Luk 1:39-45
Pengalaman perjumpaan dengan orang lain biasanya meninggalkan kesan unik,
menarik, dan sulit untuk dilupakan. Apalagi kita berjumpa dengan orang-orang
yang memiliki tempat istimewa di hati kita. Dipisahkan oleh sekian waktu dan
jarak, membuat suasana perjumpaan kita dengan orang lain semakin bermakna. Mungkin
ada tangis, tawa, canda yang membumbui percakapan penuh kerinduan. Jauh di atas
perasaan gembira yang kita alami, sebenarnya pengalaman perjumpaan dengan orang
lain juga bisa meneguhkan dan menguatkan rasa persaudaraan dan solidaritas kita
sebagai sesama manusia. Dalam dimensi spiritual, pengalaman perjumpaan dimaknai
sebagai sebuah gerakan roh untuk mengalami kasih Tuhan yang nampak dalam diri
sesama.
Pengalaman perjumpaan yang bermakna dan membawa berkat juga dialami oleh
Maria. Kunjungan persaudaraan dari Maria kepada Elisabet saudarinya, ternyata
bukan sekedar kunjungan biasa. Setelah menerima pesan dari malaikat Tuhan bahwa
ia akan mengandung dari roh kudus, Maria juga mendapat informasi lanjutan
tentang Elisabet yang sementara mengandung di bulannya yang keenam. Maria
percaya bahwa oleh campur tangan Tuhan, segala hal yang tidak mungkin di mata
manusia pasti menjadi mungkin. Dan oleh gerakan roh Tuhan pula, Maria
memutuskan untuk pergi mengunjungi saudarinya tersebut.
Ketika Maria masuk ke dalam rumah dan memberi salam, melonjaklah anak yang
sementara dikandung Elisabet. Oleh karena Maria sudah berada dalam naungan roh
kudus, Elisabet dan anak yang dikandungnya juga mendapat kesempatan untuk
menerima berkat itu. Gerakan refleks
sang bayi dalam kandungan, membuat Elisabet terkejut dan dengan spontan
berkata: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah
rahimmu” (Luk 1:42). Elisabet menyadari bahwa sosok Maria yang datang
mengunjunginya kali ini bukanlah sosok Maria yang biasa-biasa saja. Maria
sungguh berada dalam naungan roh Tuhan. Dengan kata lain, Maria telah dijaga
dan dipenuhi oleh sebuah rencana Tuhan yang masih berselimut misteri. Dalam
kekagumannya kepada Maria, Elisabet hanya berujar: “Dan berbahagialah ia, yang
telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana”
(Luk 1:45).
Perjumpaan Maria dan Elisabet membawa berkat tersendiri bagi Elisabet.
Elisabet adalah istri dari Zakharia, seorang imam dari suku Lewi. Ia menjadi
pelayan Tuhan di Bait Allah. Dalam masa tuanya, pasangan suami istri ini
mendapat anugerah dari Tuhan untuk segera memiliki anak. Sesuatu yang mustahil
terjadi untuk seorang perempuan seperti Elisabet. Dalam keragu-raguan akan
rencana Tuhan tersebut, Elisabet beroleh berkat berlimpah melalui kunjungan
Maria. Maria datang dan memberi energi tambahan yang membuat Elisabet tidak
ragu-ragu lagi dengan kehendak Tuhan yang menyata dalam dirinya. Elisabet
sungguh diteguhkan dan dikuatkan dalam percakapan kehidupan dan sharing rohani
bersama saudarinya Maria.
Tidak hanya Elisabet. Efek positif dari perjumpaan dua orang saudari itu
mengalir juga dalam diri Maria. Maria juga diteguhkan dan dikuatkan untuk
semakin memahami rahasia Tuhan yang sementara bekerja dalam dirinya. Sebuah
rahasia yang penuh misteri. Tidak pernah bisa dipahami oleh kaca mata manusia.
Termasuk Maria sendiri. Tetapi oleh karena ketaatan yang total pada kehendak
Tuhan, Maria mau menjalaninya dengan penuh kesetiaan. Perjumpaannya dengan
Elisabet, semakin meyakinkan Maria untuk tetap setia dan mendukung misi
keselamatan Tuhan bagi umat manusia. Percakapan kehidupan dan sharing rohani
membawa dua saudari, Maria dan Elisabet, untuk saling mendukung dan menguatkan
dalam karya kehidupan mereka di tengah keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu,
melalui pengalaman iman yang tidak bisa dipahami secara manusiawi, kedua insan
ini semakin percaya akan kehendak Tuhan dan mau mendukung-Nya dengan sikap iman
yang teguh.
Beriman teguh dan total kepada Tuhan dapat kita bangun dalam sikap vertikal
kepada-Nya. Sikap vertikal menuntut kita untuk taat menjalankan segala ritus,
aturan dan kewajiban agama. Misalnya melalui pelaksanaan doa, puasa, devosi,
dan berbagai sakramen yang kita imani. Melalui sikap-sikap demikian, kita
sementara menarik diri kita secara personal untuk semakin dekat dengan Tuhan.
Kita berusaha mengumpulkan dan memperkaya diri kita secara spiritual agar
sungguh pantas mendapat kemuliaan dalam nama-Nya. Sikap iman secara vertikal
ini menciptakan kenyamanan dalam diri kita. Dan kita bisa tumbuh menjadi
pribadi yang sungguh beriman kepada Tuhan. Namun di sisi lain, kita hendaknya
jangan melupakan perwujudan sikap iman melalui perjumpaan secara sosial bersama
orang lain.
Pengalaman perjumpaan bersama orang lain adalah pengalaman perwujudan iman
secara horisontal. Melalui pengalaman perjumpaan bersama orang lain, kita dapat
melihat dimensi lain dari Allah yang terepresentasi dalam diri sesama. Di dalam
perjumpaan itu kita bisa saling berbagai cerita untuk saling meneguhkan dan
menguatkan satu sama lain. Kita tidak bersikap ekslusif dengan menutup diri,
namun tetap terbuka untuk hadir dan berbagi bersama mereka dalam berbagai hal
yang positif. Ada banyak orang yang mungkin saja sementara mengalami kesusahan,
penderitaan dan keterpurukan. Kehadiran kita tentu bisa menguatkan agar mereka
tidak putus asa. Mereka tidak hanya cukup mengandalkan kekuatan pribadi sebagai
manusia. Melainkan menyerahkan sepenuhnya hidup mereka ke dalam penyelenggaraan
ilahi.
Sebaliknya kehadiran sesama dalam sebuah perjumpaan merupakan alat Tuhan
untuk menjadikan pribadi kita semakin beriman kepada-Nya. Kita semakin memahami
bahwa Tuhan tidak hanya hadir dalam ruang-ruang tertutup. Tetapi dalam
pengalaman perjumpaan yang menuntut sikap terbuka, Tuhan turut hadir untuk
menguatkan simpul-simpul keimanan kita kepada-Nya. Mari kita memaknai
pengalaman perjumpaan untuk saling meneguhkan satu sama lain. ***Atanasius KD
Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar