Yoh 6:60-69
Hari ini
Gereja Katolik memperingati St. Athanasius Agung. Athanasius lahir sekitar
tahun 297 dan meninggal tanggal 2 Mei 373. Ia adalah uskup di Alexandria, Mesir,
selama 45 tahun. Sebelum menjadi uskup, Athanasius sudah berjuang dengan gigih untuk
mempertahankan kemurnian iman kristiani dari gempuran ajaran Arianisme yang
menyangkal “ke-Allah-an” Yesus. Ia
kemudian melanjutkan perjuangannya itu secara lebih heroik setelah diangkat
menjadi uskup Alexandria.
Di tengah
penyangkalan kaum Arian itu, ia banyak menulis untuk memberikan
penjelasan-penjelasan iman tentang ke-Allah-an Yesus. Bahkan Kaisar Romawi yang telah menganut aliran Arianisme
tidak dapat memaksa dia berhenti menulis untuk memberikan penjelasan yang
terang dan jelas tentang iman kristiani yang sebenarnya.
Tekanan demi
tekanan harus ia hadapi dalam usaha mempertahankan kemurnian iman kristiani.
Sebanyak lima kali ia diusir dari keuskupannya. Bahkan para musuhnya berulang
kali mengejarnya dan hendak membunuhnya.
Namun Athanasius tetap tegar. Ia kokoh berdiri dalam kemurnian iman. Kebenaran
ajaran iman yang diperoleh sejak masa mudanya sebelum ia ditahbiskan menjadi
imam, melalui bacaan-bacaan yang digelutinya, sungguh-sungguh ia pertahankan.
Kegigihan perjuangan
Athanasius dalam membela iman kristiani yang murni itu berakhir dengan sukacita
besar. Oleh Konsili Konstantinopel yang diadakan tahun 381, Arianisme
dinyatakan sebagai ajaran sesat dan terlarang. Sebagai bentuk penghormatan
khusus kepada kegigihan perjuangannya memberla iman kristiani, maka Athanasius
Agung diberi gelar “Bapak Ortodoksi”.
Dari kehidupan
St. Athanasius Agung kita melihat, kemurniaan iman itu menjadi nyata ketika
berhadapan dengan penyangkalan yang disertai dengan pelbagai tindakan kekerasan
(bdk Yes 48:10). Jika Allah mau maka Ia yang berkuasa itu dapat membuat
semuanya menjadi jelas. Tidak ada konflik dan pertentangan. Namun Allah membuat
diri-Nya “seakan-akan buta”. Allah membiarkan hal itu terjadi agar kemurnian
iman yang menjadi anugerah-Nya itu dapat dibuktikan pengalaman hidup nyata
manusia.
Benarlah, sesuatu
yang murni pasti akan tetap bertahan. Apa yang berasal dari Allah tetap kekal
adanya (bdk. Kis 5:38-39) karena Ia yang memberi adalah kekal. Yang tidak murni
itulah yang akan berlalu. Arianisme terbukti ajaran sesat. Karena itu ia tidak
bertahan berhadapan dengan ajaran iman yang murni.
Dalam pengalaman para murid, kesejatian atau
kemurniaan iman mereka kepada Yesus benar-benar diuji (bdk 1 Pet 1:7). Yesus
sendiri menguji iman mereka dengan pengajaran-Nya yang keras, kata-kata yang
tidak enak didengar telinga dan diterima oleh hati. Demikianlah para murid mengeluh: "Perkataan ini keras, siapakah yang
sanggup mendengarkannya?" Sebagian besar murid Yesus tidak hanya
tergoncang imannya, mereka juga pergi meninggalkan Yesus (Yoh 6:66).
Mengundurkan diri itu jalan terbaik bagi mereka.
Petrus dan
murid-murid yang lain memilih tetap bertahan dan mengikuti Yesus. Mereka
mengakui, kata-kata Yesus memang keras, akan tetapi itulah kebenaran yang
memurnikan iman mereka. Karena itu, sekalipun Yesus menantang mereka dengan
pertanyaan: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (ay 67) akan tetapi
mereka tidak meninggalkan Yesus. Ujian-Nya membuat mereka timbul seperti emas
(bdk Ay 23:10). Itulah sebabnya Petrus berkata: "Tuhan, kepada siapakah
kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (ay 68).
Bersama St.
Athanasius Agung, seorang pilar Gereja, dan para murid Yesus yang setia, kita
meneguhkan iman kita di tengah situasi kehidupan yang ditandai dengan berbagai kekerasan
dan cobaan. Allah tidak pernah membiarkan kekerasan dan cobaan dunia itu untuk
“membinasakan” kita umatnya, melainkan sebagai medan ujian yang memurnikan iman
kita.
Iman bukan suatu
perkara yang sepeleh yang mudah diterima dan dilepaskan seperti mengenakan
pakaian, melainkan suatu yang esensial dalam hidup manusia. Dan untuk menguji
iman itu Allah memberi kita tantangan dan kesulitan hidup.
Yang sekarang
kita alami adalah pandemi covid-19 dan akibat-akibat yang ditimbulkan. Di
tengah dampak-dampak yang kita rasakan secara riil, kita juga masih dipusingkan
dengan sikap-sikap kontraproduktif sebagian masyarakat yang bisa saja menambah
beban kehidupan kita bersama. Semua itulah tangan yang kita hadapi dalam
kekuatan iman kita.
Selain tantangan
dan ujian iman yang berasal dari luar diri sebagaimana yang dialami St.
Athanasius yang berhadapan dengan kaum Arian, kita juga menghadapi tantangan
dan ujian dari kebenaran iman yang kita akui, dari sabda Yesus yang memberi
hidup. Kebenaran Yesus diperhadapkan dengan faktum tentang diri kita yang
adalah kesatuan antara roh dan daging. Apakah kita bisa menerima secara total
kebenaran Yesus dan menghayatinya dengan setia?
Di sinilah kita
melihat bahwa tantangan terberat kita adalah ketika kita berada pada
persimpangan jalan antara roh dan daging. Roh itu memberi hidup dan daging sama
sekali tidak berguna. Ketika kita memilih Roh maka kita memilih untuk bertahan
dalam kemurnian iman karena Rohlah yang membimbing kita kepada hidup.
Sebaliknya ketika kita memilih daging maka kita akan berkata: "Perkataan
ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" Mungkin kita tidak
seradikal murid yang meninggalkan Yesus, akan tetapi pasti bahwa kita akan
berada di wilayah abu-abu dalam hidup iman.
Kita diajak oleh
Tuhan hari ini agar di tengah situasi dunia yang dipenuhi dengan kekerasan dan
beban hidup yang tidak ringan ini kita tidak kehilangan iman dan jiwa
kekristenan kita, melainkan semakin teguh berdiri dan mampu menghayati iman secara murni dan
konsekuen. ***Apol Wuwur***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar