Mat 6: 1-6.16-18
Kebiasaan pamer
sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang. Orang-orang yang suka pamer
biasanya melakukan segala sesuatu hanya untuk dipuji orang. Tidak jarang demi
mendapatkan pujian tersebut, mereka berusaha menampilkan diri serba baik dan
hebat di depan orang. Kebiasaan pamer juga seolah mengikuti perkembangan zaman
yang ditandai dengan munculnya pelbagai platform media sosial online seperti
FB, instagram, twitter, dan lain-lain. Sarana-sarana digitalisasi ini
dimanfaatkan oleh banyak orang untuk memamerkan diri. Jamak pula diikuti dengan
pameran harta benda duniawi yang dimiliki. Harta benda apa saja pasti dijadikan
bahan untuk dipamerkan di media public. Masing-masing orang berlomba-lomba
menunjukkan diri dan kekayaannya demi mendapatkan likes atau coments.
Kecenderungan
pamer juga menyusup masuk dalam kehidupan beragama. Dalam bacaan Injil hari ini
(Mat 6:1-6.16-18), Yesus mengkritik kebiasaan pamer yang ditampilkan oleh para
orang beragama. Ada tiga kebiasaan para elit agama yang menjadi sorotan Yesus.
Pertama, sikap orang-orang beragama yang selalu memberitahukan ke publik
apabila hendak menyumbang (bersedekah) sesuatu. Orang merasa belum sempurna
apabila perbuatan baiknya tidak ketahui oleh banyak orang. Kedua, sikap
orang-orang beragama yang selalu berdoa di tempat-tempat umum, seperti jalan
raya dan pasar supaya dilihat orang dan mendapatkan simpati publik. Kalau di
tempat tersembunyi pasti lolos dari perhatian orang-orang. Ketiga, sikap
orang-orang beragama yang selalu memperlihatkan wajah yang murung di muka umum
apabila sedang berpuasa. Bisa juga supaya lebih meyakinkan, ditambahkan
asesoris tertentu supaya lebih kelihatan sedang menjalankan puasa. Tiga
kebiasaan orang beragama ini menurut Yesus tidak patut dilakukan karena yang
dicari oleh mereka hanya kemuliaan yang bersifat duniawi. Mereka hanya ingin
mendapatkan pengakuan dan pujian dari khalayak. Tetapi hati mereka tidak dekat
dengan Allah. Yesus melabeli orang-orang ini sebagai golongan orang-orang
munafik.
Tentu ada alasan
mendasar mengapa Yesus memberi cap munafik kepada orang-orang beragama yang
suka memamerkan kesalehan pribadi. Selain karena ingin mendapatkan simpati dan
pujian, hal menarik yang ditemukan oleh Yesus adalah bahwa mereka tidak mampu
menunjukkan eksistensi pribadi sebagai orang-orang yang sungguh beriman kepada
Allah. Kelekatan pada kekayaan, prestise atau nama baik, jabatan dan kekuasaan,
menggiring orang-orang beragama kala itu bertindak menghalalkan segala cara,
termasuk menjual nama agama dan ayat-ayat suci. Perilaku korup yang kental,
tindakan pencurian dan penipuan yang merajalela, penindasan terhadap
orang-orang kecil, sikap diskriminatif yang masif, menjadikan sekian masalah
atau dosa pribadi sekaligus kolektif menghinggapi sebagian besar kalangan
beragama saat itu. Di sisi lain, hal kontras mereka tampilkan dengan
identifikasi diri sebagai yang suci. Kesalehan palsu inilah yang menggerogoti
pribadi mereka sebagai orang-orang munafik.
Sikap atau perilaku munafik menyerang diri
kita juga sebagai orang-orang beragama. Acapkali apa yang kita tampilkan tidak
sesuai dengan kenyataan. Penampilan secara fisik ternyata bisa menipu setiap
orang yang melihat. Pakaian yang bagus beserta pernak-pernik yang melekat di
tubuh tidak sepenuhnya mewakili jati diri kita yang sebenarnya. Karena kita
memang terlahir sebagai orang-orang yang sudah memiliki agama. Kita mewarisi
agama dari leluhur, kakek, nenek dan orang tua. Tetapi kita belum sampai pada
level untuk sungguh memahami dan menghidupi ajaran agama sesuai dengan kehendak
Tuhan. Kita semua, saya dan anda sering terjebak untuk tidak mengasihi Allah.
Sikap munafik juga tergambar dengan tidak sejalannya kata-kata dan perbuatan.
Apa yang dikatakan, berbeda dengan apa yang dibuat. Memang pelbagai kebaikan
dan keindahan sering lebih nampak keluar dari mulut. Namun menjadi melorot pada
level implementasinya. Kita dapat dengan mudah berkata tentang kejujuran,
kesetiaan, keadilan, pengorbanan, ugahari (hemat), kerendahan hati, dan
pelbagai keutamaan yang lainnya. Tetapi seringkali pula kita mengangkangi
pelbagai nilai tersebut dengan sikap-sikap destruktif (negatif).
Ada kata-kata
yang sangat menginspirasi dari Santo Agustinus. Siapa pun yang tidak mencintai
Dia (Tuhan) yang menciptakan manusia, tidak belajar mencintai manusia dengan
benar. Kita masih menampilkan sikap-sikap munafik dalam hidup karena seturut
kata-kata Agustinus, kita belum sepenuhnya mencintai Tuhan yang menjadikan kita
sebagai seorang manusia. Cinta kita masih sangat dangkal. Kita masih sibuk
mencintai diri dan memberi kesenangan serta kenikmatan padanya. Dengan cinta
yang dangkal, kita mudah terseret pada arus kemunafikan. Hari ini Tuhan mau
mengembalikan jati diri kita ke level yang paling hakiki. Tuhan menghendaki
agar kita sungguh menjadi orang beragama yang tidak memperlihatkan sikap
munafik dalam hidup. Dan elemen yang mendasarinya adalah kadar cinta kita yang
total kepada Tuhan. Kalau kita sungguh mencintainya berarti kita mau mengikuti
apa yang telah menjadi firman dan kehendak-Nya. Mari kita memperlihatkan
pribadi kita yang penuh ketulusan, kerendahan hati dan totalitas untuk melayani
sesama bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Tetapi demi kemuliaan nama Allah
di tempat yang maha tinggi. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar