MENAMBAL FONDASI IMAN (Mrk 6: 1-6)
Hari ini kita memperingati pesta
Santa Agatha. Seorang gadis kristen bernama Agatha hidup di Sisilia, Italia
pada abad ketiga. Gubernur Romawi kafir mendengar kabar tentang kecantikan
Agatha dan menyuruh orang untuk membawa gadis itu ke istana untuk dijadikan
sebagai istrinya. Tapi Agatha menolak perintah sang gubernur karena ia ingin
mempersembahkan hidupnya bagi Yesus. Penolakan Agatha membuat sang gubernur
marah. Ia menangkap Agatha lalu mengirimnya kepada seorang mucikari untuk
dijadikan sebagai wanita penghibur. Tetapi sekali lagi sang gubernur menjadi
kecewa. Agatha berserah diri sepenuhnya ke dalam lindungan Tuhan dan ia berdoa
sepanjang waktu. Walau disekap dalam rumah pelacuran namun ia dapat menjaga
kesucian dirinya. Ia dapat menghindar dari semua tipu daya dan bujukan jahat
mucikari tersebut. Setelah sebulan berlalu, Agatha dibawa kembali kepada
gubernur. Sekali lagi gubernur membujuknya. “Engkau seorang wanita terhormat,”
katanya dengan lembut. “Mengapa engkau merendahkan dirimu sendiri dengan
menjadi seorang Kristen?” “Meskipun aku seorang terhormat, aku ini seorang
hamba di hadapan Yesus Kristus,” jawab Agatha. “Jika demikian, apa sesungguhnya
arti dari menjadi terhormat?” tanya gubernur. Agatha menjawab: “Melayani
Tuhan.” Ketika gubernur tahu bahwa Agatha tidak akan mau berbuat dosa, ia
menjadi sangat murka. Ia menyuruh orang mencambuk serta menyiksa Agatha.
Siksaan yang dialami Agatha sangat mengerikan. Setelah tak henti-hentinya
dicambuk, sang gubernur kemudian memerintahkan para pengawalnya untuk memotong
kedua payudara Agatha dan meletakkannya di atas sebuah piring. Ada legenda pada
jemaat kristen perdana mengatakan bahwa pada malam hari setelah payudara Agatha
dipotong, St. Petrus dan seorang malaikat Tuhan datang mengunjunginya dalam
penjara. Mereka menghiburnya dan memulihkan kembali kedua payudaranya. Agatha
wafat sebagai martir di Catania, Sisilia, pada tahun 250. Sta. Agatha dihormati
sebagai pelindung para wanita penderita penyakir kanker payuradara. Banyak doa
mohon penyembuhan yang terkabul dengan perantaraan martir suci ini.
Injil hari ini menampilkan bagaimana
Yesus ditolak di kampung halaman-Nya sendiri. Dikisahkan bahwa Tuhan Yesus
mengadakan perjalanan hingga tiba di kampung halamannya yaitu di Nazaret. Dia
menjumpai ibu-Nya, melihat rumah tinggal-Nya. Pada hari Sabat, Ia masuk ke
dalam rumah ibadat dan berlaku sebagai seorang rabi yang berkuasa dan
berwibawa. Ia mengajar di dalam rumah ibadat dan semua orang takjub kepada-Nya.
Perasaan takjub itu bukanlah menyenangkan hati Tuhan Yesus. Jemaat yang besar
itu justru bersikap skeptis dan mempertanyakan kuasa-Nya, karena mereka
mengenal Yesus dan latar belakang-Nya.
Inilah pertanyaan-pertanyaan
skeptis, ungkapan ketidakpercayaan mereka kepada Yesus: “Dari mana
diperoleh-Nya semunya itu? Hikmat apa pulakah yang diberikan kepada-Nya? Dan
mukjizat-mukjizat yang demikian bagaimanakah dapat diadakan oleh tangan-Nya?
Bukankah Ia ini tukang kayu, anak Maria, saudara Yakobus, Yoses, Yudas dan
Simon? Dan bukankah saudara-saudara-Nya yang perempuan ada bersama kita?” (Mrk
6:2-3). Karena mereka tidak percaya sehingga hanya memandang Yesus sebagaimana
adanya maka mereka kecewa dan menolaknya. Orang-orang yang menolak Yesus adalah
orang-orang Nazaret, tempat Ia dibesarkan. Reaksi Yesus adalah Ia merasa heran
dengan orang-orang sekampung halaman-Nya yang hanya melihat Yesus dengan mata
manusiawi dan tidak percaya kepada-Nya. Karena itu Ia berkata: “Seorang nabi
dihormati dimana-mana kecuali di tempat asalnya sendiri, di antara kaum
keluarganya dan di rumahnya” (Mrk 6:4). Yesus menunjukkan kuasa Allah dan
kasih-Nya kepada orang-orang di desa yang lain yang menerima dan percaya
kepada-Nya.
Saya melihat ada dua sikap berbeda
yang ditampilkan oleh para tokoh dalam bacaan Injil ini. Pertama, sikap negatif
yang ditunjukkan oleh orang-orang sekampung Yesus. Mereka menjadi
pribadi-pribadi yang arogan, iri hati, penuh dengki dan amarah terhadap Yesus.
Mereka tidak bisa mengapresiasi kharisma ilahi yang dimiliki oleh Yesus untuk
menyelamatkan banyak orang. Kedua, sikap positif yang ditunjukkan oleh Yesus
berhadapan dengan orang-orang Nazaret. Yesus tetap tenang, walaupun mungkin
dalam hati berkecamuk perasaan jengkel dan tidak suka. Yesus tidak reaktif
menanggapi sikap mereka. Ia terus bergerak mewartakan kasih Allah ke desa-desa
lain di sekitarnya.
Berangkat dari dua sikap di atas,
ada dua pesan Injil yang bisa kita refleksikan pada kesempatan ini. Pertama,
kita belajar menjadi pribadi yang bisa menerima dan menghargai segala berkat
yang kita terima dari kehidupan kita ini. Sebenarnya, tanpa kita sadari ada
banyak hal positif yang kita alami dalam kehidupan ini. Kita belajar untuk
semakin peka menyadarinya. Termasuk di dalamnya, kita memberi apreasi kepada
orang-orang yang dipakai oleh Tuhan sendiri untuk membawa berkat dalam hidup
kita. Kedua, ada banyak tantangan atau halangan yang kita hadapi sebagai
seorang murid Yesus. Terutama ketika kita hendak memperjuangkan nilai-nilai
universal seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, kesetiaan, dan sebagainya.
Ada banyak orang yang mungkin tidak merasa nyaman dengan spirit hidup yang kita
bawa. Seperti Yesus, kita tetap tenang dan tidak merasa takut untuk tetap
mewartakan nilai-nilai itu dalam hidup dan perjuangan kita sehari-hari. Kita
percaya bahwa Tuhan akan selalu ada dan menyertai setiap langkah hidup kita.
Satu pertanyaan yang mau diungkapkan
oleh Penginjil Markus bagi kita semua pada hari ini adalah apakah kita
sungguh-sungguh percaya dan mengimani Yesus sebagai Tuhan kita? Kalau kita
percaya dan mengimani-Nya maka hidup kita harus sungguh-sungguh kristiani.
Artinya kita menjadi serupa dengan Yesus dalam segala hal. Tantangan bagi kita
adalah cepat merasa puas sebagai pengikut Kristus. Kita hanya bisa
mengikuti-Nya tetapi tidak mampu
menyerupai-Nya. Mengapa demikian? Karena kita belum sepenuhnya percaya kepada
Yesus. Tuhan Yesus merasa heran karena ketidakpercayaan orang-orang sekampung
halaman-Nya. Tuhan Yesus juga merasa heran karena ketidakpercayaan orang-orang
yang mengakui dirinya kristiani tetapi hidupnya tidak kristiani. Mereka hanya
kristiani dalam KTP saja. Mereka sebenarnya tidak percaya, selalu
mempertanyakan siapakah Yesus di dalam hidup mereka, selalu kecewa ketika doa
dan permohonan tidak dikabulkan Tuhan padahal Yesus adalah satu-satu-Nya
Pengantara kepada Bapa di sorga.
Semoga kita dapat memperbaiki dan
menambal fondasi iman kita yang telah retak oleh karena sikap pesimis dan
skeptis kita akan karya Allah yang senantiasa bekerja dalam hidup kita. Semoga
kita semakin percaya dengan menjadi pribadi yang semakin peka, tahu mengucap
syukur atas segala berkat yang kita terima. Dan kita juga dapat menjadi pribadi
yang matang secara spiritual, tidak gampang menyerah dan putus asa manakala
menghadapi tantangan yang mengancam hidup iman kita. Semoga.
MATERI PENYIARAN DI RUMAH SAKIT BUKIT LEWOLEBA
Lewoleba, Rabu,
05
Februari
2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar