(Mrk 8: 22-26)
Pada awal kelas filsafat di sebuah unversitas, profesor
berdiri dengan beberapa item yang terlihat aneh di mejanya. Sebuah stoples mayonaisse kosong, beberapa batu,
kerikil dan pasir. Mahasiswa memandang benda-benda tersebut dengan penasaran.
Mereka bertanya-tanya, apa yang ingin profesor itu lakukan. Mereka mencoba
untuk menebak demonstrasi apa yang akan terjadi. Tanpa mengucapkan sepatah kata
pun, profesor mulai meletakkan batu-batu kecil ke dalam stoples mayonaisse satu persatu. Para mahasiswa
pun bingung, namun profesor tidak memberikan penjelasan terlebih dahulu.
Setelah batu-batu itu sampai ke leher stoples, sang profesor berbicara untuk
pertama kalinya hari itu.
Dia bertanya kepada para mahasiswa apakah mereka pikir
stoples itu sudah penuh. Para mahasiswa sepakat bahwa stoples tersebut sudah
penuh. Profesor itu lalu mengambil kerikil di atas meja dan perlahan menuangkan
kerikil tersebut ke dalam stoples.
Kerikil kecil tersebut menemukan celah di antara batu-batu besar.
Profesor itu kemudian dengan perlahan mengguncangkan stoples tersebut untuk
memungkinkan kerikil menetap pada celah yang terdapat di dalamnya. Ia kemudian
kembali bertanya kepada mahasiswa apakah stoples itu sudah penuh. Dan mahasiswa
kembali sepakat bahwa stoples tersebut sudah penuh.
Para
mahasiswa sekarang tahu apa yang akan sang profesor lakukan selanjutnya. Tetapi
mereka masih tidak mengerti mengapa profesor melakukannya. Profesor itu
mengambil pasir dan menuangkannya ke
dalam stoples mayonaisse. Pasir,
seperti yang diharapkan, mengisi setiap ruang yang tersisa dalam stoples. Untuk
terakhir kalinya, profesor kembali bertanya kepada para mahasiswanya; apakah
stoples itu sudah penuh. Dan jawabannya adalah sekali lagi: Ya. Profesor itu
kemudian menjelaskan bahwa stoples mayonaisse
adalah analogi untuk sebuah kehidupan manusia. Dia menyamakan batu dengan hal
paling penting dalam hidup, yakni pendidikan, kesehatan, pasangan kita,
anak-anak kita, dan semua hal yang membuat hidup menjadi bernilai.
Dia kemudian membandingkan kerikil untuk hal-hal yang
membuat hidup kita nyaman, seperti pekerjaan, rumah dan mobil. Akhirnya, ia
menjelaskan pasir adalah hal-hal kecil yang tidak terlalu penting di dalam
hidup kita. Sang profesor menjelaskan bahwa menempatkan pasir terlebih dahulu
di stoples akan menyebabkan tidak ada ruang untuk batu dan kerikil. Demikian
pula, mengacaukan hidup kita dengan hal-hal kecil akan menyebabkan kita tidak
memiliki ruang untuk hal-hal besar yang benar-benar berharga dalam kehidupan
kita (Majalah Catholic Life, hal. 2).
Hari ini
Penginjil Markus mengisahkan sebuah kisah inspiratif yakni penyembuhan orang
buta di daerah Betsaida. Ketika Yesus sampai di daerah Betsaida, orang membawa
seorang buta kepada Yesus. Kalau kita perhatikan, Yesus tidak langsung
menyembuhkan si buta. Tindakan pertama yang dilakukan Yesus adalah membawa
orang buta itu ke luar kampung. Kemudian Ia meludahi dan meletakkan tangannya
ke mata orang buta itu. Namun, orang buta itu belum melihat segala sesuatu
dengan sempurna. Obyek yang dilihatnya masih kabur. Sekali lagi Yesus
meletakkan tangan-Nya di mata orang itu.
Akhirnya mata orang buta itu menjadi sembuh dan ia dapat
melihat dengan jelas. Dari kisah Injil ini, ada tiga hal yang dapat kita
tangkap. Pertama, Yesus selalu menolong orang yang datang kepada-Nya. Kedua,
penyembuhan itu membutuhkan proses. Tidak sekali jadi. Ketiga, manusia itu
bukan sebuah pulau yang hidup sendiri. Ia hidup di atas bumi bersama orang
lain. Dan manusia tidak dapat hidup tanpa orang lain. Ia membutuhkan orang lain
agar bisa eksis dalam kehidupannya.
Mukjizat
itu anugerah dan karunia ilahi yang mengalir keluar dari kemurahan hati Allah.
Banyak mukjizat dan keajaiban akan selalu terjadi di dalam kehidupan setiap
orang sejauh orang itu rendah hati dan sadar akan kerapuhan diri serta memiliki
iman yang kokoh bahwa Allah sanggup melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Si
buta dan orang yang menghantarnya kepada Yesus, sangat percaya dengan
sungguh-sungguh bahwa Yesus pasti menyembuhkan orang buta tersebut. Kalau
mereka tidak percaya tentu mereka tidak akan pergi kepada Yesus. Orang buta
juga memiliki sikap yang rendah hati. Ia sadar dengan kerapuhan dan
kelemahannya yang dimilikinya. Walaupun proses penyembuhan itu tidak sekali
jadi, ia tetap sabar sambil mengharapkan belas kasih dari Allah melalui Yesus.
Orang yang menghantar si buta kepada Yesus menyiratkan pesan bahwa keselamatan
itu tidak dapat kita peroleh melalui usaha kita sendiri. Orang lain bisa
menjadi mediator yang membawa kita kepada keselamatan.
Ibarat stoples mayonaisse yang akan
diisi dengan batu, kerikil dan pasir. Begitu juga dengan gambaran tabung
kehidupan kita. Kita harus mengisinya dengan batu terlebih dahulu. Kemudian
baru menambahkan kerikil dan pasir. Batu-batu yang diisi adalah nilai-nilai
penting seperti nilai kerendahan hati, nilai kesabaran, dan nilai keimanan yang
kokoh akan Allah. Dengan demikian, kita tidak pernah ragu dengan mukjizat Allah
yang senantiasa terjadi dalam kehidupan kita. Kita juga harus terbuka terhadap
orang lain di sekitar kita. Karena bisa saja, Allah sementara menjadikan mereka
sebagai alat-Nya untuk menyampaikan mukjizat-Nya kepada kita. Mari kita isi
tabung kehidupan kita dengan nilai kerendahan hati, kesabaran, dan keimanan
yang kokoh. Semoga. Tuhan memberkati.
Atanasius KD Labaona
Tidak ada komentar:
Posting Komentar