Selasa, 02 November 2021

Menjadi Pemimpin Yang Amanah

Luk 14:25-33

           

Dalam suatu kesempatan, seorang atasan saya pernah berkata bahwa menjadi pemimpin itu harus memiliki amanah. Memiliki amanah artinya dapat dipercaya karena memiliki karakter positif dalam dirinya. Seorang pemimpin harus memiliki karakter atau sikap yang baik manakala dirinya dipercayakan untuk mengemban tugas yang mulia itu. Pemimpin disebut beramanah karena memiliki juga keteladanan untuk diikuti oleh orang lain.  Jikalau tidak beramanah, seorang pemimpin tidak layak dipanggil sebagai seorang pemimpin. Menjadi pemimpin yang beramanah tidak mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia harus bekerja demi kepentingan banyak orang. Seorang pemimpin yang beramanah juga tidak memiliki orientasi untuk mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia harus bekerja untuk memberi kesejahteraan terhadap orang yang dipimpinnya. Dan seorang pemimpin yang beramanah harus memiliki tanggung jawab dan semangat pengorbanan yang tinggi. Ia harus berada di depan ketika orang yang dipimpinnya mengalami kesulitan atau pun keterpurukan. Ia harus selalu menunjukkan semangat pelayanan sebagai bagian hakiki dari jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang beramanah.

 

Pada awal bacaan Injil hari ini, penginjil Lukas memperlihatkan kepada kita bahwa ada banyak orang berduyun-berduyun mengikuti Yesus. Mereka mengikuti Yesus tentu dengan pelbagai alasan atau motivasi. Ada yang mengikuti Yesus karena ingin mendapatkan kesembuhan dari penyakit. Ada juga yang mengikuti Yesus karena terpesona dengan kata-kata dan aksi mukjizat-Nya. Ada yang mengikuti Yesus karena memiliki motif politik supaya Yesus dapat membebaskan bangsa mereka (Israel) dari bangsa penjajah romawi. Dan mungkin ada juga yang memiliki motivasi yang murni untuk mengikuti Yesus karena sungguh-sungguh telah percaya kepada Allah.

 

Kepada mereka semua  yang mengikuti-Nya, Yesus membentangkan tiga syarat utama. Pertama, orang-orang harus melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga. “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk14:26). Yesus kelihatan tidak manusiawi dengan syarat pertama yang diajukan-Nya ini. Bahkan syarat ini seolah-olah berlawanan dengan perintah Allah sendiri untuk mengasihi sesama. Termasuk di dalamnya perintah keempat dari dekalog (sepuluh perintah Allah) untuk menghormati orang tua. Sebenarnya Yesus tidak bermaksud demikian. Melepaskan keterikatan dengan keluarga tidak berarti harus membenci mereka. Ikatan keluarga tetap menjadi sebuah ikatan emosional yang penting. Namun tidak menjadi fokus sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk mau mengikuti Yesus.

 

Kedua, mereka harus memikul salib. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27). Seseorang yang mau mengikuti Yesus harus siap menghadapi banyak tantangan, hambatan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Ia harus memiliki sikap sabar, semangat untuk berjuang dan berkorban demi tujuan utamanya menjadi murid Yesus. Ketiga, orang-orang harus membebaskan diri dari keterikatan dengan materi atau kekayaan. “Dengan pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Mengikuti Yesus bukan menjadi suatu peluang untuk mencari kekayaan atau harta duniawi. Bahkan orang harus rela kehilangan segalanya. Orang-orang tidak akan mendapatkan kekayaan atau materi ketika menjatuhkan pilihan untuk mengikuti Yesus. Untuk itu, mengikuti Yesus berarti orang harus membebaskan diri mereka dari keterikatan dengan barang-barang duniawi. Membebaskan diri bukan berarti tidak memilikinya sama sekalih. Orang dapat tetap memiliki kekayaan namun tidak hidup untuknya. Kekayaan hanya menjadi instrumen atau sarana demi membagi semangat kasih Allah kepada orang lain.

 

Gegap gempita pesta demokrasi pilkades (pemilihan kepala desa) terasa kian nyaring bunyinya. Maklum saja saat-saat awal bulan ini (November 2021) menjadi kesempatan terakhir bagi para calon kepala desa mempresentasikan diri dan visi misinya secara terbuka kepada para konstituen. Mereka akan menampilkan diri yang terbaik sehingga bisa dipilih pada saat hari “H” nanti, yakni pada tanggal 8 November 2021. Iklim politik di desa menjadi panas karena terus diperbincangkan. Tidak saja bagi para pemilih di desa-desa yang melakukan hajatan politik pilkades. Namun bagi kita semua yang tidak turut ambil bagian secara langsung dalam pesta demokrasi tersebut, sungguh merasakan ketegangan, polemik, dinamika yang berkembang. Seperti apa profil pemimpin desa yang tampil. Latar keluarga, pendidikan, kapasitas dan kapabilitas diri, dan soal integritas menjadi tolok ukur yang dipertaruhkan. Berikutnya soal visi dan misi para pemimpin itu. Apa yang menjadi harapan atau cita-cita ideal. Kira-kira apa yang ingin mereka perjuangkan setelah terpilih nanti.

 

Di atas semua itu, benang merahnya adalah apakah mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki amanah atau tidak. Memiliki amanah berarti harus memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas diri yang baik. Dalam konteks bacaan Injil, pemimpin yang memiliki amanah sudah sewajarnya memenuhi tiga syarat yang diberikan oleh Yesus. Pertama, mereka harus siap bekerja untuk banyak orang atau demi kepentingan umum. Mereka tidak boleh mementingkan kepentingan pribadi, keluarga, dan tim suksesnya. Kedua, mereka harus bekerja dengan semangat pelayanan dan pengorbanan yang tinggi demi warga atau masyarakat yang dipimpinnya. Mereka tidak boleh anti kritik. Bahkan siap untuk dihina dan dicaci maki manakala melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Mereka harus siap dievaluasi demi perbaikan yang lebih baik lagi. Ketiga, mereka tidak boleh memanfaatkan jabatan yang diberikan oleh masyarakat untuk menumpuk kekayaan demi kejayaan pribadi dan keluarga. Mereka tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan materi misalnya dengan melakukan korupsi atau menerima gratifikasi dari proyek tertentu. Pemimpin yang beramanah sesungguhnya adalah pemimpin yang melepaskan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus.

 

Menjadi pemimpin yang beramanah bukan hanya menjadi milik para calon pemimpin di desa. Kita semua sebagai pengikut Yesus adalah tipikal para pemimpin yang memiliki amanah. Karena hakikat pemimpin pada dasarnya adalah menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Dengan menjadi pengikut Yesus, kita sebenarnya telah mengikrarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki amanah. Kita semestinya membebaskan diri dari kepentingan keluarga, karena kita bekerja demi melayani semua orang tanpa memandang status dan latar belakang. Kita harus berani “memikul salib Yesus” dengan bekerja keras, penuh tanggung jawab dan semangat pelayanan. Dan terakhir, kita perlu membebaskan diri dari orientasi diri untuk mencari dan menumpuk kekayaan. Kita perlu mencukupkan diri dengan apa yang telah kita dapatkan. Kalaupun memiliki kekayaan atau materi yang berlimpah, semestinya diarahkan untuk menjadi sarana pewartaan bagi orang lain yang sementara mengalami kesusahan dan penderitaan. Mari kita selalu bekerja, menunjukkan jati diri dan dedikasi sebagai seorang pemimpin yang memiliki amanah dengan mengikuti apa yang telah disabdakan Yesus pada hari ini. Amin. ***AKD***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar