(Luk 4: 38 – 44)
Kita semua pasti pernah melihat binatang yang bernama lebah dan lalat. Dua
binatang kecil ini memiliki mata dengan fungsi yang sama untuk mengamati dan
mengambil sebuah obyek berupa makanan untuk dimakan. Namun ada perbedaan yang
mendasar dari mata lalat dan mata lebah. Kalau mata lalat selalu mencari sampah
yang busuk; tidak hanya di tempat kotor tetapi juga di tempat yang bersih.
Sedangkan mata lebah selalu mencari bunga yang harum; tidak hanya di tempat bersih
tetapi juga di tempat sampah atau tempat kotor. Analogi mata lebah dan mata
lalat mau memberi pesan kepada kita bahwa sebagai manusia acapkali kita
menggunakan mata lalat untuk menaru prasangka, curiga dan sentimen kepada orang
lain. Sebaik apa pun hal yang dilakukan oleh orang lain, kita sering mengenakan
mata lalat untuk menghakimi dan mendiskreditkan orang lain. Kita jarang
menggunakan mata lebah untuk melihat segala realitas. Mata lebah adalah simbol
mata yang selalu melihat segala sesuatu dalam kaca mata positif. Termasuk dalam
hal-hal negatif, mata lebah menggerakkan kita untuk memandang dan memahami
segala sesuatu secara positif. Kita tidak gampang jatuh ke dalam sikap
prasangka dan curiga kepada orang lain. Mata lebah selalu membangun energi positif
dalam diri agar kita mau memberi respek dan meneladani kebaikan yang ada dalam
diri setiap manusia.
Pengalaman penolakan di kampung halaman-Nya Nazaret (Luk 4:16-30), ternyata
tidak menyurutkan niat mulia dari Yesus untuk terus mewartakan karya pelayanan
Allah di daerah lain. Di daerah Kapernaum, di dalam sebuah rumah ibadat, banyak
orang takjub mendengar perkataan-Nya. Orang banyak juga terpesona menyaksikan
mukjizat penyembuhan seorang yang kerasukan setan (Luk 4:31-37). “Alangkah
hebatnya perkataan ini! sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah
kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar” (Luk 4:36). Apresiasi kepada Yesus
ini dilatari oleh pengalaman orang-orang di Kapernaum yang mengalami hal-hal
baik dan prestisius yang telah dilakukan oleh Yesus.
Dari dalam rumah ibadat, Yesus pergi ke rumah Simon, salah seorang
murid-Nya. Di dalam rumah itu, Yesus mendapati ibu mertua Simon yang sementara
menderita sakit demam. Yesus kemudian menyembuhkan sakitnya. Ketika orang
banyak mendengar tentang Yesus dan segala perbuatan ajaib yang telah
dilakukan-Nya, mereka membawa kenalan dan kerabat yang sementara menderita
berbagai penyakit untuk disembuhkan. Kapernaum sungguh berbeda dengan Nazaret.
Di kampung asalnya, Yesus tidak memperlihatkan satu mukjizat pun kepada
orang-orang dan segenap anggota keluarga-Nya. Malahan mereka menaru prasangka,
sentimen dan mengusir Yesus dari hadapan mereka. Sementara di Kapernaum, orang
banyak begitu antusias menerima dan memuji segala perkataan dan perbuatan besar
yang telah dilakukan Yesus. Orang Kapernaum sungguh memberi respek atas
kehadiran Yesus dan kuasa ilahi yang keluar dari dalam diri-Nya. Indikasi sikap
respek berikutnya yang dilakukan oleh orang Kapernaum adalah mereka berusaha
menahan Yesus untuk tinggal bersama-sama dengan mereka (Mat 4:42). Tentu saja
Yesus menolaknya. Apa yang dilakukan oleh orang Kapernaum bertentangan dengan
tujuan kedatangan-Nya ke tengah dunia. Ia bermisi bukan untuk daerah-daerah
tertentu saja tetapi kepada semua daerah yang merindukan kabar keselamatan dari
Allah.
Pengalaman penolakan dan penerimaan yang dialami oleh Yesus di kampung
Nazaret dan Kapernaum mengafirmasi analogi mengenai mata lalat dan mata lebah.
Orang Nazaret lebih bertendensi mengenakan mata lalat menyambut kehadiran
Yesus. Memang pada awalnya mereka cukup simpatik dengan Yesus. Namun kemudian
segera berganti dengan sikap kecewa, iri hati, sentimen yang berlebihan ketika
mengetahui latar hidup dari Yesus. Mereka tidak percaya bahwa Yesus yang datang
dari masyarakat kalangan bawah bisa tampil penuh wibawa dan kuasa. Malahan
orang Nazaret menaru prasangka akan niat tulus yang dibawa oleh Yesus. Mereka
tidak percaya akan hal-hal baik yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus.
Berbeda dengan orang Nazaret, orang Kapernaum sungguh memakai mata lebah untuk
menangkap segala kebaikan yang dibawa oleh Yesus. Kebaikan itu terwujud dalam
sabda dan tindakan mukjizat yang menyelamatkan banyak orang. Orang Kapernaum
memberi respek dan menempatkan Yesus sebagai orang yang sangat spesial dalam
hidup mereka. Kehadiran Yesus yang memberi kesejukan lewat kata-kata dan
tindakan mukjizat yang menyelamatkan mereka dari segala penyakit sungguh
memberi kekuatan dan keyakinan bahwa Yesus bukan orang sembarangan. Yesus
adalah manusia yang memiliki kuasa Allah. Bahkan setan-setan yang keluar dari
tubuh orang sakit pun memberi pengakuan yang dasyat: “Engkau adalah anak Allah”
(Mat 4:41).
Sebagai orang Katolik, seringkali kita menaru curiga, prasangka, sentimen,
atau sikap destruktif lainnya kepada orang atau sesama. Kita cenderung
menghakimi mereka dengan ucapan dan tindakan yang tidak pantas. Bahkan, kita
mengekslusi, memarginalisasi atau mengkarantina mereka dari lingkup pergaulan
sosial. Seperti orang Nazaret, kita cenderung menggunakan mata lalat untuk
melihat segala realitas yang ada di sekeliling kita. Sebaik apa pun kenyataan
yang baik selalu kita lihat sebagai hal yang tidak baik. Orang yang membawa
kebaikan dan prestasi saja selalu kita anggap remeh. Apalagi jika ia mempunyai
sedikit kesalahan. Pasti akan mendapat hinaan dan cercaan yang luar biasa.
Kita sungguh belajar dari sikap orang Kapernaum. Pikiran yang waras dan
ketulusan hati menuntun kita untuk dapat memberi respek pada setiap pengalaman
atau kenyataan yang kita hadapi. Kita sungguh menghargai orang lain sebagai
pribadi yang mulia di hadapan Tuhan, seburuk apa pun kesalahan yang telah
dilakukan. Kita juga memberi respek kepada segala kebaikan, prestasi kerja atau
hal-hal positif yang dibawa oleh sesama atau rekan kerja kita. Karena dari
segala kebaikan itu, kita juga mau belajar untuk menjadi baik dan mendongkrak
prestasi kerja yang mungkin saja masih melempem. Dengan demikian, kita telah
berupaya mengenakan mata lebah untuk melihat dan memandang realitas yang ada di
sekitar kita. Mata lebah membantu kita untuk melihat segala pengalaman
manusiawi sebagai sebuah pengalaman iman dimana Tuhan sendiri yang sementara
melakukan intervensi dalam hidup kita. Menyadari hal demikian, tentu semakin
meningkatkan hidup iman dan ketakwaan kita kepada-Nya. kita semakin mengakui
Dia, sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar