Luk 17:1-6
Tentang entitas mengampuni, mungkin kita pernah
mendengar ada orang berkata: “Untuk dia yang telah bersalah, saya cukup
menerima dua kali kata maaf dan memaafkan dia. Rasanya sangat sulit membuka
ruang untuk kesempatan ketiga dan seterusnya. Sebagai manusia, saya mempunyai
keterbatasan. Sangat sulit untuk menerima kesalahan yang telah ia lakukan
berulang kali. Saya tidak memberi maaf lebih dari itu”. Atau bisa saja kita
pernah mengalaminya secara langsung. Ada seorang saudara yang telah melakukan
kesalahan dan menyakiti hati kita. Jangankan untuk kedua kali, bahkan baru
pertama kali pun, kita sudah menutup pintu hati untuk memberi maaf atau
pengampunan. Bagi kita sebagai manusia biasa, rasanya sulit sekalih untuk
memberi ampun kepada mereka yang telah bersalah kepada kita. Dan ini realitas
yang tidak bisa kita elakkan. Kita tidak menerima begitu saja fenomena
kesesatan yang dilakukan oleh orang lain.
Yesus sudah mewanti-wanti para murid-Nya akan
fenomena kesesatan yang terjadi dalam kehidupan. “Tidak mungkin tidak akan ada
penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya” (Luk 17:1). Kesesatan
itu dapat terjadi karena manusia tidak dapat menggunakan kebebasannya secara
baik. Manusia cenderung menyalahgunakan kebebasannya sebagai manusia dengan
melakukan banyak kesesatan dalam hidup. kesesatan-kesesatan itu tidak hanya
merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain. Fatalnya, orang yang berperilaku
sesat tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Ia tetap merasa diri nyaman dan
terus melakukan perbuatannya. Yesus tidak hanya mengecam, tetapi berkata dengan
sangat keras terhadap orang-orang seperti ini: “Adalah lebih baik baginya jika
sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam
laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini” (Luk
17:2).
Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mau mengakui
kesalahannya dan memohon pengampunan. Yesus mengatakan kepada para murid-Nya
bahwa mereka harus membuka hati untuk mengampuni. Tidak hanya dengan memberi
teguran atau nasihat. Dengan radikal Yesus menandaskan bahwa kerelaan untuk
mengampuni tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja. Itu harus dilakukan
berulang kali. “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali
sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau
harus mengampuni dia” (Luk 17:4). Angka tujuh bukanlah angka kuantitas. Angka
tujuh adalah nilai kualitatif. Sebuah nilai yang tidak bisa dijumlahkan. Sebuah
nilai tanpat akhir. Di dalamnya tergambar semangat untuk mengampuni tanpa
batas.
Mengampuni dengan batas-batas tertentu adalah
perbuatan yang manusiawi. Sebaliknya, mengampuni tanpa batas adalah perbuatan
yang sangat bernilai kristiani. Saya dan anda mungkin seringkali tenggelam
untuk mengampuni dengan batas-batas tertentu. Satu kali memberi ampun, itu
wajar. Dua kali memberi ampun, itu juga masih wajar. Tiga kali memberi ampun,
sudah mulai tidak wajar. Empat kali memberi ampun, sudah tidak wajar lagi.
Apalagi memberi ampun untuk yang kelima kali dan seterusnya. Anda tentu
bersepakat dengan saya bahwa mengampuni itu harus ada batas toleransinya. Kalau
kita terus memberi ruang untuk mengampuni, apakah ada jaminan bahwa orang akan
berhenti dari perbuatan dosanya. Bisa saja yang terjadi adalah orang yang
bersalah memanfaatkan kebaikan sekaligus celah yang kita miliki untuk
mendapatkan keuntungan tertentu. Sampai pada titik ini, kita berkesimpulan
bahwa mengampuni tanpa batas itu tidak wajar dan tidak masuk akal.
Namun yang terjadi pada hari ini, sungguh di luar
batas normal alur pikiran manusiawi kita. Yesus menghendaki agar tidak boleh
ada kata akhir untuk mengampuni. Mengampuni itu harus tanpa batas. Tanpa ada
kepentingan lain di dalamnya. Selain tujuan yang mulia agar orang dapat
bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Rasanya sangat mudah untuk
diucapkan, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Tetapi tidak ada kata
menyerah untuk tidak melakukannya. Semangat pengampunan tanpa batas harus
senantiasa diresapi, dihayati, dan dilaksanakan. Semangat pengampunan tanpa
batas mengisi ruang dimensi spiritual dalam pribadi kita. Mengampuni tanpa
batas memberi kesempatan bagi kita untuk semakin mendewasakan atau mematangkan
kadar iman kepada Tuhan. Dan kita mulai menyadari bahwa mengampuni tanpa batas
itu adalah sebuah perbuatan khas kristiani. Sebuah perbuatan yang tidak bisa
dikompromi apalagi ditawar-tawar oleh seseorang yang mengakui dirinya sebagai
pengikut Yesus Kristus. Mari kita menanamkan semangat mengampuni tanpa batas
dalam diri dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Kita percaya, Tuhan
akan melimpahi berkat-Nya bagi orang yang melakukan kehendak-Nya. Amin.
***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar