Minggu, 13 Desember 2020

BERUBAH KARENA KUASA TUHAN

Mat 21:23-27

Hari ini kita memperingati Santo Yohanes dari Salib (San Juan de la Cruz). St. Yohanes dari Salib adalah seorang pastor karmelit Spanyol yang lahir di desa kecil dekat Avila (24 Juni 1542). Ia melakukan pembaruan rohani di ordonya dan mengalami penderitaan karena ditentang oleh saudara-saudara setarekat. Ia ditawan, disiksa, dipenjara dan bahkan mengalami isolasi berat. Namun dia tetap bertahan dan tidak pernah menyerah. Berkat perjuangan dan pengorbanannya ia berhasil mereformasi kehidupan rohani di dalam tarekatnya. Hasil pembaruannya diakui kemudian oleh ordo dan juga gereja. Santo Yohanes juga mendapat pengalaman mistik yang luar biasa ketika berada dalam ruang penjara. Ia mendapat hikmat ilahi untuk menulis berbagai buku rohani. Santo Yohanes meninggal pada tahun 1591. Santo Yohanes dari Salib memberi inspirasi kepada kita semua untuk membarui kehidupan rohani kita. Ia menantang kita untuk berani menjadi baru. Berani berubah menjadi lebih baik (Buku Berjalan Bersama Sang Sabda, hal 478).

 

Para elit agama yang terdiri dari imam-imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi dalam bacaan hari ini (Mat 21:23-27) mempertanyakan kuasa yang dimiliki oleh Yesus. Memang bukan tanpa dasar mereka menggugat legitimasi yang melekat dalam diri Yesus. Mereka sudah menyaksikan banyak hal spektakuler yang diperbuat oleh Yesus. Dengan kuasa yang dimiliki, Yesus mengajar berbagai hal yang tampak baru dan aneh menurut mereka, tetapi sungguh menyejukkan hati banyak orang. Yesus juga membuat aneka mukjizat. Ia mengusir roh jahat, menyembuhkan orang sakit, membangunkan orang lumpuh, dan sebagainya. Puncak kekesalan dan kemarahan ketika mereka menyaksikan Yesus mengusir para pedagang yang berjualan di pelataran Bait Allah (Mat 21:12-17).

 

Akumulasi rasa penasaran dan kesal inilah yang mendorong mereka datang dan mempertanyakan dengan kuasa apa Yesus melakukan semua itu. Yesus menjawab dengan mengajukan pertanyaan juga kepada mereka. Apabila mereka mampu menjawabnya, barulah Dia bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang mereka ajukan. Yesus meminta mereka untuk menjawab dari manakah asal baptisan Yohanes. Apakah dari sorga atau manusia. Sebuah pertanyaan yang cerdas dan menjebak. Para pemimpin agama Yahudi tampak kebingungan dan tidak menyangka akan “diserang” seperti itu. Mereka pun mulai sibuk mencari jawaban yang tepat untuk meloloskan diri. Seandainya mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes dari sorga maka mereka mengungkapkan kebodohan dan kekonyolan diri mereka sendiri. Dengan baptisan dari air saja mereka bisa mengakui kuasa Allah yang ada dalam diri Yohanes. Lalu bagaimana dengan Yesus yang melakukan segala hal lebih besar dari Yohanes. Mereka kemudian memikirkan alternatif jawaban berikut. Seandainya mereka mengatakan bahwa baptisan Yohanes berasal dari manusia, maka sebenarnya mereka sementara menyerahkan diri mereka untuk “dihajar” oleh orang banyak. Pada akhirnya para pemimpin agama Yahudi tidak menemukan jawaban yang akurat sebagai prasyarat untuk mendapat jawaban dari mana kuasa atau legitimasi yang dimiliki Yesus.

 

Yesus juga tidak memberikan sebuah jawaban yang eksplisit tentang kuasa yang Ia gunakan. Sebenarnya dengan melihat Yesus dan segala hal yang telah dilakukan, para pemimpin agama Yahudi sudah bisa memastikan jenis kuasa yang dimiliki oleh Yesus. Namun karena kesombongan dan kekerasan hati, mereka tidak mampu menangkap dan mengakui kuasa ilahi yang ada dalam diri Yesus. Hal ini kontras dengan yang dirasakan oleh orang banyak, yang mau membuka hatinya kepada Yesus. Mereka betul-betul merasakan pancaran kuasa ilahi yang keluar dari dalam Diri Yesus. Karena kerendahan hati yang dimiliki, banyak orang menjadi percaya dan diselamatkan.

 

Dewasa ini, tidak sedikit orang Katolik yang mulai mempertanyakan iman mereka akan Yesus. Ada saja kalkulasi logis yang disampaikan. Kalau saya mengikuti Yesus, apa yang saya dapatkan. Kalau tidak mengikuti Dia, konsekuensi apa yang saya terima. Banyak keberhasilan dan kesuksesan diklaim sebagai hasil usaha sendiri. Dan bukan atas campur tangan ilahi. Ketika mendapat sedikit tantangan dan kesulitan hidup, eksistensi Tuhan dipertanyakan. Imbasnya, banyak orang Katolik yang sudah tidak lagi menjaga dan menghidupi imannya dengan baik dan benar. Mereka menjadi apatis dengan kehidupan rohani atau spiritualnya. Dengan atau tanpa Tuhan, mereka bisa menjalani dan menghidupi hidup mereka sendiri. Mungkin ini filosofi hidup baru yang menegaskan relativisme hidup kaum beriman di masa kini.

 

Saya tergugah dengan sebuah pengalaman yang terselip dari peristiwa erupsi gunung berapi di wilayah Kabupaten Lembata. Pada hari awal gelombang pengungsian yang bergerak ke kota Lewoleba, tampak seorang ibu paruh baya yang memegang salib dan menggendong patung Bunda Maria. Dia tidak membawa barang-barang pribadi selain harta paling mulia yang sedang berada dalam dekapan tangannya. Sebuah adegan kehidupan yang riil dan orisinal. Penampakan unik ini bagi saya bukan sebuah peristiwa biasa. Ada sebuah pesan iman yang secara tidak langsung sedang dihembuskan oleh sang sang ibu. Bahwa dalam kesulitan dan kekalutan akibat sebuah peristiwa alam yang mengancam nyawa, hendaknya kita tetap kuat untuk percaya dan selalu menyerahkan hidup ke dalam perlindungan Tuhan. Kita tidak perlu meragukan kuasa Tuhan. Tuhan sudah merancang segala sesuatu untuk terjadi; termasuk di dalamnya erupsi gunung berapi. Namun, satu hal yang pasti, Ia tidak pernah akan meninggalkan kita. Walaupun kita meninggalkan Dia, Tuhan tidak pernah sedikit pun berpaling untuk datang menyelamatkan hidup kita.

 

Semoga di masa adven yang ketiga ini, pikiran dan hati kita benar-benar berubah untuk semakin percaya akan kuasa Tuhan yang senantiasa ada dalam hidup kita. Ia tetap ada dalam setiap ruang dan waktu hingga kini karena Ia penuh kuasa ilahi. Tanpa Tuhan, kita tidak berdaya. Dengan Tuhan, kita sungguh berdaya untuk memaknai seluruh ziarah hidup kita di dunia ini. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar