Luk 11:42-46
Imbas dari pelonggaran PPKM (Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat) di masa pandemi Covid-19 menyebabkan aneka
dimensi kegiatan manusia mulai berdenyut dan bergerak seperti sedia kala. Di
bidang pendidikan, anak-anak mulai kembali ke sekolah untuk mengikuti kegiatan
belajar secara langsung. Walaupun dengan sistim shifting dan harus menaati protokol kesehatan secara ketat. Di
bidang ekonomi, tidak ada lagi pembatasan jam malam. Semua orang bebas
melakukan transaksi barang dan jasa di mana dan kapan saja. Memang tetap wajib
protokol kesehatan, namun kelihatan banyak orang tidak mengindahkannya. Di
bidang agama, pelbagai bentuk pesta iman orang Katolik seperti sakramen
permandian, komuni pertama, dan perkawinan mulai diizinkan untuk diberikan.
Ruang-ruang kehidupan yang mulai terbuka ini
ternyata menampilkan wajah ganda. Di satu sisi, ada efek positif yang mau
dikedepankan. Anak-anak tidak mengalami hambatan dalam belajar. Roda ekonomi
kembali bergerak normal sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat. Dan
tentunya secara khusus dalam bidang agama, pembinaan kualitas iman dan mental
umat beriman tetap terjaga. Di lain sisi, wajah kehidupan manusia seakan
tercoreng. Ada eforia yang muncul di tengah masyarakat (umat) bahwa badai
pandemi telah berlalu dari hidup manusia. Pola pikir ini yang mendorong manusia
untuk tidak lagi menaati protokol kesehatan. Banyak orang tidak lagi mengenakan
masker ketika bepergian ke luar rumah atau berada di tempat publik. Larangan untuk
menjaga jarak sudah tidak diindahkan. Banyak titik kumpul yang mempertemukan
banyak orang. Misalnya di pasar, di jalan, di tempat pesta, dan sebagainya.
Eforia yang paling kelihatan dan dirasakan bagi
kita orang Katolik adalah pada saat diadakan resepsi syukur atas
penyelenggaraan pesta iman. Orang hanya taat pada protokol kesehatan ketika
berada di gereja. Itu pun bukan dilakukan atas dasar kesadaran. Ketika sudah
berada di luar gereja, aturan itu dianggap sudah selesai alias tidak berlaku
lagi. Di tempat penyelenggaraan pesta syukur, kita melihat ada konsentrasi
massa. Jangan tanya lagi soal masker atau jaga jarak. Karena sudah pasti tidak
akan terlihat di sana. Kalaupun ada, mungkin hanya sebagian kecil yang
bermasker. Itu pun tidak diletakkan pada posisi yang semestinya.
Tidak hanya pada soal kepatuhan protokol kesehatan
yang mengalami stagnasi. Tetapi juga dalam aspek lain yang lebih mendalam
seperti nilai ugahari (kesederhanaan). Pada dasarnya, Gereja Katolik tetap
memberikan himbauan moral agar dalam masa pandemi ini, umat tidak boleh
berfoya-foya; menghamburkan uang dan barang untuk mengadakan pesta dalam jenis
apa pun. Apalagi perayaan syukur dalam pesta iman. Yang menjadi inti atau
prioritas adalah penerimaan sakramen di dalam gereja. Bukan di luar gereja,
dengan mengadakan pesta pora yang meriah. Namun realitas yang terjadi sungguh
terbalik dengan aturan dan harapan ideal. Banyak orang Katolik yang salah
menaruh prioritas dalam hidupnya. Orang Katolik lebih banyak mengutamakan
sesuatu yang indah, bagus, dan hebat pada tataran permukaan. Orang rela
mengadakan pesta pora dengan anggaran biaya yang besar. Tentu saja dengan
mengumpulkan undangan yang tidak sedikit pula. Orang ingin dikenal, mencari
nama baik, dan diakui oleh semua orang. Keinginan atau nafsu yang kuat ini
mengalahkan nilai atau spirit yang lebih mendalam atau mendasar yakni spirit
ugahari atau hidup dalam nilai kesederhanaan.
Pengarusutamaan prestise, martabat, dan pamor
pribadi sebenarnya sudah terlaksana di kalangan orang Farisi di masa Yesus.
Orang Farisi sejatinya adalah sebuah kelompok yang baik. Perjuangan kelompok
ini sebenarnya sangat mulia. Mereka ingin mempertahankan kemurnian ajaran dan
tradisi agama Yahudi yang mulai tergerus oleh budaya dan agama asing kala itu.
Namun perlahan-lahan, perjuangan dan motivasi kelompok ini mulai dipertanyakan.
Eksistensi mereka mulai diragukan. Di satu pihak, mereka adalah orang-orang
yang legalistik-formal. Orang-orang yang sangat menekankan aturan dan hukum
dalam hidup keagamaan. Namun di pihak lain, mereka mengabaikan spirit dari
aturan dan hukum itu sendiri yakni hukum kasih Allah. Mereka memaksa orang
menaati aturan keagamaan yang keras untuk mendongkrak prestise mereka sebagai
tokoh agama. Mereka menindas orang untuk memberikan persembahan atas nama Tuhan
demi memuaskan nafsu pribadi. Mereka suka tampil di ruang-ruang publik untuk
mendapat penghomatan dan sembah sujud.
Atas perilaku mereka yang mengutamakan hukum dan
mengabaikan nilai kasih Allah, Yesus memberi kecaman yang keras. Yesus
menegaskan bahwa orang-orang Farisi salah menaruh prioritas dalam hidup. Mereka
lebih mementingkan ego pribadi dan kelompok dengan mengorbankan orang lain.
Mereka lebih memprioritaskan hidup dalam kenikmatan. Hidup penuh kekayaan dan
nama besar dengan memanfaatkan kebodohan, ketidaktahuan dan keluguan umat.
Mereka lupa dan mengabaikan nilai yang paling luhur yakni nilai kasih Allah.
Kasih Allah itu tidak terwujud dalam seperangkat peraturan yang formal dan
kaku. Kasih Allah itu akan nampak dalam perilaku kasih terhadap sesama manusia
sebagai citra Allah.
Kecaman Yesus terhadap orang Farisi berlaku juga
terhadap kita orang beriman. Kita acapkali berlaku sebagai orang-orang Farisi
modern yang lebih mementingkan ego, sibuk mencari nama baik dan harga diri. Kita
menaruh hal-hal yang tidak penting sebagai prioritas dan meletakkan aspek
fundamental kehidupan di bawah kaki. Afirmasi semangat kasih yang digaungkan
oleh Yesus terdistribusi dalam pelajaran kontekstual kehidupan kita. Spirit
kasih harus menjadi prioritas dan menjelma dalam dua semangat. Pertama, semangat kasih di masa pandemi ini
menuntun kita untuk selalu taat pada protokol kesehatan. Kita patuh pada prokes
bukan hanya demi menjaga diri kita sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Orang-orang yang senantiasa berinteraksi dan menjadi sasaran pelayanan kita.
Kedua, semangat ugahari atau hidup dalam kesederhanaan. Kita tidak berfoya-foya
untuk menghamburkan harta atau kekayaan demi gengsi dan mendapatkan harga diri.
Semangat ugahari memacu kita untuk hidup hemat. Dan lebih penting adalah kita
mau menunjukkan solidaritas kita terhadap orang-orang kecil. Orang-orang yang
lebih membutuhkan bantuan dan uluran tangan kita. Mari kita mengutamakan hal
yang lebih prioritas dalam hidup dengan mengaplikasikan dua semangat kasih
dalam kehidupan. Kita tetap menaati protokol kesehatan dan menata diri untuk
hidup dalam spirit kesederhanaan. Semoga. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar