Luk 5:1-26
Erupsi gunung Ile Lewotolok yang terjadi di Kabupaten Lembata masih dalam
status siaga level III. Gejolak fluktuatif berupa semburan material dari perut
gunung api tersebut masih sering terjadi. Hal ini menjadi isyarat alam bahwa
para penduduk yang berdiam di kaki dan lereng gunung itu masih jauh dari kata
aman. Mereka harus tetap berada di lokasi pengungsian sampai keadaan menjadi
tenang dan normal kembali. Dimensi menarik lain yang perlu ditelisik dari
bencana alam kali ini adalah kuatnya rasa solidaritas yang ditunjukkan oleh
semua orang terhadap para korban erupsi gunung Ile Lewotolok. Tidak hanya
orang-orang yang berada di dalam wilayah Kabupaten Lembata, tetapi juga
berbagai kalangan lintas batas yang berada di luar Pulau Lembata.
Rasa solidaritas ini hanya bermuara pada satu kepentingan yakni kepentingan
kemanusiaan. Orang-orang yang menunjukkan simpatinya hanya menginginkan agar
saudara-saudari mereka yang terkena imbas bencana tidak terus larut dalam
kesulitan dan penderitaan. Banyak bantuan yang datang berupa sumbangan makanan,
pakaian dan sumbangan material lainnya. Namun yang lebih penting adalah
kehadiran orang-orang yang memberi kekuatan moril agar saudara-saudari yang
tertimpa masalah tidak putus asa dan tetap bersemangat melanjutkan hidup mereka.
Suatu saat ketika Yesus sedang mengajar orang banyak di dalam sebuah rumah,
datanglah beberapa orang sambil memboyong seorang yang lumpuh untuk bertemu
dengan Yesus. Banyaknya orang yang berdesakan menyebabkan pintu rumah tidak
bisa diakses. Oleh karena itu, para pengusung si lumpuh memutuskan untuk
membongkar atas rumah. Kemudian mereka menurunkan si lumpuh tepat di hadapan
Yesus. Tindakan yang nekat ini mengagetkan semua orang. Termasuk juga Yesus.
Hanya untuk memperoleh kesembuhan, mereka rela melakukan tindakan yang tidak
lazim.
Menyaksikan penampakan yang tidak biasa tersebut, secara spontanitas Yesus
mengatakan: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni (Luk 5:20).” Kalau kita
mencermati pernyataan Yesus, terasa tidak masuk akal. Tidak nyambung dengang intensi utama dari si
lumpuh dan para pengusungnya. Mereka datang untuk mencari kesembuhan fisik
bukan mengharapkan dosa mereka diampuni. Di sinilah letak wibawa atau kuasa
ilahi yang maha dasyat. Yesus datang tidak sekedar untuk menyembuhkan orang secara
fisik. Yang lebih utama adalah menyembuhkan orang-orang dari dosanya. Selamat
dari dosa memiliki gradasi yang lebih tinggi dari keselamatan secara fisik.
Orang harus sehat dari dosa-dosanya, barulah kemudian, ia mendapat kesehatan
secara fisik. Dan konsep ilahi inilah yang sungguh-sungguh diimplementasikan
oleh Yesus. Orang lumpuh itu menjadi sembuh dari sakitnya. Ternyata, ia tidak
sembuh sendirian. Bersama-sama dengan para pengusungnya mereka mendapatkan
kesembuhan dari dosa-dosa oleh karena iman akan Yesus.
Ada aspek lain yang sungguh diapresiasi oleh Yesus. Si lumpuh yang telah
sembuh tidak hanya berkat imannya secara personal kepada Yesus. Ia menjadi
selamat karena pertolongan atau bantuan dari orang lain. Melalui iman dari
orang-orang yang menghantarnya, turut memberikan kontribusi bagi
keselamatannya. Yesus hendak mengafirmasi kehidupan iman komuniter yang
ditunjukkan oleh para sahabat si lumpuh. Penginjil Markus dan Lukas mencatat
bahwa iman dari teman-teman si lumpuh inilah yang mendorong Yesus mengucapkan
sabda pengampunan. Kisah ini merupakan satu-satunya kisah dalam Injil yang
memperlihatkan seorang dewasa disembuhkan berkat iman orang lain. Suatu
kesaksian mengenai ikatan iman yang terbentuk di kalangan pengikuti Yesus
(Tafsir Alkitab PB, hal. 125).
Menghidupi iman secara personal itu memang penting. Namun akan menjadi
lengkap apabila orang beriman sungguh-sungguh menyadari panggilan imannya dalam
hidup komunitas. Manusia tidak hidup sendiri. Ia hidup bersama-sama dengan
orang lain dalam sebuah komunitas. Ia tidak mungkin membereskan atau
menyelamatkan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia membutuhkan orang
lain dalam hidupnya. Termasuk juga dalam kehidupan iman. Ia membutuhkan doa dan
aktualisasi nyata iman dari orang lain untuk menyelamatkan hidupnya.
Sepenggal kisah dari erupsi gunung Ile Lewotolok mengisahkan ciri khas
hidup iman yang berciri komuniter. Entah sadar atau tidak, tetapi berbagai
wujud solidaritas yang diberikan adalah aktualisasi iman kepada Tuhan yang
sungguh nyata. Entah apa pun agamanya. Iman kepada Tuhan itu tidak hanya
sekedar menyata dalam ritus-magis suatu agama, tetapi yang lebih penting adalah
menghidupi iman itu dalam aksi-aksi kehidupan yang membawa kesembuhan dan
keselamatan bagi orang lain.
Kisah si lumpuh dan para sahabatnya, tidak hanya menguatkan simpul
kehidupan iman kita secara personal kepada Tuhan. Kisah ini mengajarkan
sekaligus meneguhkan panggilan hidup iman kita secara kolektif di mana saja
kita berada. Di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja atau pun di
lingkungan mana saja, tempat kita menjejakkan eksistensi pribadi kita.
Panggilan hidup iman kristiani yang berciri komuniter hendaknya selalu kita
tonjolkan. Kita tidak mungkin berdiam diri manakala ada saudara dan saudari
kita yang sementara mengalami kesulitan atau penderitaan. Sikap iman komuniter
selalu mendorong dan membimbing agar kita dengan sukarela dan hati yang tulus
mau memberikan uluran tangan dalam berbagai wujud kepada mereka tanpa
mengharapkan pamrih (balas jasa).
Kini kita telah memasuki masa adven minggu yang kedua. Semoga kita bisa
memperbaiki kualitas hidup iman komuniter dengan menunjukkan kepekaan sosial
kita kepada orang lain. Dengan demikian, diri kita semakin dipantaskan untuk
menyambut kedatangan Sang Juruselamat di hari Natal nanti. Karena Ia yang telah
melihat kita telah bersabda: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni”. ***Atanasius
KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar