Senin, 02 November 2020

Tetap Teguh Berdiri Hingga Akhir

Luk 12:49-53

Pandangan tentang Yesus berbeda-beda di antara manusia. Bukan saja ketika Yesus sudah dewasa dan menjalankan misi keselamatan pasca dibaptis Yahanes di sungai Yordan, tetapi sudah sejak awal mula ketika Ia lahir ke dunia ini. Sepanjang hidup dan karya-Nya, bahkan hingga dewasa ini dan setrusnya, Yesus yang satu dan sama dipahami secara berbeda. 

 

Perbendaan pandangan itu melahirkan sikap yang berbeda pula. Herodes, misalnya memandang kelahiran Yesus sebagai mimpi buruk. Ia merasa ada saingan baru yang membahayakan kedudukannya. Maka melalui orang Majus, ia sangat berharap mendapatkan keterangan tentang posisi bayi Yesus agar ia dapat membunuh-Nya (Mat 2:7-16).

 

Demikian pula selama Ia menjalankan karya-Nya di dunia ini, beragam pendapat dan sikap, juga di antara sanak keluarga-Nya sendiri (Mrk 3:21; Yoh 7:5) menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Banyak yang menerima dan mengakui-Nya sebagai Mesias, namun tidak sedikit pula yang membenci, menolak dan kemudian membunuh-Nya.

 

Dalam Injil Luk 12:49-53 kita menemukan pengakuan Yesus sendiri terhadap kehadiran-Nya yang membawa pertentangan di tengah dunia ini. Oleh baptisan yang diteriman-Nya, yang berarti penenggelaman diri-Nya ke dalam misi keselamatan, suatu pandangan yang menimbulkan aneka ragam perasaan karena penderitaan dikaitkan dengan baptisan itu - Mrk 10:38-39 - (Tafsir Alkitab PB, 139), Yesus mendatangkan pandangan dan sikap yang berbeda terhadap-Nya dan menjadi pertentangan yang hebat.

 

Yesus menunjuk kenyataan itu dengan kata-kata-Nya: “Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan” (Luk 12:51).

 

Pertentangan itu tidaklah jauh-jauh. Pertentangan itu nyata terjadi di tengah keluarga. Tiga dari lima anggota keluarga yang menerima Dia dilawan oleh dua yang lain yang menolak-Nya. Ayah melawan putranya dan putra melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya. (Luk 12:52-53). Pertentanga itu berlangsung selamanya karena keyakinan yang berbeda terhadap Yesus.

 

Yesus dengan jelas dan terang berbicara tentang pertentangan di dalam keluarga sebagai konsekuenasi dari kedatangan-Nya ke dunia agar semua orang yang mengambil bagian dalam iman rasuli menyadari realitas ini. Lebih dari itu, agar semua orang beriman teguh berdiri dalam keyakinan; tidak goyah, tidak oleng, dan tidak membiarkan diri ditaklukkan oleh kebatilan.

 

Yesus sendiri telah melemparkan api ke bumi. Ia dipercayakan Bapa-Nya untuk menyalakan api di bumi. Api itu adalah lambang Roh Kudus (Kis 2:3-4) dan Yesus berharap api itu telah menyala (Luk 12:49) di dalam hati setiap orang yang menerima Dia. Kita ingat, dalam pembaptisan, Api Roh Kudus itu diterima dan secara simbolik dinyatakan dalam lilin yang dinyalakan. Api itulah yang menjaga iman semua orang beriman agar tetap bernyala.

 

Membiarkan diri terus-menerus dibakar oleh Api Roh Kudus berarti sadar akan realitas dan menerima dengan penuh sukacita bahwa kebenaran yang dibawa oleh Yesus sungguh melahirkan pertentangan, juga penderitaan yang tidak sedikit karena pertentangan itu. Roh Api cinta kasih itu menengadakan pandangan kita kepada Dia yang lebih dahulu mengalami penderitaan karenan kebenaran yang dibawa-Nya dan dengan begitu meneguhkan kita untuk tetap kokoh berdiri dan bertahan hingga akhir, seperti yang telah Ia tunjukkan hingga kematian-Nya di salib.

 

Masing-masing kita mengalami penghakiman ketika setiap dari kita memilih atau menolak Dia. Bukan hanya memilih. Setiap orang yang setia pada pilihannya sampai mati akan menerima mahkota kemenangan, seperti Yesus menerima mahkota kemuliaan oleh karena kesetiaan pada kehendak Bapa-Nya sampai mati. Menolak Dia berarti menjatuhkan penghakiman atas diri kita sendiri sebagai bagian orang yang berada di luar keselamatan yang dibawa oleh-Nya.

 

Kita sudah menentukan pilihan kita ketika kita memberi diri dibaptis. Namun acapkali kita kurang menunjukkan iman kita dalam keseharian kita, terutama di tengah situasi hidup yang menantang, penuh risiko dan penderitaan. Kita mudah mengalah terhadap kebatilan dan kompromistis terhadap tekanan.

 

Refleksi ini kiranya membantu kita untuk menyadari kenyataan ini dan membuat kita tergerak untuk bangun kembali dari keterpurukan kita dan memberikan diri dibakar oleh Api Roh Cinta kasih. Dengan demikian iman kita bermekaran kembali dan mendatangkan buahnya yang nyata dalam hidup kita. Oleh Api Roh itu kita pasti akan tetap setia kepada Yesus sampai akhir, meskipun hidup kita tidak terlepas dari pertentangan, penolakan dan penderitaan. ***Apol***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar