Luk 14:25-33
Dalam suatu kesempatan, seorang atasan saya pernah
berkata bahwa menjadi pemimpin itu harus memiliki amanah. Memiliki amanah
artinya dapat dipercaya karena memiliki karakter positif dalam dirinya. Seorang
pemimpin harus memiliki karakter atau sikap yang baik manakala dirinya
dipercayakan untuk mengemban tugas yang mulia itu. Pemimpin disebut beramanah
karena memiliki juga keteladanan untuk diikuti oleh orang lain. Jikalau tidak beramanah, seorang pemimpin tidak
layak dipanggil sebagai seorang pemimpin. Menjadi pemimpin yang beramanah tidak
mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia harus bekerja demi
kepentingan banyak orang. Seorang pemimpin yang beramanah juga tidak memiliki
orientasi untuk mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia harus
bekerja untuk memberi kesejahteraan terhadap orang yang dipimpinnya. Dan
seorang pemimpin yang beramanah harus memiliki tanggung jawab dan semangat
pengorbanan yang tinggi. Ia harus berada di depan ketika orang yang dipimpinnya
mengalami kesulitan atau pun keterpurukan. Ia harus selalu menunjukkan semangat
pelayanan sebagai bagian hakiki dari jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang
beramanah.
Pada awal bacaan Injil hari ini, penginjil Lukas
memperlihatkan kepada kita bahwa ada banyak orang berduyun-berduyun mengikuti
Yesus. Mereka mengikuti Yesus tentu dengan pelbagai alasan atau motivasi. Ada
yang mengikuti Yesus karena ingin mendapatkan kesembuhan dari penyakit. Ada
juga yang mengikuti Yesus karena terpesona dengan kata-kata dan aksi
mukjizat-Nya. Ada yang mengikuti Yesus karena memiliki motif politik supaya
Yesus dapat membebaskan bangsa mereka (Israel) dari bangsa penjajah romawi. Dan
mungkin ada juga yang memiliki motivasi yang murni untuk mengikuti Yesus karena
sungguh-sungguh telah percaya kepada Allah.
Kepada mereka semua
yang mengikuti-Nya, Yesus membentangkan tiga syarat utama. Pertama,
orang-orang harus melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga. “Jikalau
seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya,
anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya
sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk14:26). Yesus kelihatan tidak
manusiawi dengan syarat pertama yang diajukan-Nya ini. Bahkan syarat ini
seolah-olah berlawanan dengan perintah Allah sendiri untuk mengasihi sesama.
Termasuk di dalamnya perintah keempat dari dekalog (sepuluh perintah Allah)
untuk menghormati orang tua. Sebenarnya Yesus tidak bermaksud demikian.
Melepaskan keterikatan dengan keluarga tidak berarti harus membenci mereka.
Ikatan keluarga tetap menjadi sebuah ikatan emosional yang penting. Namun tidak
menjadi fokus sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk mau mengikuti
Yesus.
Kedua, mereka harus memikul salib. “Barangsiapa
tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk
14:27). Seseorang yang mau mengikuti Yesus harus siap menghadapi banyak
tantangan, hambatan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Ia harus memiliki sikap
sabar, semangat untuk berjuang dan berkorban demi tujuan utamanya menjadi murid
Yesus. Ketiga, orang-orang harus membebaskan diri dari keterikatan dengan
materi atau kekayaan. “Dengan pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang
tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku”
(Luk 14:33). Mengikuti Yesus bukan menjadi suatu peluang untuk mencari kekayaan
atau harta duniawi. Bahkan orang harus rela kehilangan segalanya. Orang-orang
tidak akan mendapatkan kekayaan atau materi ketika menjatuhkan pilihan untuk
mengikuti Yesus. Untuk itu, mengikuti Yesus berarti orang harus membebaskan
diri mereka dari keterikatan dengan barang-barang duniawi. Membebaskan diri
bukan berarti tidak memilikinya sama sekalih. Orang dapat tetap memiliki
kekayaan namun tidak hidup untuknya. Kekayaan hanya menjadi instrumen atau
sarana demi membagi semangat kasih Allah kepada orang lain.
Gegap gempita pesta demokrasi pilkades (pemilihan
kepala desa) terasa kian nyaring bunyinya. Maklum saja saat-saat awal bulan ini
(November 2021) menjadi kesempatan terakhir bagi para calon kepala desa
mempresentasikan diri dan visi misinya secara terbuka kepada para konstituen.
Mereka akan menampilkan diri yang terbaik sehingga bisa dipilih pada saat hari
“H” nanti, yakni pada tanggal 8 November 2021. Iklim politik di desa menjadi
panas karena terus diperbincangkan. Tidak saja bagi para pemilih di desa-desa
yang melakukan hajatan politik pilkades. Namun bagi kita semua yang tidak turut
ambil bagian secara langsung dalam pesta demokrasi tersebut, sungguh merasakan
ketegangan, polemik, dinamika yang berkembang. Seperti apa profil pemimpin desa
yang tampil. Latar keluarga, pendidikan, kapasitas dan kapabilitas diri, dan
soal integritas menjadi tolok ukur yang dipertaruhkan. Berikutnya soal visi dan
misi para pemimpin itu. Apa yang menjadi harapan atau cita-cita ideal.
Kira-kira apa yang ingin mereka perjuangkan setelah terpilih nanti.
Di atas semua itu, benang merahnya adalah apakah
mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki amanah atau tidak. Memiliki amanah
berarti harus memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas diri yang baik.
Dalam konteks bacaan Injil, pemimpin yang memiliki amanah sudah sewajarnya
memenuhi tiga syarat yang diberikan oleh Yesus. Pertama, mereka harus siap bekerja
untuk banyak orang atau demi kepentingan umum. Mereka tidak boleh mementingkan
kepentingan pribadi, keluarga, dan tim suksesnya. Kedua, mereka harus bekerja
dengan semangat pelayanan dan pengorbanan yang tinggi demi warga atau
masyarakat yang dipimpinnya. Mereka tidak boleh anti kritik. Bahkan siap untuk
dihina dan dicaci maki manakala melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Mereka
harus siap dievaluasi demi perbaikan yang lebih baik lagi. Ketiga, mereka tidak
boleh memanfaatkan jabatan yang diberikan oleh masyarakat untuk menumpuk
kekayaan demi kejayaan pribadi dan keluarga. Mereka tidak boleh menyalahgunakan
kekuasaan untuk mendapatkan materi misalnya dengan melakukan korupsi atau
menerima gratifikasi dari proyek tertentu. Pemimpin yang beramanah sesungguhnya
adalah pemimpin yang melepaskan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus.
Menjadi pemimpin yang beramanah bukan hanya menjadi
milik para calon pemimpin di desa. Kita semua sebagai pengikut Yesus adalah
tipikal para pemimpin yang memiliki amanah. Karena hakikat pemimpin pada
dasarnya adalah menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Dengan menjadi pengikut
Yesus, kita sebenarnya telah mengikrarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin
yang memiliki amanah. Kita semestinya membebaskan diri dari kepentingan keluarga,
karena kita bekerja demi melayani semua orang tanpa memandang status dan latar
belakang. Kita harus berani “memikul salib Yesus” dengan bekerja keras, penuh
tanggung jawab dan semangat pelayanan. Dan terakhir, kita perlu membebaskan
diri dari orientasi diri untuk mencari dan menumpuk kekayaan. Kita perlu
mencukupkan diri dengan apa yang telah kita dapatkan. Kalaupun memiliki
kekayaan atau materi yang berlimpah, semestinya diarahkan untuk menjadi sarana
pewartaan bagi orang lain yang sementara mengalami kesusahan dan penderitaan.
Mari kita selalu bekerja, menunjukkan jati diri dan dedikasi sebagai seorang
pemimpin yang memiliki amanah dengan mengikuti apa yang telah disabdakan Yesus
pada hari ini. Amin. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar