Kis 15:22-31 & Yoh 15:12-17
Namanya Bapak Amin. Umurnya sekitar 70 tahun. Tubuhnya gempal dan tinggi.
Masih kelihatan tegap. Dari penampakan fisiknya, kelihatan bahwa sang bapak ini
dulunya seorang yang tidak saja gagah tetapi juga pekerja ulet. Walau tidak
sekuat dan segagah dulu, ia masih bekerja demi tetap survive (bertahan hidup) dari kerasnya dunia ini. Di usianya yang
mulai senja, ia harus tinggal sendiri tanpa ditemani oleh para kekasih hatinya.
Sang istri sudah pergi entah ke mana. Dua anaknya yang telah menginjak usia
dewasa tidak tahu tinggal di mana. Dulu mereka sering datang mengunjunginya.
Namun, sekarang sang bapak betul-betul bergulat dengan kesendiriannya. Sesekali
ia dikunjungi oleh para tetangganya yang baik hati. Mungkin merasa terenyuh dan
turut berempati dengan kesendiriannya. Para tetangga menunjukkan kasih kepada
sang bapak dengan berbagai cara. Ada yang datang membawa sembako. Dan ada pula
yang sekedar menemaninya bercerita. Sang bapak merasa beruntung karena dalam
kesendiriannya, sebenarnya ia tidak sendiri. Masih banyak saudara-saudarinya
yang tidak sedarah, tetap menunjukkan perhatian dan kasih mereka tanpa
mengharapkan pamrih (balasan).
Dalam seruannya kepada para murid (Yoh 15:12-17), Yesus mengatakan supaya
mereka saling mengasihi. Kasih itu tidak timbul dari pribadi mereka. Tetapi
datang dari Allah sendiri. Dan Allah melalui diri Yesus, telah sungguh-sungguh
menyatakan kasih itu dalam kata-kata dan perbuatan-Nya. Yesus menghendaki para
murid mengikuti kasih yang telah Ia tunjukkan kepada mereka. Sebuah kasih yang
total dan tulus. Tanpa ada kepentingan tertentu yang bermain di dalamnya. Kasih
itu adalah kasih tanpa pamrih. Kasih yang tidak mengharapkan balasan. Kasih
tanpa kalkulasi matematis. Kasih tanpa syarat. Saya mengasihi engkau karena
engkau adalah bagian dari saya. Du bist
ein stuck von mir (engkau adalah sepotong dari tubuhku).
Kasih Yesus adalah model kasih orang-orang kristiani. Model kasih Yesus
adalah salib. Yesus memilih untuk tetap mengasihi manusia ketika situasi
manusia tidak menggembirakan. Manusia berdosa dan Ia harus mati karena
dosa-dosa manusia. Ia tetap mencintai orang yang bersalah dengan mengorbankan
diri di atas salib. Sungguh suatu perbuatan yang besar dan agung (BBSS,
hal.190). Yesus sendiri berkata: “Tidak ada kasih yang lebih besar daripad
kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” Kasih Yesus
kepada manusia tahan uji di atas kayu salib. Tahan dalam penderitaan dan
kematian. Dan tak pernah berubah.
Kasih Yesus sungguh berbeda dengan model kasih manusia di era ini. Kasih
manusia yang masih dibaluti oleh pamrih-pamrih. Kasih yang masih menuntut
balasan. Apa yang saya dapat ketika kasih itu terpancar untuk orang lain. Kasih
yang masih dihiasi oleh perhitungan untung rugi. Atau bisa juga kita mengasihi
orang lain dengan syarat-syarat tertentu. Saya mengasihi engkau karena engkau
seorang yang tampan, cantik, kaya, baik hati, rela berkorban, dan sebagainya.
Dan kita dengan tegas menolak mengasihi orang lain yang tidak berada dalam
kategori baik. Kita menolak mengasihi mereka yang miskin, tidak tampan dan
tidak gagah. Kita juga ogah
memberikan kasih kepada mereka yang berlaku jahat. Orang-orang yang tidak
membawa pengaruh positif malahan merugikan hidup kita. Kita membenci dan
memusuhi mereka.
Hari ini, Yesus membawa sebuah model kasih yang revolusioner. Sebuah kasih
yang tulus dan total. Tanpa pamrih dan syarat-syarat tertentu. Apabila para
murid-Nya sungguh meneladani kasih-Nya, maka Yesus juga memberi garansi bahwa
ia tidak akan memanggil mereka dengan hamba, melainkan sahabat. Yesus akan
memperlakukan mereka sebagai seorang sahabat. Sebagai sahabat, tentu hubungan
Yesus dan para murid-Nya sangat mesra. Ia akan selalu menjaga dan melindungi
karya dan pelayanan kasih mereka di tengah dunia. Yudas dan Silas adalah dua
contoh murid yang telah dengan gagah berani mempertaruhkan nyawanya karena
kasih mereka kepada Kristus (Kis 15:26). Melalui bimbingan dan petunjuk roh
kudus, dua orang murid itu telah dipilih oleh jemaat untuk bersama-sama dengan
Paulus dan Barnabas pergi mengunjungi saudara-saudara mereka yang lain di
Antiokhia. Kasih kristus itulah yang mendorong mereka untuk pergi ke Antiokhia.
Mereka datang untuk menyampaikan kasih Kristus sehingga menguatkan hati
saudara-saudara mereka (Kis 15:32).
Kasih kristus yang tanpa pamrih mendorong kita semua untuk tidak ragu-ragu
memberikan kasih kita kepada setiap orang yang ada di sekitar kita. Dengan
berbagai cara, kehadiran kita sungguh membawa wajah kasih Kristus kepada siapa
saja. Bahkan kepada mereka yang mungkin tidak menyukai atau membenci kita.
Kasih kita sungguh menyasar mereka yang dipandang “sebelah mata dan dibuang”
oleh komunitasnya. Kasih kita sungguh menggema bagi siapa saja tanpa
mengharapkan pamrih atau balasan. Mari kita wujudkan kasih tanpa pamrih itu,
terutama bagi mereka yang sungguh-sungguh mengalami dampak buruk dari bahaya
pandemi Covic-19. Semoga. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar