Mat 19: 16-22
Sewaktu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Umum (SMU) Seminari San Dominggo Hokeng (kira-kira 21 tahun yang lalu), saya
cukup heran sekaligus mengagumi gaya hidup seorang imam yang mengabdi di
lembaga pendidikan calon iman ini. Beliau adalah mantan guru dan Pembina saya.
Nyaris setiap hari, saya memperhatikan dia selalu mengenakan baju dan celana
yang sama. Saya tidak menganggap hal ini sebagai lelucon, walaupun memang
kelihatan tidak cukup berimbang dengan rekan-rekan imamnya, yang selalu tampil dengan
warna dan model pakaian yang berbeda. Saya tidak yakin bahwa beliau tidak bisa
membeli pakaian karena alasan finansial. Karena ternyata, ia juga seorang imam
yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ia banyak membantu orang lain, terutama
seminaris tertentu yang mengalami kendala dari sisi keuangan. Akhirnya, saya
paham bahwa ada nilai atau keutamaan yang sementara dihidupi oleh sang imam.
Semangat kemiskinan menjadi salah satu unsur utama yang menonjol dari gaya
hidup sang imam ini.
Sang imam tidak hanya menjadi sosok guru dan
pembina yang baik bagi para seminaris. Ia sungguh menjadi idola dalam hidupku.
Karakter dan gaya hidup sang imam ini sangat membekas dalam perjalanan hidup
saya. Setiap kali mendengar atau mengingat namanya, pasti saya membatin bahwa
sang imam ini corak hidupnya sangat religius, santun, dan penuh kesederhanaan.
Salah satu nilai fenomenal yang terpatri dalam pola hidupnya adalah nilai
kemiskinan. Nilai ini serentak menjadi ajaran yang sangat penting dalam hidup saya
secara pribadi. Untuk menjadi penuh dalam hidup, orang harus mengosongkan
hidupnya. Orang tidak harus secara riil sungguh-sungguh miskin di hadapan Allah
dan manusia. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti orang harus memberi diri
secara total bagi sesamanya. Orang boleh memiliki harta dan kekayaan, namun
semua itu hanya menjadi media atau alat. Tidak menjadi fokus apalagi keutamaan
dalam hidup. Harta dan kekayaan menjadi sarana bagi orang untuk mewartakan
kebaikan dan kebahagiaan bagi semua orang. Demikian kira-kira, filosofi hidup
yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh sang imam melalui kesaksian hidupnya
yang sungguh nyata.
Hidup dalam gelimangan harta duniawi, ternyata
belum membawa kepenuhan hidup bagi seorang yang kaya. Dalam percakapan langsung
dengan Yesus, ia bertanya tentang perbuatan baik apakah yang harus dilakukannya
sehingga ia dapat memperoleh hidup yang kekal. Sebagai orang beragama yang
baik, Yesus menegaskan bahwa ia harus melakukan segala perintah Allah yang
tertuang dalam segala aturan dan hukum-Nya. Ternyata semua itu telah
dilakukannya. Ia masih penasaran dan merasa masih ada yang kurang dalam
hidupnya. Ia belum merasa lengkap atau sempurna dari segala hal yang telah
dilakukannya. Lalu Yesus menjawab: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah,
juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka
engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku”
(Mat 19:21).
Jawaban Yesus ini menjadi penyataan kunci dari isi
percakapan mereka, namun tidak membawa pesan yang menggembirakan bagi si orang
kaya. Ia tidak menyangka akan diberi pencerahan seperti itu. Ia merasa sangat
sedih karena memang memiliki harta yang banyak. Ia tidak tega harus menjual
segala harta miliknya dan membagikannya kepada orang miskin karena
keterikatannya yang sangat kuat dengan harta pribadinya. Hal ini yang menurut
Yesus menjadi penghalang utama bagi si orang kaya sulit untuk mendapatkan hidup
yang kekal. Orang kaya itu memang tipe seorang agamawan yang baik. Tetapi ia belum
memiliki kualifikasi sempurna sebagai anak Allah karena masih memiliki
orientasi hidup yang utama pada harta duniawi. Harta duniawi yang dimiliki
tidak membuat hidupnya menjadi penuh di hadapan Allah. Keterikatan pada harta
duniawi membuat nuraninya menjadi buta untuk berbela rasa dengan orang lain.
Ada hal menarik yang ditekankan oleh Yesus dalam
bacaan Injil pada hari ini. Yesus ingin kita tidak hanya menjadi orang Katolik
yang standar. Menjadi orang Katolik yang standar berarti kita merasa sudah sangat
puas dan layak karena sudah menjalankan segala aturan dan kewajiban agama yang
sudah ditetapkan. Kita merasa sudah layak menjadi orang Katolik apabila sudah
menjalankan aturan ibadah, berdoa dan puasa dengan baik. Seringkali kita merasa
nyaman karena tidak pernah melakukan fitnah atau mencemarkan nama baik orang
lain. Kita juga merasa benar karena tidak pernah melakukan tindakan kriminal
seperti menipu, mencuri dan membunuh. Yesus menghendaki supaya kita tidak
sekedar menjadi orang Katolik yang standar dengan hal-hal demikian. Ada nilai
atau spirit lain yang harus kita perjuangkan. Spirit itu yakni spirit
kemiskinan.
Spirit kemiskinan bukan berarti kita harus menjual
segala harta milik duniawi kemudian menjadi orang yang sungguh-sungguh miskin
secara ekonomi. Spirit kemiskinan bukan berarti pula kita tidak perlu menjadi
orang yang kaya dalam hidup. Yesus tidak pernah melarang orang untuk menjadi
kaya. Dan Yesus juga tidak menuntut orang untuk harus menjadi miskin. Yang
dipersoalkan Yesus adalah orientasi hidup yang utama pada harta duniawi
sehingga menyebabkan orang menjadi serakah dan “mati” secara sosial. Harta
duniawi menjadi fokus dan lokus terpenting. Orang tidak mau memedulikan
sesamanya karena berpikir individualis dan egoistik. Dari dimensi ini, banyak
orang Katolik yang berkategori baik dan benar, namun masih menghidupi karakter
imannya dalam level yang standar.
Menghidupi spirit kemiskinan berarti yang pertama
kita tidak menjadikan harta dan kekayaan duniawi sebagai tujuan utama hidup.
Karena dengan orientasi demikian, hanya akan memotivasi kita menjadi manusia
kalap. Manusia yang dapat menghalalkan secara cara demi mendapatkan harta
duniawi. Harta dan kekayaan sebenarnya hanya menjadi wahana perwujudan konkrit
iman kita kepada sesama. Kedua, kita mau ambil bagian dalam perhatian dan
keprihatinan terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita mau
berbagi bersama orang lain karena itulah kepenuhan hidup yang akan
menyempurnakan hidup iman kita. Sekecil apa pun bantuan yang kita berikan pasti
sungguh berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. Mari kita tidak sekedar
menjadi orang Katolik yang standar. Kita harus menjadi orang Katolik di atas
standar dengan menghidupi spirit kemiskinan dalam hidup. Semoga. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar