Senin, 30 November 2020

Anugerah Pengertian Akan Kebenaran Rohani

Yes 11:1-10 & Luk 10:21-24

Nabi Yesaya meramalkan suatu dunia baru di masa depan yang akan dipimpin oleh sang Tunas baru yang timbul dari tunggul Isai, ayah Daud. Di bawah kepemimpinannya, dunia ini akan dipulihkan dan diubah kepada kebenaran, keadilan, kebaikan, kedamaian dan kesejahteraan.


Awal penggenapan ramalan ini terpenuhi tujuh ratus tahun sesudahnya ketika Yesus Kristus lahir ke dunia dan penyempurnaannya baru terealisasi sesudah Yesus datang kali kedua untuk mengadili dunia ini dengan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.


Sekalipun awal penggenapan ramalan Yesaya ini sudah terpenuhi, namun tidak semua orang mampu melihat dan menerima kebenaran ini. Menurut Injil Lukas, hanya orang-orang yang rendah hati sajalah kepada mereka Tuhan anugerahkan pengertian dan mata iman untuk melihatnya. Dan orang-orang itu bukan dari kalangan cerdik pandai dan bijak bestari, melainkan orang-orang kecil dan sederhana.


Orang-orang bijak sudah merasa penuh dengan pengetahuannya dan dalam rasa superioritas atas pengetahuannya mereka memandang diri dapat menemukan keselamatannya sendiri. Mereka menolak untuk menerima kebenaran dari Allah sendiri, dari firman yang disampaikan-Nya dengan konsekuensi disingkirkan dari persekutuan dan pengenalan akan Yesus Kristus.


Penginjil Lukas sebaliknya mengisahkan bahwa Yesus bergembira dan dipenuhi dengan sukacita karena Allah yang dipanggil-Nya sebagai Bapa itu telah menganugerahi pengertian akan kebenaran rohani kepada para murid-Nya, orang-orang kecil dan sederhana. Misteri keselamatan Allah dinyatakan kepada mereka yang sudah sejak semula dalam kesederhanaan hidup membuka hati mereka bagi panggilan Yesus dan mau dijadikan sebagai penjala manusia.


Yesus kemudian memerluas anugerah pengertian akan kebenaran roahani kepada semua orang kecil yang rendah hati ketika Ia berkata: “Berbahagialah mata yang melihat apa yang kamu lihat” (Luk 10:23). Artinya, bukan hanya kepada para murid di sekeliling kehidupan Yesus pada waktu itu, melainkan kepada semua orang yang sederhana dan membuka hatinya kepada firman Allah akan melihat dengan terang misteri keselamatan Allah yang nyata dalam diri Yesus Kristus.

 

Kepada orang-orang demikian Yesus menyatakan kepedulian dan keberpihakan-Nya. Ia membawa mereka semua dalam doa syukur kepada Bapa-Nya. Tidak hanya itu, orang-orang kecil, rendah hati dan terbuka itulah yang akan dibawa oleh Yesus sendiri untuk mendapatkan bagian dalam kehidupan dunia baru yang telah dipulihkan-Nya. Mereka akan mengalami sukacita yang paripurna dan sukacita itu tidak akan pernah diambil dari mereka.


Kita telah mengambil bagian dalam kemuridan Yesus yang memberikan kita garansi untuk mengambil bagian dalam kehidupan dunia baru. Keadaan dunia baru itu sudah dan sedang kita alami. Namun karena kepenuhannya masih akan terjadi kelak dan kenyataan bahwa dunia ini masih ditandai dengan berbagai pengalaman yang menantang iman, maka kita dituntut bagaimana seharusnya menunjukkan keterbukaan hati kita terhadap anugerah rohani.

 

Kerendahan hati menyadarkan kita bahwa kita tetap membutuhkan anugerah Allah yang menopang perjuangan kita sambil kita menantikan kepenuhan dunia baru. Kita tidak pernah merasa cukup dan bangga atas apa yang telah kita punyai, apalagi merasa bijak dan pandai, melainkan terbuka untuk menerima anugerah pengertian atas kebenaran rohani yang Ia nyatakan dalam sabda-Nya maupun dalam firman kehidupan.


Keterbukaan hati membuat kita mampu menerima anugerah rohani untuk melihat misteri keselamatan Allah yang sedang bekerja dan itulah kekuatan dasar yang meneguhkan hati kita untuk melampaui tantangan yang kita alami sementara kita menanti kepenuhan hidup dalam sukacita dan damai sejahtera.


Untuk itu maka marilah kita belajar menjadi murid Tuhan yang rendah hati, menunjukkan sikap hidup yang sederhana dan merasa bergantung akan penyelenggaraan ilahi. Kita pasti akan mendapatkan anugerah pengertian untuk melihat misteri keselamatan Allah dan digerakkan untuk menunjukkan sikap hidup seorang murid Tuhan yang selalu siap menantikan kepenuhan hidup dalam sukacita dan damai sejahtera. *** Apol***

Selasa, 24 November 2020

Salib Identitas Orang Kristiani

Luk 21:12-19

Menjadi murid Yesus bukanlah jaminan untuk bebas dari kesulitan, tantangan, penderitaan dan bahkan kematian secara badani. Sebaliknya, menjadi murid Yesus berarti mengambil bagian dalam kesulitan, tantangan, penderitaan dan kematian. Salib adalah identitas dari murid Yesus (Luk 9:23). Tanpa salib, seseorang bukanlah murid Yesus (Luk 14:27).


Kata-kata Yesus, “Tetapi tidak sehelai pun dari rambut kepalamu akan hilang” pada akhir Injil hari ini bukanlah tanda nyata bahwa iman akan Dia membebaskan umat beriman dari penderitaan ragawi. Kata-kata itu lebih merupakan kiasan tentang perlindungan yang sangat spiritual bagi setiap orang Kristiani yang benar-benar menanggung penderitaan demi nama-Nya. Salib tetap menjadi identitas umat beriman, jalan yang tidak dapat dihindari sebagai murid Yesus.


Penegasan akan identitas ini kembali diungkapkan Yesus dalam kata-kata-Nya: “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku” (Luk 21:12).


Lebih dari itu, Yesus bahkan berkata: “Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku” (Luk 21:16-17).


Kata-kata ini, benar-benar menantang semua orang yang menjadi pengikut-Nya. Kalau dipikir-pikir, apakah ajaran seradikal ini benar-benar dapat dihayati? Dalam bahasa lain, apakah orang-orang yang menyebut dirinya murid Yesus sungguh menghayati kebenaran sabda Yesus ini? Apakah salib itu benar-benar riil menjadi identitas orang Kristiani?


Melihat perilaku hidup orang-orang Kristiani, jujur saja dikatakan bahwa tidak semua orang yang menyebut dirinya Kristiani adalah benar-benar murid Yesus. Kalau mau digolongkan menurut tingkatan penghayatan maka sekurang-kurangnya ada tiga kelompok orang Kristiani.


Kelompok pertama disebut kelompok militan atau radikal dalam beriman, orang-orang yang sungguh berakar dalam iman. Yang tergabung dalam kelompok ini adalah mereka yang mengenakan salib sebagai jiwa mereka.

 

St. Stefanus dan para murid yang hidupnya ditandai dengan penderitaan, demikian juga para martir dalam gereja adalah wakil umat beriman yang hidupnya ditandai dengan salib. Salib adalah kesempatan bagi mereka untuk bersaksi (Luk 21:13). Dasar dari sikap militan adalah sabda Tuhan dan rasul-Nya dan keyakinan yang mendalam akan kebenarannya.


Ada kelompok umat beriman yang menunjukkan kualitas hidup mereka yang kurang militan, kurang hidup dan produktif. Mereka inilah kelompok yang rata-rata mendiami kantong mayoritas; kelompok yang merasa nyaman dan tertidur dan baru terkejut ketika ada tantangan yang berarti.


Karena imannya tertidur panjang maka perilaku hidup pun tidak karuan. Orang bertindak sedemikian rupa sehingga tidak lagi bertumbuh dalam kasih karunia. Ciri hidup duniawi menjadi lebih kuat dengan konsekuensinya yang nyata seperti keterjebakan dalam perilaku hidup yang tidak selaras iman misalnya, iri hati dan perselisihan (1 Kor 3:3), apatis dan toleran terhadap kejahatan dalam masyarakat (1 Kor 5:1-13). Sabda Tuhan tidak lebih sakral dari pandangan dan filsafat duniawi, nalar dan emosi manusiawi dan karena itu kurang diindahkan. Kalau didengarkan, tidak dengan sungguh hati.


Oleh karena ciri keduniawiaan lebih kuat maka kelompok ini disebut juga sebagai kelompok Kristiani yang duniawi. Lazimnya, kelompok ini begitu bangga menjadi orang-orang Kristiani tetapi tidak pernah bisa membuktikan kebanggaan mereka dalam kualitas iman yang mumpuni. Bangga di mulut, namun mandul pada kesaksian hidup seperti yang diminta Yesus.


Kelompok terakhir adalah kelompok yang benar-benar bukan Kristiani meski tetap memakai identitas kristinani. Kelompok ini disebut juga kelompok bersarang. Identitas kristiani tidak lebih dari topeng untuk kenyamanan diri. Maka bisa jadi bahwa mereka sungguh sangat kristiani dalam tata laku, tetapi sebenarnya tidak sama sekali secara batiniah.

 

Berdasarkan tiga kategori kelompok orang Kristiani ini, kita bertanya pada diri kita masing-masing, saya masuk pada kategori mana?

 

Marilah kita refleksikan ini sebagai suatu persiapan diri bagi kita dalam memasuki masa Adven yang tidak lama lagi dan juga hari raya Natal yang akan datang. ***Apol***

 

BERSIKAP WASPADA MENGHADAPI AKHIR ZAMAN

Luk: 21:5-11

   Kata waspada dapat dipahami sebagai ‘awas pada’. Awas berarti tajam dan tepat dalam melihat, sehingga dapat melangkah ke depan dengan aman, damai, pasti  dan tak mudah tersesat. Kita semua diajak untuk mawas diri dan waspada sehingga tidak mudah disesatkan oleh aneka macam bentuk godaan, rayuan, tipu daya atau jebakan. Ketika kita setia menghayati iman kita di dalam hidup sehari-hari, maka kita  akan menjadi orang yang waspada terhadap aneka macam peristiwa yang bakal terjadi. Orang yang waspada biasanya sering mendapat banyak godaan, tantangan dan aneka macam bentuk penyesatan yang dilakukan oleh orang-orang jahat dalam bentuk tawaran harta benda, uang, pangkat/kedudukan/jabatan, dan kehormatan duniawi. Salah satu cara menghadapi godaan akan harta benda atau uang adalah hidup dan bertindak sederhana dengan mengusung nilai-nilai kebajikan hidup kristiani sambil memasrahkan diri pada penyelenggaraan Tuhan.

Gereja menempatkan tema akhir zaman pada akhir tahun liturgi ini untuk direnungkan karena berkaitan dengan tujuan final peziarahan hidup manusia yakni persatuan dengan Allah dalam Kerajaan-Nya. Kita semua diajak untuk merenungkan tema akhir zaman, meskipun Yesus sendiri tidak memberikan penjelasan atau gambaran yang jelas tentang waktu datangnya akhir zaman. Yesus mengetahui situasi yang akan terjadi setelah Ia meninggalkan dunia ini dan kembali ke surga, akan muncul menggunakan nama-Nya dalam menyebarkan ajaran sesat. Orang-orang itu akan datang dan mengaku bahwa merekalah nabi yang sesungguhnya padahal merekal adalah nabi-nabi palsu. Mereka adalah pembohong yang hanya bertujuan untuk mengacaukan hati dan pikiran serta keyakinan yang selama ini sudah tertanam kuat di dalam diri para murid. Karena itu, Yesus mengingatkan para muridNya agar tidak mengikuti ajaran orang-orang asing itu. Yesus mengingatkan para murid agar selalu waspada dan teguh beriman kepada-Nya. Yesus menghubungkan keruntuhan Bait Allah yang menjadi kebanggaan orang Yahudi dengan akhir zaman, bahwa akan terjadi gempa bumi yang dahsyat, bencana, perang, pemberontakan di mana-mana, kelaparan dan penyakit serta wabah yang menular. Yesus mengingatkan para murid-Nya untuk bersikap waspada, tidak takut dan panik ketika menghadapi semua musibah yang terjadi seperti kehancuran Bait Allah. Kehancuran Bait Allah harus dipahami dalam arti rohani yakni tubuh kita seperti apa yang dikatakan oleh Paulus “Tidak tahuka kamu bahwa tubuhmu adalah bait Roh Kudus yang diam di dalam kamu? (1 Kor 6:19). Kalau Bait Suci Allah dipahami dalam arti rohani sebagai tubuh kita sendiri, maka kita berkewajiban besar untuk menjaga, memlihara dan menyediakan suplai makanan yang mengandung kadar gizi untuk memberi pertumbuhan padanya. Kita akan selalu waspada jangan sampai tubuh kita mengalami dehidrasi (kekurangan cairan). Dalam pengertian rohani semacam ini, maka kita perlu menjaga kemurnian hati dan membiarkan Allah berkarya dalam diri dan hidup kita. Kebanggaan atas diri kita yang berlebihan akan mendatangkan malapetaka dan kesesatan, karena di sana peran Allah kita abaikan dan sepelhkan, sebagaimana orang Yahudi yang terlalu membanggakan Bait Suci Allah yang kemudian diluluh lantahkan tak berbekas.

Kalau diri kita tidak dikuasai oleh Roh Kudus maka, itu adalah tanda-tanda kehancuran jiwa kita. Bait Suci adalah representasi atau perwujudan kehadiran Allah sendiri, jadi kalau hidup manusia tidak dikuasai oleh Allah maka itu berarti kematian atau akhir hidup manusia semakin tak terelakkan. Kita sekalian diajak untuk berjaga-jaga, waspada dan jangan mengabaikan kehadiran Allah dalam hidup kita agar tidak terjadi kehancuran dan mala petaka. Yesus menghimbau agar kita jangan menghancurkan diri kita karena tubuh kita adalah Bait Suci tempat  Allah berdiam di dalamnya. Kita harus memberi tempat kepada Allah untuk menguasai dan merajai hati kita. Batu-batu bangunan Bait Allah itu adalah doa, kebaikan, amal kasih, pengharapan dll. Apabila kita menghidupi nilai-nilai ini maka dalam keyakinan kristiani kita percaya bahwa Bait Allah akan tetap berdiri kokoh di dalam diri kita masing-masing. Kita akan mampu menghalau sejuta godaan yang datang silih berganti merayu hati kita baik itu tawaran harta benda, uang, pangkat/kedudukan/jabatan, kehormatan duniawi bahkan kesaksian nabi-nabi palsu, karena tak satu pun dari antara tawaran duniawi itu memberi harapan akan keselamatan hidup kekal.

Kita harus sungguh-sungguh percaya bahwa Yesus adalah jalan satu-satunya menuju hidup kekal. Tidak ada jalan lain kecuali melalui-Nya. Keyakinan ini tidak boleh menjadi kata-kata hampa tetapi harus diaktualisasikan dalam tindakan kesaksian hidup yang nyata. Keberanian untuk memberikan kesaksian tentang Kristus kepada sesama adalah suatu keharusan karena ini adalah tugas perutusan kita sebagai murid-murid Kristus yang telah dimeterai oleh Sakramen Baptis. Kita juga memiliki tugas memerangi dan menolak dengan tegas segala macam tawaran duniawi yang menyesatkan hidup iman kita sekaligus membantu sesama kita yang telah masuk dalam perangkap kesesatan yang menghalangi mereka mengenal kebaikan dan tawaran keselamatan Allah.

            Bacaan Injil hari ini mengajak kita sekalian untuk bersikap waspada dan berjaga-jaga dalam menanti datangnya akhir zaman sambil terus konsisten melakukan tugas dan pekerjaan kita secara bertanggungjawab. Kita jangan membanggakan keindahan dunia yang merupakan hasil kreativitas manusia karena itu semua bersifat fana dan tidak menjamin keselamatan kekal. Sebaiknya kita mengisi ruang kosong dalam hidup kita dengan perbuatan baik yang membantu sesama keluar dari kesulitan hidupnya sambil menghidupkan doa harian kita sebagai sumber inspirasi dan kekuatan kita. 

            Mungkin sikap paling baik adalah memasrahkan hidup kita setiap saat pada perlindungan dan kasih Tuhan. Tugas kita sebagai murid-murid Kristus adalah membangun hidup yang harmonis baik vertikal maupun horisontal karena cepat atau lambat hidup kita akan berakhir dari dunia ini. Ada banyak hal yang tidak bisa kita prediksi dalam hidup ini. Jangankan soal kedatangan Yesus yang kedua, kadangkala untuk memprediksi apa yang akan terjadi esok hari pun kita tak bisa mengetahuinya. Hari-hari kita dipenuhi oleh misteri dan ketidakpastian, karena itu, tugas kita adalah melaksanakan dan menyelesaikan tugas hidup yang menjadi tanggung jawab kita sebaik-baiknya setiap hari bukan menghabiskan waktu untuk menghayal kapan datangnya akhir zaman. Ada orang-orang yang tidak bisa memprediksi apakah mereka besok masih bisa makan atau tidak, namun mereka memiliki keyakinan yang kuat, bahwa kesusahan hari ini biarlah untuk hari ini. Mereka yakin Tuhan pasti memelihara dan memberi apa yang terbaik yang mereka butuhkan. Ini adalah cara menjalani hidup yang sangat sederhana, yang terpenting perbuatan baik sekecil apa pun harus kita lakukan hari ini sebagai sumbangan nyata kita yang dapat dirasakan manfaatnya bagi banyak orang. Kita tidak perlu menghabiskan waktu kita hari ini untuk memikirkan hal-hal besar apa yang bisa kita buat karena pikiran semacam ini adalah godaan terbesar untuk mencari nama dan popularitas diri semata.

            Pesan moral yang paling riil dari kata-kata Yesus tentang Yerusalem di atas ialah, bahwa setiap manusia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi realita, bahwa akan datang waktunya semua kekayaan, peranan sosial, kedudukan, kemewahan, keahlian intelektual, yang dengan susah paya dibangun ini akan dilucuti dari pribadi manusia dan lebur dengan kefanaan badan sehingga yang tertinggal hanyalah jiwa yang polos yang harus berhadapan dengan Allah yang berkuasa untuk menetukan apakah jiwa itu layak untuk masuk kerajaan kekal.  Ajaran iman kristiani mengatakan, bahwa yang tidak layak akan masuk ke dalam neraka, sedangkan yang layak akan mengambil bagian dalam perjamuan abadi. Kita yakin bahwa belas kasih Allah akan berperanan besar, setiap kita pasti pernah melakukan suatu kebaikan yang menjadi elemen kunci keselamatan. Namun tak pernah ada yang tahu bagaimana Tuhan bertindak. Maka menjaga hati agar tetap bersih merupakan salah satu cara berjaga-jaga dan waspada yang paling tepat. *** Bernard Wadan***

Selasa, 17 November 2020

Keturunan Abraham

Luk 19:1-10

Di mata masyarakat dan para pemimpin agama Yahudi, pemungut cukai adalah orang yang mendapat kedudukan paling rendah dalam kalangan masyarakat karena mereka dipandang sebagai pengkhianat. Mereja adalah kaki tangannya penjajah Roma.

 

Dalam menjalankan tugas sebagai pemungut pajak, lazimnya mereka menagi pajak lebih besar dari seharusnya. Itu mereka lakukan demi kepentingan mereka sendiri, sebab pihak penjajah tidak memberikan gaji atas pekerjaan mereka. Mereka menggaji diri mereka sendiri.

 

Zakeus adalah salah seorang pemungut cukai. Namun kedudukannya di antara para pemungut cukai lebih tinggi. Lukas menyebut, Zakeus adalah kepala pemungut cukai (Luk 19:2). Tafsiran Perjanjian Baru tentang teks ini memerlihatkan kemungkinan bahwa Zakeus itu orang yang sangat kaya sebagai “penyelia wilayah” atau pengawas para pemungut cukai.

 

Sebagai penyelia, Zakeus memiliki otoritas untuk mengatur semua pelaksanaan tugas lapangan mereka. Ini tentunya tidak lepas dari kebijakan untuk menarik pajak dan pembagian atas kelebihan tagihan. Dalam sistem pembagian jata, tentunya sebagai penyelia ia mendapatkan lebih. Ia mengumpulkan lebih banyak bagi dirinya. Wajarlah kalau dikatakan, ia seorang yang kaya, bahkan sangat kaya.

 

Oleh karena ia mengorganisir pelaksanaan tugas ini, maka oleh para pemimpin Yahudi, Zakeus dilabelkan sebagai “kepala para pendosa”. Dialah yang bertanggung jawab atas segala kejahatan berkenaan dengan semua pekerjaan lapangan para pemungut cukai. Karena itu pula, Zakeuslah yang paling ditolak oleh masyarakat, terutama para pemimpin agama Yahudi. Bahkan dibilang orang terkutuk dan tidak mendapatkan bagian dari keselamatan sebagai keturunan Abraham.

 

Tidaklah demikian Yesus memandang Zakeus. Meskipun Zakeus gagal dalam memertahankan kedudukan keturunan Abraham, namun itu bukan alasan untuk menolak dan menyingkirkannya. Yesus memandang orang seperti Zakeus harus ditolong untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan. Dan ini sesuai dengan misi kedatangan-Nya (lih Luk 19:10).

 

Pada aspek yang lain, betapapun ia telah berdosa dengan memeras masyarakat, namun di hadapan Yesus, sebagai seorang manusia, Zakeus masih memiliki keunggulan-keunggulan yang diperhitungkan sebagai kebenaran yang olehnya  ia tetap menjadi bagian dari keturunan Abraham. Jika kelemahan dan kegagalannya dapat diperbaiki maka tentu akan sangat memaksimalkan keunggulan yang dimiliknya untuk menemukan kembali jalan keselamatan.

 

Seturut kisah Lukas, menjadi jelas bahwa kedudukannya tidak menghalangi Zakeus untuk berdaya upaya melihat Yesus, meskipun pilihan tindakannya bisa dipandang meredahkan harga dirinya. Ia tidak mau kehilangan kesempatan. Maka ia bertindak dengan cepat. Spontan ia berlari mendahului orang banyak dan memanjat pohon ara untuk melihat Yesus yang lewat di situ.

 

Apa yang kelihatan aneh itu justru memikat perhatian Yesus. Ada suatu tanda baik yang diperlihatkan Zakeus kepada Yesus, dan di luar dugaan justru inilah menentukan keputusan Yesus untuk bertandang ke rumahnya. Tanpa diundang, Yesus mengundang diri-Nya untuk bertandang ke rumahnya. Kegembiraan menyambut apa yang diminta Yesus memperlihatkan kejujuran dan kemurniaan hatinya akan apa yang ia lakukan.

 

Tidak hanya itu, Zakeus juga menunjukkan kejujuran dan keberaniannya dalam mengakui perbuatannya di hadapan publik dan menyatakan pertobatannya. Kesediaan untuk memberi setengah dari miliknya untuk orang miskin dan mengembalikan empat kali lipat dari apa yang diperasnya sesuai ketentuan dalam tradisi kehidupan orang Yahudi adalah tanda kesungguhan pertobatannya. Memang restitusi seperti itu tidak pernah mengapus akibat buruk yang pernah dilakukannya, akan tetapi kejujuran dan keberanian untuk mengungkapkannya dan ditunjang dengan ketekadan untuk melakukannya menjadi gambaran genuin tentang pertobatannya.

 

Kualitas hidup dan perubahan  sikap yang radikal oleh perjumpaan dengan Yesus inilah yang membuat ia tidak kehilangan kedudukan sebagai keturunan Abraham. Ia tetap mengambil bagian dalam keselamatan yang dijanjikan kepada Abraham dan keturunannya. “Hari ini telah terjadi keselamatan kepada rumah ini, karena orang ini pun anak Abraham” (Luk 19:9), demikianlah yang dikatakan Yesus.

 

Kita pun digolongkan dalam keturunan Abraham karena mengambil bagian dalam iman Abraham (Yoh 8:39; Rm 3:7). Namun seperti Zakeus acapkali kita terjebak dalam dosa dan kesalahan sehingga membuat kita gagal memertahankan kedudukan kita sebagai keturunan Abraham. Sekian sering kita menanggung akibat karena dosa dan kesalahan kita. Ditolak dan disingkirkan tidak jarang kita alami.

 

Namun pengalamun ini kiranya membuka mata iman kita bahwa kita perlu datang kepada Yesus yang menolong kita untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan. Ada daya upaya mesti kita lakukan untuk menarik rahmat-Nya yang menolong kita untuk bertobat dan membarui hidup kita. Maka rahmat keselamatan tetap menjadi bagian kita yang disebut keturunan Abraham.

 

Setelah kita ditolong untuk menemukan kembali jalan kepada keselamatan, maka kita juga dipanggil untuk membawa Injil kepada orang yang ditolak masyarakat. Ada banyak orang yang mengalami penolakan dan dikucilkan meskipun atas dosa dan kesalahan mereka sendiri. Kegagalan mereka bukanlah alasan untuk menolak mereka, melainkan ditolong untuk menemukan jalan kembali kepada keselamatan. Perhatian Yesus terhadap Zakheus memeringatkan kita untuk membawa Yesus kepada orang yang ditolak masyarakat, karena semua orang sedang mengalami kehilangan dan memerlukan keselamatan. Semua kita adalah keturunan Abraham. Kita diminta untuk saling menolong agar keselamatan itu tetap menjadi milik kita.*** Apol***

Minggu, 15 November 2020

Taatilah Pemerintah

Tit 3:1-7

 

St. Paulus memberikan nasihat kepada Titus agar ia mengingatkan umat untuk “tunduk pada pemerintah dan orang-orang yang berkuasa, taat dan siap untuk melakukan setiap pekerjaan yang baik” (Tit 3:1). Maksud Paulus adalah agar semua orang percaya menjadi warga negara yang baik dengan menunjukkan ketaatan kepada pemerintah dan peraturan sipil. Ketaatan terhadap pemimpin sipil adalah bagian dari keutamaan Kristiani. Orang beriman bukan lawan dari negara, melainkan bagian dari negara dan itu ditunjukkan dalam perilaku hidup yang baik yang dapat dicontohi.

 

Nasihat Paulus ini tentu tidak terlepas dari keyakinan dasar sebagaimana yang dikemukakan dalam surat kepada orang Roma bahwa pemerintah adalah lembaga yang didirikan dan ditetapkan oleh Allah untuk mengurusi kepentingan orang banyak agar hidup dalam keteraturan (lih. Rm 13:1-7). Pemerintah dengan demikian adalah hamba Allah yang dihadirkan demi kebaikan masyarakat. Ia menjadi alat di tangan Allah untuk melakukan keadilan dengan membatasi kejahatan melalui cara menjatuhkan hukuman kepada pelaku kejahatan dan melindungi yang baik dalam masyarakat (Rm 13:3-4).

 

Kecuali jika dengan terang dan jelas bahwa pemerintah dan peraturan sipil itu berlawanan dengan kebenaran yang dinyatakan Kitab Suci, maka dalam hal ini umat harus memilih lebih taat kepada Allah (Kis 5:29). Jadi, meskipun pemilihan dan penetapan itu berasal dari Allah, namun ketika pemerintahan sipil itu tidak menjalankan fungsinya sesuai rencana Allah maka secara otomatis ia sudah tidak berasal dari Allah lagi dan ketaatan terhadapnya adalah petaka.

 

Pemilihan dan penetapan Allah atas pemerintahan sipil dan hukum sipil adalah hidup manusia di dunia ini penuh dengan kejahilan dan kecemaran akibat dosa. Hal demikian menuntut perlu adanya kekuasaan yang mampu menentukan secara legitim pembatasan-pembatasan seperlunya dalam dunia sipil, agar semua orang terlindungi dan terbebaskan dari pelanggaran-pelangaran hukum yang merugikan kepentingan bersama. Allah menghendaki agar kebaikan dan keadilan tercipta juga melalui kekuasaan sipil dan penerapan hukum sipil yang berkeadilan. Pemerintah adalah wakil Allah di dunia ini.

 

Dengan demikian, ketaatan terhadap pemerintah dan peraturan sipil serta tuntutan akan hidup baik dalam masyarakat bukanlah hal yang bebas dari maksud dan rencana Allah, melainkan bagian dari hidup orang beriman yang menaati rencana Allah. Dalam konteks ini, Paulus dengan jelas mengatakan bahwa melawan pemerintah adalah melawan ketetapan Allah dan itu mendatangkan hukuman (lih. Rm 13:2).

 

Secara praktis, nasihat Paulus itu berhubungan erat  juga dengan kepentingan kesaksian hidup dan pemberitaan Injil. Tuntutan akan hidup baik sebagai warga negara, seperti yang dinyatakan Yesus dalam Mat 17:24-27; 22:15-22 dan kemudian diangkant kembali oleh Paulus (Rm 13:1-7) dan Petrus (1 Pet 2:13-17) dalam bahasa mereka masing-masing, menjadi bagian integral dari pemberitaan Injil. Sulit membayangkan bagaimana pemberitaan Injil menjadi efektif dan berdaya memengaruhi tanpa ditunjang dengan perilaku hidup baik sebagai warga negara.

 

Sebagai umat beriman yang hidup dalam bingkai NKRI, kita memiliki panggilan iman untuk hidup secara penuh sebagai warga sipil dengan menunjukkan ketaatan, dalam bahasa Paulus “tunduk”, kepada pemerintahan yang telah dipilih secara demokratis, menunjukkan hormat kepada dan mendoakan para pemimpin (1 Tim 2:1-3), bekerja dengan giat dalam membangun tatanan hidup yang baik dan penuh dengan keadilan serta menghindari pertengkaran dan perselihan yang merugikan kepentingan bersama.

 

Ketidaktaatan terhadap pemerintahan sipil dan hukum yang mengarahkan kita kepada kebaikan bersama mendatangkan konsekuensi yang tidak saja dirasakan oleh kita sendiri, melainkan juga segenap orang banyak. Ini menunjuk kepada perilaku melawan Allah dan rencana-Nya untuk kebaikan bersama kita serta tuntutan dasariah panggilan kristiani untuk hidup baik dan bekerja dengan baik dalam wadah NKRI demi menciptakan kebaikan dan keadilan.

 

Berkenaan dengan ini maka patutlah kita membangun kesadaran dalam diri kita bahwa iman menuntut panggilan untuk hidup secara penuh sebagai warga sipil, dan itu kita tunjukkan dengan ketaatan yang sepatutnya kepada pemerintah dan hukum sipil yang ada. Ketaatan kita itu  adalah ekspresi iman kepada Allah yang menghendaki kebaikan bersama bagi kita.

 

Marilah kita mendukung pemerintah kita yang telah dipilih secara demokratis dan telah berupaya membangun bangsa dan negara ini ke arah cita-cita bersama dengan doa-doa kita pun pula dengan melakukan setiap pekerjaan kita masing-masing dengan baik*** Apol***

 

TUMBUH KOKOH DALAM IMAN

Luk 18:35-43

Kadang-kadang secara pribadi, saya memahami kebaikan Tuhan menurut versi yang ada dalam pikiran saya. Ketika saya berdoa dan memohon bantuan pada-Nya, saya yakin bahwa Ia segera akan mengabulkannya. Tidak pernah terlintas bahwa Tuhan tidak akan memenuhi apa yang menjadi intensi atau niat pribadi. Namun fakta yang terjadi sebaliknya. Banyak kali saya mengalami bahwa butuh waktu yang panjang baru saya memahami bahwa Tuhan sungguh mengintervensi apa yang saya maui. Bahkan ada juga permohonan atau intensi yang sama sekalih tidak pernah diindahkan-Nya. Pengalaman-pengalaman rohani ini yang membuka cakrawala iman saya bahwa Tuhan itu sungguh penuh misteri. Ia sungguh tidak bisa digiring dan dikendalikan menurut cara dan kehendak pribadi kita.

 

Tuhan telah berjalan dengan pakem-Nya sendiri. Namun di balik Diri-Nya yang misteri Tuhan begitu dekat dan melingkupi setiap hidup manusia. Yang dituntut dari setiap manusia adalah sikap percaya yang total. Sikap percaya yang total membimbing manusia untuk mencintai Tuhan dengan penuh setia dan tanpa batas. Dalam segala situasi, Tuhan tetap menjadi prioritas hidup kita. Walaupun saat berada dalam pusaran hidup yang sulit dan menantang, iman kita kepada-Nya tidak goyah dan menjadi luntur. Tuhan punya rencana dan desain hidup yang berbeda dengan rencana dan desain hidup kita sebagai manusia.

 

Dalam bacaan Injil (Luk 18:35-43) yang kita baca pada hari ini, Yesus membuat suatu aksi fenomenal dengan menyembuhkan seorang buta dekat kota Yerikho. Teks paralel Injil Markus, menyebut dengan eksplisit nama si buta, yakni Bartimeus (Mrk 10:46). Lukas menjelaskan bahwa si buta tidak hanya mengalami buta, tetapi ia juga seorang pengemis. Keterbatasan fisik yang dimiliki, memaksa dia untuk tetap mempertahankan hidupnya (survive). Yang bisa dia lakukan hanya duduk di pinggir jalan sambil mengharapkan belaskasihan dari orang-orang yang lewat. Ketika Yesus melewati jalan itu, rupanya ia menangkap suatu situasi yang tidak biasanya. Suara orang yang bising dan bunyi langkah kaki yang riuh menghentakkan rasa penasarannya.

Si buta kemudian bertanya kepada orang-orang tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi. Orang mengatakan kepadanya bahwa Yesus orang Nazaret sedang lewat. Lalu dengan spontan ia berseru: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” (Luk 18:38). Hal yang mengagetkan adalah si buta memanggil Yesus dengan sebutan Anak Daud. Anak Daud adalah gelar yang diberikan kepada Yesus sang Mesias. Gelar Anak Daud tidak hanya merujuk secara genealogi bahwa Yesus berasal dari keturunan Daud. Lebih dari itu, kehadiran Yesus sebagai Anak Daud hendak menegaskan dan menghidupkan kembali kejayaan raja Daud pada masa lampau. Bedanya, raja Daud menciptakan kejayaan kerajaan manusia di dunia. Sementara Yesus menciptakan kejayaan kerajaan ilahi di tengah dunia. Si buta pasti telah memiliki referensi sebelumnya tentang figur Yesus. Ia juga mungkin sudah mendengar berbagai aksi mukjizat Yesus di tempat lain. Sehingga tanpa ragu, dengan mata batinnya yang terbuka lebar, ia dapat memastikan bahwa sosok Yesus yang lewat adalah sosok Anak Daud yang akan membawa keselamatan bagi dirinya.

 

Permohonannya kepada Yesus sepertinya tidak berjalan dengan mulus. Ada sekian orang yang mencoba menghalanginya. Mereka menyuruh supaya dia diam. Tetapi ia tidak peduli dengan halangan itu. Semakin keras ia berteriak. Tidak satu dua kali. Tetapi berkali-kali ia berteriak supaya Yesus mendengar dan mengabulkan apa yang menjadi keinginannya. Strateginya sukses. Karena Yesus berhenti dan menyuruh orang membimbingnya kepada-Nya. Yesus menanyakan apa yang dikehendakinya. Si buta menjawab bahwa ia ingin melihat. Dan Yesus berkata: “Melihatlah engkau, imanmu telah menyelamatkan engkau!” (Luk 18:42). Segera sesudah itu, matanya terbuka dan ia dapat melihat.

 

Si buta telah memberikan pelajaran iman yang sungguh berharga buat kita. Si buta tidak hanya percaya. Tetapi percaya dengan total. Percaya dengan total mengandung makna sinonim percaya dengan setia dan tidak terbatas. Walaupun mendapat tantangan dan halangan, tidak menyurutkan sedikit pun niatnya untuk terus berseru kepada Yesus. Iman yang kokoh dari si buta ini yang patut kita apresiasi. Acapkali kita juga mendapat tantangan dan halangan seperti yang dialami oleh si buta. Ketika kita merasa doa kita tidak dikabulkan, kita gampang merasa goyah dengan kepercayaan kita kepada Tuhan. Seringkali kita mempertanyakan kehadiran dan kebaikan yang dimiliki-Nya. Selanjutnya, kita bersikap masa bodoh dan tidak peduli lagi dengan hidup iman kita. Realitas memperlihatkan bahwa era ini, semakin banyak orang Katolik yang sudah bersikap skeptis dengan imannya sendiri. Mereka tidak lagi mempercayai kehadiran dan otoritas Tuhan dalam hidupnya. Kehidupan rohani menjadi kering. Orang lebih sibuk dengan kehidupan duniawi yang memberi kesenangan dan kenikmatan sesaat.

 

Bartimeus telah menyadarkan agar hidup iman kita kepada Tuhan jangan menjadi goyah dan hilang. Hendaknya kepercayaan kita tetap tumbuh kokoh dan kuat. Kebaikan dan kemurahan Tuhan tetap ada dan mengalir dalam hidup kita setiap hari. Konsistensi kesetiaan iman sungguh diuji saat kita merasa bahwa Tuhan tidak mengabulkan apa yang kita butuhkan. Sikap iman yang kokoh senantiasa mendorong agar kita tidak mundur sejengkal dari hadapan-Nya. Kita tetap percaya dalam iman bahwa Tuhan sementara merancang dan mendesain hidup yang terbaik bagi kita. ***Atanasius KD Labaona***


Selasa, 03 November 2020

MENJADI PRIBADI YANG OTENTIK

(Luk 14: 25-34)

Baru-baru ini, ketua lingkungan di komunitas saya berada mengeluhkan partisipasi yang lemah dari anggota lingkungan terhadap berbagai kegiatan yang diadakan baik di tingkat lingkungan maupun paroki. Banyak anggota lingkungan yang tidak proaktif, masa bodoh dan tidak mau tahu. Entah itu menyangkut kegiatan doa bersama, latihan koor, kerja bakti, pertemuan bersama dan pelbagai kegiatan sosial keagamaaan lainnya. Banyak alasan yang disodorkan oleh mereka untuk mengelak dan mencari pembenaran. Mulai dari alasan keluarga, sibuk dengan urusan rumah tangga sampai dengan urusan pekerjaan dan rutinitas di luar rumah yang tidak bisa ditinggalkan. Tentu saja hal ini bisa diterima akal sehat. Yang menjadi masalah adalah alasan-alasan ini menjadi alasan klise dan klasik bagi anggota lingkungan untuk tidak mau terlibat.

 

Dalam bacaan Injil (Luk 14:25-34) yang diperdengarkan kepada kita, Yesus menyampaikan tiga halangan besar bagi orang-orang yang hendak mengikuti-Nya. Pertama, keterikatan kepada keluarga. “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku (Luk 14:26). Kedua, ketidakberanian untuk memikul salib. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku (Luk 14:27). Ketiga, kelekatan kepada barang atau hal-hal duniawi. “Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku (Luk 14:33).

 

Ungkapan membenci keluarga sendiri seperti yang disampaikan oleh Yesus tidak bisa ditafsir secara lurus. Yesus sebenarnya tidak menghendaki orang untuk membenci anggota keluarnya. Sangat naif dan konyol apabila kita melakukan hal demikian. Yang ditekankan oleh Yesus adalah kepentingan Tuhan jauh lebih tinggi, melebihi segala kepentingan privasi kita. Kita boleh fokus dengan urusan keluarga tetapi jangan sampai meniadakan waktu untuk Tuhan. Kita harus membebaskan diri dari segala keterikatan dengan keluarga agar kita bisa memiliki waktu untuk melayani Tuhan dengan sepenuh hati. Tidak dengan setengah hati.

Banyak orang Katolik yang mengaku dirinya Katolik tetapi tidak menghidupi identitas kekatolikan di dalam dirinya. Agama Katolik hanya sekedar warisan dari nenek moyang. Tidak lebih dari itu. Agama Katolik hanya tertera dalam KTP (Kartu Tanda Penduduk). Sekedar formalitas belaka. Banyak orang Katolik yang tidak berani mengakui identitas kekatolikan di depan publik. Bahkan itu hanya berupa membuat tanda salib. Banyak orang Katolik takut menerima beban kalau identitasnya sebagai orang Katolik terungkap atau diketahui. Mereka takut mendapat tantangan atau kesulitan dalam hidupnya. Takut dihina, takut dicemooh, takut dianiaya, takut tidak mendapat pekerjaan dan penghidupan yang layak, takut tidak mendapatkan jabatan atau kekuasaan. Banyak orang Katolik yang berubah menjadi pribadi yang pragmatis dan oportunis. Atau dalam bahasa awam dikenal dengan istilah “cukup bermain aman saja.” Selama angin bertiup ke arah barat, ia akan mengikuti. Begitu pun sebaliknya apabila angin bertiup ke arah timur. Selagi membawa keuntungan dalam hidupnya, Tuhan dan agama menjadi entitas yang tidak penting.

 

Miris terjadi bahwa orang Katolik bisa dengan mudah menggadaikan agamanya demi mendapatkan keuntungan atau kekayaan duniawi. Kelekatan pada harta, kuasa, dan jabatan duniawi membuat orang Katolik tidak sungguh-sungguh menjadi orang Katolik. Cita-cita untuk mendapatkan banyak kekayaan dan jabatan yang tinggi dalam dunia membutakan orang Katolik untuk tetap berada di luar area kebenaran dan kehendak Allah sendiri. Acapkali terjadi saling sikut, timbul rasa iri hati, dendam kesumat, dan kemarahan yang tidak terkontrol. Dan itu dipertontonkan oleh orang Katolik. Tiga tantangan yang secara eksplisit dibeberkan oleh Yesus dalam sabda-Nya, menjadi tantangan besar bagi kita semua yang mengaku diri menjadi pengikuti Yesus Kristus. Selama tantangan-tantangan itu masih bercokol dalam diri kita maka akan menjadi sulit bagi kita untuk menjadi pengikut-Nya yang setia.

 

Kita tidak boleh menjadi seorang pengikut Yesus yang abal-abal. Pengikut yang penuh kemunafikan dan kebohongan. Kita harus menjadi seorang pengikut Yesus yang otentik. Pengikut Yesus yang otentik adalah pribadi yang sungguh menyadari hakikat panggilannya menjadi orang Kristen. Pribadi yang tahu akan kapasitas dan kapabilitasnya untuk menghidupi spiritualitas Yesus dalam setiap langkah kakinya. Sebagai orang Katolik, kita harus membebaskan diri dari tantangan-tantangan atau keterikatan-keterikatan yang menghalangi jalan kita untuk mengikuti Yesus. Santo Carolus Boromeus yang perayaannya kita rayakan pada hari ini sungguh memberi inspirasi kepada kita semua. Datang dari keluarga bangsawan yang kaya ternyata tidak menghalangi niat suci dari Carolus Boromeus untuk menjadi seorang imam Tuhan. Berseberangan dengan kehendak keluarganya, ia memutuskan untuk ditahbiskan menjadi imam. Dalam rentang waktu yang tidak begitu lama, ia akhirnya kembali ditahbiskan menjadi uskup agung kota Milan, Italia. Carolus Boromeus telah menunjukkan jati dirinya sebagai pribadi yang otentik. Pribadi yang mampu menunjukkan kesetiaannya kepada Tuhan dan tidak mau terikat dengan segala kepentingan duniawi. Ia sungguh membela kepentingan orang sakit dan tertindas dengan menyiapkan tempat tinggal dan memfasilitasi mereka dengan harta yang dimilikinya.

 

Menjadi pribadi yang otentik adalah milik kita sebagai orang Katolik di era ini. Tidak saja menjadi urusan kaum klerus, para biarawan/wati, tetapi kita semua sebagai anggota gereja yang satu dan sama. Kita harus mampu membebaskan diri segala keterikatan duniawi yang membelenggu kita. Tidak itu saja, kita mampu bertahan dari segala kesulitan dan tantangan yang merintangi jalan kita menuju iman kita yang sejati. Dengan berani, kita mampu menunjukkan kesetiaan kita kepada Yesus dengan mengikuti segala kebenaran dan kehendak-Nya. Terutama bagi kita dalam memberi pelayanan kasih kepada sesama di tempat ini. Karena wajah Tuhan sungguh tergambar dalam wajah-wajah yang menanti uluran kasih dan perhatian kita. Mari kita tunjukkan pribadi yang otentik dengan selalu setia menjadi pengikut Yesus Kristus. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Senin, 02 November 2020

Tetap Teguh Berdiri Hingga Akhir

Luk 12:49-53

Pandangan tentang Yesus berbeda-beda di antara manusia. Bukan saja ketika Yesus sudah dewasa dan menjalankan misi keselamatan pasca dibaptis Yahanes di sungai Yordan, tetapi sudah sejak awal mula ketika Ia lahir ke dunia ini. Sepanjang hidup dan karya-Nya, bahkan hingga dewasa ini dan setrusnya, Yesus yang satu dan sama dipahami secara berbeda. 

 

Perbendaan pandangan itu melahirkan sikap yang berbeda pula. Herodes, misalnya memandang kelahiran Yesus sebagai mimpi buruk. Ia merasa ada saingan baru yang membahayakan kedudukannya. Maka melalui orang Majus, ia sangat berharap mendapatkan keterangan tentang posisi bayi Yesus agar ia dapat membunuh-Nya (Mat 2:7-16).

 

Demikian pula selama Ia menjalankan karya-Nya di dunia ini, beragam pendapat dan sikap, juga di antara sanak keluarga-Nya sendiri (Mrk 3:21; Yoh 7:5) menjadi suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri. Banyak yang menerima dan mengakui-Nya sebagai Mesias, namun tidak sedikit pula yang membenci, menolak dan kemudian membunuh-Nya.

 

Dalam Injil Luk 12:49-53 kita menemukan pengakuan Yesus sendiri terhadap kehadiran-Nya yang membawa pertentangan di tengah dunia ini. Oleh baptisan yang diteriman-Nya, yang berarti penenggelaman diri-Nya ke dalam misi keselamatan, suatu pandangan yang menimbulkan aneka ragam perasaan karena penderitaan dikaitkan dengan baptisan itu - Mrk 10:38-39 - (Tafsir Alkitab PB, 139), Yesus mendatangkan pandangan dan sikap yang berbeda terhadap-Nya dan menjadi pertentangan yang hebat.

 

Yesus menunjuk kenyataan itu dengan kata-kata-Nya: “Kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi? Bukan, kata-Ku kepadamu, bukan damai, melainkan pertentangan” (Luk 12:51).

 

Pertentangan itu tidaklah jauh-jauh. Pertentangan itu nyata terjadi di tengah keluarga. Tiga dari lima anggota keluarga yang menerima Dia dilawan oleh dua yang lain yang menolak-Nya. Ayah melawan putranya dan putra melawan ayahnya, ibu melawan anaknya perempuan, dan anak perempuan melawan ibunya, ibu mertua melawan menantunya perempuan dan menantu perempuan melawan ibu mertuanya. (Luk 12:52-53). Pertentanga itu berlangsung selamanya karena keyakinan yang berbeda terhadap Yesus.

 

Yesus dengan jelas dan terang berbicara tentang pertentangan di dalam keluarga sebagai konsekuenasi dari kedatangan-Nya ke dunia agar semua orang yang mengambil bagian dalam iman rasuli menyadari realitas ini. Lebih dari itu, agar semua orang beriman teguh berdiri dalam keyakinan; tidak goyah, tidak oleng, dan tidak membiarkan diri ditaklukkan oleh kebatilan.

 

Yesus sendiri telah melemparkan api ke bumi. Ia dipercayakan Bapa-Nya untuk menyalakan api di bumi. Api itu adalah lambang Roh Kudus (Kis 2:3-4) dan Yesus berharap api itu telah menyala (Luk 12:49) di dalam hati setiap orang yang menerima Dia. Kita ingat, dalam pembaptisan, Api Roh Kudus itu diterima dan secara simbolik dinyatakan dalam lilin yang dinyalakan. Api itulah yang menjaga iman semua orang beriman agar tetap bernyala.

 

Membiarkan diri terus-menerus dibakar oleh Api Roh Kudus berarti sadar akan realitas dan menerima dengan penuh sukacita bahwa kebenaran yang dibawa oleh Yesus sungguh melahirkan pertentangan, juga penderitaan yang tidak sedikit karena pertentangan itu. Roh Api cinta kasih itu menengadakan pandangan kita kepada Dia yang lebih dahulu mengalami penderitaan karenan kebenaran yang dibawa-Nya dan dengan begitu meneguhkan kita untuk tetap kokoh berdiri dan bertahan hingga akhir, seperti yang telah Ia tunjukkan hingga kematian-Nya di salib.

 

Masing-masing kita mengalami penghakiman ketika setiap dari kita memilih atau menolak Dia. Bukan hanya memilih. Setiap orang yang setia pada pilihannya sampai mati akan menerima mahkota kemenangan, seperti Yesus menerima mahkota kemuliaan oleh karena kesetiaan pada kehendak Bapa-Nya sampai mati. Menolak Dia berarti menjatuhkan penghakiman atas diri kita sendiri sebagai bagian orang yang berada di luar keselamatan yang dibawa oleh-Nya.

 

Kita sudah menentukan pilihan kita ketika kita memberi diri dibaptis. Namun acapkali kita kurang menunjukkan iman kita dalam keseharian kita, terutama di tengah situasi hidup yang menantang, penuh risiko dan penderitaan. Kita mudah mengalah terhadap kebatilan dan kompromistis terhadap tekanan.

 

Refleksi ini kiranya membantu kita untuk menyadari kenyataan ini dan membuat kita tergerak untuk bangun kembali dari keterpurukan kita dan memberikan diri dibakar oleh Api Roh Cinta kasih. Dengan demikian iman kita bermekaran kembali dan mendatangkan buahnya yang nyata dalam hidup kita. Oleh Api Roh itu kita pasti akan tetap setia kepada Yesus sampai akhir, meskipun hidup kita tidak terlepas dari pertentangan, penolakan dan penderitaan. ***Apol***

Minggu, 01 November 2020

Menghadirkan Allah dan Kerajaan-Nya

Luk 13:18-21

Yesus menggunakan hal-hal praktis dalam kehidupan manusia untuk menjelaskan Kerajaan Allah. Meskipun hal-hal tersebut tidak serta merta menggambarkan Kerajaan Allah secara tuntas, namun karena manusia dekat dengan simbol-simbol, lagi pula dunia ini penuh dengan tanda-tanda dari Kerajaan Allah, maka Yesus tak mengelak untuk menggunakannya, malah Ia sering menggunakannya.

 

Dalam Injil hari ini Yesus menggunakan materi dari dunia pertanian dan kehidupan ibu rumah tangga untuk menjelaskan tentang Kerajaan Allah. Biji sesawi adalah jenis bebijian yang paling kecil, namun ketika bertumbuh ia menjadi sayuran pohon yang paling besar, berimbun dan karena itu menjadi tempat burung-burung bersarang. Ragi adalah bahan adonan roti yang membuat adonan mengembang. Dengannya roti menjadi lembut dan enak dimakan.

 

Kedua perumpaan itu diangkat Yesus untuk menunjukkan akibat yang muncul dari permulaan yang kecil. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah bahwa Kerajaan Allah yang hadir dan berkembang di dunia ini bermula dari hal-hal kecil dan sederhana yang mungkin saja luput dari perhatian manusia, bahkan disepelehkan atau dilupakan begitu saja karena terlampau kecil dan sederhana.  

 

Dalam Injil hari sebelumnya kita menemukan hadirnya Kerajaan Allah itu nyata dalam diri seorang perempuan yang sudah delapan belas tahun menderita sakit karena kuasa Iblis dan telah dibebaskan oleh Yesus. Namun karena terjadi pada orang sederhana plus dalam keadaan sakit, maka hal itu tidak tampak bagi kepala rumah ibadah. Kemunafikannya membutakan mata imannya untuk melihat tanda kehadiran Kerajaan Allah yang nyata dalam diri perempuan itu.

 

Dua perumpamaan yang diangkat Yesus ini memberi pelajaran berarti bagi kita, pertama-tama dan terutama adalah agar kita menaruh harapan akan permulaan Kerajaan Allah dalam kejadian-kejadian kecil, juga orang-orang kecil dan sederhana yang acapkali dipandang sebelah mata dan dikucilkan dari relasi sosial. Acapkali bahwa yang kecil dan sederhana itu memberikan hal-hal yang berguna, namun sayangnya  baru disadari setelah segala sesuatu itu sudah terjadi atau berlalu.

 

Allah itu akbar dan berkuasa mutlak juga dalam hal-hal yang besar. Dengan bersabda saja Ia bisa melakukan suatu yang menakjubkan. Namun Dia yang akbar itu menghargai proses dan dinamika pertumbuhan kerajaan-Nya di dunia ini di antara manusia. Maka Ia memulainya dalam hal-hal kecil dan sederhana namun unik. Pertumbuhannya pasti dan berdaya memengaruhi siapapun yang terbuka hatinya.

 

Jika Allah menunjukkan permulaan Kerajaan-Nya di tengah kita dalam hal-hal kecil dan sederhana maka Allah juga meminta kepada kita agar mau menghargai hal-hal kecil dan sederhana sebagai bagian dari proses pertumbuhan dan perkembangan Kerajaan Allah di dunia. Dengan menerima dan menghargai hal kecil dan sederhana kita bisa mengorientasikan hidup kita kepada dan bagi pemenuhan Kerajaan Allah sebagaimana yang Ia kehendaki.

 

Tidak perlu berpikir muluk-muluk dan susah-susah. Hidup kita yang berorientasi kepada Allah dan kerajaan-Nya akan sangat menentukan mutu hidup kita. Betapapun kecil dan sederhana apa yang kita tampilkan dalam hidup kita akan selalu menjadi bagian dari tanda-tanda kehadiran Kerejaan Allah di tengah dunia ini. Allah sendiri akan menggunakan hidup kita sebagai tanda bagi yang lain dan mendatangkan pengaruh yang baik dan membangun.

 

Betapa menyenangkan hati ini mengalami bahwa Allah dan kerajaan-Nya hidup dan berjaya di tengah-tengah kita oleh karena masing-masing kita berlomba-lomba untuk hidup dalam cara-cara yang dikehendaki Allah dan hadir bagi yang lain sebagai tanda dari Allah. Yang dikehendak Allah untuk kita lakukan agar bisa menghadirkan kerajaan-Nya secara nyata di tengah dunia ini adalah tinggal dalam kasih Allah. Jika ada kasih di antara kita maka Allah hadir di tengah-tengah kita. Dan kasih itu sendiri nyata dalam perbuatan-perbuatan, situasi dan pengalaman yang biasa dan sederhana namun berdaya memengaruhi orang lain.

 

Marilah kita belajar untuk menunjukkan hadirnya Allah dan kerajaan-Nya dalam hidup kita, bukan dalam cara-cara yang hebat dan luar biasa, tetapi dalam cara-cara yang biasa. Yang luar biasa akan terjadi dengan sendirinya. *** Apol***