Jumat, 01 Mei 2020

KEMURNIAN IMAN MENJADI NYATA DALAM PENGALAMAN HIDUP


Yoh 6:60-69
Hari ini Gereja Katolik memperingati St. Athanasius Agung. Athanasius lahir sekitar tahun 297 dan meninggal tanggal 2 Mei 373. Ia adalah uskup di Alexandria, Mesir, selama 45 tahun. Sebelum menjadi uskup, Athanasius sudah berjuang dengan gigih untuk mempertahankan kemurnian iman kristiani dari gempuran ajaran Arianisme yang menyangkal “ke-Allah-an” Yesus.  Ia kemudian melanjutkan perjuangannya itu secara lebih heroik setelah diangkat menjadi uskup Alexandria.
Di tengah penyangkalan kaum Arian itu, ia banyak menulis untuk memberikan penjelasan-penjelasan iman tentang ke-Allah-an Yesus. Bahkan Kaisar  Romawi yang telah menganut aliran Arianisme tidak dapat memaksa dia berhenti menulis untuk memberikan penjelasan yang terang dan jelas tentang iman kristiani yang sebenarnya.

Tekanan demi tekanan harus ia hadapi dalam usaha mempertahankan kemurnian iman kristiani. Sebanyak lima kali ia diusir dari keuskupannya. Bahkan para musuhnya berulang kali mengejarnya dan hendak membunuhnya.  Namun Athanasius tetap tegar. Ia kokoh berdiri dalam kemurnian iman. Kebenaran ajaran iman yang diperoleh sejak masa mudanya sebelum ia ditahbiskan menjadi imam, melalui bacaan-bacaan yang digelutinya, sungguh-sungguh ia pertahankan.

Kegigihan perjuangan Athanasius dalam membela iman kristiani yang murni itu berakhir dengan sukacita besar. Oleh Konsili Konstantinopel yang diadakan tahun 381, Arianisme dinyatakan sebagai ajaran sesat dan terlarang. Sebagai bentuk penghormatan khusus kepada kegigihan perjuangannya memberla iman kristiani, maka Athanasius Agung diberi gelar “Bapak Ortodoksi”.

Dari kehidupan St. Athanasius Agung kita melihat, kemurniaan iman itu menjadi nyata ketika berhadapan dengan penyangkalan yang disertai dengan pelbagai tindakan kekerasan (bdk Yes 48:10). Jika Allah mau maka Ia yang berkuasa itu dapat membuat semuanya menjadi jelas. Tidak ada konflik dan pertentangan. Namun Allah membuat diri-Nya “seakan-akan buta”. Allah membiarkan hal itu terjadi agar kemurnian iman yang menjadi anugerah-Nya itu dapat dibuktikan pengalaman hidup nyata manusia.

Benarlah, sesuatu yang murni pasti akan tetap bertahan. Apa yang berasal dari Allah tetap kekal adanya (bdk. Kis 5:38-39) karena Ia yang memberi adalah kekal. Yang tidak murni itulah yang akan berlalu. Arianisme terbukti ajaran sesat. Karena itu ia tidak bertahan berhadapan dengan ajaran iman yang murni.

Dalam pengalaman para murid, kesejatian atau kemurniaan iman mereka kepada Yesus benar-benar diuji (bdk 1 Pet 1:7). Yesus sendiri menguji iman mereka dengan pengajaran-Nya yang keras, kata-kata yang tidak enak didengar telinga dan diterima oleh hati.  Demikianlah para murid mengeluh: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" Sebagian besar murid Yesus tidak hanya tergoncang imannya, mereka juga pergi meninggalkan Yesus (Yoh 6:66). Mengundurkan diri itu jalan terbaik bagi mereka.

Petrus dan murid-murid yang lain memilih tetap bertahan dan mengikuti Yesus. Mereka mengakui, kata-kata Yesus memang keras, akan tetapi itulah kebenaran yang memurnikan iman mereka. Karena itu, sekalipun Yesus menantang mereka dengan pertanyaan: "Apakah kamu tidak mau pergi juga?" (ay 67) akan tetapi mereka tidak meninggalkan Yesus.  Ujian-Nya membuat mereka timbul seperti emas (bdk Ay 23:10). Itulah sebabnya Petrus berkata: "Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? Perkataan-Mu adalah perkataan hidup yang kekal” (ay 68).

Bersama St. Athanasius Agung, seorang pilar Gereja, dan para murid Yesus yang setia, kita meneguhkan iman kita di tengah situasi kehidupan yang ditandai dengan berbagai kekerasan dan cobaan. Allah tidak pernah membiarkan kekerasan dan cobaan dunia itu untuk “membinasakan” kita umatnya, melainkan sebagai medan ujian yang memurnikan iman kita.

Iman bukan suatu perkara yang sepeleh yang mudah diterima dan dilepaskan seperti mengenakan pakaian, melainkan suatu yang esensial dalam hidup manusia. Dan untuk menguji iman itu Allah memberi kita tantangan dan kesulitan hidup.

Yang sekarang kita alami adalah pandemi covid-19 dan akibat-akibat yang ditimbulkan. Di tengah dampak-dampak yang kita rasakan secara riil, kita juga masih dipusingkan dengan sikap-sikap kontraproduktif sebagian masyarakat yang bisa saja menambah beban kehidupan kita bersama. Semua itulah tangan yang kita hadapi dalam kekuatan iman kita.

Selain tantangan dan ujian iman yang berasal dari luar diri sebagaimana yang dialami St. Athanasius yang berhadapan dengan kaum Arian, kita juga menghadapi tantangan dan ujian dari kebenaran iman yang kita akui, dari sabda Yesus yang memberi hidup. Kebenaran Yesus diperhadapkan dengan faktum tentang diri kita yang adalah kesatuan antara roh dan daging. Apakah kita bisa menerima secara total kebenaran Yesus dan menghayatinya dengan setia?

Di sinilah kita melihat bahwa tantangan terberat kita adalah ketika kita berada pada persimpangan jalan antara roh dan daging. Roh itu memberi hidup dan daging sama sekali tidak berguna. Ketika kita memilih Roh maka kita memilih untuk bertahan dalam kemurnian iman karena Rohlah yang membimbing kita kepada hidup. Sebaliknya ketika kita memilih daging maka kita akan berkata: "Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?" Mungkin kita tidak seradikal murid yang meninggalkan Yesus, akan tetapi pasti bahwa kita akan berada di wilayah abu-abu dalam hidup iman.

Kita diajak oleh Tuhan hari ini agar di tengah situasi dunia yang dipenuhi dengan kekerasan dan beban hidup yang tidak ringan ini kita tidak kehilangan iman dan jiwa kekristenan kita, melainkan semakin teguh berdiri  dan mampu menghayati iman secara murni dan konsekuen. ***Apol Wuwur***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar