Senin, 15 Agustus 2022

Panggilan Untuk Melayani

  

Mat 20:20-28

 

Hari ini kita memperingati Santo Yakobus Rasul. Ia adalah salah satu dari kedua belas rasul Yesus. Orang tuanya bernama Zebedeus dan Salome. Ia memiliki seorang saudara bernama Yohanes; yang juga merupakan seorang murid Yesus. Kedua saudara ini dikenal sebagai anak-anak Zebedeus. Selain itu, Yakobus anak Zebedeus juga disebut sebagai Yakobus Tua atau Yakobus Besar untuk membedakannya dengan rasul lainnya yakni Yakobus anak Alfeus. Yakobus anak Alfeus adalah sepupu dekat dari Yesus. Nama lainnya Yakobus Muda atau Yakobus Kecil. Yakobus dan Yohanes anak-anak Zebedeus bersama Petrus menjadi tiga orang murid yang paling dekat dengan Yesus. Tentu tidak menafikan peran para murid yang lain. Namun dalam beberapa teks Kitab Suci yang kita baca, nama tiga orang rasul ini paling sering ditemukan. Yakobus Rasul diperkirakan meninggal sebagai martir pada tahun 44 M. Ia dieksekusi mati dengan pedang oleh Raja Herodes Agripa I (Kis 12:1-2). Mungkin banyak orang mengira Surat Yakobus yang terdapat dalam teks Perjanjian Baru ditulis oleh Yakobus bin Zebedeus. Namun menurut tradisi, Surat Yakobus ditulis oleh Yakobus bin Alfeus.

 

Esensi  kuasa dan jabatan ibarat gula yang senantiasa dikerubuti semut. Memang rasanya yang manis menjadi daya tarik bagi siapa saja. Tidak cukup hanya memandang. Banyak orang ingin mengecapi cita rasanya. Kemudian timbul niat untuk mengambil dan memilikinya. Demi memuaskan keinginan atau memenuhi kebutuhan dasar pribadi atau kelompok, Si gula telah menjadi magnet yang sangat menggiurkan. Seperti si gula, demikian juga tentang kuasa dan jabatan. Dua esensi tak berwujud ini ternyata juga sangat menggiurkan. Rasanya tidak hanya enak namun bisa memuaskan bagi siapa saja yang memilikinya. Tidak cukup hanya bermimpi, membayangkan, atau berimajinasi tentangnya. Banyak orang ingin mendekat, memegang, meraihnya dengan sigap, dan tidak akan melepaskannya lagi. Ia sungguh molek dan rupawan, bahk bidadari dari langit ketujuh. Tidak heran untuk mendapatkannya banyak cara ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara. Entah dengan cara yang baik atau pun dengan cara yang sebaliknya; kasar dan gelap.

 

Tentang kuasa dan jabatan, ia memang sudah uzur (tua). Bisa jadi lebih tua dari Yesus. Magisnya telah menggoda dua orang murid dari anak-anak Zebedeus. Mereka adalah Yohanes dan Yakobus. Tidak tanggung-tanggung, ibu kandung mereka pun turut terlibat di dalamnya. Manuver cantik coba dimainkan. Bersama sang ibu mereka datang kepada Yesus untuk meminta kue yang bernama kuasa dan jabatan. Sang ibu sebagai juru bicara memang tidak secara kebetulan dipasang. Ia diseting sebagai pion karena memiliki keunggulan. Selain mungkin karena komunikasinya lebih luwes, kelembutan hatinya sebagai seorang ibu dan perempuan disinyalir bisa merontokan hati Sang Tuhan Yesus. Rasa pongah yang dibungkus dengan kerendahan hati palsu ternyata tidak bisa menembus hati seorang Yesus.

 

Karena Yesus sangat tahu, Orientasi mereka adalah soal keinginan duniawi. Dan sangat jauh dari tataran ilahi. Kuasa dan jabatan yang mau digapai oleh ibu Salome dan kedua anaknya (Yohanes dan Yakobus) sangat berkarakter duniawi. Sangat dangkal nilainya. Mereka ingin dikenal, diakui, dilayani dan memiliki banyak harta duniawi. Tentu tidak sejalan dengan visi dan misi yang dibawa oleh Yesus. Kuasa dan jabatan yang dimaksud oleh Yesus adalah esensi ilahi. Karena kuasa dan jabatan itu dianugerahkan sendiri oleh Allah, Sang Bapa. Tetapi tidak mudah bagi manusia untuk mendapatkannya. Dan tidak gampang pula untuk direalisasikan oleh setiap manusia. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:26-27).

 

Kata-kata Yesus di atas secara implisit telah menggambarkan model kuasa dan jabatan yang dibawa oleh Yesus. Sangat bertentangan dengan kuasa dan jabatan yang bersifat duniawi. Sungguh tidak mengenakan dan mengandung risiko tinggi. Di dalamnya, kita memiliki kewajiban untuk melayani, dan bukan untuk dilayani. Kita seharusnya memberi dengan tulus, tetapi tidak mengharap pamrih atasnya. Harta duniawi memang penting, tetapi tidak menjadi fokus. Apalagi terus ditimbun di balik tembok egoisme. Harta sorgawilah yang senantiasa dicari dan ditimbun dalam bejana hati. Kita dengan tulus hati menghormati dan menghargai orang lain, namun tidak patut meminta penghormatan atau penghargaan dari mereka. Kemegahan diri tidak dicari di dalamnya, melainkan kerendahan hatilah yang terus dipupuk. Untuk semua kebajikan yang telah dilakukan ini, kita pun harus rela dibakar oleh sekian tantangan dan hambatan. “Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum” (Mat 20:22). Hinaan, cercaan, makian, dan penindasan tidak jarang menjadi menu makanan bagi setiap orang yang memiliki Kristus di dalam hatinya.

 

Di dalam kuasa dan jabatan ilahi inilah terselip esensi panggilan Tuhan. Panggilan untuk melayani, dan bukan sebaliknya dilayani. Sebagai orang Katolik, kita semua dibimbing dan diarahkan untuk memahami, menjiwai, dan menghidupi panggilan itu dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkup keluarga, masyarakat, komunitas atau pun di mana saja, hendaknya panggilan untuk melayani tetap kita wujudnyatakan. Rasul Yakobus anak Zebedeus telah memberi bukti. Bahkan dengan taruhan nyawanya, ia tetap giat, tulus, dan total menghidupi panggilan Tuhan untuk melayani semua orang. Mari kita sungguh menghayati spirit panggilan Tuhan untuk melayani dan bukan untuk dilayani. ***

Minggu, 31 Juli 2022

Kita Menjadi Tanda Tuhan

                                                             Mat 12:38-42

 

Ada banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mengungkapkan rasa kasih atau cinta kepada orang lain. Ungkapan kasih atau cinta itu sebagai tanda yang menyatakan kedekatan sebuah relasi atau hubungan. Ungkapan cinta dengan pelbagai bentuk juga mempresentasikan tanda ketulusan atau totalitas bagi orang yang sungguh dikasihi. Seorang ayah atau ibu tidak ragu-ragu memberikan hadiah yang terbaik bagi anak-anaknya sebagai tanda kasih atau cinta yang tulus. Seorang pria atau wanita memberikan hadiah terbaik untuk sahabatnya sebagai tanda kasih yang besar. Hadiah terbaik juga menjadi tanda bagi lenggengnya hubungan sepasang kekasih. Dan masih banyak hal dilakukan oleh manusia sebagai perwujudan tanda kasih bagi orang lain. Tanpa sebuah tanda, bisa saja timbul gugatan dan rasa pesimis akan adanya rasa kasih yang terjalin antar manusia. Tentu orang dapat bertanya-tanya, apa bukti yang diberikan untuk mewujudkan cinta itu. Memang kehadiran tanda dalam bentuk yang nyata atau pun tidak nyata menjadi komponen penting untuk memastikan dalamnya relasi dan kasih yang terbangun.

 

Kebutuhan akan adanya sebuah tanda juga menjadi bahan percakapan antara para ahli Taurat, orang-orang Farisi dan Yesus. Para elit agama Yahudi (ahli Taurat dan orang Farisi), meminta tanda dari Yesus bukan sebagai tanda cinta. Permintaan tanda kepada Yesus hanyalah sebuah gugatan atas pelbagai hal tidak lazim dan fenomenal yang dilakukan Yesus. Melalui kata-kata Yesus yang penuh kuasa, bahkan dengan terang membawa nama Allah, menimbulkan ketidaknyamanan dan antipati di kalangan elit agama. Belum lagi ditambah dengan aksi-aksi mukjizat yang membuat para elit agama semakin terpojok. Dalam hati memang timbul rasa kagum secara pribadi kepada Yesus. Namun segera berganti dengan amarah dan iri hati yang dasyat. Mereka takut kehilangan simpati publik dari umat yang mulai terpengaruh dengan gerakan ilahi Yesus. Kedudukan, jabatan atau kuasa yang dimiliki mulai terancam dengan kehadiran Yesus.

 

Dengan demikian mereka perlu meminta klarifikasi dari Yesus terkait semua hal yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Permintaan untuk melihat tanda dari Yesus merupakan pertanyaan jebakan. Selain juga bahwa mereka ingin menggugat kuasa ilahi Yesus. Jawaban Yesus nantinya dapat dipakai oleh mereka untuk menjerat-Nya dalam sebuah kesalahan. Sepertinya apa yang menjadi harapan mereka tidak tercapai. Yesus justru merespon permintaan mereka dengan mengatakan hal yang lain. Yesus menjustifikasi mereka sebagai angkatan bobrok. Angkatan yang jahat dan tidak setia. Yesus tidak sekedar mengklaim seperti itu. Ada pendasaran yang jelas. Bahwa sangat naif apabila mereka meminta sebuah tanda dari Yesus sebagai bukti otoritatif dari segala yang dilakukan-Nya. Dengan melihat, mendengar, dan meresapi apa yang dibuat Yesus, sebenarnya mereka tidak perlu lagi meminta tanda dari-Nya. Karena Yesus adalah tanda itu sendiri. Yesus adalah tanda perwujudan Allah secara langsung. Yesus adalah tanda yang membawa penghiburan dan keselamatan bagi semua orang. Yesus adalah tanda kuasa agung ilahi yang menyata di tengah dunia.

 

Kedegilan hati, sikap sombong dan egoisme telah menutup jalan bagi mereka untuk mengenali siapa Yesus. Mereka gagal menangkap tanda ilahi dalam diri Yesus karena merasa diri lebih hebat dan pintar. Berbeda dengan mereka, Yesus justru memberi apresiasi kepada orang Niniwe. Bangsa kafir yang tidak mengenal Allah. Tetapi mereka dapat membaca tanda ilahi yang dibawa oleh Yunus. Berkat pewartaan yang dikumandangkan oleh nabi Yunus, semua orang Niniwe bertobat. Padahal mereka tidak mengenal siapa Allah itu sebelumnya. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap orang Israel yang mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka merasa diri paling dekat dengan Allah namun tidak mampu membaca tanda ilahi dalam diri Yesus.

 

Seperti para elit agama Israel yang gagal paham, seringkali juga kita gagal membaca tanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap pengalaman atau peristiwa yang dihadapi dianggap biasa saja. Kalau pun kita mengalami keberhasilan atau kebahagiaan tertentu, hal itu dipandang sebagai usaha pribadi. Jarang kita memahaminya dalam konteks “tanda ilahi”. Dan ketika mengalami pengalaman pahit, ada kecenderungan untuk menyalahkan diri, orang lain, dan Tuhan. Hal aneh yang mungkin tidak pernah disadari adalah kita sering meminta sesuatu yang berlebihan pada Tuhan. Kita memperlakukan Tuhan seperti seorang body guard yang harus menjaga kita setiap waktu. Kita tidak mau ada tantangan atau hambatan yang terjadi dalam hidup. Kalau masih ada tantangan atau hambatan timbul keragu-raguan pada Tuhan. Kita juga acapkali memandang Tuhan seperti superman. Dia yang selalu hadir memenuhi apa yang kita butuhkan dan inginkan dalam hidup. Kalau apa yang kita harapkan tidak tercapai, lagi-lagi Tuhan diragukan eksistensi-Nya. Sungguh, Tuhan itu berada dalam kemahakuasaan-Nya sendiri. Ia tidak pernah bisa dikendalikan oleh pikiran dan kehendak manusia. Ia jauh melampaui manusia. Namun Ia juga begitu dekat oleh karena kasih-Nya kepada manusia. Tuhan memang entitas tidak terbatas. Tetapi dalam ketidakterbatasan-Nya, Ia dapat dirasakan kehadiran-Nya dalam seluruh pengalaman manusiawi.

Hari ini kita sungguh diteguhkan bahwa Tuhan telah menjadi tanda dalam setiap peristiwa, kejadian, dan pengalaman hidup yang kita alami setiap hari. Entah pengalaman yang biasa-biasa saja, atau pun pengalaman yang penuh lika-liku perjuangan dan pergumulan, pengalaman tentang kegagalan dan keberhasilan, ternyata Tuhan menjadi tanda yang sungguh hidup. Sebagai orang Katolik, setiap pengalaman hidup adalah pengalaman iman yang sementara menguatkan ziarah hidup. Karena di dalam setiap pengalaman yang kita alami, Tuhan sungguh telah menjadi tanda yang membawa kekuatan, penghiburan, dan keselamatan. Semoga kita juga belajar menjadi tanda yang baik bagi orang lain lewat pewartaan, pelayanan, dan dedikasi yang tulus dan total.

Rabu, 22 Juni 2022

Menghindari Sikap Munafik

Mat 6: 1-6.16-18

 

Kebiasaan pamer sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang. Orang-orang yang suka pamer biasanya melakukan segala sesuatu hanya untuk dipuji orang. Tidak jarang demi mendapatkan pujian tersebut, mereka berusaha menampilkan diri serba baik dan hebat di depan orang. Kebiasaan pamer juga seolah mengikuti perkembangan zaman yang ditandai dengan munculnya pelbagai platform media sosial online seperti FB, instagram, twitter, dan lain-lain. Sarana-sarana digitalisasi ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk memamerkan diri. Jamak pula diikuti dengan pameran harta benda duniawi yang dimiliki. Harta benda apa saja pasti dijadikan bahan untuk dipamerkan di media public. Masing-masing orang berlomba-lomba menunjukkan diri dan kekayaannya demi mendapatkan likes atau coments.

 

Kecenderungan pamer juga menyusup masuk dalam kehidupan beragama. Dalam bacaan Injil hari ini (Mat 6:1-6.16-18), Yesus mengkritik kebiasaan pamer yang ditampilkan oleh para orang beragama. Ada tiga kebiasaan para elit agama yang menjadi sorotan Yesus. Pertama, sikap orang-orang beragama yang selalu memberitahukan ke publik apabila hendak menyumbang (bersedekah) sesuatu. Orang merasa belum sempurna apabila perbuatan baiknya tidak ketahui oleh banyak orang. Kedua, sikap orang-orang beragama yang selalu berdoa di tempat-tempat umum, seperti jalan raya dan pasar supaya dilihat orang dan mendapatkan simpati publik. Kalau di tempat tersembunyi pasti lolos dari perhatian orang-orang. Ketiga, sikap orang-orang beragama yang selalu memperlihatkan wajah yang murung di muka umum apabila sedang berpuasa. Bisa juga supaya lebih meyakinkan, ditambahkan asesoris tertentu supaya lebih kelihatan sedang menjalankan puasa. Tiga kebiasaan orang beragama ini menurut Yesus tidak patut dilakukan karena yang dicari oleh mereka hanya kemuliaan yang bersifat duniawi. Mereka hanya ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari khalayak. Tetapi hati mereka tidak dekat dengan Allah. Yesus melabeli orang-orang ini sebagai golongan orang-orang munafik.

 

Tentu ada alasan mendasar mengapa Yesus memberi cap munafik kepada orang-orang beragama yang suka memamerkan kesalehan pribadi. Selain karena ingin mendapatkan simpati dan pujian, hal menarik yang ditemukan oleh Yesus adalah bahwa mereka tidak mampu menunjukkan eksistensi pribadi sebagai orang-orang yang sungguh beriman kepada Allah. Kelekatan pada kekayaan, prestise atau nama baik, jabatan dan kekuasaan, menggiring orang-orang beragama kala itu bertindak menghalalkan segala cara, termasuk menjual nama agama dan ayat-ayat suci. Perilaku korup yang kental, tindakan pencurian dan penipuan yang merajalela, penindasan terhadap orang-orang kecil, sikap diskriminatif yang masif, menjadikan sekian masalah atau dosa pribadi sekaligus kolektif menghinggapi sebagian besar kalangan beragama saat itu. Di sisi lain, hal kontras mereka tampilkan dengan identifikasi diri sebagai yang suci. Kesalehan palsu inilah yang menggerogoti pribadi mereka sebagai orang-orang munafik.

 

 Sikap atau perilaku munafik menyerang diri kita juga sebagai orang-orang beragama. Acapkali apa yang kita tampilkan tidak sesuai dengan kenyataan. Penampilan secara fisik ternyata bisa menipu setiap orang yang melihat. Pakaian yang bagus beserta pernak-pernik yang melekat di tubuh tidak sepenuhnya mewakili jati diri kita yang sebenarnya. Karena kita memang terlahir sebagai orang-orang yang sudah memiliki agama. Kita mewarisi agama dari leluhur, kakek, nenek dan orang tua. Tetapi kita belum sampai pada level untuk sungguh memahami dan menghidupi ajaran agama sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita semua, saya dan anda sering terjebak untuk tidak mengasihi Allah. Sikap munafik juga tergambar dengan tidak sejalannya kata-kata dan perbuatan. Apa yang dikatakan, berbeda dengan apa yang dibuat. Memang pelbagai kebaikan dan keindahan sering lebih nampak keluar dari mulut. Namun menjadi melorot pada level implementasinya. Kita dapat dengan mudah berkata tentang kejujuran, kesetiaan, keadilan, pengorbanan, ugahari (hemat), kerendahan hati, dan pelbagai keutamaan yang lainnya. Tetapi seringkali pula kita mengangkangi pelbagai nilai tersebut dengan sikap-sikap destruktif (negatif).

 

Ada kata-kata yang sangat menginspirasi dari Santo Agustinus. Siapa pun yang tidak mencintai Dia (Tuhan) yang menciptakan manusia, tidak belajar mencintai manusia dengan benar. Kita masih menampilkan sikap-sikap munafik dalam hidup karena seturut kata-kata Agustinus, kita belum sepenuhnya mencintai Tuhan yang menjadikan kita sebagai seorang manusia. Cinta kita masih sangat dangkal. Kita masih sibuk mencintai diri dan memberi kesenangan serta kenikmatan padanya. Dengan cinta yang dangkal, kita mudah terseret pada arus kemunafikan. Hari ini Tuhan mau mengembalikan jati diri kita ke level yang paling hakiki. Tuhan menghendaki agar kita sungguh menjadi orang beragama yang tidak memperlihatkan sikap munafik dalam hidup. Dan elemen yang mendasarinya adalah kadar cinta kita yang total kepada Tuhan. Kalau kita sungguh mencintainya berarti kita mau mengikuti apa yang telah menjadi firman dan kehendak-Nya. Mari kita memperlihatkan pribadi kita yang penuh ketulusan, kerendahan hati dan totalitas untuk melayani sesama bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Tetapi demi kemuliaan nama Allah di tempat yang maha tinggi. ***AKD***

Selasa, 21 Juni 2022

Spirit Maria Bunda Gereja

 

Yoh 19: 25-34

 

Bunda Maria adalah ibu yang dicintai banyak orang. Tetapi banyak juga yang masih memperdebatkan siapa Maria itu. Banyak orang yang menghormati Bunda Maria karena keikutsertaannya dalam hidup dan karya Yesus. Bagi mereka, Maria lebih dari sekedar seorang ibu yang melahirkan dan merawat anak-Nya. Sedangkan orang-orang yang mempersoalkan kedudukan Bunda Maria melihat perannya tidak lebih dari seorang ibu yang melahirkan dan memperhatikan Yesus sebagaimana ibu-ibu pada umumnya. Bagi mereka, Bunda Maria adalah Ibu Tuhan, tetapi ia tidak memiliki banyak peran dalam karya Putra-Nya, Yesus Kristus.

 

Gereja Katolik sendiri, sangat mencintai dan menghormati Bunda Maria. Maria mendapat tempat yang istimewa di dalam gereja Katolik. Salah satu bentuk penghormatan itu adalah memberi gelar kepada Maria sebagai Bunda Gereja. Tentu tidak sekedar gelar. Kesatuan antara Kristus, Bunda Maria, dan Gereja, menjadikan Bunda Maria tidak terpisahkan dari Kristus dan Gereja. Sehingga Maria bukan saja menjadi Bunda Allah, namun juga adalah Bunda Gereja, Bunda umat beriman. Setidaknya ada dua alasan mengapa Maria disebut sebagai Bunda Gereja.

 

Pertama, karena Bunda Maria menempati tempat terdepan dalam perjalanan iman. Sebagai ibu yang mengandung, melahirkan, dan membesarkan Yesus, Bunda Maria hadir secara istimewa dalam kehidupan Yesus di dunia. Di setiap peristiwa hidupnya, ketaatan iman Maria terus diuji dan disempurnakan oleh Tuhan. Sejak terbentuk-Nya Kristus dalam rahim Maria, saat kelahiran-Nya di tempat yang kumuh, saat mengungsi ke Mesir, saat hilang dan ditemukan kembali Yesus di baik Allah, saat pertumbuhan-Nya sejak anak-anak sampai dewasa, Maria hidup bersama-sama dengan Tuhan Yesus di bawah satu atap, dalam kesederhanaan keluarga tukang kayu.

 

Saat Yesus pertama kali melakukan mukjizat di perkawinan di Kana, Bunda Maria hadir. Demikian pula pada saat Yesus mengajar orang banyak. Walaupun Kitab Suci tidak mencatat secara detail tentang Bunda Maria, namun kita mengetahui bahwa Bunda Maria hadir di saat-saat penting dan menentukan dalam hidup Tuhan Yesus di dunia. Penyertaan Bunda Maria mencapai puncaknya pada saat ia mendampingi Yesus sampai di bukit Golgota, di saat hampir semua murid-Nya meninggalkan Dia. Maria tegar berdiri di kaki salib Kristus, dan turut mempersembahkan Dia di hadapan Allah Bapa. Maria melihat sendiri kesengsaraan Putera-Nya Yesus Kristus yang melampaui segala ungkapan, untuk menebus dosa-dosa manusia.

 

Kedua, karena sebelum wafat-Nya, Tuhan Yesus sendiri memberikan Bunda Maria kepada kita, murid-murid yang dikasihi-Nya. Sesaat sebelum wafat-Nya, Tuhan Yesus memberikan Bunda Maria kepada Yohanes, murid yang dikasihi-Nya. “Ketika Yesus melihat Ibu-Nya dan murid yang dikasihi-Nya di sampingnya, berkatalah Ia kepada ibu-Nya, “Ibu, inilah anakmu”. Kemudian kata-Nya kepada murid-murid-Nya, “Inilah ibumu”. Dan sejak saat itu, murid itu (Yohanes) menerima dia (Bunda Maria) di dalam rumahnya” (Yoh 19:26-27). Gereja Katolik selalu memahami ucapan tersebut sebagai kehendak Yesus yang mempercayakan ibu-Nya kepada kita semua para murid-Nya, yang dalam hal ini diwakili oleh Yohanes.

 

Sama seperti Yohanes Pembaptis menyebutkan sesuatu yang penting tentang Yesus dengan berkata, “Lihatlah Anak Domba Allah” untuk diterima sebagai kebenaran bagi semua umat beriman, maka Tuhan Yesus juga menyebutkan hal yang penting tentang Bunda Maria, dengan berkata kepada para murid-Nya, “Inilah ibumu”, agar kita umat beriman juga dapat menerimanya sebagai kebenaran. Memang benar. Bunda Maria adalah ibu kita sebab Tuhan Yesus memberikannya kepada kita umat beriman, untuk dikasihi, dihormati, dan diteladani. Dengan menerima Maria sebagai ibu gereja, kita dapat belajar untuk mengikuti teladan imannya sampai akhir. Agar kita pun dapat masuk ke dalam kerajaan-Nya dan beroleh mahkota kehidupan.

 

Bunda Maria sebagai Bunda Gereja mengajarkan kita tentang arti sebuah kesetiaan. Dalam perjalanan yang panjang, mulai dari menerima kabar gembira dari malaikat Gabriel untuk melahirkan Yesus, sampai kepada puncak peristiwa kelam di bukit Golgota, Maria tetap mendeklarasikan dirinya sebagai ibu yang penuh setia. Walaupun spirit itu tidak pernah terucap dari bibirnya. Karena ia hanya menunjukkan spirit itu dalam teladan laku atau perbuatan. Maria tidak pernah mengeluh, marah, apalagi mengambil sikap tidak sabar dan putus asa. Berkat kesetiaan Maria inilah, yang menjadi dasar kesetiaan kita sebagai anggota gereja, untuk tetap setia memuliakan Allah dan Yesus melalui gereja-Nya yang nyata di muka bumi.

 

Kesetiaan Maria sebagai Bunda Gereja mengajarkan kita untuk tetap setia kepada Yesus dan Sang Bapa. Terutama ketika menghadapi pelbagai tantangan dan kesulitan dalam hidup. Kita tidak mudah putus asa, mempersalahkan Tuhan dan lari dari hadapan-Nya. Maria sungguh mengajarkan kita untuk menyerahkan seluruh diri dan beban hidup kepada Tuhan. Kita tetap menaruh kepercayaan kepada Tuhan. Karena dengan kasih-Nya yang besar, Ia tidak pernah meninggalkan kita. Tuhan akan memberikan berkat yang membawa kebaikan dan keselamatan dalam hidup. Mari kita selalu bersikap setia seperti yang diajarkan oleh Bunda Gereja kita, yakni Bunda Maria. ***AKD***

Rabu, 23 Maret 2022

Melakukan Takaran Tuhan

Luk 6:36-38

 

Menjadi orang baik atau jahat itu sebuah pilihan dalam hidup. Orang bisa menggunakan segala daya, kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi baik atau jahat. Para orang kudus dalam Gereja Katolik, misalnya, dapat dikategorikan sebagai pribadi-pribadi baik yang memanfaatkan kemampuan, potensi, anugerah yang dimiliki untuk memberi banyak kebaikan dan kemaslahatan bagi banyak orang. Mereka tidak sekedar menjadi orang baik, tetapi orang suci atau kudus karena semangat pelayanan atau dedikasi. Entah kepada kepada Tuhan yang mereka sembah, maupun kepada sesama sebagai sahabat sepeziarahan di dunia. Di samping para orang baik tersebut, Kita mengenal juga beberapa tokoh dunia yang terkenal karena kejahatan. Sebut saja misalnya Adolf Hitler, Joseph Stalin, Raja Belgia Leopold II, raja Ivan IV dari Rusia (Liputan6.com/17 April 2018) dan masih banyak yang lainnya.

Menarik dalam bacaan Injil singkat pada hari ini (Luk 6:36-38), Yesus membeberkan beberapa perilaku yang diklasifikasikan sebagai ukuran atau takaran yang baik. Setidaknya ada lima sikap positif yang terlihat di sana. Sikap murah hati, tidak boleh menghakimi, tidak boleh menghukum, mengampuni orang, dan suka memberi. Menurut Yesus, hendaklah semua orang harus menunjukkan sikap murah hati sama seperti Bapa yang di sorga juga murah hati. Sikap murah hati tidak hanya ditunjukkan secara fisik atau materiil, dengan memberikan uang atau barang tertentu. Level sikap murah hati yang paling tinggi adalah bagaimana manusia menjadikan pribadinya sebagai pribadi yang mampu membawa kedamaian, kenyamanan, dan keselamatan bagi semua orang. Ketika muncul “suasana yang gelap”, timbul pertentangan, konflik dan permusuhan dalam masyarakat, orang yang murah hati dapat tampil untuk menjadi penengah atau mediator yang baik. Ia mampu membawa terang yang menguatkan dan meneguhkan bagi orang-orang di sekelilingnya.

Kemudian ada sikap untuk tidak boleh menghakimi. Karena yang berhak menjadi hakim dan memberi penghakiman adalah Tuhan yang kita sembah (Dalam ranah hukum positif, para hakim dapat dianggap sebagai pengejawantaan Tuhan di muka bumi. Memang pantas demikian, karena mereka diberi mandat, kewajiban dan wewenang oleh hukum untuk menjaga keteraturan, ketertiban, dan keamanan di atas dunia). Orang dapat  jatuh ke dalam penghakiman manakala ia melihat ada hal minus atau negatif yang ditunjukkan sesamanya. Salah satu ciri dasar manusia adalah suka menghakimi. Penghakiman itu datang dengan mudah, menembus ruang dan waktu karena orang gampang menaruh prasangka dan curiga. Sesuatu yang belum tentu benar selalu dilihat dari kaca mata yang salah. Bisa juga membenarkan sesuatu yang salah, sehingga nilai kebenaran menjadi kabur. Orang yang suka menghakimi orang lain cenderung merasa diri paling benar, paling hebat dan superior. 

Selanjutnya ada sikap memberi hukuman. Orang yang memberi hukuman kepada orang lain biasanya memiliki keistimewaan dalam hal tertentu. Misalnya ia memiliki legalitas dalam bidang hukum. Atau mendapat legitimasi dari masyarakat di wilayah tertentu karena dipandang sebagai tokoh panutan. Saya pikir, dalam konteks hukum dan struktur sosial-budaya, sah-sah saja hukuman itu diberlakukan bagi orang yang telah bersalah. Demi kepentingan perbaikan diri dan tercapainya iklim hidup bersama yang kondusif, hakikat hukuman atau sanksi bagi orang yang bersalah perlu ditegakkan. Yang menjadi tidak benar adalah orang menggunakan hukum, peraturan, dan norma untuk menindas atau memperlakukan orang lain secara tidak adil. Hukum dan peraturan diperalat sebagai tameng untuk membenarkan dirinya. Bisa juga untuk mendapatkan keuntungan, akses atau kemudahan dalam pelbagai hal.

Yang berikut tentang sikap mengampuni. Menurut saya, ini bentuk sikap yang paling sulit untuk diterapkan dalam praksis hidup sehari-hari. Orang memang gampang untuk mengucapkannya, namun paling sulit berbuat demikian. Apalagi memberi pengampunan kepada orang yang jelas-jelas telah berbuat salah. Ini pekerjaan maha sulit. Namun Yesus menandaskan bahwa kita harus mengampuni orang lain agar kita juga bisa mendapat pengampunan dari Tuhan. Kalau kita tidak memberi ampunan kepada sesama, maka jelas kita juga tidak mendapat ampunan dari-Nya. Selain memberi ampun kepada orang lain, satu aspek penting yang mestinya kita lakukan adalah memohon maaf atau meminta ampun atas kesalahan yang telah kita perbuat. Jarang sekalih orang mampu mengoreksi diri dan menyatakan dirinya bersalah di hadapan orang lain. Yang sering terjadi adalah orang suka memamerkan sikap resisten, tidak mau mengalah dan selalu merasa diri paling benar.

Dan terakhir adalah sikap memberi. Kita memberi bukan dengan harapan untuk mendapatkan balasan. Kita memberi karena itulah ciri dasar hidup iman kita. Karena Tuhan sudah memberi berbagai hal dengan cuma-cuma kepada kita, maka sudah sepantasnya kita membagi-bagikan apa yang kita miliki dengan ikhlas atau tanpa pamrih. Sebagai manusia, acapkali kita jatuh dalam prinsip do ut des. Saya memberi supaya diberi. Tidak ada yang gratis dari pemberian kita. Kita perlu menata diri untuk hidup lebih benar dalam iman kita. Dan salah satunya adalah dengan memberi tanpa mengharapkan balasan dari orang lain. Yesus sudah mengatakan bahwa jikalau kita memberi dengan ikhlas pasti kita akan mendapatkan balasannya. “Berilah dan kamu akan diberi” (Luk 6:38). Kita tidak pernah tahu wujud balasan yang Tuhan janjikan. Tetapi yang pasti, balasan itu pasti adalah balasan yang setimpal dan baik adanya. Oleh karena itu, jangan pernah mengharapkan apa pun dari sesuatu yang kita berikan.


Lima sikap dasar positif ini, yakni murah hati, tidak menghakimi, tidak menghukum, selalu mengampuni, dan suka memberi menjadi ukuran atau takaran yang baik bagi kita dalam rangka memoles pribadi yang sungguh-sungguh beriman kepada Tuhan. Marilah di awal pekan masa prapaskah yang kedua ini, kita selalu membuka diri kepada Tuhan untuk menimba kekuatan dari-Nya agar kita mampu mewujudkan lima sikap positif yang telah dinyatakan Tuhan dalam firman-Nya dalam kehidupan sehari-hari.

Senin, 21 Maret 2022

Mengasihi Allah Dalam Diri Sesama

Mat 25:31-46

 

Hidup ini adalah sebuah anugerah. Tuhan melengkapinya dengan pelbagai karunia yang harus dikembangkan agar mencapai hasil yang maksimal. Tugas manusia adalah menata dan mengelola dengan baik dan benar semua yang telah dipercayakan Tuhan kepadanya, agar hidup ini tidak sia-sia, melainkan bermakna. Sikap dan cara ini sekaligus menjadi satu bentuk nyata pertanggungjawaban manusia kepada Tuhan, Sang Pemilik semesta dan Pemberi segala anugerah. Hidup ini memang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Lalu, bagaimana seharusnya bentuk nyata pertanggungjawaban itu? (Berjalan Bersama Sang Sabda, 2022, hal.91).

Dalam bacaan Injil (Mat 25:31-46), dengan terang benderang Yesus membentangkan suatu kenyataan yang akan dialami manusia pasca hidup di dunia fana ini. Manusia akan datang dan mengalami suatu pengalaman ilahi yakni bertemu dengan Tuhan, Sang Pencipta-Nya. Pada saat yang krusial tersebut, nasib terakhir bagi manusia untuk mengalami keselamatan atau tidak segera ditentukan. Tuhan Yang boleh mendapat keselamatan dikategorikan dalam kelompok domba. Sebaliknya, yang tidak mendapat keselamatan diklasifikasikan ke dalam kelompok kambing.

Menarik menyimak apa yang dikatakan oleh Yesus. Bahwa hak memperoleh keselamatan atau tidak sebenarnya ditentukan oleh hidup manusia sendiri tatkala ia masih berada di atas dunia. Hidup itu ibarat menggarap sebuah ladang. Apabila manusia menanam benih padi, maka pada saatnya ia akan memanen bulir padi yang berlimpah. Namun, apabila ia menabur biji ilalang, maka pada gilirannya ia akan menuai ilalang. Ungkapan simbolik di atas mau menandaskan keselamatan itu tidak otomatis didapatkan manusia. Keselamatan itu harus diperjuangkan. Bagaimana memperjuangkannya?

Tentu dengan melakukan banyak hal yang positif. Dan hal yang positif itu selaras dengan kehendak Tuhan sendiri. Secara eksplisit Yesus menggambarkan hal-hal praktis yang bisa dilakukan manusia dalam hidupnya. “Ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku” (Mat (25:35-36). Kemudian Yesus mengunci kata-kata-Nya ini dengan berkata: “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40).

Aku yang dimaksud oleh Yesus adalah pengejawantaan Diri-Nya atau Diri Allah dalam setiap diri manusia yang lemah, sakit, tersingkir, atau terabaikan. Suatu kenyataan atau realitas yang jamak kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak perlu mencari mereka sampai ke ujung dunia. Karena mereka begitu dekat dan tampak jelas di dalam kehidupan kita. Menjadi soal apabila kita tidak melihat mereka sebagai representasi Allah sendiri. Lebih parah lagi, kita seakan tidak peduli, bahkan dengan sadar semakin memojokkan mereka dari kehidupan sosial.

Hari ini Yesus mau mengatakan dua hal kepada kita. Pertama, Ia dan Bapa-Nya sungguh hadir secara nyata dalam rupa para sesama yang sedang mengalami sakit, kesusahan, kesulitan, dan penderitaan. Kedua, garansi keselamatan bagi kita sebagai orang beriman adalah tatkala kita membuahi iman akan Dia dengan menunjukkan perhatian dan kepeduliaan bagi semua orang. Terutama bagi mereka yang dikategorikan sebagai orang kecil. lemah, dan tidak berdaya. Memang sangat simpel apa yang digariskan oleh Yesus. Namun, acapkali terasa sulit dan jarang kita lakukan.


Kini, kita telah memasuki masa prapaskah pekan pertama. Sungguh menjadi sebuah moment yang berahmat bagi kita untuk semakin mendekatkan diri kepada Dia yang kita imani dalam hidup. Tidak hanya melalui doa, derma dan puasa. Namun lebih dari itu, kita sungguh mengasah diri kita untuk lebih peduli dengan orang-orang yang sedang mengalami sakit, kesulitan, dan penderitaan dalam hidupnya. Karena mereka sebenarya rupa Allah sendiri yang sementara meminta belaskasihan. Mari kita semakin menata hidup secara lebih baik dengan menjadi orang yang sungguh-sungguh Katolik di masa prapaskah ini Semoga

Senin, 21 Februari 2022

Menjaga Kehalalan Diri

 Mrk 7:14-23

 

Pernah suatu saat, saya diberi beberapa buah mangga yang hampir masak. Dari kulit luar tampak warna merah kekuning-kuningan. Saya sangat yakin buah ini sangat gurih dan nikmat. Ketika sampai di rumah, saya buru-buru mengupas buah mangga itu. Tanpa berpikir panjang saya langsung melahap satu irisan yang cukup besar. Tak disangka, rasanya sangat asam. Gigi saya terasa ngilu, rasanya mau copot; akibat efek dari buah mangga yang asam. Saya pun bertanya-tanya dalam hati, ini buah makan jenis apa. Dari kulit luar kelihatan sangat menarik. Tetapi isi dalamnya, sangat mengecewakan. Ternyata setelah saya mendengar informasi dari orang yang cukup ahli dalam dunia buah-buahan, memang ada jenis mangga tertentu yang tampak sudah masak dari kulit luar. Padahal sebenarnya, isinya belum masak. Butuh waktu yang cukup agar buah mangga itu benar-benar masak saat dipetik dari pohonnya.

 

Ilustrasi sederhana tentang buah mangga di atas, mengingatkan saya akan teks Injil pada hari ini (Mrk 7:14-23). Yesus mengkritik perilaku orang-orang, terutama para elit agama, yang memainkan kesalehen palsu dalam hidup. Dari tampang kelihatan kudus, tetapi hati mereka penuh kebusukan. Mereka sangat mengutamakan hal-hal lahiriah seperti kewajiban melakukan ritus dan tradisi serta menjauhi segala larangan atau pantangan. Misalnya kewajiban untuk menaati prosedur ketika hendak makan. Atau sampai kepada larangan untuk makan makanan tertentu yang najis (tidak halal). Namun mereka tidak memiliki hati yang bersih untuk sungguh-sungguh melaksanakan kehendak Allah. Secara fisik, kelihatan mereka sangat dekat dengan Allah, padahal hati mereka sangat jauh dari Allah.

 

Yesus sebenarnya tidak mempermasahkan segala aturan yang berkaitan dengan kewajiban dan larangan dalam agama. Kewajiban dan larangan yang tertulis dalam Kitab Suci dan tradisi itu baik adanya. Kehadiran dan pemberlakuannya sebagai sarana untuk mendekatkan relasi antara manusia dengan Tuhan. Namun, fakta yang terjadi sangat kontras. Orang-orang, terkhusus para elit agama kala itu, gagal menimba spirit yang paling fundamental dari segala aturan dan tradisi tersebut. Pelaksanaan kewajiban dan larangan dalam agama harus diseimbangkan dengan implementasi nilai-nilai kemanusiaan yang memanusiakan manusia. Nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang muncul dari dalam hati, itulah yang harus diperjuangkan dan dimenangkan dalam hidup. Bukan fokus pada pelaksanaan segala aturan dan kewajiban agama semata.

 

Secara eksplisit Yesus mengatakan: “Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya” (Mr 7:14). Sekilas kita memahami bahwa Yesus melegalkan segala jenis makanan yang dimakan oleh umat saat itu. Namun pada prinsipnya, Yesus tidak melarang hal itu. Hukum, aturan, dan tradisi tetap berjalan sesuai dengan porsinya. Dan orang-orang wajib untuk menaatinya. Yang menjadi problem nyata adalah membiasnya sikap palsu dalam hidup keagamaan. Karena dari dalam hati tetap timbul hal-hal yang destruktif. Kitab suci mencatat, hal-hal yang destruktif terekspose dalam pikiran yang jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan, perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat, kesombongan, dan kekebalan.

 

Menurut Yesus, sejatinya hal-hal destruktif demikian yang seharusnya dikategorikan ke dalam sikap dan perbuatan yang najis. Karena tanpa atau dengan sengaja, orang-orang telah membiarkan dirinya untuk berseberangan dengan kehendak Allah sendiri. Dengan kata lain, orang-orang telah menajiskan dirinya dengan perbuatan yang tidak benar di hadapan Allah. Jikalau benar orang-orang telah mencemarkan atau menajiskan dirinya dengan hal-hal yang tidak baik dan benar, apa untungnya mereka mengikuti bahkan turut mengkampanyekan ritus-ritus lahiriah yang tertulis rapih dalam kitab suci dan tradisi suci? Tidak mengherankan, mereka ingin mencari keuntungan, entah secara pribadi atau kelompok. Mereka ingin dilabeli sebagal orang-orang suci. Mereka ingin mendapatkan keuntungan secara sosial dan politik. Bahkan juga mendapat keuntungan secara ekonomi. Kalkulasinya jelas. Mereka akan mendapat simpati publik, disegani, dihormati, diberi kekayaan, dan prestise atau pamor diri di muka publik akan terdongrak.


Hari ini, kita semua diingatkan oleh Yesus akan dua hal. Pertama, penting bagi kita semua untuk menjaga keseimbangan antara ketaatan pada ritus dan tradisi keagamaan di satu sisi, dan ketaatan untuk mengamalkan kasih dan kebenaran Allah di lain pihak. Sebagai orang Katolik, kita tetap memenuhi kewajiban agama untuk pergi ke gereja pada hari Minggu, berdoa secara pribadi di rumah, atau berdoa secara kolektif di KBG atau lingkungan.

Aspek ini akan mendapat kepenuhannya apabila kita sungguh-sungguh menjaga hati dan pikiran untuk tetap berpikir dan melaksanakan hal-hal yang positif sesuai dengan kehendak Allah. Kedua, hal prinsip yang ditegaskan oleh Yesus adalah soal najis atau haram. Bahwa yang membuat seseorang itu terperosok menjadi pribadi najis atau haram itu bukan terletak pada soal makanan atau minuman yang masuk dalam tubuh, melainkan terdeteksi melalui pikiran dan perbuatan yang tidak baik dan tidak benar. Mari kita senantiasa menjaga kehalalan diri kita dengan berpikir dan berbuat yang baik dan benar, sesuai dengan kehendak Allah sendiri.

Minggu, 13 Februari 2022

Menjadi Tanda Yang Baik

                                                               Mrk 8:11-13

 

Hari ini kita memperingati dua orang bersaudara yang menjadi orang kudus dalam gereja Katolik. Mereka berdua adalah Santo Sirilus dan Santo Metodius. Sirilus dan Metodius berasal dari Tesalonika, Yunani. Metodius dilahirkan pada tahun 815 dan Sirilus dilahirkan pada tahun 827. Keduanya menjadi imam dan memiliki keinginan kudus yang sama untuk mewartakan iman kristiani. Mereka menjadi misionaris untuk bangsa-bangsa Slavia seperti Moravia, Bohemia, dan Bulgaria. Pada tahun 862, hanya tujuh tahun sebelum kematian St. Sirilus, pangeran Moravia memohon agar para misionaris diutus ke negaranya untuk mewartakan kabar gembira Yesus dan gereja-Nya. pangeran menambahkan satu permohonan lagi yaitu para misionaris tersebut hendaknya berbicara dalam bahasa setempat.

Kedua bersaudara, Sirilus dan Metodius, menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan diterima. Mereka tahu bahwa mereka akan diminta untuk meninggalkan negeri, bahasa serta kebudayaan mereka demi cinta kepada Yesus. Mereka melakukannya dengan sukacita. Sirilus dan Metodius menciptakan abjad Slavia. Mereka menerjemahkan Kitab Suci dan liturgi Gereja ke dalam bahasa Slavia. Oleh karena jasa mereka, rakyat dapat menerima ajaran kristiani dalam bahasa mereka sendiri. Pada tanggal 31 Desember 1980, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Santo Sirilus dan Santo Metodius sebagai pelindung Eropa bersama dengan Santo Benediktus.

Perjuangan dan dedikasi yang mulia dari Santo Sirilus dan Metodius untuk menjadi tanda Kerajaan Allah bagi bangsa Slavia ternyata tidak berjalan mulus. Mereka harus menghadapi pelbagai kritik, kecaman dan perlawanan dari orang-orang Slavia sendiri. Pengalaman nyata yang tidak mengenakan yang dialami oleh Sirilus dan Metodius sejatinya sudah dialami oleh Sang Guru Ilahi mereka yakni Yesus Kristus. Dalam perjalanan sejarahnya di tanah Israel, Yesus sudah memberi banyak tanda yang jelas mengenai siapa Diri-Nya kepada segenap umat Israel. Melalui kata-kata dan perbuatan-Nya yang ajaib, Yesus secara berulangkali menegaskan identitas Diri-Nya kepada mereka (umat Israel). Namun seiring dengan semakin banyak hal menakjubkan yang dibuat-Nya, semakin membuat para lawan-Nya menjadi bingung dan heran. Sikap bingung dan heran ini yang memicu rasa antipati dan sentimen kepada Yesus.

Dengan maksud untuk mencobai Yesus dan mencari titik kesalahan-Nya. para lawan Yesus yang kali ini diwakili oleh orang-orang Farisi meminta sebuah tanda dari Sorga. Tanda dari sorga ini sebagai representasi yang menyatakan keilahian Yesus. Penginjil Markus mencatat bahwa Yesus tidak menjawab apa-apa kepada lawan bicara-Nya. Yesus hanya mengeluh dalam hati-Nya. Kemudian Ia berkata kepada para murid-Nya: “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.” Yesus mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas sikap gagal paham yang ditunjukkan oleh orang-orang Farisi. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang meminta tanda dari-Nya tentang kuasa yang Ia miliki. Sementara hampir setiap waktu mereka menyaksikan dengan terang benderang peran keilahian Yesus dalam setiap kata-kata dan perbuatan-Nya.

Pada akhirnya, Yesus mengetahui bahwa orang-orang yang meminta tanda dari-Nya, tidak hanya gagal paham namun hati mereka telah menjadi batu alias tidak mau menaruh sikap percaya kepada Diri-Nya. Ketidakpercayaan inilah yang menggiring mereka untuk selalu mencari-cari kesalahan-Nya. Mereka merasa sangat terganggu dan terancam dengan kehadiran Yesus. Karena kehadiran Yesus menciptakan ketidaknyamanan posisi mereka sebagai elit agama. Mereka takut kehilangan simpati publik. Mereka takut pamor atau citra diri mereka menjadi runtuh. Dan segala kemudahan atau kenikmatan yang telah diperoleh selama ini akan lenyap. Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah mencari kesalahan Yesus supaya Ia dapat dijegal.

Mungkin sebagai orang beriman, pertama-tama, kita seringkali menampilkan sikap ragu-ragu dan tidak percaya kepada Tuhan. Kita gampang menyerah manakala menghadapi setiap tantangan dan cobaan dalam hidup. Kita gampang menjadi lemah dan putus asa. Dalam situasi demikian, seringkali kita mempertanyakan kemahakuasaan Tuhan. Kita mulai ragu-ragu dan bahkan tidak percaya dengan Tuhan. Kedua, karena tidak percaya dengan Tuhan maka kita juga gagal menunjukkan diri kita sebagai tanda dari-Nya. Kita masih sibuk dan suka melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Sama seperti orang Farisi, kita gampang menaruh sikap curiga, prasangka, sentimen, atau iri hati kepada sesama.


    Hari ini kita belajar untuk semakin percaya kepada Tuhan. Secara kasat mata kita tidak melihat Diri-Nya. Tetapi kita sungguh yakin bahwa dalam setiap tantangan dan kesulitan yang kita hadapi, Tuhan sementara menyatakan tanda kehadiran Diri-Nya. Dan ini butuh keterbukaan iman untuk menerima dan menjawabi wahyu Tuhan yang hadir dalam pengalaman-pengalaman demikian. Tuhan tidak pernah menyakiti atau membinasakan manusia ciptaan-Nya sendiri. Namun adakalanya Tuhan membutuhkan pengalaman sakit, derita, dan keterpurukan untuk menggembleng manusia menjadi pribadi yang kuat dan matang dalam hidupnya. Semoga dengan menyadari hal demikian, kita semakin memperbaiki diri untuk menjadi tanda yang baik bagi Dia yang kita imani. Menjadi tanda yang baik tidak perlu hal yang muluk-muluk atau luar biasa. Dengan hal-hal sederhana yang membawa kebaikan, penghiburan, kekuatan dan keselamatan bagi orang lain, sebenarnya kita sudah menjadi tanda yang baik Tuhan.


Membersihkan Roh Jahat Di Dalam Diri

 

Mrk 5:1-20

 

Mungkin anda pernah mendengar atau membaca sebuah istilah yang bernama eksorsisme. Eksorsisme adalah sebuah praktik untuk mengusir setan atau makhluk halus (roh) jahat dari seseorang atau suatu tempat yang dipercaya sudah dimasuki atau dirasuki setan. Orang yang melakukan eksorsisme dikenal dengan sebutan eksorsis. Seorang eksorsis bisa berasal dari kalangan apa saja. Entah rohaniwan, biarawan-biarawati atau pun awam. Eksorsis bisa menggunakan media doa dan hal-hal religius lainnnya seperti mantra, gerak-gerik, simbol, gambar atau patung orang suci, jimat, dan lain-lain. Seorang eksorsis seringkali memohon bantuan Tuhan atau beberapa malaikat dan malaikat agung untuk ikut campur di dalam eksorsisme.

 

Praktis eksorsisme ternyata sudah sangat tua dan berlaku di banyak negara. Sejak zaman Yesus, praktek eksorsisme sudah dikenal. Bahkan Yesus sendiri menggunakan eksorsisme sebagai salah satu media untuk menegaskan eksistensi Diri-Nya. Bagi Yesus, eksorsisme tidak sekedar memberi keselamatan bagi si sakit. Ekorsisme adalah sarana pewartaan warta Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus sendiri. Melalui eksorsisme, Yesus merepresentasikan kekuatan Allah yang sungguh dasyat. Melampaui segala kekuatan dunia dan setan. Oleh karena itu, kita bisa mengatakan bahwa Yesus adalah seorang eksorsis agung. Karena Yesus memiliki kekuatan ilahi untuk mengusir roh jahat atau setan yang merasuki pribadi seseorang.

 

Seperti dalam bacaan Injil pada hari ini (Mrk5:1-20), diperlihatkan kepada kita sebuah kisah penyembuhan seseorang yang kerasukan roh jahat di daerah Gerasa. Roh jahat itu rupanya sudah mengenal siapa Yesus. Ia kelihatan takut ketika melihat kedatangan Yesus. Ia merasa hidup dan kekuasaannya akan segera berakhir di daerah Gerasa. Oleh karena itu, dengan sangat ia meminta bantuan Yesus supaya dipindahkan ke dalam kawanan babi yang ada di sekitar daerah itu. Yesus pun mengabulkan permintaan roh jahat yang bernama Legion. Ia mengeluarkan roh jahat dari si sakit dan memindahkan roh jahat itu ke dalam babi-babi, sehingga menyebabkan kawanan babi itu terjun ke dalam danau.

 

Praktek eksorsisme atau pengusiran roh jahat ternyata masih berlaku hingga saat ini. Kalau kita perhatikan, memang ada segelintir orang yang memiliki karunia atau karisma khusus untuk melakukan praktek eksorsisme. Mereka biasanya menggunakan media doa, dan barang-barang rohani seperti salib, patung, Rosario, gambar-gambar kudus dan sebagainya. Dan banyak orang zaman ini yang masih kuat menggunakan jasa seorang eksorsis untuk menyembuhkan anggota keluarga atau kenalannya yang kerasukan roh jahat. Tidak jarang kita mendengar atau menyaksikan praktek-praktek eksorsisme yang terjadi di sekitar kita. Banyak hal di luar logika yang kita temui di sana. Namun yang pasti bahwa orang dituntut untuk memiliki kepercayaan agar proses eksorsisme itu bisa terlaksana dengan baik dan sukses.

 

Selain roh jahat yang datang dari luar dan menyusup masuk dalam jiwa seseorang, ternyata roh jahat itu juga bisa diciptakan oleh manusia sendiri di dalam dirinya. Ketika mendengar nama Yesus, orang menjadi alergi. Orang tidak mau mendengar dan mempercakapkan sosok yang bernama Yesus. Fatalnya, banyak orang Kristen yang hidupnya sudah mulai menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Kristen. Seperti orang Gerasa yang menolak kehadiran Yesus di daerahnya, banyak orang Kristen juga memiliki tendensi untuk bertindak demikian. Mereka seringkali menolak kehadiran Yesus baik di dalam hati maupun secara terang benderang lewat kata-kata dan perbuatan. Mereka lebih sibuk mempraktekkan urusan duniawi dan mengabaikan nilai-nilai yang termaktub dalam ajaran kristiani.

 

Fenomena orang-orang Kristen yang tidak tertarik lagi ke gereja pada hari Minggu menjadi pemandangan biasa yang sering kita amati. Dengan getol dan berapi-api mereka mencari pendasaran untuk membela diri. Mereka mengatakan bahwa cukup saja menjadi orang baik. Namun apakah menjadi orang Kristen itu cukup dengan hanya berbuat baik? Saya kira tidak demikian. Spirit akan Tuhan Yesus perlu ditimba dan dikuatkan dalam diri. Salah satunya dengan menghadiri perayaan ekaristi untuk menghormati dan menyambut Tubuh Tuhan dalam rupa roti.

 

Fenomena lain yang kita temui adalah kecenderungan orang Kristen untuk menghabiskan kekayaannya demi perilaku hedonisme yakni pesta pora. Tentu saja orang akan berdalih bahwa uang itu milik pribadi. Dan menjadi wilayah privasi yang tidak bisa diganggu gugat. Kita sepakat dengan hal itu. Namun menjadi hal yang miris adalah ketika orang menjadikan hidup hedonis menjadi fokus dan lokus dalam hidupnya. Imbasnya, orang tidak lagi memiliki kepekaan untuk menunjukkan keprihatinan dan perhatian sosialnya. Orang menjadi apatis (cuek), egois (merasa lebih unggul), dan permisif (tidak mau tahu) dengan ketidakadilan dan kemiskinan yang terjadi di sekitarnya.

 

Dan masih banyak hal lain yang bisa menjadi refleksi bagi diri sendiri. Bahwa roh jahat itu bisa bertransformasi dalam rupa apa pun. Tidak hanya dalam rupa yang jelek dan tidak menarik. Dalam rupa yang paling manis dan mengenakan pun, roh jahat bisa bercokol di dalamnya. Mari kita membersihkan segala jenis roh jahat yang masih bersemayam di dalam diri kita, agar tubuh kita menjadi pantas menjadi Bait Allah, tempat kediaman Allah sendiri

Rabu, 26 Januari 2022

Jangan Takut Berbuat Baik dan Benar

Mrk 4:1-20

 

Suatu hari, ada anak seorang lelaki miskin, penjual asongan dari pintu ke pintu, tidak memiliki uang untuk membeli makanan dan minuman. Dia sangat lelah dan lapar. Akhirnya dia memutuskan untuk meminta makanan di rumah berikutnya. Akan tetapi, anak tersebut kehilangan keberanian. Pada saat yang hampir bersamaan, seorang wanita muda membuka pintu rumah. Anak itu tidak jadi meminta makanan. Dia hanya berani meminta segelas air. Wanita muda tersebut melihat dan berpikir bahwa anak laki-laki itu pasti lapar. Oleh karena itu dia membawakan segelas susu. Dan anak lelaki tersebut meminumnya dengan perlahan. Kemudian dia bertanya: “Berapa aku harus membayar untuk segelas susu ini?” Wanita itu menjawab: “Kamu tidak perlu bayar apa pun. Agama saya mengajarkan untuk jangan menerima bayaran untuk sebuah kebaikan”. Kemudian anak laki-laki itu menghabiskan susunya. Ia berkata: “Terima kasih atas kebaikan ibu. Semoga Allah membalas kebaikan yang tulus ini dengan berlipat ganda”. “Sama-sama. Kita saling mendoakan. Kamu juga harus jadi orang sukses”, wanita itu menimpali.

Sekian tahun berlalu ternyata wanita baik tersebut mengalami sakit jantung yang serius. Para dokter ahli di kotanya sudah tidak sanggup menangani penyakitnya. Akhirnya, wanita itu dirujuk ke Jakarta untuk bisa ditangani oleh dokter ahli spesialis jantung yang lebih berpengalaman. Singkat cerita, sang dokter ahli spesialis jantung dipanggil untuk melakukan pemeriksaan. Ketika membaca profil wanita yang menjadi pasiennya, sontak dokter itu sedikit kaget. Rupanya wanita itu sekampung dengannya. Terbersit dalam pikirannya, bayangan seorang wanita mulia yang pernah menolongnya. Segera beliau bangkit dan bergegas turun melalui hall rumah sakit menuju kamar rawat wanita itu.Dengan berpakaian jubah kedokteran, dia menemui wanita itu. Akhirnya, sang dokter pun langsung mengenali wanita itu dengan sekali pandang. Sejak hari itu, dia selalu memberikan perhatian khusus untuk wanita tersebut. Setelah melalui proses perjuangan yang panjang, akhirnya penyakit wanita itu dapat diatasi. Wanita itu pun dinyatakan sembuh dari penyakitnya.

 

Kemudian, sang dokter ahli meminta bagian administrasi rumah sakit agar mengirimkan seluruh tagihan biaya pengobatan wanita itu kepadanya. Dokter melihat biaya tagihan dan menulis sesuatu pada pojok di atas lembaran tagihan tersebut. Lalu dia mengirimkannya ke kamar pasien wanita itu. Saat menerima resep tagihan, sang wanita sangat gelisah. Ia kuatir tidak bisa membayar biaya yang tercantum di dalamnya, sekali pun harus dicicil seumur hidup. Namun dia memberanikan diri untuk membuka tagihan itu. Ternyata pada pojok atas lembar tagihan itu ada tertera tulisan “Telah Dibayar Lunas Dengan Segelas Susu. Tertanda Dokter Spesialis Jantung”. Air mata kebahagiaan menbanjiri mata wanita itu. Anda tahu siapa dokter spesialis jantung itu? Dia adalah anak penjual asongan yang pernah diberi segelas susu oleh sang wanita.

 

Bacaan Injil hari ini (Luk 10:1-9) membentangkan kisah penunjukkan 70 murid oleh Yesus. Mereka akan disebarkan ke daerah-daerah misi untuk mewartakan Sabda Tuhan. Hal yang menjadi perhatian adalah sebelum pergi untuk menjalani misi perutusan, mereka diberi semacam pembekalan atau penguatan khusus. Yesus mewanti-wanti para murid tentang situasi atau keadaan daerah misi.Yesus menggambarkan kehadiran mereka di daerah misi ibarat domba-domba yang dikirim ke tengah-tengah serigala. Para murid rupanya sementara ditantang oleh Yesus bahwa misi yang akan mereka jalani ini sangat berbahaya. Nyawa menjadi taruhan. Mereka harus siap dimangsa oleh serigala yang sedang siap menanti. Ada banyak tantangan, kesulitan, dan hambatan yang akan menerpa diri mereka. Mereka siap dihina, dicemooh, dikejar, dianiaya, dan dibunuh.

 

Para murid juga diingatkan oleh Yesus untuk tidak membawa pundi-pundi, bekal, atau kasut, dan jangan memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan. Ini yang aneh dan tidak masuk akal menurut kita. Sebenarnya, Yesus sedang menekankan pentingnya nilai kesehajaan atau kesederhanaan hidup. Para murid harus membebaskan diri dari keterikatan dengan hal-hal yang bersifat materi. Sehingga apa yang menjadi fokus dari misi mereka tetap terjaga. Mereka tidak boleh diganggu atau disibukkan dengan hal-hal materi yang pada gilirannya dapat menghilangkan konsentrasi akan tujuan perjalanan. Memang di satu sisi materi itu penting dalam kehidupan, namun tidak menjadi fokus dan lokus bagi seseorang yang mau mengikuti Yesus. Berkenaan dengan arahan untuk tidak memberi salam kepada siapa pun selama dalam perjalanan, kita semua tentu berkeberatan. Masa, saya tidak boleh menegur atau sekedar bercengkerama dengan orang yang saya temui. Bagaimana kalau nanti saya tersesat. Pasti saya membutuhkan orang-orang yang saya temui untuk bertanya kepada mereka. Saya kira, kita tidak boleh menafsir secara lurus apa yang dikatakan oleh Yesus dalam firman-Nya. Butuh kedalaman jiwa untuk menganalisa subtansi utama yang dimaksud oleh Yesus. Esensi menegur atau menyapa orang dalam perjalanan sebenarnya tidak hilang. Para murid tentu boleh bertegur sapa dengan siapa saja dalam perjalanan. Asalkan tidak mengganggu atau bahkan membelokkan misi utama yang menjadi tujuan. Bisa saja dalam percakapan, para murid dipengaruhi oleh orang lain untuk tidak boleh pergi bermisi. Apalagi kalau isi pengaruhnya ditambahkan juga dengan tawaran materi. Hal-hal sepele inilah yang diantisipasi oleh Yesus supaya para murid tidak terjebak dan terkubur di dalamnya.

 

Dari hal-hal yang digambarkan di atas, menjadi nyata kepada kita bahwa sebenarnya ada dua jenis tantangan yang seharusnya kita waspadai sebagai seorang murid Yesus. Pertama, tantangan yang datang dari luar diri. Misalnya kita mendapat bully, hinaan, ancaman, siksaan, atau bahkan nyawa menjadi taruhan ketika hendak memperjuangkan sebuah kebenaran atau kebaikan. Kedua, tantangan yang datang dari dalam diri sendiri. Ini lebih kepada soal integritas atau bagaimana menjaga ketahanan diri dari pelbagai situasi, godaan atau tawaran yang memberi kenyamanan dan kenikmatan. Saya berkeyakinan bahwa tantangan dari dalam diri ini, memiliki daya kejut yang lebih besar. Banyak dari kita yang acapkali terseret oleh arusnya. Dan banyak orang Katolik seringkali menggadaikan agama dan ajaran imannya demi memiliki kenyamanan, kekayaan, dan kenikmatan dalam hidupnya. Banyak umat Katolik tidak kuat menolak atau menerima dengan sukacita ketika diberi uang, barang, jabatan, kuasa, dan prestise diri. Imbasnya, mereka harus rela menanggalkan spirit kebenaran dan kebaikan yang mestinya diperjuangan dan terus dikobarkan dalam hidup.

 

Tuhan Yesus telah memberi pengajaran yang sangat bernilai pada hari ini. Kita senantiasa diingatkan oleh Yesus bahwa mengikuti Diri-Nya itu tidak gampang. Ada banyak tantangan, hambatan, dan kesulitan hidup yang harus kita lewati. Jatuh itu pengalaman yang biasa. Yang menjadi luar biasa adalah ketika kita bangkit untuk mulai memperbaiki diri dan menjadi lebih baik dan benar. Kita tidak perlu takut mewartakan kebaikan dan kebenaran dalam hidup. Karena kita selalu yakin, kebaikan dan kebenaran itu selalu membimbing dan menguatkan iman kita kepada Dia, Sang Tuhan, Pemberi kehidupan umat manusia. Amin. ***AKD***


Kamis, 20 Januari 2022

Setia Dalam Jalan Tuhan

Luk 10:1-9

           

Hari ini kita merayakan pesta Santo Lukas, sang penulis Injil Lukas dan Kisah Para Rasul. Santo Lukas berasal dari kota Antokhia. Antokhia modern dikenal dengan nama Antakhya. Sebuah kota di negara Turki yang terletak di daerah perbatasan antara negara Turki dan Suria. Di tempat inilah, untuk pertama kalinya para pengikut Yesus dikenal dengan nama Kristen. Antokhia juga menjadi titik awal penyebaran ajaran Kristus oleh sekelompok orang yang menamakan diri sebagai jemaat Kristen. Gerakan kristenisasi yang terbuka dan massif di kota Antokhia ternyata tidak sekedar mengundang simpati. Karena terbukti begitu banyak orang yang menyatakan diri untuk bergabung menjadi jemaat Kristen (sebutan untuk para pengikut Kristus). Salah satu di antara orang tersebut adalah Lukanoz, atau lazim dikenal dengan Lukas.

 

Lukas adalah seorang tabib yang terkenal di kota Antokhia. Setelah menjadi Kristen, ia bergabung dengan Paulus. Lukas menjadi kawan seperjalanan Paulus untuk bermisi ke daerah Makedonia, Yerusalem dan Roma. Di kota Yerusalem, Paulus sempat ditahan oleh otoritas setempat selama dua tahun. Dan Lukas dengan setia mengunjungi Paulus yang berada di dalam penjara. Tentu saja bukan sekedar kunjungan biasa. Melainkan kunjungan yang melahirkan banyak inspirasi bagi Lukas untuk menulis teks Injil dan Kisah Para Rasul. Lukas banyak mendengar informasi, syering, pengetahuan, dan banyak kisah lainnya dari Paulus. Ia dengan rajin dan teliti mengumpulkan banyak bahan sebagai rujukan yang sangat penting untuk menulis dua kitabnya.

 

Lukas adalah seorang intelektual yang cerdas. Hal ini terbukti dari caranya meramu bahasa tulisan yang yang halus dan sangat menyentuh. Pandangannya sangat dipengaruhi oleh ajaran Paulus. Sebagaimana Paulus, ia juga menekankan bahwa keselamatan Allah ditujukan kepada semua bangsa. Tidak hanya kepada umat Israel saja. ia menaruh perhatian khusus kepada orang-orang miskin dan hina dina. Ia suka menunjukkan sikap belaskasih dan pengampunan dari Allah kepada manusia. Injil Lukas disebut juga dengan Injil Kerahiman Allah atau Injil Cinta Allah. Gelar itu disematkan dengan pendasaran bahwa fokus Injil Lukas ditujukan kepada orang-orang miskin, kaum yang dimarginalisasi dalam masyarakat, serta para pendosa. Penginjil Lukas dilambangkan dengan binatang lembu. Karena ia memulai kisah Injilnya dengan menulis kisah tentang imam Zakharia yang membawa persembahan dalam Bait Allah. Lukas meninggal dalam usia 84 tahun sebagai seorang martir.

 

Lukas merupakan satu-satunya penginjil yang menulis tentang kisah perutusan kedua Yesus atas tujuh puluh murid. Misi ini merupakan misi lanjutan. Setelah misi perutusan pertama yang dilakukan oleh dua belas murid. Sepertinya Lukas ingin memberikan makna khusus atas kegiatan missioner Gereja sesudah kenaikan Yesus. Menurut ajaran para rabi, ada tujuh puluh bangsa di dunia. Para murid harus mendahului Dia (Yesus). Mereka tidak mewartakan diri atau ajaran mereka sendiri, melainkan harus mempersiapkan jalan bagi Yesus. Ini adalah tugas terus-menerus dari para pewarta Kristen. Para misionaris diutus berdua-berdua supaya dapat memberikan kesaksian, yang dapat dianggap sebagai kesaksian resmi mengenai Yesus dan Kerajaan Allah. Yesus mendesak untuk berdoa agar lebih banyak pekerja dalam panenan. Tuhan panenan memperhatikan perkembangannya. Ia telah menjawab kebutuhan yang sedikit tergantung pada keterlibatan aktif dari mereka yang diutus dalam misi ini.

 

Yang menarik dari kisah Injil Lukas hari ini adalah gambaran situasi sulit yang akan dialami para murid. Dengan gambling, Yesus mengatakan bahwa para murid diutus seperti anak domba yang datang ke tengah-tengah serigala. Para murid akan mengalami hambatan dan tantangan yang tidak kecil. Kemungkinan mereka akan ditolak, dihina, atau dicemooh. Bahkan bisa saja nyawa mereka menjadi taruhan. Tantangan yang akan dihadapi oleh para murid di daerah misi seakan berlipat ganda dengan adanya ultimatum dari Yesus. Yesus mengingatkan mereka agar tidak membawa pundi-pundi, bekal, atau kasut. Mereka juga dilarang memberi salam kepada orang yang ditemui dalam perjalanan. Ini sangat aneh dan tidak masuk akal. Namun jika kita merefleksikannya lebih dalam, tentu ada makna atau pesan di baliknya.

 

Yesus menghendaki agar para murid tetap fokus pada misi mulia yang sementara diemban. Mereka tidak boleh memikirkan dan menjadi terikat dengan segala kebutuhan, fasilitas atau pun keperluan selama bermisi. Mereka hanya fokus mewartakan kabar gembira. Selebihnya, Tuhan yang akan mengurusnya. Melalui kedermawanan orang-orang yang mereka singgahi, Tuhan akan melakukan intervensi-Nya. Mereka akan mendapatkan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan fasilitas lainnya, dari kebaikan orang-orang yang percaya akan Yesus Kristus. Sekali lagi, poin penting yang ditekankan Yesus adalah tetap fokus dalam jalan misi pewartaan kabar gembira. Para murid tidak boleh merasa terbebani atau terikat dengan barang-barang duniawi. Mereka juga tidak boleh takut dengan tantangan yang mengancam keselamatan pribadi. Karena Tuhan pasti akan bekerja dengan cara-Nya untuk melindungi mereka.

 

Situasi sulit yang digambarkan oleh Yesus tidak saja dialami oleh para murid kala itu. Sebenarnya kita juga sebagai para murid di zaman ini, sementara dihadapkan dengan pelbagai tantangan dan hambatan. Entah itu hambatan atau tantangan dari luar, maupun tantangan yang datang dari dalam diri kita sendiri. Hambatan dari luar bisa saja ada tekanan, intimidasi atau pressure untuk meninggalkan keyakinan iman. Bisa juga berupa tawaran ekonomi, pekerjaan, kekayaan, kuasa dan jabatan. Hambatan dari dalam terkait dengan integritas pribadi. Misalnya kita mulai bersikap tidak setia dan mementingkan ego pribadi. Oleh karena itu, Yesus mengingatkan agar kita tetap fokus dan setia pada jalan-Nya. Harta, kekayaan, jabatan, dan kuasa itu memang penting dalam situasi riil kehidupan. Namun kita tidak boleh menjadikannya sebagai fokus dan tujuan dalam kehidupan. Kita harus fokus dalam jalan Tuhan dengan tetap bersikap setia kepada Diri-Nya. Setia tidak hanya dalam mempertahankan identitas keyakinan. Atau berani melawan segala kesesatan dan kelaliman. Namun yang tidak kalah penting adalah kita tetap mewartakan kabar gembira melalui panggilan tugas, pekerjaan, kapasitas, kapabilitas dan karya kita di dunia. Semoga. ***AKD***