Luk 7 :1-10
Hari ini kita merayakan pesta Santo Yohanes
Krisostomus dari Antiokhia. Seorang hamba Tuhan yang terlahir dari keluarga
bangsawan yang saleh. Ia adalah seorang imam yang sangat populer di kalangan
umat yang dilayaninya. Ia sangat dikenal dan disukai karena kepandaiannya dalam
berbicara dan berkotbah. Karena memiliki bakat dalam ilmu retorika inilah, ia diberi gelar
Krisostomus yang berarti “Si mulut emas”. Tidak hanya pandai berbicara,
Krisostomus juga memiliki keprihatinan dan keberpihakan kepada orang-orang
kecil dan miskin. Sang imam Tuhan ini, tidak hanya menampilkan sisi cerdas dan
religius. Ia juga berani tampil mengkritik para penguasa dan bangsawan yang
tidak memiliki standar hidup yang baik dan benar. Dengan integritas diri dan
keteladanan yang dimiliki, Krisostomus sangat dicintai dan dipuji oleh umatnya.
Setiap perkataannya pasti diikuti. Santo Yohanes Krisostomus tidak hanya
memiliki iman yang kokoh. Ia sungguh menghidupi imannya dalam
perbuatan-perbuatan nyata di tengah dunia.
Bacaan Injil hari ini mengetengahkan sebuah kisah
yang sangat menarik. Ada seorang perwira baik hati yang meminta pertolongan
kepada Yesus untuk menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Kita dapat
memastikan bahwa perwira ini sangat peduli dan mengasihi hambanya. Tidak hanya
kepada sang hamba, perwira ini juga memiliki perhatian dan kepedulian terhadap
bangsa Yahudi. Walaupun ia sendiri bukan berasal dari kalangan bangsa Yahudi.
Berdasarkan kesaksian beberapa tua-tua Yahudi, sangat jelas diketahui bahwa
sang perwira adalah seorang pribadi yang baik hati. Sehingga sangat tepat
apabila Yesus yang berasal dari golongan Yahudi harus menolong sang perwira
yang sementara mengalami kesusahan. Dengan kata lain, sang perwira non Yahudi
sangat pantas memperoleh keselamatan sebagai konsekuensi logis dari perbuatan
baik dan dedikasinya terhadap bangsa Yahudi.
Yesus tentu memberi apresiasi atas segala tindakan
baik yang dilakukan oleh sang perwira. Namun hal ini bukan menjadi titik fokus
Yesus. Ada aspek lain yang lebih mendalam dan menyentuh hati-Nya. Aspek itu
adalah iman yang teguh. Sang perwira tidak mengenal Yesus sebelumnya. Mungkin
ia hanya mendengar cerita dari orang lain. Latarnya yang bukan dari Yahudi juga
sebenarnya dapat mempengaruhi pribadinya untuk lebih bersikap ego dan apatis.
Tetapi ternyata tidak demikian. Sang perwira yang mungkin berasal dari bangsa
kafir, mampu menunjukkan iman yang teguh kepada Yesus. Ia sangat percaya bahwa
Yesus dapat menyembuhkan hambanya yang sedang sakit. Imannya yang kokoh
ternyata mempengaruhi disposisi batinnya. Ia merasa tidak pantas menerima Yesus
di rumahnya. Sebaliknya, ia juga merasa tidak layak untuk datang menemui Yesus.
Sebuah bentuk perwujudan iman yang ditunjukkan dengan sikap kerendahan hati.
Kepolosan dan kerendahan hati sang perwira ini memantik rasa kagum dalam diri
Yesus. Yesus memuji iman sang perwira dengan berkata: “Iman sebesar ini tidak
pernah Aku jumpai, sekalipun di antara orang Israel” (Luk 7:9). Sang
perwira itu pantas mendapat buah yang
baik dari imannya yang teguh. Hamba yang dikasihinya mendapat kesembuhan.
Sang perwira telah memberi pelajaran yang sangat
berharga dalam hidup iman kita sebagai orang Katolik. Bahwa yang pertama, iman
itu harus dimiliki. Karena dimiliki maka harus ada proses mengenal, memahami
dan menginternalisasikannya dalam hati. Kedua, iman itu akan menjadi hidup
apabila diwujudnyatakan dalam tindakan-tindakan konkrit. Sang perwira tidak
hanya memiliki iman yang teguh. Ia mampu mengimplementasikan buah-buah iman itu
melalui sikap kerendahan hati, keprihatinan, perhatian, kepedulian dan belas
kasih kepada orang lain yang ada di sekitarnya.
Dalam pengalaman hidup, ketika ditanya mengenai identitas
iman, mungkin kita dengan bangga menegaskan diri sebagai orang Katolik. Kita
juga menyatakan bahwa kita sungguh percaya kepada Yesus, sang guru ilahi. Akan
tetapi, dalam banyak hal, kita belum mampu menghidupi iman itu dalam
perbuatan-perbuatan konkrit. Kita masih merasa iman itu hanya dalam tataran
warisan dan belum mampu memilikinya
secara total dalam hidup. Iman yang kita miliki hanya sebatas dalam bingkai
identitas pribadi. Atau hanya sekedar memenuhi catatan dan syarat administratif
semata.
Santo Yohanes Krisostomus telah memberi inspirasi
yang berharga bahwa iman yang teguh itu bukanlah ditaruh dalam kata-kata yang
indah dan menghipnotis banyak orang. Iman yang teguh haruslah diletakkan dalam
sikap keberanian untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Orang harus
disiap dibenci, dimusuhi dan dibuang manakala berani membela hak-hak orang
kecil dan tidak takut melawan kemapanan yang sementara berkuasa.
Spirit hidup Santo Krisostomus dan kisah hidup sang
perwira dalam bacaan Injil telah membuka pikiran dan hati tentang bagaimana
memaknai esensi hidup iman kita. Iman yang kokoh tidak semestinya tinggal dalam
menara gading yang indah. Iman itu tidak egois dan apatis. Iman itu harus
mengalir dan terurai dalam ragam perbuatan atau tindakan yang baik dan benar.
Mari kita menghidupi iman lewat perbuatan-perbuatan yang konkrit untuk membawa
keselamatan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Amin. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar