Minggu, 14 November 2021

Kita Tidak Menjadi Orang Buta Lagi

Luk 18:35-43

           

Hari ini kita merayakan pesta St. Albertus Agung. Albertus lahir di Lauingen, Jerman Selatan pada tahun 1206. Ia berasal dari keluarga bangsawan Bollstadt. Sejak kecil ia sangat menyukai keindahan alam. Tidak hanya itu, ia juga suka menjelajahi hutan dan sungai yang ada di daerahnya. Pengalaman ini menjadi inspirasi dalam tulisannya kelak tentang ilmu alam dan tumbuh-tumbuhan. Pendidikan tinggi ditempuhnya di Universitas Padua. Rupanya jalur pendidikan ini menjadi batu loncatan bagi Albertus untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Albertus akhirnya memutuskan untuk hidup membiara dalam ordo Dominikan. Albertus dikenal sebagai orang yang cerdas dan saleh. Karena itulah, rekan-rekan dan orang-orang sezamannya menyematkan gelar “yang agung, tiang gereja, doktor umum”kepadanya. Albertus Agung meninggal dunia pada tanggal 15 November 1280 dalam usia 87 tahun.

 

Kisah penyembuhan seorang buta oleh Yesus dalam teks Injil pada hari ini menjadi inspirasi yang menarik buat kita. Karena tidak bisa melihat, si buta hanya mengandalkan ketajaman indra pendengarannya untuk mengetahui situasi di sekitarnya. Ketika mendengar informasi tentang kehadiran Yesus dari orang-orang yang lalu lalang, secara spontanitas ia berteriak: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ada orang yang coba menghalanginya dengan menyuruh dia diam. Tetapi semakin keras ia berteriak: “Anak Daud, Kasihanilah aku!” Menyaksikan keteguhan iman dari si buta, akhirnya Yesus memelekkan mata orang buta itu sehingga ia dapat melihat.

 

Ada satu aspek penting yang menjadi kunci keselamatan dari si buta. Aspek itu adalah keteguhan iman. Walau tidak melihat sosok Yesus, namun ia begitu percaya akan mendapatkan keselamatan. Selain itu ia juga mendapat tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Ada orang yang berusaha menghalangi dia dengan menyuruhnya diam. Kalau saja ia tidak memiliki iman yang kuat, mungkin ia akan menyerah dan diam. Namun kita mendengar bahwa si buta ini semakin keras berteriak meminta pertolongan dari Yesus. Ini menjadi sinyal yang kuat bahwa si buta sangat memiliki iman yang kuat kepada Yesus. Karena keteguhan iman inilah, akhirnya si buta mendapatkan keselamatan dari Yesus.

 

Sebagai seorang pengikut Yesus, mungkin kita tidak mengalami kebutaan secara fisik. Tetapi kita mengalami kebutaan dalam hati kita. Hati kita menjadi buta terhadap pelbagai realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita bersikap apatis, tidak mau peduli, dan tidak mau tahu tatkala menyaksikan aneka hidup yang timpang dan memprihatinkan. Banyak orang yang sebenarnya sementara sakit, menderita dan mengalami kesusahan. Namun karena mata hati  telah menjadi buta, menyebabkan kita tidak mau peduli atau tidak mau tahu. Kita seringkali lebih sibuk dengan urusan pribadi. Kita acapkali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Dan tidak pernah merasa malu atau tidak tahu malu untuk menjadi batu  sandungan bagi orang lain. Di satu sisi, kita menginginkan segala sesuatu yang baik dan mudah demi kepentingan pribadi. Di sisi yang lain, kita cenderung mempersulit dan mengharapkan yang tidak baik atau tidak enak bagi orang lain.

 

Hari kita belajar dari si buta untuk tidak menjadi “orang buta” lagi. Kita memohon dengan sangat, bantuan dari Tuhan agar sudi melelehkan hati kita yang beku. Kita mau lebih bersikap peduli dan penuh semangat dalam melayani orang lain tanpa dibatasi oleh sekat-sekat. Entah itu sekat keluarga, suku, agama, golongan, atau pun kepentingan politik. Kita mau peduli dan melayani dengan hati yang tulus. Memang tidak mulus seperti yang kita pikir atau bayangkan. Pasti ada banyak tantangan yang mencoba membelokkan niat hati kita. Entah itu tantangan yang datang dari luar. Atau pun bisa tantangan yang muncul dari hati kita sendiri misalnya rasa malas, capek, bosan, dan iri hati. Dengan iman yang teguh, kita merasa yakin bahwa Tuhan akan selalu mempermudah dan melapangkan jalan hidup kita. Tuhan akan menerangi kebutaan hati kita dengan cahaya-Nya yang bernyala-nyala. Kuncinya hanya satu. Percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia.

 

Kita mungkin tidak seperti Santo Albertus Agung yang telah melakukan hal-hal besar dalam hidupnya demi memuliakan nama Tuhan di sorga. Dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, kita dapat membuktikan diri untuk bersikap terbuka dan peduli dengan situasi dan orang lain di sekitar kita. Terutama bagi mereka yang sementara mengalami sakit dan kesusahan. Jika semangat keterbukaan dan kepedulian telah merasuki pribadi, maka kita telah menjadi orang-orang hidup yang mendapatkan keselamatan dalam hidup dari Tuhan. Amin. ***AKD***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar