Rabu, 15 September 2021

Iman Tanpa Perbuatan Adalah Mati

Luk 7 :1-10

 

Hari ini kita merayakan pesta Santo Yohanes Krisostomus dari Antiokhia. Seorang hamba Tuhan yang terlahir dari keluarga bangsawan yang saleh. Ia adalah seorang imam yang sangat populer di kalangan umat yang dilayaninya. Ia sangat dikenal dan disukai karena kepandaiannya dalam berbicara dan berkotbah. Karena memiliki bakat dalam  ilmu retorika inilah, ia diberi gelar Krisostomus yang berarti “Si mulut emas”. Tidak hanya pandai berbicara, Krisostomus juga memiliki keprihatinan dan keberpihakan kepada orang-orang kecil dan miskin. Sang imam Tuhan ini, tidak hanya menampilkan sisi cerdas dan religius. Ia juga berani tampil mengkritik para penguasa dan bangsawan yang tidak memiliki standar hidup yang baik dan benar. Dengan integritas diri dan keteladanan yang dimiliki, Krisostomus sangat dicintai dan dipuji oleh umatnya. Setiap perkataannya pasti diikuti. Santo Yohanes Krisostomus tidak hanya memiliki iman yang kokoh. Ia sungguh menghidupi imannya dalam perbuatan-perbuatan nyata di tengah dunia.

 

Bacaan Injil hari ini mengetengahkan sebuah kisah yang sangat menarik. Ada seorang perwira baik hati yang meminta pertolongan kepada Yesus untuk menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Kita dapat memastikan bahwa perwira ini sangat peduli dan mengasihi hambanya. Tidak hanya kepada sang hamba, perwira ini juga memiliki perhatian dan kepedulian terhadap bangsa Yahudi. Walaupun ia sendiri bukan berasal dari kalangan bangsa Yahudi. Berdasarkan kesaksian beberapa tua-tua Yahudi, sangat jelas diketahui bahwa sang perwira adalah seorang pribadi yang baik hati. Sehingga sangat tepat apabila Yesus yang berasal dari golongan Yahudi harus menolong sang perwira yang sementara mengalami kesusahan. Dengan kata lain, sang perwira non Yahudi sangat pantas memperoleh keselamatan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan baik dan dedikasinya terhadap bangsa Yahudi.

 

Yesus tentu memberi apresiasi atas segala tindakan baik yang dilakukan oleh sang perwira. Namun hal ini bukan menjadi titik fokus Yesus. Ada aspek lain yang lebih mendalam dan menyentuh hati-Nya. Aspek itu adalah iman yang teguh. Sang perwira tidak mengenal Yesus sebelumnya. Mungkin ia hanya mendengar cerita dari orang lain. Latarnya yang bukan dari Yahudi juga sebenarnya dapat mempengaruhi pribadinya untuk lebih bersikap ego dan apatis. Tetapi ternyata tidak demikian. Sang perwira yang mungkin berasal dari bangsa kafir, mampu menunjukkan iman yang teguh kepada Yesus. Ia sangat percaya bahwa Yesus dapat menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Imannya yang kokoh ternyata mempengaruhi disposisi batinnya. Ia merasa tidak pantas menerima Yesus di rumahnya. Sebaliknya, ia juga merasa tidak layak untuk datang menemui Yesus. Sebuah bentuk perwujudan iman yang ditunjukkan dengan sikap kerendahan hati. Kepolosan dan kerendahan hati sang perwira ini memantik rasa kagum dalam diri Yesus. Yesus memuji iman sang perwira dengan berkata: “Iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel” (Luk 7:9). Sang perwira  itu pantas mendapat buah yang baik dari imannya yang teguh. Hamba yang dikasihinya mendapat kesembuhan.

 

Sang perwira telah memberi pelajaran yang sangat berharga dalam hidup iman kita sebagai orang Katolik. Bahwa yang pertama, iman itu harus dimiliki. Karena dimiliki maka harus ada proses mengenal, memahami dan menginternalisasikannya dalam hati. Kedua, iman itu akan menjadi hidup apabila diwujudnyatakan dalam tindakan-tindakan konkrit. Sang perwira tidak hanya memiliki iman yang teguh. Ia mampu mengimplementasikan buah-buah iman itu melalui sikap kerendahan hati, keprihatinan, perhatian, kepedulian dan belas kasih kepada orang lain yang ada di sekitarnya.

 

Dalam pengalaman hidup, ketika ditanya mengenai identitas iman, mungkin kita dengan bangga menegaskan diri sebagai orang Katolik. Kita juga menyatakan bahwa kita sungguh percaya kepada Yesus, sang guru ilahi. Akan tetapi, dalam banyak hal, kita belum mampu menghidupi iman itu dalam perbuatan-perbuatan konkrit. Kita masih merasa iman itu hanya dalam tataran warisan dan belum mampu  memilikinya secara total dalam hidup. Iman yang kita miliki hanya sebatas dalam bingkai identitas pribadi. Atau hanya sekedar memenuhi catatan dan syarat administratif semata.

 

Santo Yohanes Krisostomus telah memberi inspirasi yang berharga bahwa iman yang teguh itu bukanlah ditaruh dalam kata-kata yang indah dan menghipnotis banyak orang. Iman yang teguh haruslah diletakkan dalam sikap keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Orang harus disiap dibenci, dimusuhi dan dibuang manakala berani membela hak-hak orang kecil dan tidak takut melawan kemapanan yang sementara berkuasa.

 

Spirit hidup Santo Krisostomus dan kisah hidup sang perwira dalam bacaan Injil telah membuka pikiran dan hati tentang bagaimana memaknai esensi hidup iman kita. Iman yang kokoh tidak semestinya tinggal dalam menara gading yang indah. Iman itu tidak egois dan apatis. Iman itu harus mengalir dan terurai dalam ragam perbuatan atau tindakan yang baik dan benar. Mari kita menghidupi iman lewat perbuatan-perbuatan yang konkrit untuk membawa keselamatan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Amin. ***AKD***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar