Minggu, 20 Desember 2020

PERJUMPAAN YANG MENEGUHKAN

Luk 1:39-45

Pengalaman perjumpaan dengan orang lain biasanya meninggalkan kesan unik, menarik, dan sulit untuk dilupakan. Apalagi kita berjumpa dengan orang-orang yang memiliki tempat istimewa di hati kita. Dipisahkan oleh sekian waktu dan jarak, membuat suasana perjumpaan kita dengan orang lain semakin bermakna. Mungkin ada tangis, tawa, canda yang membumbui percakapan penuh kerinduan. Jauh di atas perasaan gembira yang kita alami, sebenarnya pengalaman perjumpaan dengan orang lain juga bisa meneguhkan dan menguatkan rasa persaudaraan dan solidaritas kita sebagai sesama manusia. Dalam dimensi spiritual, pengalaman perjumpaan dimaknai sebagai sebuah gerakan roh untuk mengalami kasih Tuhan yang nampak dalam diri sesama.

 

Pengalaman perjumpaan yang bermakna dan membawa berkat juga dialami oleh Maria. Kunjungan persaudaraan dari Maria kepada Elisabet saudarinya, ternyata bukan sekedar kunjungan biasa. Setelah menerima pesan dari malaikat Tuhan bahwa ia akan mengandung dari roh kudus, Maria juga mendapat informasi lanjutan tentang Elisabet yang sementara mengandung di bulannya yang keenam. Maria percaya bahwa oleh campur tangan Tuhan, segala hal yang tidak mungkin di mata manusia pasti menjadi mungkin. Dan oleh gerakan roh Tuhan pula, Maria memutuskan untuk pergi mengunjungi saudarinya tersebut.

 

Ketika Maria masuk ke dalam rumah dan memberi salam, melonjaklah anak yang sementara dikandung Elisabet. Oleh karena Maria sudah berada dalam naungan roh kudus, Elisabet dan anak yang dikandungnya juga mendapat kesempatan untuk menerima  berkat itu. Gerakan refleks sang bayi dalam kandungan, membuat Elisabet terkejut dan dengan spontan berkata: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu” (Luk 1:42). Elisabet menyadari bahwa sosok Maria yang datang mengunjunginya kali ini bukanlah sosok Maria yang biasa-biasa saja. Maria sungguh berada dalam naungan roh Tuhan. Dengan kata lain, Maria telah dijaga dan dipenuhi oleh sebuah rencana Tuhan yang masih berselimut misteri. Dalam kekagumannya kepada Maria, Elisabet hanya berujar: “Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana” (Luk 1:45).

 

Perjumpaan Maria dan Elisabet membawa berkat tersendiri bagi Elisabet. Elisabet adalah istri dari Zakharia, seorang imam dari suku Lewi. Ia menjadi pelayan Tuhan di Bait Allah. Dalam masa tuanya, pasangan suami istri ini mendapat anugerah dari Tuhan untuk segera memiliki anak. Sesuatu yang mustahil terjadi untuk seorang perempuan seperti Elisabet. Dalam keragu-raguan akan rencana Tuhan tersebut, Elisabet beroleh berkat berlimpah melalui kunjungan Maria. Maria datang dan memberi energi tambahan yang membuat Elisabet tidak ragu-ragu lagi dengan kehendak Tuhan yang menyata dalam dirinya. Elisabet sungguh diteguhkan dan dikuatkan dalam percakapan kehidupan dan sharing rohani bersama saudarinya Maria.

 

Tidak hanya Elisabet. Efek positif dari perjumpaan dua orang saudari itu mengalir juga dalam diri Maria. Maria juga diteguhkan dan dikuatkan untuk semakin memahami rahasia Tuhan yang sementara bekerja dalam dirinya. Sebuah rahasia yang penuh misteri. Tidak pernah bisa dipahami oleh kaca mata manusia. Termasuk Maria sendiri. Tetapi oleh karena ketaatan yang total pada kehendak Tuhan, Maria mau menjalaninya dengan penuh kesetiaan. Perjumpaannya dengan Elisabet, semakin meyakinkan Maria untuk tetap setia dan mendukung misi keselamatan Tuhan bagi umat manusia. Percakapan kehidupan dan sharing rohani membawa dua saudari, Maria dan Elisabet, untuk saling mendukung dan menguatkan dalam karya kehidupan mereka di tengah keluarga dan masyarakat. Lebih dari itu, melalui pengalaman iman yang tidak bisa dipahami secara manusiawi, kedua insan ini semakin percaya akan kehendak Tuhan dan mau mendukung-Nya dengan sikap iman yang teguh.

 

Beriman teguh dan total kepada Tuhan dapat kita bangun dalam sikap vertikal kepada-Nya. Sikap vertikal menuntut kita untuk taat menjalankan segala ritus, aturan dan kewajiban agama. Misalnya melalui pelaksanaan doa, puasa, devosi, dan berbagai sakramen yang kita imani. Melalui sikap-sikap demikian, kita sementara menarik diri kita secara personal untuk semakin dekat dengan Tuhan. Kita berusaha mengumpulkan dan memperkaya diri kita secara spiritual agar sungguh pantas mendapat kemuliaan dalam nama-Nya. Sikap iman secara vertikal ini menciptakan kenyamanan dalam diri kita. Dan kita bisa tumbuh menjadi pribadi yang sungguh beriman kepada Tuhan. Namun di sisi lain, kita hendaknya jangan melupakan perwujudan sikap iman melalui perjumpaan secara sosial bersama orang lain.

 

Pengalaman perjumpaan bersama orang lain adalah pengalaman perwujudan iman secara horisontal. Melalui pengalaman perjumpaan bersama orang lain, kita dapat melihat dimensi lain dari Allah yang terepresentasi dalam diri sesama. Di dalam perjumpaan itu kita bisa saling berbagai cerita untuk saling meneguhkan dan menguatkan satu sama lain. Kita tidak bersikap ekslusif dengan menutup diri, namun tetap terbuka untuk hadir dan berbagi bersama mereka dalam berbagai hal yang positif. Ada banyak orang yang mungkin saja sementara mengalami kesusahan, penderitaan dan keterpurukan. Kehadiran kita tentu bisa menguatkan agar mereka tidak putus asa. Mereka tidak hanya cukup mengandalkan kekuatan pribadi sebagai manusia. Melainkan menyerahkan sepenuhnya hidup mereka ke dalam penyelenggaraan ilahi.

 

Sebaliknya kehadiran sesama dalam sebuah perjumpaan merupakan alat Tuhan untuk menjadikan pribadi kita semakin beriman kepada-Nya. Kita semakin memahami bahwa Tuhan tidak hanya hadir dalam ruang-ruang tertutup. Tetapi dalam pengalaman perjumpaan yang menuntut sikap terbuka, Tuhan turut hadir untuk menguatkan simpul-simpul keimanan kita kepada-Nya. Mari kita memaknai pengalaman perjumpaan untuk saling meneguhkan satu sama lain. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar