Selasa, 29 Desember 2020

PEREMPUAN JANDA YANG INSPIRATIF

                                                                                 Luk 2:36-40

Ibuku adalah seorang perempuan yang menjadi kebanggaan dan inspirasi dalam keluarga. Ia sekarang berusia 62 tahun. Usia yang tidak lagi mudah. Ia telah lama menjanda sejak kepergian sang suami dan ayah kami tercinta 14 tahun yang lalu. Semenjak itu, otomatis ia menjadi seorang ibu sekaligus ayah bagi saya dan adik-adik. Dengan penuh kesabaran dan kesetiaan, ia membimbing dan menguatkan agar kami tidak putus asa dalam menggapai cita-cita. Tantangan dan kesulitan yang dialaminya sangat hebat. Tidak hanya berpikir keras tentang bagaimana mendapatkan uang untuk membiayai pendidikan kami, tetapi ia harus menghadapi berbagai cibiran, cemoohan, dan hinaan dari orang lain. Banyak orang yang tidak menyukai perjuangan dan pengorbanan ibu untuk tetap survive bersama anak-anaknya. Mereka mengganggap bahwa usaha ibu hanya sia-sia. Tidak akan mencapai kesuksesan. Ibu hanya tetap diam.

 

Dalam diam sebenarnya ia tidak diam. Kekuatan utamanya adalah menyerahkan segala beban hidup kepada Tuhan. Ia berkeyakinan bahwa Tuhan masih menguji perjalanan hidupnya. Suatu saat, ia akan mendapatkan berkat dari-Nya. Dan keyakinan ibu akhirnya mendapatkan hasil yang memuaskan. Keempat anaknya dapat menyelesaikan jenjang pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Sebuah pencapaian yang telah dilewati dengan usaha keras dan penuh perjuangan. Di samping itu, membangun kedekatan dengan Tuhan memegang peran penting. Karena tanpa bantuan Tuhan, segala usaha dan perjuangan sang ibu akan menjadi sia-sia.

 

Dalam bacaan Injil (Luk 2:36-40) pada hari ini, kita juga mengetahui ada seorang perempuan janda yang sangat inspiratif. Namanya Hana. Ia sudah sangat uzur yakni 84 tahun. Hal menarik yang digambarkan oleh Kitab Suci adalah mengenai waktu kebersamaannya dengan sang suami. Ia hanya hidup sekitar tujuh tahun bersama suaminya. Selebihnya, sampai berusia 84 tahun, ia memilih untuk tetap hidup sendiri. Tidak menikah lagi. Kita tidak mendapat informasi apakah ia mempunyai anak atau tidak. Menyandang status janda tentu bukan perkara yang mudah bagi Hana. Ia harus menghadapi banyak gosip, pelecehan, cemoohan dan hinaan. Pasti ada banyak juga godaan yang datang ketika menjanda dalam usia muda. Menginjak usia tua, hidupnya tidak luput dari berbagai pembicaraan miring dari orang lain. Namun ia tetap sabar dan setia untuk membaktikan seluruh hidupnya bagi Tuhan.

 

Penginjil Lukas menekankan sosok Hana sebagai seorang yang sangat religius. “Ia tidak pernah meninggalkan Bait Allah dan siang malam beribadah dengan berpuasa dan berdoa” (Luk 2:37). Inilah dimensi spiritual yang melekat dalam diri Hana. Doa dan berpuasa menjadi napas kehidupannya setiap hari. Ia rela menanggalkan kesenangan dan kenikmatan duniawi. Kemudian ia terus mengejar kenikmatan spiritual dengan membangun keintiman rohani bersama Tuhan. Bagi Hana, Tuhan adalah segalanya dalam hidupnya. Karena memiliki relasi yang akrab bersama Tuhan, Hana tumbuh menjadi sosok karismatik. Seseorang yang patut didengar oleh karena warta sabda dan sikap hidupnya yang selalu terarah kepada Tuhan. Ia juga bisa bernubuat, menggambarkan rencana keselamatan yang akan datang bagi umat Israel.

 

Tidak heran, Hana dikenal juga sebagai seorang nabi perempuan. Salah satu nubuatnya adalah ketika ia bertemu dengan bayi Yesus di dalam Bait Allah. Bagi orang awam, melihat bayi Yesus tentu tidak ada bedanya dengan bayi-bayi lain. Tetapi tidak bagi Hana yang memiliki karunia khusus sebagai seorang nabi. Ia mempunyai mata batin yang tajam untuk bisa meneropong bayi kudus yang bernama Yesus. Ia langsung mengucap syukur kepada Tuhan ketika bertemu dengan Yesus. Ia merasa senang, terharu dan diberkati oleh sebab masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melihat sang penyelamat manusia yang baru saja dilahirkan. Dengan mata batinnya pula, Hana mulai memberi kesaksian di tengah orang banyak tentang sosok bayi fenomenal yang telah dilihatnya. Hana dengan cermat membeberkan rencana keselamatan Allah yang mewujud dalam diri Yesus. Bayi Yesus adalah representasi Allah untuk menyelamarkan umat Israel. Berkat yang didapat oleh Hana bisa terjadi karena ia sungguh mengarahkan tujuan hidupnya bersama Tuhan. Hana menyerahkan dan mempertaruhkan raga dan jiwanya demi kemuliaan Tuhan.

 

Jamak terjadi di sekitar kita bahwa orang rela bekerja dengan giat, berjuang keras dan berkorban dengan total untuk mendapatkan harta duniawi. Hal ini terjadi karena parameter yang dipakai soal kebahagiaan terletak di dalam harta duniawi. Orang merasa atau berpandangan bahwa kebahagiaan hidup akan tercapai apabila orang mau mencari dan menumpuk aneka harta duniawi yang dinginkan. Bahkan tidak jarang, orang rela menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Misalnya dengan cara melakukan tindakan korupsi. Orang nekat mengambil uang yang bukan menjadi haknya. Lalu memanfaatkan uang tersebut untuk membeli barang-barang yang bisa menjamin kebahagiaannya. Atau orang mau memanfaatkan keluguan dan kebodohan sesamanya untuk mengeruk keuntungan pribadi dan keluarganya.

 

Realitas membuktikan bahwa kebahagiaan tidak bisa ditentukan oleh harta duniawi yang banyak dan mahal. Ada banyak pengalaman yang mengungkapkan kekosongan dalam hidup seseorang justru terjadi ketika ia memiliki banyak harta. Walaupun tidak sepenuhnya benar. Orang cenderung menjadi pribadi yang ego. Lebih mementingkan pribadinya daripada orang lain. Bahkan Tuhan tidak menjadi penting dan fokus dalam hidupnya. Ketika timbul sedikit tantangan, orang gampang mencari kambing hitam pada sesamanya. Orang mudah mengalami depresi, stress dan putus asa karena hanya mengandalkan dirinya. Padahal ia dikelilingi oleh harta yang begitu banyak.

 

Hari ini kita belajar dari Hana untuk lebih melihat dimensi lain yang lebih penting dalam hidup kita. Sebenarnya kita harus lebih fokus dan serius untuk menghidupi kehidupan spiritual dalam hidup kita. Kita harus menyiram kembali taman rohani kita yang telah menjadi kering akibat sikap ego, apatis dan arogansi pribadi. Kita harus mendayung perahu iman lebih ke dalam lagi untuk dapat bertemu Tuhan dalam kesendirian dan keheningan waktu. Sang Bayi mungil telah lahir di dalam hati kita masing-masing. Oleh karena itu, mari kita jaga kekudusan-Nya dengan tidak pernah bosan membangun sikap doa dan integritas pribadi yang baik dalam hidup kita sehari-hari. Pada akhirnya, dengan mata batin yang tajam kita akan mampu mellihat dan mengalami kehendak Tuhan yang menyata dalam hidup kita. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Minggu, 20 Desember 2020

PERJUMPAAN YANG MENEGUHKAN

Luk 1:39-45

Pengalaman perjumpaan dengan orang lain biasanya meninggalkan kesan unik, menarik, dan sulit untuk dilupakan. Apalagi kita berjumpa dengan orang-orang yang memiliki tempat istimewa di hati kita. Dipisahkan oleh sekian waktu dan jarak, membuat suasana perjumpaan kita dengan orang lain semakin bermakna. Mungkin ada tangis, tawa, canda yang membumbui percakapan penuh kerinduan. Jauh di atas perasaan gembira yang kita alami, sebenarnya pengalaman perjumpaan dengan orang lain juga bisa meneguhkan dan menguatkan rasa persaudaraan dan solidaritas kita sebagai sesama manusia. Dalam dimensi spiritual, pengalaman perjumpaan dimaknai sebagai sebuah gerakan roh untuk mengalami kasih Tuhan yang nampak dalam diri sesama.

 

Pengalaman perjumpaan yang bermakna dan membawa berkat juga dialami oleh Maria. Kunjungan persaudaraan dari Maria kepada Elisabet saudarinya, ternyata bukan sekedar kunjungan biasa. Setelah menerima pesan dari malaikat Tuhan bahwa ia akan mengandung dari roh kudus, Maria juga mendapat informasi lanjutan tentang Elisabet yang sementara mengandung di bulannya yang keenam. Maria percaya bahwa oleh campur tangan Tuhan, segala hal yang tidak mungkin di mata manusia pasti menjadi mungkin. Dan oleh gerakan roh Tuhan pula, Maria memutuskan untuk pergi mengunjungi saudarinya tersebut.

 

Ketika Maria masuk ke dalam rumah dan memberi salam, melonjaklah anak yang sementara dikandung Elisabet. Oleh karena Maria sudah berada dalam naungan roh kudus, Elisabet dan anak yang dikandungnya juga mendapat kesempatan untuk menerima  berkat itu. Gerakan refleks sang bayi dalam kandungan, membuat Elisabet terkejut dan dengan spontan berkata: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (Luk 1:42). Elisabet menyadari bahwa sosok Maria yang datang mengunjunginya kali ini bukanlah sosok Maria yang biasa-biasa saja. Maria sungguh berada dalam naungan roh Tuhan. Dengan kata lain, Maria telah dijaga dan dipenuhi oleh sebuah rencana Tuhan yang masih berselimut misteri. Dalam kekagumannya kepada Maria, Elisabet hanya berujar: “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (Luk 1:45).

 

Perjumpaan Maria dan Elisabet membawa berkat tersendiri bagi Elisabet. Elisabet adalah istri dari Zakharia, seorang imam dari suku Lewi. Ia menjadi pelayan Tuhan di Bait Allah. Dalam masa tuanya, pasangan suami istri ini mendapat anugerah dari Tuhan untuk segera memiliki anak. Sesuatu yang mustahil terjadi untuk seorang perempuan seperti Elisabet. Dalam keragu-raguan akan rencana Tuhan tersebut, Elisabet beroleh berkat berlimpah melalui kunjungan Maria. Maria datang dan memberi energi tambahan yang membuat Elisabet tidak ragu-ragu lagi dengan kehendak Tuhan yang menyata dalam dirinya. Elisabet sungguh diteguhkan dan dikuatkan dalam percakapan kehidupan dan sharing rohani bersama saudarinya Maria.

 

Tidak hanya Elisabet. Efek positif dari perjumpaan dua orang saudari itu mengalir juga dalam diri Maria. Maria juga diteguhkan dan dikuatkan untuk semakin memahami rahasia Tuhan yang sementara bekerja dalam dirinya. Sebuah rahasia yang penuh misteri. Tidak pernah bisa dipahami oleh kaca mata manusia. Termasuk Maria sendiri. Tetapi oleh karena ketaatan yang total pada kehendak Tuhan, Maria mau menjalaninya dengan penuh kesetiaan. Perjumpaannya dengan Elisabet, semakin meyakinkan Maria untuk tetap setia dan mendukung misi keselamatan Tuhan bagi umat manusia. Percakapan kehidupan dan sharing rohani membawa dua saudari, Maria dan Elisabet, untuk saling mendukung dan menguatkan dalam karya kehidupan mereka di tengah keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu, melalui pengalaman iman yang tidak bisa dipahami secara manusiawi, kedua insan ini semakin percaya akan kehendak Tuhan dan mau mendukung-Nya dengan sikap iman yang teguh.

 

Beriman teguh dan total kepada Tuhan dapat kita bangun dalam sikap vertikal kepada-Nya. Sikap vertikal menuntut kita untuk taat menjalankan segala ritus, aturan dan kewajiban agama. Misalnya melalui pelaksanaan doa, puasa, devosi, dan berbagai sakramen yang kita imani. Melalui sikap-sikap demikian, kita sementara menarik diri kita secara personal untuk semakin dekat dengan Tuhan. Kita berusaha mengumpulkan dan memperkaya diri kita secara spiritual agar sungguh pantas mendapat kemuliaan dalam nama-Nya. Sikap iman secara vertikal ini menciptakan kenyamanan dalam diri kita. Dan kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang sungguh beriman kepada Tuhan. Namun di sisi lain, kita hendaknya jangan melupakan perwujudan sikap iman melalui perjumpaan secara sosial bersama orang lain.

 

Pengalaman perjumpaan bersama orang lain adalah pengalaman perwujudan iman secara horisontal. Melalui pengalaman perjumpaan bersama orang lain, kita dapat melihat dimensi lain dari Allah yang terepresentasi dalam diri sesama. Di dalam perjumpaan itu kita bisa saling berbagai cerita untuk saling meneguhkan dan menguatkan satu sama lain. Kita tidak bersikap ekslusif dengan menutup diri, namun tetap terbuka untuk hadir dan berbagi bersama mereka dalam berbagai hal yang positif. Ada banyak orang yang mungkin saja sementara mengalami kesusahan, penderitaan dan keterpurukan. Kehadiran kita tentu bisa menguatkan agar mereka tidak putus asa. Mereka tidak hanya cukup mengandalkan kekuatan pribadi sebagai manusia. Melainkan menyerahkan sepenuhnya hidup mereka ke dalam penyelenggaraan ilahi.

 

Sebaliknya kehadiran sesama dalam sebuah perjumpaan merupakan alat Tuhan untuk menjadikan pribadi kita semakin beriman kepada-Nya. Kita semakin memahami bahwa Tuhan tidak hanya hadir dalam ruang-ruang tertutup. Tetapi dalam pengalaman perjumpaan yang menuntut sikap terbuka, Tuhan turut hadir untuk menguatkan simpul-simpul keimanan kita kepada-Nya. Mari kita memaknai pengalaman perjumpaan untuk saling meneguhkan satu sama lain. ***Atanasius KD Labaona***

Selasa, 15 Desember 2020

SEMAKIN MEMAHAMI RAHASIA TUHAN

Luk 7: 19-23

Saya sungguh terkesan dengan model hidup yang ditampilkan oleh seorang ibu di dalam komunitas tempat saya tinggal. Ia seorang yang sangat religius. Tidak hanya aktif dalam menjalankan berbagai ritus agama, beliau juga sangat peka dalam kehidupan sosial. Dengan keramahan dan kemurahan hatinya, ia membantu banyak orang yang berkekurangan atau pun mengalami keterpurukan dalam hidup. Sang ibu ini tidak hanya beriman teguh kepada Tuhan. Ia sungguh menghidupi imannya itu dalam kehidupan praksis di tengah umat. Dalam satu kesaksian pribadi, ia mengatakan bahwa percaya dan mengikuti Tuhan bukan berarti bebas dari tantangan dan hambatan. Malahan semakin mendapat banyak cobaan dan tantangan. Tidak sedikit kesulitan dan keterpurukan yang sungguh menantang imannya kepada Tuhan. Tetapi tidak menyurutkan sikap imannya untuk tetap percaya pada kehendak Tuhan. Ia berkeyakinan bahwa Tuhan sementara menunjukkan kemuliaan-Nya dalam kegagalan dan penderitaan hidup yang dialaminya. Karena di balik semua itu, ada desain khusus yang sementara disiapkan oleh Tuhan dalam hidupnya.

 

Tantangan dan hambatan dalam hidup iman juga dialami oleh Yohanes Pembaptis yang sementara berada di dalam penjara. Ketika mendengar segala hal tentang Yesus, ia menyuruh dua orang muridnya untuk pergi mengkorfirmasi secara langsung kepada Yesus. “Engkaukah yang akan datang itu atau haruskah kami menantikan seorang lain? (Luk 7:19)” Yohanes merasa ragu-ragu dan sepertinya tidak percaya dengan Yesus. Apakah benar Yesus itu Mesias yang sementara dinantikan atau bukan. Yohanes mengalami mispersepsi tentang eksistensi Mesias. Yang ada dalam benaknya, Mesias yang datang itu seperti raja Daud, memiliki kekuasaan duniawi, mempunyai bala tentara yang mumpuni untuk mengalahkan musuh. Tujuan kedatangan Mesias untuk menegakkan kerajaan duniawi. Ini cara pandang Yohanes akan Yesus yang mengalami disorientasi.

 

Keraguan-raguan Yohanes akan Yesus inilah yang menjadi tantangan atau hambatan bagi dirinya untuk percaya bahwa Yesus itu Mesias yang sementara dinanti-nantikan umat Israel. Kehadiran Yesus yang mewartakan kemurahan hati, semangat kasih dan pengampunan kepada dunia menjadi ciri khas perwujudan kerajaan ilahi. Jauh berbeda dengan perwujudan kerajaan duniawi sebagaimana dimengerti oleh Yohanes Pembaptis. Yesus datang menjunjung revolusi akhlak agar umat manusia bisa terbebas dari ikatan dosa dan menggapai keselamatan surgawi.

 

Merespon rasa penasaran dan keragu-raguan Yohanes, Yesus memberi jawaban kepada para murid Yohanes: “Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar; orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (Luk 7:22). Pernyataan Yesus itu sesuai dengan nubuat yang disampaikan oleh nabi Yesaya: “Katakanlah kepada orang-orang yang tawar hati: Kuatkanlah hati, janganlah takut! Lihatlah, Allahmu akan datang dengan pembalasan dan dengan ganjaran Allah. Ia sendiri datang menyelamatkan kamu! Pada waktu itu mata orang-orang buta akan dicelikkan, dan telinga orang-orang tuli akan dibuka (Yes 35:4-5). Dengan kesaksian akan diri-Nya yang dibeberkan secara terang benderang, Yesus ingin membuka pikiran dan hati Yohanes Pembaptis untuk dapat memahami Diri dan kehendak-Nya dengan benar. Bahwa Yesus adalah sungguh-sungguh Mesias, Anak Allah yang hidup. Tidak ada keraguan sedikit pun dengan apa yang sementara dilakukan oleh Yesus untuk menegakkan Kerajaan Allah di muka bumi.

 

Acapkali kita seperti Yohanes Pembaptis yang meragukan bahkan tidak percaya dengan kehendak Yesus yang telah menyata dalam hidup kita. Di satu sisi, kita begitu bergembira dan bahagia manakala ada kesuksesan dan keberhasilan yang menghampiri hidup. Kita tidak ragu mengucap syukur dan berdoa kepada Tuhan atas anugerah yang kita terima. Di lain sisi, kita gampang merasa tidak berdaya dan cepat putus asa ketika dibenturkan dengan pengalaman kegagalan dan keterpurukan dalam hidup. Seringkali kita juga mempertanyakan eksistensi Tuhan. Benarkah Tuhan sungguh hadir dalam hidup kita. Atau tidak sama sekalih. Kalau Tuhan ada mengapa saya mengalami kegagalan dan keterpurukan. Kita gampang menggiring Tuhan seturut pikiran dan kehendak kita sendiri. Kita tidak mau, bahkan melakukan protes keras tatkala kita mengalami Tuhan yang tidak selaras dengan kemauan, keinginan, kebutuhan dan kehendak kita. Imbasnya, kita mengalami kekeringan rohani karena meragukan eksistensi Tuhan.

 

Hari ini kita sungguh-sungguh diteguhkan untuk tidak ragu-ragu lagi dengan Tuhan dan segala kehendak-Nya yang terjadi dalam hidup kita. Tuhan sudah merancang hidup kita dengan baik. Kebaikan Tuhan tidak hanya terdeskripsi dengan segala hal yang baik dan positif, tetapi di dalamnya ada juga dimensi kegelapan dan kekelaman yang menyelimuti. Keberhasilan dan kesuksesan yang kita alami dalam hidup membuktikan bahwa Tuhan itu mahamurah yang rela membagi-bagikan aneka kebaikan dan kenikmatan hidup untuk kita. Tuhan sebenarnya mengintervensi juga segala kegagalan, kepahitan dan keterpurukan yang kita alami. Justru dalam hal demikian, kita sementara didewasakan dan dimatangkan dalam iman agar kita tetap teguh dan percaya kepada-Nya. Oleh karena itu, jangan pernah cemas ketika kita dirundung kegetiran dan kepahitan dalam hidup karena Tuhan sementara mematangkan hidup iman kita. Sehingga kita bisa menjadi pribadi tangguh dalam menghidupi iman kita di tengah dunia. Selain itu, Tuhan sementara merancang sesuatu yang lebih baik yang tidak pernah kita prediksi atau duga-duga.

 

Kini kita telah memasuki masa adven yang ketiga. Semoga kita semakin memahami rahasia Tuhan yang senantiasa berkarya dalam hidup agar kita tidak ragu-ragu untuk semakin percaya kepada-Nya. Mari kita selalu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan membaca, meresapi dan melaksanakan Firman-Nya dalam hidup. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***

 

Minggu, 13 Desember 2020

BERUBAH KARENA KUASA TUHAN

Mat 21:23-27

Hari ini kita memperingati Santo Yohanes dari Salib (San Juan de la Cruz). St. Yohanes dari Salib adalah seorang pastor karmelit Spanyol yang lahir di desa kecil dekat Avila (24 Juni 1542). Ia melakukan pembaruan rohani di ordonya dan mengalami penderitaan karena ditentang oleh saudara-saudara setarekat. Ia ditawan, disiksa, dipenjara dan bahkan mengalami isolasi berat. Namun dia tetap bertahan dan tidak pernah menyerah. Berkat perjuangan dan pengorbanannya ia berhasil mereformasi kehidupan rohani di dalam tarekatnya. Hasil pembaruannya diakui kemudian oleh ordo dan juga gereja. Santo Yohanes juga mendapat pengalaman mistik yang luar biasa ketika berada dalam ruang penjara. Ia mendapat hikmat ilahi untuk menulis berbagai buku rohani. Santo Yohanes meninggal pada tahun 1591. Santo Yohanes dari Salib memberi inspirasi kepada kita semua untuk membarui kehidupan rohani kita. Ia menantang kita untuk berani menjadi baru. Berani berubah menjadi lebih baik (Buku Berjalan Bersama Sang Sabda, hal 478).

 

Para elit agama yang terdiri dari imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi dalam bacaan hari ini (Mat 21:23-27) mempertanyakan kuasa yang dimiliki oleh Yesus. Memang bukan tanpa dasar mereka menggugat legitimasi yang melekat dalam diri Yesus. Mereka sudah menyaksikan banyak hal spektakuler yang diperbuat oleh Yesus. Dengan kuasa yang dimiliki, Yesus mengajar berbagai hal yang tampak baru dan aneh menurut mereka, tetapi sungguh menyejukkan hati banyak orang. Yesus juga membuat aneka mukjizat. Ia mengusir roh jahat, menyembuhkan orang sakit, membangunkan orang lumpuh, dan sebagainya. Puncak kekesalan dan kemarahan ketika mereka menyaksikan Yesus mengusir para pedagang yang berjualan di pelataran Bait Allah (Mat 21:12-17).

 

Akumulasi rasa penasaran dan kesal inilah yang mendorong mereka datang dan mempertanyakan dengan kuasa apa Yesus melakukan semua itu. Yesus menjawab dengan mengajukan pertanyaan juga kepada mereka. Apabila mereka mampu menjawabnya, barulah Dia bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Yesus meminta mereka untuk menjawab dari manakah asal baptisan Yohanes. Apakah dari sorga atau manusia. Sebuah pertanyaan yang cerdas dan menjebak. Para pemimpin agama Yahudi tampak kebingungan dan tidak menyangka akan “diserang” seperti itu. Mereka pun mulai sibuk mencari jawaban yang tepat untuk meloloskan diri. Seandainya mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes dari sorga maka mereka mengungkapkan kebodohan dan kekonyolan diri mereka sendiri. Dengan baptisan dari air saja mereka bisa mengakui kuasa Allah yang ada dalam diri Yohanes. Lalu bagaimana dengan Yesus yang melakukan segala hal lebih besar dari Yohanes. Mereka kemudian memikirkan alternatif jawaban berikut. Seandainya mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes berasal dari manusia, maka sebenarnya mereka sementara menyerahkan diri mereka untuk “dihajar” oleh orang banyak. Pada akhirnya para pemimpin agama Yahudi tidak menemukan jawaban yang akurat sebagai prasyarat untuk mendapat jawaban dari mana kuasa atau legitimasi yang dimiliki Yesus.

 

Yesus juga tidak memberikan sebuah jawaban yang eksplisit tentang kuasa yang Ia gunakan. Sebenarnya dengan melihat Yesus dan segala hal yang telah dilakukan, para pemimpin agama Yahudi sudah bisa memastikan jenis kuasa yang dimiliki oleh Yesus. Namun karena kesombongan dan kekerasan hati, mereka tidak mampu menangkap dan mengakui kuasa ilahi yang ada dalam diri Yesus. Hal ini kontras dengan yang dirasakan oleh orang banyak, yang mau membuka hatinya kepada Yesus. Mereka betul-betul merasakan pancaran kuasa ilahi yang keluar dari dalam Diri Yesus. Karena kerendahan hati yang dimiliki, banyak orang menjadi percaya dan diselamatkan.

 

Dewasa ini, tidak sedikit orang Katolik yang mulai mempertanyakan iman mereka akan Yesus. Ada saja kalkulasi logis yang disampaikan. Kalau saya mengikuti Yesus, apa yang saya dapatkan. Kalau tidak mengikuti Dia, konsekuensi apa yang saya terima. Banyak keberhasilan dan kesuksesan diklaim sebagai hasil usaha sendiri. Dan bukan atas campur tangan ilahi. Ketika mendapat sedikit tantangan dan kesulitan hidup, eksistensi Tuhan dipertanyakan. Imbasnya, banyak orang Katolik yang sudah tidak lagi menjaga dan menghidupi imannya dengan baik dan benar. Mereka menjadi apatis dengan kehidupan rohani atau spiritualnya. Dengan atau tanpa Tuhan, mereka bisa menjalani dan menghidupi hidup mereka sendiri. Mungkin ini filosofi hidup baru yang menegaskan relativisme hidup kaum beriman di masa kini.

 

Saya tergugah dengan sebuah pengalaman yang terselip dari peristiwa erupsi gunung berapi di wilayah Kabupaten Lembata. Pada hari awal gelombang pengungsian yang bergerak ke kota Lewoleba, tampak seorang ibu paruh baya yang memegang salib dan menggendong patung Bunda Maria. Dia tidak membawa barang-barang pribadi selain harta paling mulia yang sedang berada dalam dekapan tangannya. Sebuah adegan kehidupan yang riil dan orisinal. Penampakan unik ini bagi saya bukan sebuah peristiwa biasa. Ada sebuah pesan iman yang secara tidak langsung sedang dihembuskan oleh sang sang ibu. Bahwa dalam kesulitan dan kekalutan akibat sebuah peristiwa alam yang mengancam nyawa, hendaknya kita tetap kuat untuk percaya dan selalu menyerahkan hidup ke dalam perlindungan Tuhan. Kita tidak perlu meragukan kuasa Tuhan. Tuhan sudah merancang segala sesuatu untuk terjadi; termasuk di dalamnya erupsi gunung berapi. Namun, satu hal yang pasti, Ia tidak pernah akan meninggalkan kita. Walaupun kita meninggalkan Dia, Tuhan tidak pernah sedikit pun berpaling untuk datang menyelamatkan hidup kita.

 

Semoga di masa adven yang ketiga ini, pikiran dan hati kita benar-benar berubah untuk semakin percaya akan kuasa Tuhan yang senantiasa ada dalam hidup kita. Ia tetap ada dalam setiap ruang dan waktu hingga kini karena Ia penuh kuasa ilahi. Tanpa Tuhan, kita tidak berdaya. Dengan Tuhan, kita sungguh berdaya untuk memaknai seluruh ziarah hidup kita di dunia ini. ***Atanasius KD Labaona***

Minggu, 06 Desember 2020

KUALITAS IMAN KOMUNITER

Luk 5:1-26

 

Erupsi gunung Ile Lewotolok yang terjadi di Kabupaten Lembata masih dalam status siaga level III. Gejolak fluktuatif berupa semburan material dari perut gunung api tersebut masih sering terjadi. Hal ini menjadi isyarat alam bahwa para penduduk yang berdiam di kaki dan lereng gunung itu masih jauh dari kata aman. Mereka harus tetap berada di lokasi pengungsian sampai keadaan menjadi tenang dan normal kembali. Dimensi menarik lain yang perlu ditelisik dari bencana alam kali ini adalah kuatnya rasa solidaritas yang ditunjukkan oleh semua orang terhadap para korban erupsi gunung Ile Lewotolok. Tidak hanya orang-orang yang berada di dalam wilayah Kabupaten Lembata, tetapi juga berbagai kalangan lintas batas yang berada di luar Pulau Lembata.

 

Rasa solidaritas ini hanya bermuara pada satu kepentingan yakni kepentingan kemanusiaan. Orang-orang yang menunjukkan simpatinya hanya menginginkan agar saudara-saudari mereka yang terkena imbas bencana tidak terus larut dalam kesulitan dan penderitaan. Banyak bantuan yang datang berupa sumbangan makanan, pakaian dan sumbangan material lainnya. Namun yang lebih penting adalah kehadiran orang-orang yang memberi kekuatan moril agar saudara-saudari yang tertimpa masalah tidak putus asa dan tetap bersemangat melanjutkan hidup mereka.

 

Suatu saat ketika Yesus sedang mengajar orang banyak di dalam sebuah rumah, datanglah beberapa orang sambil memboyong seorang yang lumpuh untuk bertemu dengan Yesus. Banyaknya orang yang berdesakan menyebabkan pintu rumah tidak bisa diakses. Oleh karena itu, para pengusung si lumpuh memutuskan untuk membongkar atas rumah. Kemudian mereka menurunkan si lumpuh tepat di hadapan Yesus. Tindakan yang nekat ini mengagetkan semua orang. Termasuk juga Yesus. Hanya untuk memperoleh kesembuhan, mereka rela melakukan tindakan yang tidak lazim.

 

Menyaksikan penampakan yang tidak biasa tersebut, secara spontanitas Yesus mengatakan: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni (Luk 5:20).” Kalau kita mencermati pernyataan Yesus, terasa tidak masuk akal. Tidak nyambung dengang intensi utama dari si lumpuh dan para pengusungnya. Mereka datang untuk mencari kesembuhan fisik bukan mengharapkan dosa mereka diampuni. Di sinilah letak wibawa atau kuasa ilahi yang maha dasyat. Yesus datang tidak sekedar untuk menyembuhkan orang secara fisik. Yang lebih utama adalah menyembuhkan orang-orang dari dosanya. Selamat dari dosa memiliki gradasi yang lebih tinggi dari keselamatan secara fisik. Orang harus sehat dari dosa-dosanya, barulah kemudian, ia mendapat kesehatan secara fisik. Dan konsep ilahi inilah yang sungguh-sungguh diimplementasikan oleh Yesus. Orang lumpuh itu menjadi sembuh dari sakitnya. Ternyata, ia tidak sembuh sendirian. Bersama-sama dengan para pengusungnya mereka mendapatkan kesembuhan dari dosa-dosa oleh karena iman akan Yesus.

 

Ada aspek lain yang sungguh diapresiasi oleh Yesus. Si lumpuh yang telah sembuh tidak hanya berkat imannya secara personal kepada Yesus. Ia menjadi selamat karena pertolongan atau bantuan dari orang lain. Melalui iman dari orang-orang yang menghantarnya, turut memberikan kontribusi bagi keselamatannya. Yesus hendak mengafirmasi kehidupan iman komuniter yang ditunjukkan oleh para sahabat si lumpuh. Penginjil Markus dan Lukas mencatat bahwa iman dari teman-teman si lumpuh inilah yang mendorong Yesus mengucapkan sabda pengampunan. Kisah ini merupakan satu-satunya kisah dalam Injil yang memperlihatkan seorang dewasa disembuhkan berkat iman orang lain. Suatu kesaksian mengenai ikatan iman yang terbentuk di kalangan pengikuti Yesus (Tafsir Alkitab PB, hal. 125).

 

Menghidupi iman secara personal itu memang penting. Namun akan menjadi lengkap apabila orang beriman sungguh-sungguh menyadari panggilan imannya dalam hidup komunitas. Manusia tidak hidup sendiri. Ia hidup bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah komunitas. Ia tidak mungkin membereskan atau menyelamatkan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Termasuk juga dalam kehidupan iman. Ia membutuhkan doa dan aktualisasi nyata iman dari orang lain untuk menyelamatkan hidupnya.

Sepenggal kisah dari erupsi gunung Ile Lewotolok mengisahkan ciri khas hidup iman yang berciri komuniter. Entah sadar atau tidak, tetapi berbagai wujud solidaritas yang diberikan adalah aktualisasi iman kepada Tuhan yang sungguh nyata. Entah apa pun agamanya. Iman kepada Tuhan itu tidak hanya sekedar menyata dalam ritus-magis suatu agama, tetapi yang lebih penting adalah menghidupi iman itu dalam aksi-aksi kehidupan yang membawa kesembuhan dan keselamatan bagi orang lain.

 

Kisah si lumpuh dan para sahabatnya, tidak hanya menguatkan simpul kehidupan iman kita secara personal kepada Tuhan. Kisah ini mengajarkan sekaligus meneguhkan panggilan hidup iman kita secara kolektif di mana saja kita berada. Di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja atau pun di lingkungan mana saja, tempat kita menjejakkan eksistensi pribadi kita. Panggilan hidup iman kristiani yang berciri komuniter hendaknya selalu kita tonjolkan. Kita tidak mungkin berdiam diri manakala ada saudara dan saudari kita yang sementara mengalami kesulitan atau penderitaan. Sikap iman komuniter selalu mendorong dan membimbing agar kita dengan sukarela dan hati yang tulus mau memberikan uluran tangan dalam berbagai wujud kepada mereka tanpa mengharapkan pamrih (balas jasa).

 

Kini kita telah memasuki masa adven minggu yang kedua. Semoga kita bisa memperbaiki kualitas hidup iman komuniter dengan menunjukkan kepekaan sosial kita kepada orang lain. Dengan demikian, diri kita semakin dipantaskan untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat di hari Natal nanti. Karena Ia yang telah melihat kita telah bersabda: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni”. ***Atanasius KD Labaona***

 

Senin, 30 November 2020

Anugerah Pengertian Akan Kebenaran Rohani

Yes 11:1-10 & Luk 10:21-24

Nabi Yesaya meramalkan suatu dunia baru di masa depan yang akan dipimpin oleh sang Tunas baru yang timbul dari tunggul Isai, ayah Daud. Di bawah kepemimpinannya, dunia ini akan dipulihkan dan diubah kepada kebenaran, keadilan, kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan.


Awal penggenapan ramalan ini terpenuhi tujuh ratus tahun sesudahnya ketika Yesus Kristus lahir ke dunia dan penyempurnaannya baru terealisasi sesudah Yesus datang kali kedua untuk mengadili dunia ini dengan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.


Sekalipun awal penggenapan ramalan Yesaya ini sudah terpenuhi, namun tidak semua orang mampu melihat dan menerima kebenaran ini. Menurut Injil Lukas, hanya orang-orang yang rendah hati sajalah kepada mereka Tuhan anugerahkan pengertian dan mata iman untuk melihatnya. Dan orang-orang itu bukan dari kalangan cerdik pandai dan bijak bestari, melainkan orang-orang kecil dan sederhana.


Orang-orang bijak sudah merasa penuh dengan pengetahuannya dan dalam rasa superioritas atas pengetahuannya mereka memandang diri dapat menemukan keselamatannya sendiri. Mereka menolak untuk menerima kebenaran dari Allah sendiri, dari firman yang disampaikan-Nya dengan konsekuensi disingkirkan dari persekutuan dan pengenalan akan Yesus Kristus.


Penginjil Lukas sebaliknya mengisahkan bahwa Yesus bergembira dan dipenuhi dengan sukacita karena Allah yang dipanggil-Nya sebagai Bapa itu telah menganugerahi pengertian akan kebenaran rohani kepada para murid-Nya, orang-orang kecil dan sederhana. Misteri keselamatan Allah dinyatakan kepada mereka yang sudah sejak semula dalam kesederhanaan hidup membuka hati mereka bagi panggilan Yesus dan mau dijadikan sebagai penjala manusia.


Yesus kemudian memerluas anugerah pengertian akan kebenaran roahani kepada semua orang kecil yang rendah hati ketika Ia berkata: “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat” (Luk 10:23). Artinya, bukan hanya kepada para murid di sekeliling kehidupan Yesus pada waktu itu, melainkan kepada semua orang yang sederhana dan membuka hatinya kepada firman Allah akan melihat dengan terang misteri keselamatan Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus.

 

Kepada orang-orang demikian Yesus menyatakan kepedulian dan keberpihakan-Nya. Ia membawa mereka semua dalam doa syukur kepada Bapa-Nya. Tidak hanya itu, orang-orang kecil, rendah hati dan terbuka itulah yang akan dibawa oleh Yesus sendiri untuk mendapatkan bagian dalam kehidupan dunia baru yang telah dipulihkan-Nya. Mereka akan mengalami sukacita yang paripurna dan sukacita itu tidak akan pernah diambil dari mereka.


Kita telah mengambil bagian dalam kemuridan Yesus yang memberikan kita garansi untuk mengambil bagian dalam kehidupan dunia baru. Keadaan dunia baru itu sudah dan sedang kita alami. Namun karena kepenuhannya masih akan terjadi kelak dan kenyataan bahwa dunia ini masih ditandai dengan berbagai pengalaman yang menantang iman, maka kita dituntut bagaimana seharusnya menunjukkan keterbukaan hati kita terhadap anugerah rohani.

 

Kerendahan hati menyadarkan kita bahwa kita tetap membutuhkan anugerah Allah yang menopang perjuangan kita sambil kita menantikan kepenuhan dunia baru. Kita tidak pernah merasa cukup dan bangga atas apa yang telah kita punyai, apalagi merasa bijak dan pandai, melainkan terbuka untuk menerima anugerah pengertian atas kebenaran rohani yang Ia nyatakan dalam sabda-Nya maupun dalam firman kehidupan.


Keterbukaan hati membuat kita mampu menerima anugerah rohani untuk melihat misteri keselamatan Allah yang sedang bekerja dan itulah kekuatan dasar yang meneguhkan hati kita untuk melampaui tantangan yang kita alami sementara kita menanti kepenuhan hidup dalam sukacita dan damai sejahtera.


Untuk itu maka marilah kita belajar menjadi murid Tuhan yang rendah hati, menunjukkan sikap hidup yang sederhana dan merasa bergantung akan penyelenggaraan ilahi. Kita pasti akan mendapatkan anugerah pengertian untuk melihat misteri keselamatan Allah dan digerakkan untuk menunjukkan sikap hidup seorang murid Tuhan yang selalu siap menantikan kepenuhan hidup dalam sukacita dan damai sejahtera. *** Apol***

Selasa, 24 November 2020

Salib Identitas Orang Kristiani

Luk 21:12-19

Menjadi murid Yesus bukanlah jaminan untuk bebas dari kesulitan, tantangan, penderitaan dan bahkan kematian secara badani. Sebaliknya, menjadi murid Yesus berarti mengambil bagian dalam kesulitan, tantangan, penderitaan dan kematian. Salib adalah identitas dari murid Yesus (Luk 9:23). Tanpa salib, seseorang bukanlah murid Yesus (Luk 14:27).


Kata-kata Yesus, “Tetapi tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” pada akhir Injil hari ini bukanlah tanda nyata bahwa iman akan Dia membebaskan umat beriman dari penderitaan ragawi. Kata-kata itu lebih merupakan kiasan tentang perlindungan yang sangat spiritual bagi setiap orang Kristiani yang benar-benar menanggung penderitaan demi nama-Nya. Salib tetap menjadi identitas umat beriman, jalan yang tidak dapat dihindari sebagai murid Yesus.


Penegasan akan identitas ini kembali diungkapkan Yesus dalam kata-kata-Nya: “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku” (Luk 21:12).


Lebih dari itu, Yesus bahkan berkata: “Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku” (Luk 21:16-17).


Kata-kata ini, benar-benar menantang semua orang yang menjadi pengikut-Nya. Kalau dipikir-pikir, apakah ajaran seradikal ini benar-benar dapat dihayati? Dalam bahasa lain, apakah orang-orang yang menyebut dirinya murid Yesus sungguh menghayati kebenaran sabda Yesus ini? Apakah salib itu benar-benar riil menjadi identitas orang Kristiani?


Melihat perilaku hidup orang-orang Kristiani, jujur saja dikatakan bahwa tidak semua orang yang menyebut dirinya Kristiani adalah benar-benar murid Yesus. Kalau mau digolongkan menurut tingkatan penghayatan maka sekurang-kurangnya ada tiga kelompok orang Kristiani.


Kelompok pertama disebut kelompok militan atau radikal dalam beriman, orang-orang yang sungguh berakar dalam iman. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah mereka yang mengenakan salib sebagai jiwa mereka.

 

St. Stefanus dan para murid yang hidupnya ditandai dengan penderitaan, demikian juga para martir dalam gereja adalah wakil umat beriman yang hidupnya ditandai dengan salib. Salib adalah kesempatan bagi mereka untuk bersaksi (Luk 21:13). Dasar dari sikap militan adalah sabda Tuhan dan rasul-Nya dan keyakinan yang mendalam akan kebenarannya.


Ada kelompok umat beriman yang menunjukkan kualitas hidup mereka yang kurang militan, kurang hidup dan produktif. Mereka inilah kelompok yang rata-rata mendiami kantong mayoritas; kelompok yang merasa nyaman dan tertidur dan baru terkejut ketika ada tantangan yang berarti.


Karena imannya tertidur panjang maka perilaku hidup pun tidak karuan. Orang bertindak sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertumbuh dalam kasih karunia. Ciri hidup duniawi menjadi lebih kuat dengan konsekuensinya yang nyata seperti keterjebakan dalam perilaku hidup yang tidak selaras iman misalnya, iri hati dan perselisihan (1 Kor 3:3), apatis dan toleran terhadap kejahatan dalam masyarakat (1 Kor 5:1-13). Sabda Tuhan tidak lebih sakral dari pandangan dan filsafat duniawi, nalar dan emosi manusiawi dan karena itu kurang diindahkan. Kalau didengarkan, tidak dengan sungguh hati.


Oleh karena ciri keduniawiaan lebih kuat maka kelompok ini disebut juga sebagai kelompok Kristiani yang duniawi. Lazimnya, kelompok ini begitu bangga menjadi orang-orang Kristiani tetapi tidak pernah bisa membuktikan kebanggaan mereka dalam kualitas iman yang mumpuni. Bangga di mulut, namun mandul pada kesaksian hidup seperti yang diminta Yesus.


Kelompok terakhir adalah kelompok yang benar-benar bukan Kristiani meski tetap memakai identitas kristinani. Kelompok ini disebut juga kelompok bersarang. Identitas kristiani tidak lebih dari topeng untuk kenyamanan diri. Maka bisa jadi bahwa mereka sungguh sangat kristiani dalam tata laku, tetapi sebenarnya tidak sama sekali secara batiniah.

 

Berdasarkan tiga kategori kelompok orang Kristiani ini, kita bertanya pada diri kita masing-masing, saya masuk pada kategori mana?

 

Marilah kita refleksikan ini sebagai suatu persiapan diri bagi kita dalam memasuki masa Adven yang tidak lama lagi dan juga hari raya Natal yang akan datang. ***Apol***

 

BERSIKAP WASPADA MENGHADAPI AKHIR ZAMAN

Luk: 21:5-11

   Kata waspada dapat dipahami sebagai ‘awas pada’. Awas berarti tajam dan tepat dalam melihat, sehingga dapat melangkah ke depan dengan aman, damai, pasti  dan tak mudah tersesat. Kita semua diajak untuk mawas diri dan waspada sehingga tidak mudah disesatkan oleh aneka macam bentuk godaan, rayuan, tipu daya atau jebakan. Ketika kita setia menghayati iman kita di dalam hidup sehari-hari, maka kita  akan menjadi orang yang waspada terhadap aneka macam peristiwa yang bakal terjadi. Orang yang waspada biasanya sering mendapat banyak godaan, tantangan dan aneka macam bentuk penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang jahat dalam bentuk tawaran harta benda, uang, pangkat/kedudukan/jabatan, dan kehormatan duniawi. Salah satu cara menghadapi godaan akan harta benda atau uang adalah hidup dan bertindak sederhana dengan mengusung nilai-nilai kebajikan hidup kristiani sambil memasrahkan diri pada penyelenggaraan Tuhan.

Gereja menempatkan tema akhir zaman pada akhir tahun liturgi ini untuk direnungkan karena berkaitan dengan tujuan final peziarahan hidup manusia yakni persatuan dengan Allah dalam Kerajaan-Nya. Kita semua diajak untuk merenungkan tema akhir zaman, meskipun Yesus sendiri tidak memberikan penjelasan atau gambaran yang jelas tentang waktu datangnya akhir zaman. Yesus mengetahui situasi yang akan terjadi setelah Ia meninggalkan dunia ini dan kembali ke surga, akan muncul menggunakan nama-Nya dalam menyebarkan ajaran sesat. Orang-orang itu akan datang dan mengaku bahwa merekalah nabi yang sesungguhnya padahal merekal adalah nabi-nabi palsu. Mereka adalah pembohong yang hanya bertujuan untuk mengacaukan hati dan pikiran serta keyakinan yang selama ini sudah tertanam kuat di dalam diri para murid. Karena itu, Yesus mengingatkan para muridNya agar tidak mengikuti ajaran orang-orang asing itu. Yesus mengingatkan para murid agar selalu waspada dan teguh beriman kepada-Nya. Yesus menghubungkan keruntuhan Bait Allah yang menjadi kebanggaan orang Yahudi dengan akhir zaman, bahwa akan terjadi gempa bumi yang dahsyat, bencana, perang, pemberontakan di mana-mana, kelaparan dan penyakit serta wabah yang menular. Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk bersikap waspada, tidak takut dan panik ketika menghadapi semua musibah yang terjadi seperti kehancuran Bait Allah. Kehancuran Bait Allah harus dipahami dalam arti rohani yakni tubuh kita seperti apa yang dikatakan oleh Paulus “Tidak tahuka kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu? (1 Kor 6:19). Kalau Bait Suci Allah dipahami dalam arti rohani sebagai tubuh kita sendiri, maka kita berkewajiban besar untuk menjaga, memlihara dan menyediakan suplai makanan yang mengandung kadar gizi untuk memberi pertumbuhan padanya. Kita akan selalu waspada jangan sampai tubuh kita mengalami dehidrasi (kekurangan cairan). Dalam pengertian rohani semacam ini, maka kita perlu menjaga kemurnian hati dan membiarkan Allah berkarya dalam diri dan hidup kita. Kebanggaan atas diri kita yang berlebihan akan mendatangkan malapetaka dan kesesatan, karena di sana peran Allah kita abaikan dan sepelhkan, sebagaimana orang Yahudi yang terlalu membanggakan Bait Suci Allah yang kemudian diluluh lantahkan tak berbekas.

Kalau diri kita tidak dikuasai oleh Roh Kudus maka, itu adalah tanda-tanda kehancuran jiwa kita. Bait Suci adalah representasi atau perwujudan kehadiran Allah sendiri, jadi kalau hidup manusia tidak dikuasai oleh Allah maka itu berarti kematian atau akhir hidup manusia semakin tak terelakkan. Kita sekalian diajak untuk berjaga-jaga, waspada dan jangan mengabaikan kehadiran Allah dalam hidup kita agar tidak terjadi kehancuran dan mala petaka. Yesus menghimbau agar kita jangan menghancurkan diri kita karena tubuh kita adalah Bait Suci tempat  Allah berdiam di dalamnya. Kita harus memberi tempat kepada Allah untuk menguasai dan merajai hati kita. Batu-batu bangunan Bait Allah itu adalah doa, kebaikan, amal kasih, pengharapan dll. Apabila kita menghidupi nilai-nilai ini maka dalam keyakinan kristiani kita percaya bahwa Bait Allah akan tetap berdiri kokoh di dalam diri kita masing-masing. Kita akan mampu menghalau sejuta godaan yang datang silih berganti merayu hati kita baik itu tawaran harta benda, uang, pangkat/kedudukan/jabatan, kehormatan duniawi bahkan kesaksian nabi-nabi palsu, karena tak satu pun dari antara tawaran duniawi itu memberi harapan akan keselamatan hidup kekal.

Kita harus sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus adalah jalan satu-satunya menuju hidup kekal. Tidak ada jalan lain kecuali melalui-Nya. Keyakinan ini tidak boleh menjadi kata-kata hampa tetapi harus diaktualisasikan dalam tindakan kesaksian hidup yang nyata. Keberanian untuk memberikan kesaksian tentang Kristus kepada sesama adalah suatu keharusan karena ini adalah tugas perutusan kita sebagai murid-murid Kristus yang telah dimeterai oleh Sakramen Baptis. Kita juga memiliki tugas memerangi dan menolak dengan tegas segala macam tawaran duniawi yang menyesatkan hidup iman kita sekaligus membantu sesama kita yang telah masuk dalam perangkap kesesatan yang menghalangi mereka mengenal kebaikan dan tawaran keselamatan Allah.

            Bacaan Injil hari ini mengajak kita sekalian untuk bersikap waspada dan berjaga-jaga dalam menanti datangnya akhir zaman sambil terus konsisten melakukan tugas dan pekerjaan kita secara bertanggungjawab. Kita jangan membanggakan keindahan dunia yang merupakan hasil kreativitas manusia karena itu semua bersifat fana dan tidak menjamin keselamatan kekal. Sebaiknya kita mengisi ruang kosong dalam hidup kita dengan perbuatan baik yang membantu sesama keluar dari kesulitan hidupnya sambil menghidupkan doa harian kita sebagai sumber inspirasi dan kekuatan kita. 

            Mungkin sikap paling baik adalah memasrahkan hidup kita setiap saat pada perlindungan dan kasih Tuhan. Tugas kita sebagai murid-murid Kristus adalah membangun hidup yang harmonis baik vertikal maupun horisontal karena cepat atau lambat hidup kita akan berakhir dari dunia ini. Ada banyak hal yang tidak bisa kita prediksi dalam hidup ini. Jangankan soal kedatangan Yesus yang kedua, kadangkala untuk memprediksi apa yang akan terjadi esok hari pun kita tak bisa mengetahuinya. Hari-hari kita dipenuhi oleh misteri dan ketidakpastian, karena itu, tugas kita adalah melaksanakan dan menyelesaikan tugas hidup yang menjadi tanggung jawab kita sebaik-baiknya setiap hari bukan menghabiskan waktu untuk menghayal kapan datangnya akhir zaman. Ada orang-orang yang tidak bisa memprediksi apakah mereka besok masih bisa makan atau tidak, namun mereka memiliki keyakinan yang kuat, bahwa kesusahan hari ini biarlah untuk hari ini. Mereka yakin Tuhan pasti memelihara dan memberi apa yang terbaik yang mereka butuhkan. Ini adalah cara menjalani hidup yang sangat sederhana, yang terpenting perbuatan baik sekecil apa pun harus kita lakukan hari ini sebagai sumbangan nyata kita yang dapat dirasakan manfaatnya bagi banyak orang. Kita tidak perlu menghabiskan waktu kita hari ini untuk memikirkan hal-hal besar apa yang bisa kita buat karena pikiran semacam ini adalah godaan terbesar untuk mencari nama dan popularitas diri semata.

            Pesan moral yang paling riil dari kata-kata Yesus tentang Yerusalem di atas ialah, bahwa setiap manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi realita, bahwa akan datang waktunya semua kekayaan, peranan sosial, kedudukan, kemewahan, keahlian intelektual, yang dengan susah paya dibangun ini akan dilucuti dari pribadi manusia dan lebur dengan kefanaan badan sehingga yang tertinggal hanyalah jiwa yang polos yang harus berhadapan dengan Allah yang berkuasa untuk menetukan apakah jiwa itu layak untuk masuk kerajaan kekal.  Ajaran iman kristiani mengatakan, bahwa yang tidak layak akan masuk ke dalam neraka, sedangkan yang layak akan mengambil bagian dalam perjamuan abadi. Kita yakin bahwa belas kasih Allah akan berperanan besar, setiap kita pasti pernah melakukan suatu kebaikan yang menjadi elemen kunci keselamatan. Namun tak pernah ada yang tahu bagaimana Tuhan bertindak. Maka menjaga hati agar tetap bersih merupakan salah satu cara berjaga-jaga dan waspada yang paling tepat. *** Bernard Wadan***

Selasa, 17 November 2020

Keturunan Abraham

Luk 19:1-10

Di mata masyarakat dan para pemimpin agama Yahudi, pemungut cukai adalah orang yang mendapat kedudukan paling rendah dalam kalangan masyarakat karena mereka dipandang sebagai pengkhianat. Mereja adalah kaki tangannya penjajah Roma.

 

Dalam menjalankan tugas sebagai pemungut pajak, lazimnya mereka menagi pajak lebih besar dari seharusnya. Itu mereka lakukan demi kepentingan mereka sendiri, sebab pihak penjajah tidak memberikan gaji atas pekerjaan mereka. Mereka menggaji diri mereka sendiri.

 

Zakeus adalah salah seorang pemungut cukai. Namun kedudukannya di antara para pemungut cukai lebih tinggi. Lukas menyebut, Zakeus adalah kepala pemungut cukai (Luk 19:2). Tafsiran Perjanjian Baru tentang teks ini memerlihatkan kemungkinan bahwa Zakeus itu orang yang sangat kaya sebagai “penyelia wilayah” atau pengawas para pemungut cukai.

 

Sebagai penyelia, Zakeus memiliki otoritas untuk mengatur semua pelaksanaan tugas lapangan mereka. Ini tentunya tidak lepas dari kebijakan untuk menarik pajak dan pembagian atas kelebihan tagihan. Dalam sistem pembagian jata, tentunya sebagai penyelia ia mendapatkan lebih. Ia mengumpulkan lebih banyak bagi dirinya. Wajarlah kalau dikatakan, ia seorang yang kaya, bahkan sangat kaya.

 

Oleh karena ia mengorganisir pelaksanaan tugas ini, maka oleh para pemimpin Yahudi, Zakeus dilabelkan sebagai “kepala para pendosa”. Dialah yang bertanggung jawab atas segala kejahatan berkenaan dengan semua pekerjaan lapangan para pemungut cukai. Karena itu pula, Zakeuslah yang paling ditolak oleh masyarakat, terutama para pemimpin agama Yahudi. Bahkan dibilang orang terkutuk dan tidak mendapatkan bagian dari keselamatan sebagai keturunan Abraham.

 

Tidaklah demikian Yesus memandang Zakeus. Meskipun Zakeus gagal dalam memertahankan kedudukan keturunan Abraham, namun itu bukan alasan untuk menolak dan menyingkirkannya. Yesus memandang orang seperti Zakeus harus ditolong untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan. Dan ini sesuai dengan misi kedatangan-Nya (lih Luk 19:10).

 

Pada aspek yang lain, betapapun ia telah berdosa dengan memeras masyarakat, namun di hadapan Yesus, sebagai seorang manusia, Zakeus masih memiliki keunggulan-keunggulan yang diperhitungkan sebagai kebenaran yang olehnya  ia tetap menjadi bagian dari keturunan Abraham. Jika kelemahan dan kegagalannya dapat diperbaiki maka tentu akan sangat memaksimalkan keunggulan yang dimiliknya untuk menemukan kembali jalan keselamatan.

 

Seturut kisah Lukas, menjadi jelas bahwa kedudukannya tidak menghalangi Zakeus untuk berdaya upaya melihat Yesus, meskipun pilihan tindakannya bisa dipandang meredahkan harga dirinya. Ia tidak mau kehilangan kesempatan. Maka ia bertindak dengan cepat. Spontan ia berlari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang lewat di situ.

 

Apa yang kelihatan aneh itu justru memikat perhatian Yesus. Ada suatu tanda baik yang diperlihatkan Zakeus kepada Yesus, dan di luar dugaan justru inilah menentukan keputusan Yesus untuk bertandang ke rumahnya. Tanpa diundang, Yesus mengundang diri-Nya untuk bertandang ke rumahnya. Kegembiraan menyambut apa yang diminta Yesus memperlihatkan kejujuran dan kemurniaan hatinya akan apa yang ia lakukan.

 

Tidak hanya itu, Zakeus juga menunjukkan kejujuran dan keberaniannya dalam mengakui perbuatannya di hadapan publik dan menyatakan pertobatannya. Kesediaan untuk memberi setengah dari miliknya untuk orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat dari apa yang diperasnya sesuai ketentuan dalam tradisi kehidupan orang Yahudi adalah tanda kesungguhan pertobatannya. Memang restitusi seperti itu tidak pernah mengapus akibat buruk yang pernah dilakukannya, akan tetapi kejujuran dan keberanian untuk mengungkapkannya dan ditunjang dengan ketekadan untuk melakukannya menjadi gambaran genuin tentang pertobatannya.

 

Kualitas hidup dan perubahan  sikap yang radikal oleh perjumpaan dengan Yesus inilah yang membuat ia tidak kehilangan kedudukan sebagai keturunan Abraham. Ia tetap mengambil bagian dalam keselamatan yang dijanjikan kepada Abraham dan keturunannya. “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham” (Luk 19:9), demikianlah yang dikatakan Yesus.

 

Kita pun digolongkan dalam keturunan Abraham karena mengambil bagian dalam iman Abraham (Yoh 8:39; Rm 3:7). Namun seperti Zakeus acapkali kita terjebak dalam dosa dan kesalahan sehingga membuat kita gagal memertahankan kedudukan kita sebagai keturunan Abraham. Sekian sering kita menanggung akibat karena dosa dan kesalahan kita. Ditolak dan disingkirkan tidak jarang kita alami.

 

Namun pengalamun ini kiranya membuka mata iman kita bahwa kita perlu datang kepada Yesus yang menolong kita untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan. Ada daya upaya mesti kita lakukan untuk menarik rahmat-Nya yang menolong kita untuk bertobat dan membarui hidup kita. Maka rahmat keselamatan tetap menjadi bagian kita yang disebut keturunan Abraham.

 

Setelah kita ditolong untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan, maka kita juga dipanggil untuk membawa Injil kepada orang yang ditolak masyarakat. Ada banyak orang yang mengalami penolakan dan dikucilkan meskipun atas dosa dan kesalahan mereka sendiri. Kegagalan mereka bukanlah alasan untuk menolak mereka, melainkan ditolong untuk menemukan jalan kembali kepada keselamatan. Perhatian Yesus terhadap Zakheus memeringatkan kita untuk membawa Yesus kepada orang yang ditolak masyarakat, karena semua orang sedang mengalami kehilangan dan memerlukan keselamatan. Semua kita adalah keturunan Abraham. Kita diminta untuk saling menolong agar keselamatan itu tetap menjadi milik kita.*** Apol***

Minggu, 15 November 2020

Taatilah Pemerintah

Tit 3:1-7

 

St. Paulus memberikan nasihat kepada Titus agar ia mengingatkan umat untuk “tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (Tit 3:1). Maksud Paulus adalah agar semua orang percaya menjadi warga negara yang baik dengan menunjukkan ketaatan kepada pemerintah dan peraturan sipil. Ketaatan terhadap pemimpin sipil adalah bagian dari keutamaan Kristiani. Orang beriman bukan lawan dari negara, melainkan bagian dari negara dan itu ditunjukkan dalam perilaku hidup yang baik yang dapat dicontohi.

 

Nasihat Paulus ini tentu tidak terlepas dari keyakinan dasar sebagaimana yang dikemukakan dalam surat kepada orang Roma bahwa pemerintah adalah lembaga yang didirikan dan ditetapkan oleh Allah untuk mengurusi kepentingan orang banyak agar hidup dalam keteraturan (lih. Rm 13:1-7). Pemerintah dengan demikian adalah hamba Allah yang dihadirkan demi kebaikan masyarakat. Ia menjadi alat di tangan Allah untuk melakukan keadilan dengan membatasi kejahatan melalui cara menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan dan melindungi yang baik dalam masyarakat (Rm 13:3-4).

 

Kecuali jika dengan terang dan jelas bahwa pemerintah dan peraturan sipil itu berlawanan dengan kebenaran yang dinyatakan Kitab Suci, maka dalam hal ini umat harus memilih lebih taat kepada Allah (Kis 5:29). Jadi, meskipun pemilihan dan penetapan itu berasal dari Allah, namun ketika pemerintahan sipil itu tidak menjalankan fungsinya sesuai rencana Allah maka secara otomatis ia sudah tidak berasal dari Allah lagi dan ketaatan terhadapnya adalah petaka.

 

Pemilihan dan penetapan Allah atas pemerintahan sipil dan hukum sipil adalah hidup manusia di dunia ini penuh dengan kejahilan dan kecemaran akibat dosa. Hal demikian menuntut perlu adanya kekuasaan yang mampu menentukan secara legitim pembatasan-pembatasan seperlunya dalam dunia sipil, agar semua orang terlindungi dan terbebaskan dari pelanggaran-pelangaran hukum yang merugikan kepentingan bersama. Allah menghendaki agar kebaikan dan keadilan tercipta juga melalui kekuasaan sipil dan penerapan hukum sipil yang berkeadilan. Pemerintah adalah wakil Allah di dunia ini.

 

Dengan demikian, ketaatan terhadap pemerintah dan peraturan sipil serta tuntutan akan hidup baik dalam masyarakat bukanlah hal yang bebas dari maksud dan rencana Allah, melainkan bagian dari hidup orang beriman yang menaati rencana Allah. Dalam konteks ini, Paulus dengan jelas mengatakan bahwa melawan pemerintah adalah melawan ketetapan Allah dan itu mendatangkan hukuman (lih. Rm 13:2).

 

Secara praktis, nasihat Paulus itu berhubungan erat  juga dengan kepentingan kesaksian hidup dan pemberitaan Injil. Tuntutan akan hidup baik sebagai warga negara, seperti yang dinyatakan Yesus dalam Mat 17:24-27; 22:15-22 dan kemudian diangkant kembali oleh Paulus (Rm 13:1-7) dan Petrus (1 Pet 2:13-17) dalam bahasa mereka masing-masing, menjadi bagian integral dari pemberitaan Injil. Sulit membayangkan bagaimana pemberitaan Injil menjadi efektif dan berdaya memengaruhi tanpa ditunjang dengan perilaku hidup baik sebagai warga negara.

 

Sebagai umat beriman yang hidup dalam bingkai NKRI, kita memiliki panggilan iman untuk hidup secara penuh sebagai warga sipil dengan menunjukkan ketaatan, dalam bahasa Paulus “tunduk”, kepada pemerintahan yang telah dipilih secara demokratis, menunjukkan hormat kepada dan mendoakan para pemimpin (1 Tim 2:1-3), bekerja dengan giat dalam membangun tatanan hidup yang baik dan penuh dengan keadilan serta menghindari pertengkaran dan perselihan yang merugikan kepentingan bersama.

 

Ketidaktaatan terhadap pemerintahan sipil dan hukum yang mengarahkan kita kepada kebaikan bersama mendatangkan konsekuensi yang tidak saja dirasakan oleh kita sendiri, melainkan juga segenap orang banyak. Ini menunjuk kepada perilaku melawan Allah dan rencana-Nya untuk kebaikan bersama kita serta tuntutan dasariah panggilan kristiani untuk hidup baik dan bekerja dengan baik dalam wadah NKRI demi menciptakan kebaikan dan keadilan.

 

Berkenaan dengan ini maka patutlah kita membangun kesadaran dalam diri kita bahwa iman menuntut panggilan untuk hidup secara penuh sebagai warga sipil, dan itu kita tunjukkan dengan ketaatan yang sepatutnya kepada pemerintah dan hukum sipil yang ada. Ketaatan kita itu  adalah ekspresi iman kepada Allah yang menghendaki kebaikan bersama bagi kita.

 

Marilah kita mendukung pemerintah kita yang telah dipilih secara demokratis dan telah berupaya membangun bangsa dan negara ini ke arah cita-cita bersama dengan doa-doa kita pun pula dengan melakukan setiap pekerjaan kita masing-masing dengan baik*** Apol***