Selasa, 17 Agustus 2021

Menjadi Orang Katolik Di Atas Standar

Mat 19: 16-22

 

Sewaktu melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Seminari San Dominggo Hokeng (kira-kira 21 tahun yang lalu), saya cukup heran sekaligus mengagumi gaya hidup seorang imam yang mengabdi di lembaga pendidikan calon iman ini. Beliau adalah mantan guru dan Pembina saya. Nyaris setiap hari, saya memperhatikan dia selalu mengenakan baju dan celana yang sama. Saya tidak menganggap hal ini sebagai lelucon, walaupun memang kelihatan tidak cukup berimbang dengan rekan-rekan imamnya, yang selalu tampil dengan warna dan model pakaian yang berbeda. Saya tidak yakin bahwa beliau tidak bisa membeli pakaian karena alasan finansial. Karena ternyata, ia juga seorang imam yang memiliki jiwa sosial yang tinggi. Ia banyak membantu orang lain, terutama seminaris tertentu yang mengalami kendala dari sisi keuangan. Akhirnya, saya paham bahwa ada nilai atau keutamaan yang sementara dihidupi oleh sang imam. Semangat kemiskinan menjadi salah satu unsur utama yang menonjol dari gaya hidup sang imam ini.

 

Sang imam tidak hanya menjadi sosok guru dan pembina yang baik bagi para seminaris. Ia sungguh menjadi idola dalam hidupku. Karakter dan gaya hidup sang imam ini sangat membekas dalam perjalanan hidup saya. Setiap kali mendengar atau mengingat namanya, pasti saya membatin bahwa sang imam ini corak hidupnya sangat religius, santun, dan penuh kesederhanaan. Salah satu nilai fenomenal yang terpatri dalam pola hidupnya adalah nilai kemiskinan. Nilai ini serentak menjadi ajaran yang sangat penting dalam hidup saya secara pribadi. Untuk menjadi penuh dalam hidup, orang harus mengosongkan hidupnya. Orang tidak harus secara riil sungguh-sungguh miskin di hadapan Allah dan manusia. Menjadi miskin di hadapan Allah berarti orang harus memberi diri secara total bagi sesamanya. Orang boleh memiliki harta dan kekayaan, namun semua itu hanya menjadi media atau alat. Tidak menjadi fokus apalagi keutamaan dalam hidup. Harta dan kekayaan menjadi sarana bagi orang untuk mewartakan kebaikan dan kebahagiaan bagi semua orang. Demikian kira-kira, filosofi hidup yang telah diajarkan dan ditanamkan oleh sang imam melalui kesaksian hidupnya yang sungguh nyata.

 

Hidup dalam gelimangan harta duniawi, ternyata belum membawa kepenuhan hidup bagi seorang yang kaya. Dalam percakapan langsung dengan Yesus, ia bertanya tentang perbuatan baik apakah yang harus dilakukannya sehingga ia dapat memperoleh hidup yang kekal. Sebagai orang beragama yang baik, Yesus menegaskan bahwa ia harus melakukan segala perintah Allah yang tertuang dalam segala aturan dan hukum-Nya. Ternyata semua itu telah dilakukannya. Ia masih penasaran dan merasa masih ada yang kurang dalam hidupnya. Ia belum merasa lengkap atau sempurna dari segala hal yang telah dilakukannya. Lalu Yesus menjawab: “Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku” (Mat 19:21).

 

Jawaban Yesus ini menjadi penyataan kunci dari isi percakapan mereka, namun tidak membawa pesan yang menggembirakan bagi si orang kaya. Ia tidak menyangka akan diberi pencerahan seperti itu. Ia merasa sangat sedih karena memang memiliki harta yang banyak. Ia tidak tega harus menjual segala harta miliknya dan membagikannya kepada orang miskin karena keterikatannya yang sangat kuat dengan harta pribadinya. Hal ini yang menurut Yesus menjadi penghalang utama bagi si orang kaya sulit untuk mendapatkan hidup yang kekal. Orang kaya itu memang tipe seorang agamawan yang baik. Tetapi ia belum memiliki kualifikasi sempurna sebagai anak Allah karena masih memiliki orientasi hidup yang utama pada harta duniawi. Harta duniawi yang dimiliki tidak membuat hidupnya menjadi penuh di hadapan Allah. Keterikatan pada harta duniawi membuat nuraninya menjadi buta untuk berbela rasa dengan orang lain.

 

Ada hal menarik yang ditekankan oleh Yesus dalam bacaan Injil pada hari ini. Yesus ingin kita tidak hanya menjadi orang Katolik yang standar. Menjadi orang Katolik yang standar berarti kita merasa sudah sangat puas dan layak karena sudah menjalankan segala aturan dan kewajiban agama yang sudah ditetapkan. Kita merasa sudah layak menjadi orang Katolik apabila sudah menjalankan aturan ibadah, berdoa dan puasa dengan baik. Seringkali kita merasa nyaman karena tidak pernah melakukan fitnah atau mencemarkan nama baik orang lain. Kita juga merasa benar karena tidak pernah melakukan tindakan kriminal seperti menipu, mencuri dan membunuh. Yesus menghendaki supaya kita tidak sekedar menjadi orang Katolik yang standar dengan hal-hal demikian. Ada nilai atau spirit lain yang harus kita perjuangkan. Spirit itu yakni spirit kemiskinan.

 

Spirit kemiskinan bukan berarti kita harus menjual segala harta milik duniawi kemudian menjadi orang yang sungguh-sungguh miskin secara ekonomi. Spirit kemiskinan bukan berarti pula kita tidak perlu menjadi orang yang kaya dalam hidup. Yesus tidak pernah melarang orang untuk menjadi kaya. Dan Yesus juga tidak menuntut orang untuk harus menjadi miskin. Yang dipersoalkan Yesus adalah orientasi hidup yang utama pada harta duniawi sehingga menyebabkan orang menjadi serakah dan “mati” secara sosial. Harta duniawi menjadi fokus dan lokus terpenting. Orang tidak mau memedulikan sesamanya karena berpikir individualis dan egoistik. Dari dimensi ini, banyak orang Katolik yang berkategori baik dan benar, namun masih menghidupi karakter imannya dalam level yang standar.

 

Menghidupi spirit kemiskinan berarti yang pertama kita tidak menjadikan harta dan kekayaan duniawi sebagai tujuan utama hidup. Karena dengan orientasi demikian, hanya akan memotivasi kita menjadi manusia kalap. Manusia yang dapat menghalalkan secara cara demi mendapatkan harta duniawi. Harta dan kekayaan sebenarnya hanya menjadi wahana perwujudan konkrit iman kita kepada sesama. Kedua, kita mau ambil bagian dalam perhatian dan keprihatinan terhadap realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita mau berbagi bersama orang lain karena itulah kepenuhan hidup yang akan menyempurnakan hidup iman kita. Sekecil apa pun bantuan yang kita berikan pasti sungguh berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. Mari kita tidak sekedar menjadi orang Katolik yang standar. Kita harus menjadi orang Katolik di atas standar dengan menghidupi spirit kemiskinan dalam hidup. Semoga. ***AKD***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar