Minggu, 06 Desember 2020

KUALITAS IMAN KOMUNITER

Luk 5:1-26

 

Erupsi gunung Ile Lewotolok yang terjadi di Kabupaten Lembata masih dalam status siaga level III. Gejolak fluktuatif berupa semburan material dari perut gunung api tersebut masih sering terjadi. Hal ini menjadi isyarat alam bahwa para penduduk yang berdiam di kaki dan lereng gunung itu masih jauh dari kata aman. Mereka harus tetap berada di lokasi pengungsian sampai keadaan menjadi tenang dan normal kembali. Dimensi menarik lain yang perlu ditelisik dari bencana alam kali ini adalah kuatnya rasa solidaritas yang ditunjukkan oleh semua orang terhadap para korban erupsi gunung Ile Lewotolok. Tidak hanya orang-orang yang berada di dalam wilayah Kabupaten Lembata, tetapi juga berbagai kalangan lintas batas yang berada di luar Pulau Lembata.

 

Rasa solidaritas ini hanya bermuara pada satu kepentingan yakni kepentingan kemanusiaan. Orang-orang yang menunjukkan simpatinya hanya menginginkan agar saudara-saudari mereka yang terkena imbas bencana tidak terus larut dalam kesulitan dan penderitaan. Banyak bantuan yang datang berupa sumbangan makanan, pakaian dan sumbangan material lainnya. Namun yang lebih penting adalah kehadiran orang-orang yang memberi kekuatan moril agar saudara-saudari yang tertimpa masalah tidak putus asa dan tetap bersemangat melanjutkan hidup mereka.

 

Suatu saat ketika Yesus sedang mengajar orang banyak di dalam sebuah rumah, datanglah beberapa orang sambil memboyong seorang yang lumpuh untuk bertemu dengan Yesus. Banyaknya orang yang berdesakan menyebabkan pintu rumah tidak bisa diakses. Oleh karena itu, para pengusung si lumpuh memutuskan untuk membongkar atas rumah. Kemudian mereka menurunkan si lumpuh tepat di hadapan Yesus. Tindakan yang nekat ini mengagetkan semua orang. Termasuk juga Yesus. Hanya untuk memperoleh kesembuhan, mereka rela melakukan tindakan yang tidak lazim.

 

Menyaksikan penampakan yang tidak biasa tersebut, secara spontanitas Yesus mengatakan: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni (Luk 5:20).” Kalau kita mencermati pernyataan Yesus, terasa tidak masuk akal. Tidak nyambung dengang intensi utama dari si lumpuh dan para pengusungnya. Mereka datang untuk mencari kesembuhan fisik bukan mengharapkan dosa mereka diampuni. Di sinilah letak wibawa atau kuasa ilahi yang maha dasyat. Yesus datang tidak sekedar untuk menyembuhkan orang secara fisik. Yang lebih utama adalah menyembuhkan orang-orang dari dosanya. Selamat dari dosa memiliki gradasi yang lebih tinggi dari keselamatan secara fisik. Orang harus sehat dari dosa-dosanya, barulah kemudian, ia mendapat kesehatan secara fisik. Dan konsep ilahi inilah yang sungguh-sungguh diimplementasikan oleh Yesus. Orang lumpuh itu menjadi sembuh dari sakitnya. Ternyata, ia tidak sembuh sendirian. Bersama-sama dengan para pengusungnya mereka mendapatkan kesembuhan dari dosa-dosa oleh karena iman akan Yesus.

 

Ada aspek lain yang sungguh diapresiasi oleh Yesus. Si lumpuh yang telah sembuh tidak hanya berkat imannya secara personal kepada Yesus. Ia menjadi selamat karena pertolongan atau bantuan dari orang lain. Melalui iman dari orang-orang yang menghantarnya, turut memberikan kontribusi bagi keselamatannya. Yesus hendak mengafirmasi kehidupan iman komuniter yang ditunjukkan oleh para sahabat si lumpuh. Penginjil Markus dan Lukas mencatat bahwa iman dari teman-teman si lumpuh inilah yang mendorong Yesus mengucapkan sabda pengampunan. Kisah ini merupakan satu-satunya kisah dalam Injil yang memperlihatkan seorang dewasa disembuhkan berkat iman orang lain. Suatu kesaksian mengenai ikatan iman yang terbentuk di kalangan pengikuti Yesus (Tafsir Alkitab PB, hal. 125).

 

Menghidupi iman secara personal itu memang penting. Namun akan menjadi lengkap apabila orang beriman sungguh-sungguh menyadari panggilan imannya dalam hidup komunitas. Manusia tidak hidup sendiri. Ia hidup bersama-sama dengan orang lain dalam sebuah komunitas. Ia tidak mungkin membereskan atau menyelamatkan hidupnya sendiri tanpa bantuan orang lain. Ia membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Termasuk juga dalam kehidupan iman. Ia membutuhkan doa dan aktualisasi nyata iman dari orang lain untuk menyelamatkan hidupnya.

Sepenggal kisah dari erupsi gunung Ile Lewotolok mengisahkan ciri khas hidup iman yang berciri komuniter. Entah sadar atau tidak, tetapi berbagai wujud solidaritas yang diberikan adalah aktualisasi iman kepada Tuhan yang sungguh nyata. Entah apa pun agamanya. Iman kepada Tuhan itu tidak hanya sekedar menyata dalam ritus-magis suatu agama, tetapi yang lebih penting adalah menghidupi iman itu dalam aksi-aksi kehidupan yang membawa kesembuhan dan keselamatan bagi orang lain.

 

Kisah si lumpuh dan para sahabatnya, tidak hanya menguatkan simpul kehidupan iman kita secara personal kepada Tuhan. Kisah ini mengajarkan sekaligus meneguhkan panggilan hidup iman kita secara kolektif di mana saja kita berada. Di lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja atau pun di lingkungan mana saja, tempat kita menjejakkan eksistensi pribadi kita. Panggilan hidup iman kristiani yang berciri komuniter hendaknya selalu kita tonjolkan. Kita tidak mungkin berdiam diri manakala ada saudara dan saudari kita yang sementara mengalami kesulitan atau penderitaan. Sikap iman komuniter selalu mendorong dan membimbing agar kita dengan sukarela dan hati yang tulus mau memberikan uluran tangan dalam berbagai wujud kepada mereka tanpa mengharapkan pamrih (balas jasa).

 

Kini kita telah memasuki masa adven minggu yang kedua. Semoga kita bisa memperbaiki kualitas hidup iman komuniter dengan menunjukkan kepekaan sosial kita kepada orang lain. Dengan demikian, diri kita semakin dipantaskan untuk menyambut kedatangan Sang Juruselamat di hari Natal nanti. Karena Ia yang telah melihat kita telah bersabda: “Hai saudara, dosamu sudah diampuni”. ***Atanasius KD Labaona***

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar