Ef 4: 1-9, Mat 9:9-13
Hari ini kita merayakan pesta Santo Matius, seorang rasul yang tercatat
dalam kelompok 12 rasul Yesus. Matius juga seorang penulis Injil. Ia memberikan
kontribusi mulia dengan menulis Injil Matius. Teks suci pertama dari keseluruan
bagi Kitab Suci Perjanjian Baru. Matius adalah anak dari Alfeus. Seorang
pemungut cukai di kota Kapernaum. Ia berprofesi sebagai seorang pemungut cukai
(penarik pajak). Sebuah profesi di “lahan basah”. Karena para petugas pajak
seperti matius bisa menggunakan segala kewenangan yang dimiliki untuk mendapat
keuntungan yang besar secara ekonomi. Para penarik pajak kala itu dipilih oleh
para pejabat lokal Romawi dari penduduk setempat yang dipandang dapat diajak
bekerja sama. Mereka diberi otoritas untuk menarik pajak namun sama sekali
tidak diberi gaji atas tugas mereka. Untuk mensiasati demikian, mereka menarik
pajak melebihi jumlah yang telah ditentukan. Selisih dari jumlah itu yang masuk
dalam kantung pribadi mereka. Tidak heran para elit agama Yahudi menuduh para
pemungut cukai sebagai kaki tangan para penjajah yang membawa kesengsaraan dan
kemelaratan bagi rakyat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi pemungut cukai adalah profesi yang
memiliki konotasi yang negatif. Dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya
dilihat sebagai para penjahat yang memeras uang rakyat. Memungut cukai adalah
sebuah profesi yang memiliki stereotip yang negatif. Mereka yang menjalani
profesi demikian tidak lebih dari seorang pendosa. Seorang yang tidak pantas
dan tidak layak mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Mereka akan
dikucilkan dari komunitas sosialnya. Legitimasi pandangan ajaran agama Yahudi
semakin menegaskan profesi para pemungut cukai sebagai golongan rendahan dan
para pendosa yang tidak mendapat tempat terhormat di hati Allah. Matius menjadi
salah seorang yang tersingkir dari bangsanya sendiri sebagai implikasi dari
pilihan hidupnya menjadi seorang pemungut cukai.
Di mata manusia biasa, Matius pemungut cukai adalah seorang pendosa. Namun
tidak di mata Yesus. Matius sungguh mendapat tempat terhormat di hati Yesus.
Ketika melihat Matius, Yesus berkata: “Ikutlah Aku” (Mat 9:9). Sebuah ajakan
persuasif yang sungguh meneguhkan hati Matius. Matius tidak menyangka akan
disapa oleh Yesus. Maka dengan riang dan semangat, Matius segera mengikuti
Yesus. Tidak hanya mengajak, Yesus juga datang dan makan di rumahnya. Bersama
dengan mereka, ada juga rekan-rekan kerja Matius dan orang-orang lainnya yang
masuk juga dalam kategori kaum pendosa. Ketika orang Farisi menyaksikan
pemandangan yang tidak lazim tersebut mereka melakukan protes kepada
murid-murid Yesus. Dalam pandangan Yahudi, kegiatan makan dan minum adalah
kegiatan yang sakral. Oleh karena itu, kegiatan suci tersebut tidak seharusnya
dinodai dengan kehadiran para pemungut cukai dan orang berdosa lainnya. “Yesus
mendengarnya dan berkata: Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang
sakit” (Mat 9:12). Dengan pernyataan itu, Yesus menegaskan tujuan
kedatangan-Nya ke muka bumi sebenarnya untuk menyelamatkan mereka yang sakit
dan terbuang. Tetapi tidak bermakna menafikan orang sehat dan benar di mata
Allah. Orang sehat dan benar perlu memperjuangkan dan mempertahankan
konsistensi mereka kepada kehendak Allah. Berbeda lagi kalau orang sehat dan
benar merasa diri paling paling pintar dan tidak memerlukan jalan menuju Allah.
Kelompok orang ini yang pasti akan mendapat kecaman keras dari Yesus. Mereka
akan dipandang sebagai orang-orang “keras hati” yang tidak mendapat hikmat dari
Allah. Sementara orang sakit dan termarginalisasi perlu diangkat, disembuhkan
dan dibimbing secara khusus oleh Yesus. Termasuk Matius, pemungut cukai. Ia
menjadi salah seorang yang diselamatkan dan kemudian mendapat meterai sebagai
seorang rasul potensial. Tidak hanya mengajar dan memberi kesaksian lewat
kata-kata, Matius juga menyumbangkan karya besar-Nya bagi gereja dengan menulis
Injil Matius.
Sebagai seorang murid, Matius menjadi salah seorang saksi hidup yang
menyertai Yesus selama pewartaan-Nya, sampai saat sengsara dan wafat. Matius
juga menjadi saksi kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga. Santo Irenius
mengatakan bahwa Matius memberitakan Injil di antara orang-orang Yahudi demi
meyakinkan mereka bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah datang dalam diri
Yesus Kristus. Santo Klemes dari Alexandria menguatkan bahwa Matius merasul di
kalangan Yahudi selama 15 tahun. Kemudian ia pergi memberitakan Injil ke
negara-negara lain. Matius pergi ke Ethiopia di selatan Laut Kaspia dan di
beberapa wilayah kerajaan Persia Parsia, Makedonia, dan Suriah (Katakombe.Org).
Matius tidak akan menjadi seorang murid yang hebat lagi setia apabila ia
tidak mampu membuka hatinya untuk menerima tawaran Yesus. Begitu sebaliknya,
Matius tetaplah menjadi seorang Matius pemungut cukai yang tidak dianggap
apabila Yesus tidak datang dan memanggilnya. Perpaduan antara panggilan Tuhan
dan jawaban mutlak dari Matius untuk meninggalkan ketercelaannya sebagai
seorang pemungut cukai menjadi kunci utama keselamatan yang akan diterima
Matius. Matius menjadi besar dalam karya keselamatan Allah karena kepercayaan
dan kesetiaannya dalam misi mulia Allah. Yesus mau Matius ditinggikan sebagai
seorang rasul. Yesus tidak mau Matius direndahkan akibat dosanya sebagai
seorang pemungut cukai.
Kita semua juga dipanggil oleh Yesus untuk menjadi seorang murid seperti
Santo Matius. Hanya keterbukaan hatilah yang membuat panggilan Yesus itu menjadi
efektif dalam diri kita. Tentu tidak sekedar menjadi seorang murid dalam
tataran administratif. Pertama, kita harus bertobat dan meninggalkan manusia
lama kita. Manusia lama yang mengungkung kita dalam keberdosaan. Kedua, kita
harus betul-betul menunjukkan jati diri kita sebagai murid Yesus dengan
menunjukkan semangat kasih Yesus kepada orang lain. Dari dalam penjara, Santo
Paulus menulis suratnya kepada orang-orang Efesus; “Hendaklah kamu selalu
rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling
membantu” (Ef 4:2). Nasihat Paulus tidak hanya ditujukan kepada orang Efesus.
Tetapi kepada kita yang membanggakan diri sebagai orang Katolik di masa kini.
Kita harus menunjukkan identitas kita sebagai orang Katolik dengan menjadi
seorang murid Yesus yang berkualitas. Seorang murid yang mampu menunjukkan ciri
khas untuk membawa wajah kasih Tuhan kepada sesama, terutama kepada mereka yang
sakit dan terpinggirkan. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar