus mengalir dan terurai dalam ragam perbuatan atau tindakan yang baik dan benar. Mari kita menghidupi iman lewat perbuatan-perbuatan yang konkrit untuk membawa keselamatan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Amin. ***AKD***

Rabu, 08 September 2021

Mengutamakan Keselamatan Manusia

Luk 6:6-11

 

Ada pepatah latin yang berbunyi serva ordinem et ordo servabit te. Peliharalah aturan maka aturan akan memelihara engkau. Esensi aturan dan hukum itu sebenarnya memiliki nilai ideal untuk menjaga keteraturan, ketertiban, keharmonisan dan keseimbangan hidup manusia. Aturan dan hukum itu dapat eksis karena adanya manusia. Aturan dan hukum lahir karena adanya manusia dan bukan manusia lahir demi aturan dan hukum. Yang menjadi fokus adalah manusia dan bukan hukum yang berisi seperangkat aturan. Aturan hanya menjadi sarana untuk mengatur hidup manusia sehingga berjalan dengan baik. Tetapi hukum atau aturan tidak menjadi tujuan dari hidup manusia. Jikalau hukum menjadi tujuan, maka akan membelenggu hidup manusia. Hukum dan aturan sejatinya menjadi media atau tempat bagi manusia untuk mengekpresikan martabat luhurnya demi kebaikan dan keselamatan hidup sesamanya.

 

Setahun yang telah lewat, saya pernah dihadapkan dengan sebuah problem keluarga yang cukup pelik. Kala itu, adik perempuan saya hendak menikah. Namun prosesnya tidak berjalan mulus. Ada sekian aturan adat yang memang harus dilewati. Para sesepuh adat di kampung pun sudah mewanti-wanti agar proses pernikahan adik saya harus berjalan sesuai dengan aturan atau hukum adat. Pesannya jelas. Saya tidak boleh mengambil jalan pintas. Karena pasti akan dicap sebagai generasi yang tidak menjunjung tata nilai dan warisan adat nenek moyang. Dalam situasi demikian, saya diberi dua pilihan. Antara aturan adat yang harus dijunjung atau nilai keselamatan manusia yang harus diutamakan. Kalau memilih yang pertama, pasti prosesnya berjalan panjang. Memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Selain itu, kesempatan adik saya untuk meniti kariernya pun terancam gagal. Setelah berdiskusi dengan keluarga dan banyak pihak lain, saya akhirnya memutuskan untuk lebih mengutamakan keselamatan hidup adik saya. Pilihannya sudah jelas. Sakramen perkawinan menjadi prioritas dan segala aturan adat dilewati. Konsekuensi hidup sudah siap saya diterima. Saya pasti dianggap sebagai pembangkang dan dianggap sebagai generasi yang tidak menghormati warisan adat para leluhur. Apa pun itu, saya tetap bertahan. Keselamatan hidup manusia menjadi nilai utama yang harus saya perjuangkan.

 

Hukum hari Sabat mengandung sekian banyak larangan untuk bekerja. Termasuk di dalamnya larangan untuk menyembuhkan orang sakit. Walaupun pada saat itu, orang sangat membutuhkan pertolongan, namun tentu tidak bisa dilayani karena berbenturan dengan larangan untuk berkerja. Tetapi tidak bagi Yesus ketika masuk ke dalam rumah ibadat untuk mengajar. Pada saat melihat ada seseorang yang mati sebelah tangannya, Yesus berani menghampiri orang itu dan menyembuhkan sakitnya. Perbuatan Yesus ini tentu berseberangan dengan aturan yang berlaku pada hari Sabat. Tetapi Yesus tidak peduli. Yesus ingin menekankan bahwa keselamatan manusia itu jauh lebih penting dari segala aturan dan hukum yang berlaku dalam hidup manusia.

 

Pilihan Yesus sudah tepat. Ia membuka cakrawala berpikir bagi seluruh umat yang hadir dengan aksi heroik-Nya. Tentu saja, bukan pesona aksi mukjizat yang harus dilihat, namun pesan nilai yang ada di balik peristiwa fenomenal tersebut. Yesus tidak ingin manusia tunduk pada seperangkat aturan yang membelenggu hidupnya. Yesus ingin manusia merdeka dari segala aturan yang tidak manusiawi. Merdeka bukan berarti bebas sebebas-bebasnya dan tidak lagi mengikuti aturan agama. Merdeka yang dimaksudkan adalah merdeka dalam cara pandang yang baru. Bahwa aturan dan hukum agama tidak lagi menjadi tujuan utama yang mengikat dan membelenggu. Aturan dan hukum agama harus memberi ruang bagi manusia untuk bisa mewujudkan perbuatan kasih bagi sesamanya. Aturan dan hukum menjadi sarana yang baik agar manusia dapat saling berbagi, saling peduli dan membawa kebaikan satu dengan yang lain.

 

Dalam banyak realitas hidup, seringkali kita terjebak pada aturan dan hukum sehingga membatasi kita untuk mengimplementasikan nilai kasih kepada orang lain. Salah satu peristiwa hidup yang telah saya kemukakan di atas bisa menjadi contoh konkrit yang menggambarkan secara jelas bahwa aturan atau hukum adat seringkali menjadi hal yang diprioritaskan dibandingkan dengan keselamatan manusia. Orang lebih mementingkan ritual dan materi adat yang terkandung sehingga menyelepelekan hidup manusia. Ritual dan materi adat memang tidak bisa dipisahkan dalam hukum adat. Namun, tidak seharusnya menjadikannya sebagai komponen yang utama. Karena ia hanya akan bernilai manakala keselamatan hidup manusia diletakkan pada level yang paling atas.

 

Saya kira, tidak hanya dalam soal hukum atau aturan adat yang acapkali membelenggu hidup manusia. Ada banyak aturan dan hukum di dunia ini yang masih mendegradasi martabat manusia sebagaia makhluk ciptaan Tuhan yang paling luhur. Kadangkali, orang masih mendewakan pelbagai aturan dan hukum yang berlaku sehingga seringkali mengangkangi nilai-nilai luhur yang terpatri dalam hidup manusia. Orang kadang bersikap ego dan arogan karena merasa dilindungi oleh hukum dan aturan tertentu. Ia menjadi tidak peduli bagi sesamanya. Hati nuraninya menjadi mati oleh karena menghidupi aturan dan hukum tertentu secara kaku dan formal.

 

Hari ini, Yesus membuka cakrawala berpikir kita secara baru. Bahwa bukan aturan dan hukum yang menjadi prioritas dalam hidup. Nilai dan keselamatan manusia harus mendapat tempat pertama dan terutama dalam setiap karya dan pengabdian kita di tengah dunia. Kita memang hidup dalam situasi tertentu yang dipenuhi dengan pelbagai aturan dan hukum. Namun sejatinya, hukum dan peraturan itu tidak dapat membatasi ruang gerak kita. Ia harus menjadi sarana terbaik baik kita untuk membawa kebaikan dan keselamatan bagi banyak orang. Terutama bagi mereka yang sakit dan tersingkir dalam hidupnya. Amin. ***AKD***

Selasa, 17 Agustus 2021

Menjadi Orang Katolik Di Atas Standar

Mat 19: 16-22

 

Sewaktu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Seminari San Dominggo Hokeng (kira-kira 21 tahun yang lalu), saya cukup heran sekaligus mengagumi gaya hidup seorang imam yang mengabdi di lembaga pendidikan calon iman ini. Beliau adalah mantan guru dan Pembina saya. Nyaris setiap hari, saya memperhatikan dia selalu mengenakan baju dan celana yang sama. Saya tidak menganggap hal ini sebagai lelucon, walaupun memang kelihatan tidak cukup berimbang dengan rekan-rekan imamnya, yang selalu tampil dengan warna dan model pakaian yang berbeda. Saya tidak yakin bahwa beliau tidak bisa membeli pakaian karena alasan finansial. Karena ternyata, ia juga seorang imam yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ia banyak membantu orang lain, terutama seminaris tertentu yang mengalami kendala dari sisi keuangan. Akhirnya, saya paham bahwa ada nilai atau keutamaan yang sementara dihidupi oleh sang imam. Semangat kemiskinan menjadi salah satu unsur utama yang menonjol dari gaya hidup sang imam ini.

 

Sang imam tidak hanya menjadi sosok guru dan pembina yang baik bagi para seminaris. Ia sungguh menjadi idola dalam hidupku. Karakter dan gaya hidup sang imam ini sangat membekas dalam perjalanan hidup saya. Setiap kali mendengar atau mengingat namanya, pasti saya membatin bahwa sang imam ini corak hidupnya sangat religius, santun, dan penuh kesederhanaan. Salah satu nilai fenomenal yang terpatri dalam pola hidupnya adalah nilai kemiskinan. Nilai ini serentak menjadi ajaran yang sangat penting dalam hidup saya secara pribadi. Untuk menjadi penuh dalam hidup, orang harus mengosongkan hidupnya. Orang tidak harus secara riil sungguh-sungguh miskin di hadapan Allah dan manusia. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti orang harus memberi diri secara total bagi sesamanya. Orang boleh memiliki harta dan kekayaan, namun semua itu hanya menjadi media atau alat. Tidak menjadi fokus apalagi keutamaan dalam hidup. Harta dan kekayaan menjadi sarana bagi orang untuk mewartakan kebaikan dan kebahagiaan bagi semua orang. Demikian kira-kira, filosofi hidup yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh sang imam melalui kesaksian hidupnya yang sungguh nyata.

 

Hidup dalam gelimangan harta duniawi, ternyata belum membawa kepenuhan hidup bagi seorang yang kaya. Dalam percakapan langsung dengan Yesus, ia bertanya tentang perbuatan baik apakah yang harus dilakukannya sehingga ia dapat memperoleh hidup yang kekal. Sebagai orang beragama yang baik, Yesus menegaskan bahwa ia harus melakukan segala perintah Allah yang tertuang dalam segala aturan dan hukum-Nya. Ternyata semua itu telah dilakukannya. Ia masih penasaran dan merasa masih ada yang kurang dalam hidupnya. Ia belum merasa lengkap atau sempurna dari segala hal yang telah dilakukannya. Lalu Yesus menjawab: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21).

 

Jawaban Yesus ini menjadi penyataan kunci dari isi percakapan mereka, namun tidak membawa pesan yang menggembirakan bagi si orang kaya. Ia tidak menyangka akan diberi pencerahan seperti itu. Ia merasa sangat sedih karena memang memiliki harta yang banyak. Ia tidak tega harus menjual segala harta miliknya dan membagikannya kepada orang miskin karena keterikatannya yang sangat kuat dengan harta pribadinya. Hal ini yang menurut Yesus menjadi penghalang utama bagi si orang kaya sulit untuk mendapatkan hidup yang kekal. Orang kaya itu memang tipe seorang agamawan yang baik. Tetapi ia belum memiliki kualifikasi sempurna sebagai anak Allah karena masih memiliki orientasi hidup yang utama pada harta duniawi. Harta duniawi yang dimiliki tidak membuat hidupnya menjadi penuh di hadapan Allah. Keterikatan pada harta duniawi membuat nuraninya menjadi buta untuk berbela rasa dengan orang lain.

 

Ada hal menarik yang ditekankan oleh Yesus dalam bacaan Injil pada hari ini. Yesus ingin kita tidak hanya menjadi orang Katolik yang standar. Menjadi orang Katolik yang standar berarti kita merasa sudah sangat puas dan layak karena sudah menjalankan segala aturan dan kewajiban agama yang sudah ditetapkan. Kita merasa sudah layak menjadi orang Katolik apabila sudah menjalankan aturan ibadah, berdoa dan puasa dengan baik. Seringkali kita merasa nyaman karena tidak pernah melakukan fitnah atau mencemarkan nama baik orang lain. Kita juga merasa benar karena tidak pernah melakukan tindakan kriminal seperti menipu, mencuri dan membunuh. Yesus menghendaki supaya kita tidak sekedar menjadi orang Katolik yang standar dengan hal-hal demikian. Ada nilai atau spirit lain yang harus kita perjuangkan. Spirit itu yakni spirit kemiskinan.

 

Spirit kemiskinan bukan berarti kita harus menjual segala harta milik duniawi kemudian menjadi orang yang sungguh-sungguh miskin secara ekonomi. Spirit kemiskinan bukan berarti pula kita tidak perlu menjadi orang yang kaya dalam hidup. Yesus tidak pernah melarang orang untuk menjadi kaya. Dan Yesus juga tidak menuntut orang untuk harus menjadi miskin. Yang dipersoalkan Yesus adalah orientasi hidup yang utama pada harta duniawi sehingga menyebabkan orang menjadi serakah dan “mati” secara sosial. Harta duniawi menjadi fokus dan lokus terpenting. Orang tidak mau memedulikan sesamanya karena berpikir individualis dan egoistik. Dari dimensi ini, banyak orang Katolik yang berkategori baik dan benar, namun masih menghidupi karakter imannya dalam level yang standar.

 

Menghidupi spirit kemiskinan berarti yang pertama kita tidak menjadikan harta dan kekayaan duniawi sebagai tujuan utama hidup. Karena dengan orientasi demikian, hanya akan memotivasi kita menjadi manusia kalap. Manusia yang dapat menghalalkan secara cara demi mendapatkan harta duniawi. Harta dan kekayaan sebenarnya hanya menjadi wahana perwujudan konkrit iman kita kepada sesama. Kedua, kita mau ambil bagian dalam perhatian dan keprihatinan terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita mau berbagi bersama orang lain karena itulah kepenuhan hidup yang akan menyempurnakan hidup iman kita. Sekecil apa pun bantuan yang kita berikan pasti sungguh berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. Mari kita tidak sekedar menjadi orang Katolik yang standar. Kita harus menjadi orang Katolik di atas standar dengan menghidupi spirit kemiskinan dalam hidup. Semoga. ***AKD***