Mrk 8:11-13
Hari
ini kita memperingati dua orang bersaudara yang menjadi orang kudus dalam
gereja Katolik. Mereka berdua adalah Santo Sirilus dan Santo Metodius. Sirilus
dan Metodius berasal dari Tesalonika, Yunani. Metodius dilahirkan pada tahun
815 dan Sirilus dilahirkan pada tahun 827. Keduanya menjadi imam dan memiliki
keinginan kudus yang sama untuk mewartakan iman kristiani. Mereka menjadi
misionaris untuk bangsa-bangsa Slavia seperti Moravia, Bohemia, dan Bulgaria.
Pada tahun 862, hanya tujuh tahun sebelum kematian St. Sirilus, pangeran
Moravia memohon agar para misionaris diutus ke negaranya untuk mewartakan kabar
gembira Yesus dan gereja-Nya. pangeran menambahkan satu permohonan lagi yaitu
para misionaris tersebut hendaknya berbicara dalam bahasa setempat.
Kedua
bersaudara, Sirilus dan Metodius, menawarkan diri untuk menjadi sukarelawan dan
diterima. Mereka tahu bahwa mereka akan diminta untuk meninggalkan negeri,
bahasa serta kebudayaan mereka demi cinta kepada Yesus. Mereka melakukannya
dengan sukacita. Sirilus dan Metodius menciptakan abjad Slavia. Mereka
menerjemahkan Kitab Suci dan liturgi Gereja ke dalam bahasa Slavia. Oleh karena
jasa mereka, rakyat dapat menerima ajaran kristiani dalam bahasa mereka
sendiri. Pada tanggal 31 Desember 1980, Paus Yohanes Paulus II mengangkat Santo
Sirilus dan Santo Metodius sebagai pelindung Eropa bersama dengan Santo
Benediktus.
Perjuangan
dan dedikasi yang mulia dari Santo Sirilus dan Metodius untuk menjadi tanda
Kerajaan Allah bagi bangsa Slavia ternyata tidak berjalan mulus. Mereka harus
menghadapi pelbagai kritik, kecaman dan perlawanan dari orang-orang Slavia
sendiri. Pengalaman nyata yang tidak mengenakan yang dialami oleh Sirilus dan
Metodius sejatinya sudah dialami oleh Sang Guru Ilahi mereka yakni Yesus
Kristus. Dalam perjalanan sejarahnya di tanah Israel, Yesus sudah memberi banyak
tanda yang jelas mengenai siapa Diri-Nya kepada segenap umat Israel. Melalui
kata-kata dan perbuatan-Nya yang ajaib, Yesus secara berulangkali menegaskan
identitas Diri-Nya kepada mereka (umat Israel). Namun seiring dengan semakin
banyak hal menakjubkan yang dibuat-Nya, semakin membuat para lawan-Nya menjadi
bingung dan heran. Sikap bingung dan heran ini yang memicu rasa antipati dan
sentimen kepada Yesus.
Dengan
maksud untuk mencobai Yesus dan mencari titik kesalahan-Nya. para lawan Yesus
yang kali ini diwakili oleh orang-orang Farisi meminta sebuah tanda dari Sorga.
Tanda dari sorga ini sebagai representasi yang menyatakan keilahian Yesus.
Penginjil Markus mencatat bahwa Yesus tidak menjawab apa-apa kepada lawan
bicara-Nya. Yesus hanya mengeluh dalam hati-Nya. Kemudian Ia berkata kepada
para murid-Nya: “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.” Yesus
mengungkapkan kekecewaan yang mendalam atas sikap gagal paham yang ditunjukkan
oleh orang-orang Farisi. Ia tidak mengerti mengapa orang-orang meminta tanda
dari-Nya tentang kuasa yang Ia miliki. Sementara hampir setiap waktu mereka
menyaksikan dengan terang benderang peran keilahian Yesus dalam setiap
kata-kata dan perbuatan-Nya.
Pada
akhirnya, Yesus mengetahui bahwa orang-orang yang meminta tanda dari-Nya, tidak
hanya gagal paham namun hati mereka telah menjadi batu alias tidak mau menaruh
sikap percaya kepada Diri-Nya. Ketidakpercayaan inilah yang menggiring mereka
untuk selalu mencari-cari kesalahan-Nya. Mereka merasa sangat terganggu dan
terancam dengan kehadiran Yesus. Karena kehadiran Yesus menciptakan
ketidaknyamanan posisi mereka sebagai elit agama. Mereka takut kehilangan
simpati publik. Mereka takut pamor atau citra diri mereka menjadi runtuh. Dan
segala kemudahan atau kenikmatan yang telah diperoleh selama ini akan lenyap.
Oleh karena itu, jalan satu-satunya adalah mencari kesalahan Yesus supaya Ia
dapat dijegal.
Mungkin
sebagai orang beriman, pertama-tama, kita seringkali menampilkan sikap
ragu-ragu dan tidak percaya kepada Tuhan. Kita gampang menyerah manakala
menghadapi setiap tantangan dan cobaan dalam hidup. Kita gampang menjadi lemah
dan putus asa. Dalam situasi demikian, seringkali kita mempertanyakan kemahakuasaan
Tuhan. Kita mulai ragu-ragu dan bahkan tidak percaya dengan Tuhan. Kedua,
karena tidak percaya dengan Tuhan maka kita juga gagal menunjukkan diri kita
sebagai tanda dari-Nya. Kita masih sibuk dan suka melakukan hal-hal yang tidak
berkenan di hadapan Tuhan. Sama seperti orang Farisi, kita gampang menaruh
sikap curiga, prasangka, sentimen, atau iri hati kepada sesama.
Hari ini kita belajar untuk semakin percaya
kepada Tuhan. Secara kasat mata kita tidak melihat Diri-Nya. Tetapi kita
sungguh yakin bahwa dalam setiap tantangan dan kesulitan yang kita hadapi,
Tuhan sementara menyatakan tanda kehadiran Diri-Nya. Dan ini butuh keterbukaan
iman untuk menerima dan menjawabi wahyu Tuhan yang hadir dalam
pengalaman-pengalaman demikian. Tuhan tidak pernah menyakiti atau membinasakan
manusia ciptaan-Nya sendiri. Namun adakalanya Tuhan membutuhkan pengalaman
sakit, derita, dan keterpurukan untuk menggembleng manusia menjadi pribadi yang
kuat dan matang dalam hidupnya. Semoga dengan menyadari hal demikian, kita
semakin memperbaiki diri untuk menjadi tanda yang baik bagi Dia yang kita
imani. Menjadi tanda yang baik tidak perlu hal yang muluk-muluk atau luar
biasa. Dengan hal-hal sederhana yang membawa kebaikan, penghiburan, kekuatan
dan keselamatan bagi orang lain, sebenarnya kita sudah menjadi tanda yang baik
Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar