Luk 6:36-38
Menjadi
orang baik atau jahat itu sebuah pilihan dalam hidup. Orang bisa menggunakan
segala daya, kemampuan dan potensi yang dimiliki untuk bisa menjadi baik atau
jahat. Para orang kudus dalam Gereja Katolik, misalnya, dapat dikategorikan
sebagai pribadi-pribadi baik yang memanfaatkan kemampuan, potensi, anugerah
yang dimiliki untuk memberi banyak kebaikan dan kemaslahatan bagi banyak orang.
Mereka tidak sekedar menjadi orang baik, tetapi orang suci atau kudus karena
semangat pelayanan atau dedikasi. Entah kepada kepada Tuhan yang mereka sembah,
maupun kepada sesama sebagai sahabat sepeziarahan di dunia. Di samping para
orang baik tersebut, Kita mengenal juga beberapa tokoh dunia yang terkenal
karena kejahatan. Sebut saja misalnya Adolf Hitler, Joseph Stalin, Raja Belgia
Leopold II, raja Ivan IV dari Rusia (Liputan6.com/17 April 2018) dan masih
banyak yang lainnya.
Menarik
dalam bacaan Injil singkat pada hari ini (Luk 6:36-38), Yesus membeberkan
beberapa perilaku yang diklasifikasikan sebagai ukuran atau takaran yang baik.
Setidaknya ada lima sikap positif yang terlihat di sana. Sikap murah hati,
tidak boleh menghakimi, tidak boleh menghukum, mengampuni orang, dan suka
memberi. Menurut Yesus, hendaklah semua orang harus menunjukkan sikap murah
hati sama seperti Bapa yang di sorga juga murah hati. Sikap murah hati tidak hanya
ditunjukkan secara fisik atau materiil, dengan memberikan uang atau barang
tertentu. Level sikap murah hati yang paling tinggi adalah bagaimana manusia
menjadikan pribadinya sebagai pribadi yang mampu membawa kedamaian, kenyamanan,
dan keselamatan bagi semua orang. Ketika muncul “suasana yang gelap”, timbul
pertentangan, konflik dan permusuhan dalam masyarakat, orang yang murah hati
dapat tampil untuk menjadi penengah atau mediator yang baik. Ia mampu membawa
terang yang menguatkan dan meneguhkan bagi orang-orang di sekelilingnya.
Kemudian
ada sikap untuk tidak boleh menghakimi. Karena yang berhak menjadi hakim dan
memberi penghakiman adalah Tuhan yang kita sembah (Dalam ranah hukum positif,
para hakim dapat dianggap sebagai pengejawantaan Tuhan di muka bumi. Memang
pantas demikian, karena mereka diberi mandat, kewajiban dan wewenang oleh hukum
untuk menjaga keteraturan, ketertiban, dan keamanan di atas dunia). Orang
dapat jatuh ke dalam penghakiman
manakala ia melihat ada hal minus atau negatif yang ditunjukkan sesamanya.
Salah satu ciri dasar manusia adalah suka menghakimi. Penghakiman itu datang
dengan mudah, menembus ruang dan waktu karena orang gampang menaruh prasangka
dan curiga. Sesuatu yang belum tentu benar selalu dilihat dari kaca mata yang
salah. Bisa juga membenarkan sesuatu yang salah, sehingga nilai kebenaran
menjadi kabur. Orang yang suka menghakimi orang lain cenderung merasa diri
paling benar, paling hebat dan superior.
Selanjutnya
ada sikap memberi hukuman. Orang yang memberi hukuman kepada orang lain
biasanya memiliki keistimewaan dalam hal tertentu. Misalnya ia memiliki
legalitas dalam bidang hukum. Atau mendapat legitimasi dari masyarakat di
wilayah tertentu karena dipandang sebagai tokoh panutan. Saya pikir, dalam
konteks hukum dan struktur sosial-budaya, sah-sah saja hukuman itu diberlakukan
bagi orang yang telah bersalah. Demi kepentingan perbaikan diri dan tercapainya
iklim hidup bersama yang kondusif, hakikat hukuman atau sanksi bagi orang yang
bersalah perlu ditegakkan. Yang menjadi tidak benar adalah orang menggunakan
hukum, peraturan, dan norma untuk menindas atau memperlakukan orang lain secara
tidak adil. Hukum dan peraturan diperalat sebagai tameng untuk membenarkan
dirinya. Bisa juga untuk mendapatkan keuntungan, akses atau kemudahan dalam
pelbagai hal.
Yang
berikut tentang sikap mengampuni. Menurut saya, ini bentuk sikap yang paling
sulit untuk diterapkan dalam praksis hidup sehari-hari. Orang memang gampang
untuk mengucapkannya, namun paling sulit berbuat demikian. Apalagi memberi
pengampunan kepada orang yang jelas-jelas telah berbuat salah. Ini pekerjaan
maha sulit. Namun Yesus menandaskan bahwa kita harus mengampuni orang lain agar
kita juga bisa mendapat pengampunan dari Tuhan. Kalau kita tidak memberi
ampunan kepada sesama, maka jelas kita juga tidak mendapat ampunan dari-Nya.
Selain memberi ampun kepada orang lain, satu aspek penting yang mestinya kita
lakukan adalah memohon maaf atau meminta ampun atas kesalahan yang telah kita
perbuat. Jarang sekalih orang mampu mengoreksi diri dan menyatakan dirinya
bersalah di hadapan orang lain. Yang sering terjadi adalah orang suka
memamerkan sikap resisten, tidak mau mengalah dan selalu merasa diri paling
benar.
Dan
terakhir adalah sikap memberi. Kita memberi bukan dengan harapan untuk
mendapatkan balasan. Kita memberi karena itulah ciri dasar hidup iman kita.
Karena Tuhan sudah memberi berbagai hal dengan cuma-cuma kepada kita, maka
sudah sepantasnya kita membagi-bagikan apa yang kita miliki dengan ikhlas atau
tanpa pamrih. Sebagai manusia, acapkali kita jatuh dalam prinsip do ut des. Saya memberi supaya diberi.
Tidak ada yang gratis dari pemberian kita. Kita perlu menata diri untuk hidup
lebih benar dalam iman kita. Dan salah satunya adalah dengan memberi tanpa
mengharapkan balasan dari orang lain. Yesus sudah mengatakan bahwa jikalau kita
memberi dengan ikhlas pasti kita akan mendapatkan balasannya. “Berilah dan kamu
akan diberi” (Luk 6:38). Kita tidak pernah tahu wujud balasan yang Tuhan
janjikan. Tetapi yang pasti, balasan itu pasti adalah balasan yang setimpal dan
baik adanya. Oleh karena itu, jangan pernah mengharapkan apa pun dari sesuatu
yang kita berikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar