Rabu, 22 Juni 2022

Menghindari Sikap Munafik

Mat 6: 1-6.16-18

 

Kebiasaan pamer sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang. Orang-orang yang suka pamer biasanya melakukan segala sesuatu hanya untuk dipuji orang. Tidak jarang demi mendapatkan pujian tersebut, mereka berusaha menampilkan diri serba baik dan hebat di depan orang. Kebiasaan pamer juga seolah mengikuti perkembangan zaman yang ditandai dengan munculnya pelbagai platform media sosial online seperti FB, instagram, twitter, dan lain-lain. Sarana-sarana digitalisasi ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk memamerkan diri. Jamak pula diikuti dengan pameran harta benda duniawi yang dimiliki. Harta benda apa saja pasti dijadikan bahan untuk dipamerkan di media public. Masing-masing orang berlomba-lomba menunjukkan diri dan kekayaannya demi mendapatkan likes atau coments.

 

Kecenderungan pamer juga menyusup masuk dalam kehidupan beragama. Dalam bacaan Injil hari ini (Mat 6:1-6.16-18), Yesus mengkritik kebiasaan pamer yang ditampilkan oleh para orang beragama. Ada tiga kebiasaan para elit agama yang menjadi sorotan Yesus. Pertama, sikap orang-orang beragama yang selalu memberitahukan ke publik apabila hendak menyumbang (bersedekah) sesuatu. Orang merasa belum sempurna apabila perbuatan baiknya tidak ketahui oleh banyak orang. Kedua, sikap orang-orang beragama yang selalu berdoa di tempat-tempat umum, seperti jalan raya dan pasar supaya dilihat orang dan mendapatkan simpati publik. Kalau di tempat tersembunyi pasti lolos dari perhatian orang-orang. Ketiga, sikap orang-orang beragama yang selalu memperlihatkan wajah yang murung di muka umum apabila sedang berpuasa. Bisa juga supaya lebih meyakinkan, ditambahkan asesoris tertentu supaya lebih kelihatan sedang menjalankan puasa. Tiga kebiasaan orang beragama ini menurut Yesus tidak patut dilakukan karena yang dicari oleh mereka hanya kemuliaan yang bersifat duniawi. Mereka hanya ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari khalayak. Tetapi hati mereka tidak dekat dengan Allah. Yesus melabeli orang-orang ini sebagai golongan orang-orang munafik.

 

Tentu ada alasan mendasar mengapa Yesus memberi cap munafik kepada orang-orang beragama yang suka memamerkan kesalehan pribadi. Selain karena ingin mendapatkan simpati dan pujian, hal menarik yang ditemukan oleh Yesus adalah bahwa mereka tidak mampu menunjukkan eksistensi pribadi sebagai orang-orang yang sungguh beriman kepada Allah. Kelekatan pada kekayaan, prestise atau nama baik, jabatan dan kekuasaan, menggiring orang-orang beragama kala itu bertindak menghalalkan segala cara, termasuk menjual nama agama dan ayat-ayat suci. Perilaku korup yang kental, tindakan pencurian dan penipuan yang merajalela, penindasan terhadap orang-orang kecil, sikap diskriminatif yang masif, menjadikan sekian masalah atau dosa pribadi sekaligus kolektif menghinggapi sebagian besar kalangan beragama saat itu. Di sisi lain, hal kontras mereka tampilkan dengan identifikasi diri sebagai yang suci. Kesalehan palsu inilah yang menggerogoti pribadi mereka sebagai orang-orang munafik.

 

 Sikap atau perilaku munafik menyerang diri kita juga sebagai orang-orang beragama. Acapkali apa yang kita tampilkan tidak sesuai dengan kenyataan. Penampilan secara fisik ternyata bisa menipu setiap orang yang melihat. Pakaian yang bagus beserta pernak-pernik yang melekat di tubuh tidak sepenuhnya mewakili jati diri kita yang sebenarnya. Karena kita memang terlahir sebagai orang-orang yang sudah memiliki agama. Kita mewarisi agama dari leluhur, kakek, nenek dan orang tua. Tetapi kita belum sampai pada level untuk sungguh memahami dan menghidupi ajaran agama sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita semua, saya dan anda sering terjebak untuk tidak mengasihi Allah. Sikap munafik juga tergambar dengan tidak sejalannya kata-kata dan perbuatan. Apa yang dikatakan, berbeda dengan apa yang dibuat. Memang pelbagai kebaikan dan keindahan sering lebih nampak keluar dari mulut. Namun menjadi melorot pada level implementasinya. Kita dapat dengan mudah berkata tentang kejujuran, kesetiaan, keadilan, pengorbanan, ugahari (hemat), kerendahan hati, dan pelbagai keutamaan yang lainnya. Tetapi seringkali pula kita mengangkangi pelbagai nilai tersebut dengan sikap-sikap destruktif (negatif).

 

Ada kata-kata yang sangat menginspirasi dari Santo Agustinus. Siapa pun yang tidak mencintai Dia (Tuhan) yang menciptakan manusia, tidak belajar mencintai manusia dengan benar. Kita masih menampilkan sikap-sikap munafik dalam hidup karena seturut kata-kata Agustinus, kita belum sepenuhnya mencintai Tuhan yang menjadikan kita sebagai seorang manusia. Cinta kita masih sangat dangkal. Kita masih sibuk mencintai diri dan memberi kesenangan serta kenikmatan padanya. Dengan cinta yang dangkal, kita mudah terseret pada arus kemunafikan. Hari ini Tuhan mau mengembalikan jati diri kita ke level yang paling hakiki. Tuhan menghendaki agar kita sungguh menjadi orang beragama yang tidak memperlihatkan sikap munafik dalam hidup. Dan elemen yang mendasarinya adalah kadar cinta kita yang total kepada Tuhan. Kalau kita sungguh mencintainya berarti kita mau mengikuti apa yang telah menjadi firman dan kehendak-Nya. Mari kita memperlihatkan pribadi kita yang penuh ketulusan, kerendahan hati dan totalitas untuk melayani sesama bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Tetapi demi kemuliaan nama Allah di tempat yang maha tinggi. ***AKD***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar