Selasa, 01 September 2020

MELIHAT DENGAN MATA LEBAH

(Luk 4: 38 – 44)


Kita semua pasti pernah melihat binatang yang bernama lebah dan lalat. Dua binatang kecil ini memiliki mata dengan fungsi yang sama untuk mengamati dan mengambil sebuah obyek berupa makanan untuk dimakan. Namun ada perbedaan yang mendasar dari mata lalat dan mata lebah. Kalau mata lalat selalu mencari sampah yang busuk; tidak hanya di tempat kotor tetapi juga di tempat yang bersih. Sedangkan mata lebah selalu mencari bunga yang harum; tidak hanya di tempat bersih tetapi juga di tempat sampah atau tempat kotor. Analogi mata lebah dan mata lalat mau memberi pesan kepada kita bahwa sebagai manusia acapkali kita menggunakan mata lalat untuk menaru prasangka, curiga dan sentimen kepada orang lain. Sebaik apa pun hal yang dilakukan oleh orang lain, kita sering mengenakan mata lalat untuk menghakimi dan mendiskreditkan orang lain. Kita jarang menggunakan mata lebah untuk melihat segala realitas. Mata lebah adalah simbol mata yang selalu melihat segala sesuatu dalam kaca mata positif. Termasuk dalam hal-hal negatif, mata lebah menggerakkan kita untuk memandang dan memahami segala sesuatu secara positif. Kita tidak gampang jatuh ke dalam sikap prasangka dan curiga kepada orang lain. Mata lebah selalu membangun energi positif dalam diri agar kita mau memberi respek dan meneladani kebaikan yang ada dalam diri setiap manusia.

 

Pengalaman penolakan di kampung halaman-Nya Nazaret (Luk 4:16-30), ternyata tidak menyurutkan niat mulia dari Yesus untuk terus mewartakan karya pelayanan Allah di daerah lain. Di daerah Kapernaum, di dalam sebuah rumah ibadat, banyak orang takjub mendengar perkataan-Nya. Orang banyak juga terpesona menyaksikan mukjizat penyembuhan seorang yang kerasukan setan (Luk 4:31-37). “Alangkah hebatnya perkataan ini! sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar” (Luk 4:36). Apresiasi kepada Yesus ini dilatari oleh pengalaman orang-orang di Kapernaum yang mengalami hal-hal baik dan prestisius yang telah dilakukan oleh Yesus.

 

Dari dalam rumah ibadat, Yesus pergi ke rumah Simon, salah seorang murid-Nya. Di dalam rumah itu, Yesus mendapati ibu mertua Simon yang sementara menderita sakit demam. Yesus kemudian menyembuhkan sakitnya. Ketika orang banyak mendengar tentang Yesus dan segala perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya, mereka membawa kenalan dan kerabat yang sementara menderita berbagai penyakit untuk disembuhkan. Kapernaum sungguh berbeda dengan Nazaret. Di kampung asalnya, Yesus tidak memperlihatkan satu mukjizat pun kepada orang-orang dan segenap anggota keluarga-Nya. Malahan mereka menaru prasangka, sentimen dan mengusir Yesus dari hadapan mereka. Sementara di Kapernaum, orang banyak begitu antusias menerima dan memuji segala perkataan dan perbuatan besar yang telah dilakukan Yesus. Orang Kapernaum sungguh memberi respek atas kehadiran Yesus dan kuasa ilahi yang keluar dari dalam diri-Nya. Indikasi sikap respek berikutnya yang dilakukan oleh orang Kapernaum adalah mereka berusaha menahan Yesus untuk tinggal bersama-sama dengan mereka (Mat 4:42). Tentu saja Yesus menolaknya. Apa yang dilakukan oleh orang Kapernaum bertentangan dengan tujuan kedatangan-Nya ke tengah dunia. Ia bermisi bukan untuk daerah-daerah tertentu saja tetapi kepada semua daerah yang merindukan kabar keselamatan dari Allah.

 

Pengalaman penolakan dan penerimaan yang dialami oleh Yesus di kampung Nazaret dan Kapernaum mengafirmasi analogi mengenai mata lalat dan mata lebah. Orang Nazaret lebih bertendensi mengenakan mata lalat menyambut kehadiran Yesus. Memang pada awalnya mereka cukup simpatik dengan Yesus. Namun kemudian segera berganti dengan sikap kecewa, iri hati, sentimen yang berlebihan ketika mengetahui latar hidup dari Yesus. Mereka tidak percaya bahwa Yesus yang datang dari masyarakat kalangan bawah bisa tampil penuh wibawa dan kuasa. Malahan orang Nazaret menaru prasangka akan niat tulus yang dibawa oleh Yesus. Mereka tidak percaya akan hal-hal baik yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus. Berbeda dengan orang Nazaret, orang Kapernaum sungguh memakai mata lebah untuk menangkap segala kebaikan yang dibawa oleh Yesus. Kebaikan itu terwujud dalam sabda dan tindakan mukjizat yang menyelamatkan banyak orang. Orang Kapernaum memberi respek dan menempatkan Yesus sebagai orang yang sangat spesial dalam hidup mereka. Kehadiran Yesus yang memberi kesejukan lewat kata-kata dan tindakan mukjizat yang menyelamatkan mereka dari segala penyakit sungguh memberi kekuatan dan keyakinan bahwa Yesus bukan orang sembarangan. Yesus adalah manusia yang memiliki kuasa Allah. Bahkan setan-setan yang keluar dari tubuh orang sakit pun memberi pengakuan yang dasyat: “Engkau adalah anak Allah” (Mat 4:41).

 

Sebagai orang Katolik, seringkali kita menaru curiga, prasangka, sentimen, atau sikap destruktif lainnya kepada orang atau sesama. Kita cenderung menghakimi mereka dengan ucapan dan tindakan yang tidak pantas. Bahkan, kita mengekslusi, memarginalisasi atau mengkarantina mereka dari lingkup pergaulan sosial. Seperti orang Nazaret, kita cenderung menggunakan mata lalat untuk melihat segala realitas yang ada di sekeliling kita. Sebaik apa pun kenyataan yang baik selalu kita lihat sebagai hal yang tidak baik. Orang yang membawa kebaikan dan prestasi saja selalu kita anggap remeh. Apalagi jika ia mempunyai sedikit kesalahan. Pasti akan mendapat hinaan dan cercaan yang luar biasa.

 

Kita sungguh belajar dari sikap orang Kapernaum. Pikiran yang waras dan ketulusan hati menuntun kita untuk dapat memberi respek pada setiap pengalaman atau kenyataan yang kita hadapi. Kita sungguh menghargai orang lain sebagai pribadi yang mulia di hadapan Tuhan, seburuk apa pun kesalahan yang telah dilakukan. Kita juga memberi respek kepada segala kebaikan, prestasi kerja atau hal-hal positif yang dibawa oleh sesama atau rekan kerja kita. Karena dari segala kebaikan itu, kita juga mau belajar untuk menjadi baik dan mendongkrak prestasi kerja yang mungkin saja masih melempem. Dengan demikian, kita telah berupaya mengenakan mata lebah untuk melihat dan memandang realitas yang ada di sekitar kita. Mata lebah membantu kita untuk melihat segala pengalaman manusiawi sebagai sebuah pengalaman iman dimana Tuhan sendiri yang sementara melakukan intervensi dalam hidup kita. Menyadari hal demikian, tentu semakin meningkatkan hidup iman dan ketakwaan kita kepada-Nya. kita semakin mengakui Dia, sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar