Mat 21:23-27
Hari ini kita memperingati Santo Yohanes dari Salib (San Juan de la Cruz). St.
Yohanes dari Salib adalah seorang pastor karmelit Spanyol yang lahir di desa
kecil dekat Avila (24 Juni 1542). Ia melakukan pembaruan rohani di ordonya dan
mengalami penderitaan karena ditentang oleh saudara-saudara setarekat. Ia
ditawan, disiksa, dipenjara dan bahkan mengalami isolasi berat. Namun dia tetap
bertahan dan tidak pernah menyerah. Berkat perjuangan dan pengorbanannya ia
berhasil mereformasi kehidupan rohani di dalam tarekatnya. Hasil pembaruannya
diakui kemudian oleh ordo dan juga gereja. Santo Yohanes juga mendapat
pengalaman mistik yang luar biasa ketika berada dalam ruang penjara. Ia
mendapat hikmat ilahi untuk menulis berbagai buku rohani. Santo Yohanes
meninggal pada tahun 1591. Santo Yohanes dari Salib memberi inspirasi kepada
kita semua untuk membarui kehidupan rohani kita. Ia menantang kita untuk berani
menjadi baru. Berani berubah menjadi lebih baik (Buku Berjalan Bersama Sang
Sabda, hal 478).
Para elit agama yang terdiri dari imam-imam kepala dan tua-tua bangsa
Yahudi dalam bacaan hari ini (Mat 21:23-27) mempertanyakan kuasa yang dimiliki
oleh Yesus. Memang bukan tanpa dasar mereka menggugat legitimasi yang melekat
dalam diri Yesus. Mereka sudah menyaksikan banyak hal spektakuler yang
diperbuat oleh Yesus. Dengan kuasa yang dimiliki, Yesus mengajar berbagai hal
yang tampak baru dan aneh menurut mereka, tetapi sungguh menyejukkan hati
banyak orang. Yesus juga membuat aneka mukjizat. Ia mengusir roh jahat,
menyembuhkan orang sakit, membangunkan orang lumpuh, dan sebagainya. Puncak kekesalan
dan kemarahan ketika mereka menyaksikan Yesus mengusir para pedagang yang
berjualan di pelataran Bait Allah (Mat 21:12-17).
Akumulasi rasa penasaran dan kesal inilah yang mendorong mereka datang dan
mempertanyakan dengan kuasa apa Yesus melakukan semua itu. Yesus menjawab
dengan mengajukan pertanyaan juga kepada mereka. Apabila mereka mampu
menjawabnya, barulah Dia bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang mereka
ajukan. Yesus meminta mereka untuk menjawab dari manakah asal baptisan Yohanes.
Apakah dari sorga atau manusia. Sebuah pertanyaan yang cerdas dan menjebak.
Para pemimpin agama Yahudi tampak kebingungan dan tidak menyangka akan
“diserang” seperti itu. Mereka pun mulai sibuk mencari jawaban yang tepat untuk
meloloskan diri. Seandainya mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes dari sorga
maka mereka mengungkapkan kebodohan dan kekonyolan diri mereka sendiri. Dengan
baptisan dari air saja mereka bisa mengakui kuasa Allah yang ada dalam diri
Yohanes. Lalu bagaimana dengan Yesus yang melakukan segala hal lebih besar dari
Yohanes. Mereka kemudian memikirkan alternatif jawaban berikut. Seandainya
mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes berasal dari manusia, maka sebenarnya
mereka sementara menyerahkan diri mereka untuk “dihajar” oleh orang banyak. Pada
akhirnya para pemimpin agama Yahudi tidak menemukan jawaban yang akurat sebagai
prasyarat untuk mendapat jawaban dari mana kuasa atau legitimasi yang dimiliki
Yesus.
Yesus juga tidak memberikan sebuah jawaban yang eksplisit tentang kuasa
yang Ia gunakan. Sebenarnya dengan melihat Yesus dan segala hal yang telah
dilakukan, para pemimpin agama Yahudi sudah bisa memastikan jenis kuasa yang
dimiliki oleh Yesus. Namun karena kesombongan dan kekerasan hati, mereka tidak
mampu menangkap dan mengakui kuasa ilahi yang ada dalam diri Yesus. Hal ini
kontras dengan yang dirasakan oleh orang banyak, yang mau membuka hatinya
kepada Yesus. Mereka betul-betul merasakan pancaran kuasa ilahi yang keluar
dari dalam Diri Yesus. Karena kerendahan hati yang dimiliki, banyak orang
menjadi percaya dan diselamatkan.
Dewasa ini, tidak sedikit orang Katolik yang mulai mempertanyakan iman
mereka akan Yesus. Ada saja kalkulasi logis yang disampaikan. Kalau saya
mengikuti Yesus, apa yang saya dapatkan. Kalau tidak mengikuti Dia, konsekuensi
apa yang saya terima. Banyak keberhasilan dan kesuksesan diklaim sebagai hasil
usaha sendiri. Dan bukan atas campur tangan ilahi. Ketika mendapat sedikit
tantangan dan kesulitan hidup, eksistensi Tuhan dipertanyakan. Imbasnya, banyak
orang Katolik yang sudah tidak lagi menjaga dan menghidupi imannya dengan baik
dan benar. Mereka menjadi apatis dengan kehidupan rohani atau spiritualnya.
Dengan atau tanpa Tuhan, mereka bisa menjalani dan menghidupi hidup mereka
sendiri. Mungkin ini filosofi hidup baru yang menegaskan relativisme hidup kaum
beriman di masa kini.
Saya tergugah dengan sebuah pengalaman yang terselip dari peristiwa erupsi
gunung berapi di wilayah Kabupaten Lembata. Pada hari awal gelombang
pengungsian yang bergerak ke kota Lewoleba, tampak seorang ibu paruh baya yang
memegang salib dan menggendong patung Bunda Maria. Dia tidak membawa
barang-barang pribadi selain harta paling mulia yang sedang berada dalam
dekapan tangannya. Sebuah adegan kehidupan yang riil dan orisinal. Penampakan unik
ini bagi saya bukan sebuah peristiwa biasa. Ada sebuah pesan iman yang secara
tidak langsung sedang dihembuskan oleh sang sang ibu. Bahwa dalam kesulitan dan
kekalutan akibat sebuah peristiwa alam yang mengancam nyawa, hendaknya kita
tetap kuat untuk percaya dan selalu menyerahkan hidup ke dalam perlindungan
Tuhan. Kita tidak perlu meragukan kuasa Tuhan. Tuhan sudah merancang segala
sesuatu untuk terjadi; termasuk di dalamnya erupsi gunung berapi. Namun, satu
hal yang pasti, Ia tidak pernah akan meninggalkan kita. Walaupun kita
meninggalkan Dia, Tuhan tidak pernah sedikit pun berpaling untuk datang
menyelamatkan hidup kita.
Semoga di masa adven yang ketiga ini, pikiran dan hati kita benar-benar
berubah untuk semakin percaya akan kuasa Tuhan yang senantiasa ada dalam hidup
kita. Ia tetap ada dalam setiap ruang dan waktu hingga kini karena Ia penuh
kuasa ilahi. Tanpa Tuhan, kita tidak berdaya. Dengan Tuhan, kita sungguh
berdaya untuk memaknai seluruh ziarah hidup kita di dunia ini. ***Atanasius KD
Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar