Rabu, 30 September 2020

BRAHMACARYA

 (Luk 9: 57 – 62)

Mahatma Gandhi (1869-1948) adalah seorang pemimpin spiritual, politikus sejati sekaligus pahlawan kebanggaan negara India. Ia merupakan seorang tokoh yang mengagumi figur Yesus. Ia begitu mengagumi pribadi dan ajaran Yesus tentang cinta kasih. Banyak kekayaan intelektual dan filosofi hidupnya dipengaruhi oleh ajaran Yesus. Tiga filosofi hidupnya yang sangat terkenal adalah satyagraha (berpegang kepada kebenaran), ahimsa (perlawanan tanpa kekerasan / non violence), dan brahmacarya (pengekangan diri). Brahmacarya atau pengekangan diri mengacu pada sikap asketis untuk mengendalikan diri dari segala kepentingan dan tawaran kenikmatan duniawi. Ciri khas brahmacarya menunjuk pada pola hidup yang keras. Orang dituntut untuk hidup di luar kelaziman. Meditasi menjadi bagian dari rutinitas. Pola makan yang diatur secara ketat (tidak boleh asal makan). Pola hidup yang terarah termasuk menjauhi segala kesenangan dan kenikmatan dunia. Atau dalam bahasa Kristiani orang harus sungguh menghidupi semangat kemiskinan dalam hidupnya.. Brahmacarya adalah salah satu jalan menuju kesempurnaan dan keselamatan hidup. Untuk menggapai kesuksesan dalam hidup orang harus menahan, mengekang segala keinginan duniawi dan menjauhi segala kepentingan yang menghalangi jalan menuju kemenangan hidup.

 

Dalam bacaan Injil (Luk 9:57-62) yang diperdengarkan kepada kita pada hari ini, ada tiga halangan besar yang membuat orang-orang sukar untuk mengikuti Yesus secara total. Pertama, ada harapan akan mendapat untung secara ekonomi dan sosial. Orang seringkali membuat kalkulasi atau bargaining untuk memperoleh benefit (keuntungan) tertentu ketika mengikuti Yesus. Dengan menggunakan analogi Yesus mengungkapkan: “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya” (Luk 9:58). Yesus dengan tegas mau mengatakan bahwa tidak ada keuntungan apa-apa dengan mengikuti Dia. Seseorang tidak akan menjadi kaya dan memiliki kedudukan atau jabatan yang tinggi. Malahan orang akan mengalami banyak tantangan dan kesulitan dalam hidupnya. Karena bersama Yesus, orang harus hidup di jalanan dan tidak mempunyai rumah sekedar untuk melepaskan rasa penat.

Kedua, orang masih memiliki keterikatan atau kelekatan dengan pola hidup yang lama. Hal ini ditandai dengan sikap orang yang mau mengikuti Yesus tetapi masih meminta izin untuk pergi menguburkan ayahnya yang telah mati. Yesus memang pada dasarnya tidak meniadakan alasan yang sangat krusial dari orang tersebut. Namun Ia melihat ada halangan terselubung yang mengganjal orang itu untuk mengikuti Yesus. Orang itu masih mencintai harta dan kekayaan duniawi yang dimilikinya. Statement keras “Biarlah orang mati menguburkan orang mati” (Luk 9:60) mengafirmasi kehendak Yesus agar orang harus melepaskan segala keterikatan harta dan kekayaan duniawi jikalau mau mengikuti dan menjadi murid-Nya. Ketiga, orang tidak memiliki waktu untuk memberikan dirinya secara total kepada Yesus. Orang masih memikirkan dan mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. “Setiap orang yang siap membajak tetapi menoleh ke belakang, tidak layak untuk Kerajaan Allah” (Luk 9:62). Orang menjadi tidak fokus untuk mengikuti Yesus karena merasa urusan pribadi dan keluarganya berada di tempat pertama dan menjadi alasan utama.

 

Menilik tiga halangan yang digambarkan penginjil Lukas, kita perlu merefleksikan diri agar bisa secara lebih total mengikuti Yesus. Pertama, kita perlu menanamkan dalam diri bahwa mengikuti Yesus itu bukan perkara yang gampang. Butuh ketahanan diri yang mumpuni karena kita akan berhadapan dengan aneka tantangan dan kesulitan. Seorang murid Yesus harus siap untuk tidak mendapat keuntungan apa-apa karena mempertahankan identitasnya sebagai pengikut Yesus. Ia harus siap dihina, dicerca, dianggap rendah, dianiaya, bahkan harus menyerahkan nyawanya demi Yesus. Kedua, kita perlu membebaskan diri dari segala keterikatan harta dan kekayaan duniawi termasuk di dalamnya segala jabatan, kedudukan dan status sosial yang kita miliki. Yesus tidak melarang kita untuk memiliki semua harta dan kekayaan itu. Yesus menuntut agar kita bisa memberdayakan segala harta, kekayaan dan potensi yang kita punya untuk mengembangkan dan membumikan misi Kerajaan Allah di tengah umat manusia. Kehadiran kita di tengah dunia setidaknya bisa meringankan beban orang yang mengalami kekurangan secara ekonomi. Bisa juga kehadiran kita untuk membela atau mengadvokasi orang-orang yang tertindas dalam komunitas sosialnya. Atau kehadiran kita bisa juga memfasilitasi atau mempermudah jalan bagi mereka untuk mendapatkan pelayanan yang baik di ruang apa saja oleh karena jabatan atau status tertentu yang kita miliki. Ketiga, kita perlu menyadari dalam terang iman bahwa Tuhan telah menitipkan meterainya dalam segala jenis pekerjaan yang kita geluti. Tuhan memberikan kehendak bebas agar kita bisa menggunakan waktu dengan sebaik mungkin untuk mengabdi pada-Nya lewat profesi yang kita jalani setiap hari. Tolok ukur kita adalah bekerja untuk menciptakan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi banyak orang. Dan bukan hanya mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Kita perlu menyerahkan diri secara total kepada Tuhan melalui pelayanan yang baik tidak hanya dengan rekan kerja tetapi kepada semua orang yang membutuhkan bantuan. Setiap waktu adalah waktu untuk Tuhan. Inilah pedoman praktis kita sebagai orang Katolik yang sungguh beriman kepada Tuhan.

 

Mahatma Gandhi telah mengingatkan kita akan filosofi brahmacarya (semangat pengekangan diri). Sebuah filosofi yang diadopsi dari Sang Guru Ilahi kita, Yesus Kristus. Brahmacarya mengajarkan kita untuk mampu bertahan dalam segala tantangan dan penderitaan. Mengekang segala keinginan sesat dan nafsu yang tidak terarah. Brahmacarya memungkinkan kita juga untuk lebih fokus menggunakan waktu dengan hal-hal yang lebih berkualitas. Lebih dari itu, semangat brahmacarya mampu membebaskan kita dari segala kepentingan duniawi dan menghantar kita untuk menjadi murid Yesus secara lebih total. Mari kita menghidupi semangat brahmacarya agar kita mampu mengikuti Yesus secara lebih fokus dan total demi memberikan pelayanan kepada sesama yang ada di sekitar kita. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***

 

Selasa, 29 September 2020

PERAN MALAIKAT AGUNG BAGI KEHIDUPAN MANUSIA

 Dan. 7:9-10,13-14; Yoh 1:47-51

            Bertolak dari kisah Kitab Suci dan refleksi Gereja, kita tidak bisa menganggap remeh peran para malaikat dalam sejarah iman kita. Karena itu, Gereja memberikan penghormatan khusus kepada para malaikat agung. Mereka adalah utusan Allah yang membantu manusia, dan menjadi pembawa pesan serta penyalur rahmat Allah bagi manusia.

            Gereja Katolik hari ini merayakan pesta para malaikat agung. Malaikat adalah sosok yang sangat diidolakan oleh anak-anak maupun kita orang dewasa hingga kini. Meskipun kita belum pernah melihat secara langsung sosok malaikat, namun melalui kesaksian kitab suci dan pelbagai sumber lainnya, orang dapat menggambarkan karakter khas malaikat: mereka adalah sosok yang diciptakan untuk melayani Allah dan melindungi manusia. Dalam tradisi iman Katolik ada banyak malaikat penolong kita, namun yang dipandang sebagai malaikat agung ada tiga yakni: St. Mikael, Gabriel dan Rafael. Malaikat Gabriel (artinya Allah kekuatanku). Gabriel adalah pembawa warta, bentara, kabar sukacita dari Tuhan bagi manusia. Gabriel membawa pesan dari Allah kepada Santa Perawan Maria bahwa Allah memilih dia untuk mengandung dan melahirkan Yesus Kristus Sang Mesias. Gabriel juga menyampaikan pesan kepada Zakharia bahwa Elisabeth akan mempunyai anak yang dinamai Yohanes. Malaikat Gabriel juga pernah datang kepada Daniel untuk mengatakan tentang kehadiran seorang Mesias di masa depan (Dan 9). Malaikat Mikael (artinya: ”Siapa yang seperti Allah/Siapa yang menyamai Allah?”): dia digambarkan sebagai panglima bala tentara surgawi. Dia membawa tombak untuk melawan iblis yang terusir dari firdaus (Wahyu 12) dimana dia mengumumkan misteri keadilan ilahi sambil meyakinkan kita akan kemenangannya. Malaikat Agung Mikael dihormati sebagai penjaga iman dan pejuang melawan bidaah. Sedangkan Malaikat Rafael (artinya Tabib Allah atau Tuhan yang menyembuhkan. Kitab Tobit (4-12) menggambarkan Rafael yang menyembuhkan Tobit, ayah Tobias dari kebutaan dan mengantarkan mereka pada keselamatan. Rafael dihormati karena perannya sebagai penyembuh dan membebaskan manusia dari perhambaan setan. Tujuan Allah mengutus malaikat adalah untuk menolong manusia agar setia mengimani Allah penyelamat. Kehadiran malaikat dalam kehidupan religius umat beriman membangun kesadaran baru tentang hidup beriman.

            Seluruh bacaan hari ini berbicara tentang peran Malaikat sebagai pelayan dan pembawa berita Allah. Daniel dalam bacaan pertama mengisahkan visinya kepada kita. Ia melihat takhta dengan nyala api yang diduduki seorang Yang Lanjut Usia, pakaian-Nya putih seperti salju, rambut-Nya bersih seperti bulu domba. Ada sungai api mengalir di hadapan-Nya. Beribu-ribu malikat berdiri di hadapan-Nya. Daniel juga melihat kehadiran seorang yang serupa Anak Manusia. Orang Yang Lanjut Usianya itu menyerahkan segala kekuasaan dan kemuliaan sebagai raja. Dengan demikian segala bangsa, suku dan bahasa mengabdi kepada-Nya. Kekuasaannya kekal adanya dan Kerajaannya tidak akan binasa. Hal yang menarik perhatian kita adalah penglihatan Daniel ini menggambarkan suasana surgawi di mana terdapat Allah Bapa yang bertakhta dalam kemuliaan-Nya, Roh Kudus yang menyatukan mereka dalam satu kasih. Terdapat juga barisan para kudus yang berdiri di hadapan-Nya dan para malaikat yang melayani Dia. Gambaran Daniel ini mengorientasikan kita hanya kepada Tuhan semata dan tujuan hidup kita akhirnya adalah menuju kepada Allah dan melayani Dia selama-lamanya.

            Gambaran Daniel dalam bacaan pertama menjadi sempurna di dalam bacaan Injil hari ini. Yesus berjumpa dengan para murid pertama. Kali ini Filipus membawa Natanael (Bartolomeus) kepada Yesus. Yesus memandang Natanael dan berkata: “Lihatlah, inilah seorang Israel sejati, tidak ada kepalsuan di dalamnya” (Yoh 1:47). Natanael terheran-heran mendengar perkataan Yesus sehingga ia bertanya kepada Yesus bagaimana Ia mengenalnya. Yesus mengatakan bahwa sebelum Filipus memanggilnya, Ia sudah melihatnya duduk di bawah pohon ara. Duduk di bawah pohon ara adalah bahasa simbolis yang menunjuk pada orang yang mencari kebijaksanaan. Kini Natanael bertemu langsung dengan Sang Kebijaksanaan sejati yaitu Yesus maka ia berkata: “Rabi, Engkau Anak Allah, Engkau Raja orang Israel (Yoh 1:49). Yesus sendiri meneguhkan kesejatian diri Natanael yang dengan terbuka dan tulus menanggapi ajakan Filipus untuk datang dan berjumpa dengan Yesus. Karena kesejatian dirinya maka Natanael pantas menjadi saksi atas kebesaran ilahi. Natanael menunjukkan kepada kita bahwa kesejatian atau keaslian diri adalah model hidup beriman yang pantas untuk menjadi pengikut Kristus, sebab menjadi pengikutNya bukanlah soal jabatan atau prestasi melainkan suatu pemberian diri yang tulus dan kerelaan untuk melayani tanpa henti.

            Keberadaan para malaikat ini diteguhkan oleh Yesus dalam pembicaraan-Nya dengan Natanael: Yesus berkata kepadanya: “Sesungguhnya engkau akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat Allah turun naik kepada Anak Manusia” (Yoh 1:51). Ungkapan Yesus ini mengingatkan kita akan penglihatan Yakub yang melarikan diri (Kej 28:12). Yakub diberkati Allah dan diberi penglihatan akan keagungan Allah. Yakub bermimpi bahwa di bumi ini didirikan sebuah tangga yang ujungnya sampai di langit, dan tampaklah malaikat-malaikat turun naik tangga itu. Kini Yesus mengulangi pengalaman Yakub ini kepadaNatanael. Ia akan melihat langit terbuka dan malaikat-malaikat turun naik kepada Anak Manusia. Para malaikat menjalankan tugas sebagai pelayan bagi Tuhan siang dan malam. Natanael menyadari dan percaya pada perkataan Yesus yang penuh kuasa dan wibawa.  Dengan demikian, kita dapat menemukan pesan bahwa orang-orang yang dipilih oleh Allah akan menerima karunia agung yang disiapkan Allah bagi mereka.

            Melalui Sabda Tuhan hari ini, kita semua diteguhkan untuk belajar dari panggilan Nathanael dimana ia sungguh menjaga kemurnian hatinya sehingga rahmat Allah menghantarnya bertemu dengan Yesus Sang Kebijaksanaan Ilahi. Perjumpaan Natanael dengan Yesus menggambarkan kerendahan hatinya dimana imannya dimurnikan untuk mengenal Allah lebih dalam. Karenanya, menjadi pengikut Kristus bukan dalam kepura-puraan dan kemunafikan  melainkan total menyerahan diri pada kehendak Allah semata. Bahwa kadang-kadang kita menjadi skeptis dan tidak yakin, itu adalah bagian dari dinamika keberimanan kita. Pada perayaan malaikat agung hari ini, kita dapat belajar untuk melayani dengan sukacita seperti para malaikat yang tidak kenal lelah melayani Tuhan siang dan malam. Kita pun dipanggil untuk ikut melayani Tuhan siang dan malam, dengan melakukan tugas dan tanggung jawab kita yang dilandasi cinta kasih yang besar. Kita belajar seperti Malaikat Mikhael untuk melawan segala kejahatan di dunia ini bukan menyerah pada kejahatan. Kita belajar dari Malaikat Gabriel untuk berbicara yang benar kepada sesama kita, dengan menjauhkan diri dari berbagai gosip dan hoax yang menyakiti hati sesama kita. Kita belajar dari Malaikat Rafael untuk mendampingi anak-anak dan sesama kita ke jalan yang benar. Kita memberi diri untuk melayani semua orang sakit dengan hati sembari mendoakan mereka supaya cepat sembuh dari sakit penyakit mereka. Dengan meneladani peran dan spirit para malaikat agung yang kita rayakan hari ini, kita bisa menjadi malaikat untuk sesama dalam karya pelayanan kita sehari-hari dalam semangat kasih. Mari kita tampil menjadi pribadi-pribadi beriman sejati dihadapan Allah dengan tulus beriman kepadaNya penuh kerelaan hati untuk memberi diri dalam pelayanan kasih kepada sesama. ***Bernard Wadan***

Jumat, 25 September 2020

Waktu & Kebenaran

Pkh 3:1-11 & Luk 9:19-22

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pkh 3:1). Dalam bahasa lain, tidak ada yang kekal di bawah langit. Selagi terikat dengan ruang, selalu ada waktu yang membatasi segala sesuatu.

 

Karena segala sesuatu itu dibatasi oleh waktu, maka waktu menjadi hal yang amat penting. Orang beriman meyakini, waktu adalah karunia Allah yang tak terbanding nilainya.

 

Sebagai suatu karunia, waktu itu hanya dapat digunakan dalam kehidupan kita di dunia sekarang ini. Tidak untuk dunia nanti. Yang ada nanti adalah kekekalan atau keabadian. Adalah ilusi bahwa kita masih mengharapkan ada waktu dalam dunia keabadian.

 

Maka selagi kita menghuni dunia ini, baiklah kita memandang penting untuk mengisi waktu hidup kita dengan hal-hal yang berguna bagi kehidupan, baik di dunia sekarang maupun di dunia keabadian. Dan itu mungkin bila kita memiliki kebenaran yang datangnya dari Allah.

 

Yesus adalah keabadian; Ia itu kebenaran yang kekal. Namun Ia berinkarnasi dan masuk ke dalam ruang yang terikat oleh waktu. Ia datang ke dunia untuk menyatakan kebenaran agar manusia yang terikat oleh waktu sekarang ini sungguh-sungguh menggunakan kebenaran itu untuk mengisi waktu hidupnya di dunia ini. Apapun dapat dilakukan manusia, namun titik tolaknya adalah kebenaran yang diajarkan-Nya.

 

Yesus sungguh sadar bahwa segala sesuatu itu ada waktunya, termasuk juga kebenaran yang hendak diajarkan kepada manusia. Ia tahu momennya yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran-Nya. Kebenaran yang disampaikan bukan pada waktunya bisa menghadirkan kekacauan.

 

Setidaknya hal ini dapat kita petik dari larangan keras Yesus kepada para murid-Nya supaya jangan memberitahukan kebenaran tentang diri-Nya sebagai Mesias kepada siapapun. Belum waktunya untuk mengungkapkan kebenaran itu. Ia tahu bahwa orang kebanyakan belum memiliki pemahaman yang sama seperti yang dikatakan Petrus, bahwa Yesus adalah Mesias.

 

Meskipun pandangan umum mengatakan bahwa Yesus itu diidentikan dengan Yohanes atau Elia atau salah seorang dari antara para nabi yang telah bangkit, namun konteksnya adalah bahwa orang kebanyakan mengharapkan seorang mesias politis yang membebaskan mereka dari pejajahan Romawi. Yesus mesianik tidak memenuhi harapan mereka. Apabila kebenaran tentang Yesus itu disampaikan maka akan memancing perdebatan, pertentangan dan huru-hara besar di tengah masyarakat.

 

Inilah dasar bagi Yesus sehingga Ia melarang dengan keras para murid-Nya untuk memberitahu siapapun tentang Dia bahwa Dia adalah Mesias bukan pada waktunya. Akan ada waktunya bahwa kebenaran itu diwartakan ketika Yesus ditinggikan di atas kayu salib. Supaya semua orang yang memandang kepada Dia, menerima kebenaran tentang Dia dan  menikmati rahmat mesianik-Nya yang membebaskan dari dosa.

 

Pesan yang dapat kita petik untuk hidup kita adalah bahwa kebenaran itu penting, malah mutlak untuk disampaikan, namun kebenaran itu mesti diungkapkan pada waktunya. Orang tua-tua mengatakan, kebenaran yang tidak disampaikan pada waktunya sulit diterima. Butuh kearifan untuk menentukan waktu yang tepat.

 

Kita sadar bahwa kebenaran yang datang dari Tuhan tidak untuk membinasakan, melainkan untuk menyelamatkan. Maka meskipun kita terkadang berat menerima kebenaran dan tidak mau diubah, namun janganlah kita membiarkan diri kita tetap berkanjang dalam keadaan kita ini. Kita perlu memberi ruang hati kita untuk kebenaran yang mendatangi kita dan mau mengubah kita, agar waktu hidup kita di dunia yang begitu singkat dapat digunakan  sebaik mungkin dengan perbuata-perbuatan yang menyelamatkan, bukan membinasakan.

 

Hidup kita di dunia ini akan berlalu. Kata Pengkhotbah, segala sesuatu ada waktunya. Maka gunakan waktu kita sekarang ini untuk melakukan perbuatan baik apapun itu atas dasar kebenaran yang Tuhan ajarkan kepada kita. Itulah jaminan bagi kita untuk masuk ke dalam keabadian. ***Apol***


Rabu, 23 September 2020

Fokus Pada Tugas

Am 30:5-9 & Luk 9:1-6

Penulis Amsal menyatakan, “firman Allah itu murni” (ay 5). Ia memiliki kebenaran yang memadai dan karena itu mampu mencukupi kebutuhan rohani manusia. Maka lebih lanjut dituliskan: “Ia adalah perisai bagi orang-orang yang berlindung kepada-Nya” (ay 5).

 

Oleh karena firman Allah itu memadai dalam kebenaran dan berdaya memurnikan sesuai hakikatnya yang murni, maka penulis Amsal menganjurkan hal praktis tetapi bersifat hakiki. Anjurannya adalah: “Jangan menambahi firman-Nya, supaya engkau tidak ditegur-Nya dan dianggap pendusta” (ay 6).

 

Kemurniannya mesti dipelihara. Itulah sikap hormat yang sepatutnya. Caranya sederhana juga. Elakan diri kita dari sikap merasa diri berlebihan untuk menambahkannya dengan pemikiran-pemikiran yang bersifat manusiawi dan terbatas. St. Paulus menulis: “... hikmat dunia adalah kebodohan bagi Allah” (1 Kor 3:19). Yang penting untuk dilakukan adalah menjadikannya sebagai perisai kebenaran yang menjaga dan melindungi kemurnian hidup.

 

Tidak cukup berusaha sendiri. Menurut Amsal, agar terhindar dari kecenderungan menambahi firman Allah dan merusak kemurniaannya, maka kita harus meminta kekuatan dari Tuhan untuk dua hal: Pertama, dijauhkan dari kecurangan dan kebohongan, dan yang kedua, jangan dianugerahi kemiskinan dan kekayaan. Keduanya dipandang sama-sama merusakkan komitmen untuk menjaga dan memelihara kemurnian firman Allah.

 

Kecurangan dan kebohongan membuat orang lupa bahwa ia tidak layak menambahkan pemikirannya pada firman Allah, apa lagi menggantikannya dengan pemikirannya demi kepentingannya. Misalnya, pada orang-orang yang bersumbu pendek kekerasan dan pembunuhan ditambahkan sebagai suatu yang dikehendaki Allah dan karena itu memandang perilaku kejam dan membunuh sebagai suatu kebajikan.

 

Demikanpun dengan kemiskinan dan kekayaan. Kekayaan memalingkan hati kita kepada materi dan mamon dan berpotensi sangat besar untuk mematikan kepekaan, perhatian, solidaritas, dan relasi persaudaraan dengan sesama. Bahkan ia mampu memudarkan, jika memang tidak mematikan, cinta dan doa yang murni kepada Tuhan. Kemiskinan material pun berpotensi merobohkan kemurnian hati pada firman Allah sebab kemiskinan bisa memaksakan kita mencuri dan mencemarkan nama baik Allah (ay 9).

 

Lagi-lagi. Fokus pada firman Allah  adalah urgen agar pewartaan bisa berhasil. Hati pewarta tidak boleh bercabang dan dihantui oleh berbagai hal yang merusak karya pewartaannya. Maka kepada para murid-Nya yang diperintahkan untuk memberitakan Injil, Yesus meminta agar mereka melucuti diri dari keterikatan terhadap kekayaan. Selaras kata Amsal, kekayaan berpotensi mengalihkan hati dan mereka terancam mengabaikan yang utama, yaitu Injil.

 

Sebaliknya yang diminta adalah supaya para murid itu mengandalkan Tuhan dalam seluruh karya pewartaan mereka. Tuhan sudah memberikan tenaga dan kuasa kepada mereka dan itulah tanda keikutsertaan Tuhan dalam tugas perutusan mereka. Ia sendiri akan melengkapi mereka dengan kebutuhan yang secukupnya, tidak kurang dan tidak lebih, agar mereka tetap fokus pada karya pewartaan Injil.

 

Yang mau ditampilkan di sini adalah hidup dalam semangat kesederhanaan dan kesahajaan sebagai suatu sikap hati sangatlah penting. Kita sudah harus merasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sibuk dengan hal-hal yang lebih atau kurang. Janganlah kita merasa penting untuk mencari yang lebih-lebih atau merasa serba kurang dalam hidup kita sebab hal-hal itulah yang mengikat kita dan membuat kita tidak fokus untuk hal-hal yang penting dan hakiki.

 

Terlalu memikirkan yang lebih-lebih dan merasa serba kurang memaksa kita untuk mementingkan diri kita sendiri, melupakan orang lain dan juga melupakan Dia yang memanggil dan mengutus kita. Kita terjebak dalam sikap hati yang curang dan congkak di mana dalam karya pewartaan yang kita tonjolkan adalah nama dan popularitas diri kita. Atau juga kita terjerembab dalam kubangan kejahatan seperti korupsi karena hati kita haus akan materi  ataupun rengekan hati yang selalu merasa serba kurang untuk dipenuhi.

 

Refleksi ini merupakan jalan kita kembali kebenaran dan kemurnian hidup berdasarkan firman Allah. Untuk itu, baiklah kita mendengarkan kata-kata Amsal: “Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati makanan yang menjadi bagianku” (Am 30:8), dan apa yang dikatakan Yesus: “Jangan membawa apa-apa”. Biarlah dengan itu kita menjadi murni hati untuk firman-Nya yang murni dan fokus pada apa yang diminta Tuhan untuk kita lakukan dalam tugas perutusan kita.*** Apol***

 

Senin, 21 September 2020

SANTO MATIUS

Ef 4: 1-9, Mat 9:9-13

Hari ini kita merayakan pesta Santo Matius, seorang rasul yang tercatat dalam kelompok 12 rasul Yesus. Matius juga seorang penulis Injil. Ia memberikan kontribusi mulia dengan menulis Injil Matius. Teks suci pertama dari keseluruan bagi Kitab Suci Perjanjian Baru. Matius adalah anak dari Alfeus. Seorang pemungut cukai di kota Kapernaum. Ia berprofesi sebagai seorang pemungut cukai (penarik pajak). Sebuah profesi di “lahan basah”. Karena para petugas pajak seperti matius bisa menggunakan segala kewenangan yang dimiliki untuk mendapat keuntungan yang besar secara ekonomi. Para penarik pajak kala itu dipilih oleh para pejabat lokal Romawi dari penduduk setempat yang dipandang dapat diajak bekerja sama. Mereka diberi otoritas untuk menarik pajak namun sama sekali tidak diberi gaji atas tugas mereka. Untuk mensiasati demikian, mereka menarik pajak melebihi jumlah yang telah ditentukan. Selisih dari jumlah itu yang masuk dalam kantung pribadi mereka. Tidak heran para elit agama Yahudi menuduh para pemungut cukai sebagai kaki tangan para penjajah yang membawa kesengsaraan dan kemelaratan bagi rakyat.

 

Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi pemungut cukai adalah profesi yang memiliki konotasi yang negatif. Dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya dilihat sebagai para penjahat yang memeras uang rakyat. Memungut cukai adalah sebuah profesi yang memiliki stereotip yang negatif. Mereka yang menjalani profesi demikian tidak lebih dari seorang pendosa. Seorang yang tidak pantas dan tidak layak mendapat tempat di tengah-tengah masyarakat. Mereka akan dikucilkan dari komunitas sosialnya. Legitimasi pandangan ajaran agama Yahudi semakin menegaskan profesi para pemungut cukai sebagai golongan rendahan dan para pendosa yang tidak mendapat tempat terhormat di hati Allah. Matius menjadi salah seorang yang tersingkir dari bangsanya sendiri sebagai implikasi dari pilihan hidupnya menjadi seorang pemungut cukai.

 

Di mata manusia biasa, Matius pemungut cukai adalah seorang pendosa. Namun tidak di mata Yesus. Matius sungguh mendapat tempat terhormat di hati Yesus. Ketika melihat Matius, Yesus berkata: “Ikutlah Aku” (Mat 9:9). Sebuah ajakan persuasif yang sungguh meneguhkan hati Matius. Matius tidak menyangka akan disapa oleh Yesus. Maka dengan riang dan semangat, Matius segera mengikuti Yesus. Tidak hanya mengajak, Yesus juga datang dan makan di rumahnya. Bersama dengan mereka, ada juga rekan-rekan kerja Matius dan orang-orang lainnya yang masuk juga dalam kategori kaum pendosa. Ketika orang Farisi menyaksikan pemandangan yang tidak lazim tersebut mereka melakukan protes kepada murid-murid Yesus. Dalam pandangan Yahudi, kegiatan makan dan minum adalah kegiatan yang sakral. Oleh karena itu, kegiatan suci tersebut tidak seharusnya dinodai dengan kehadiran para pemungut cukai dan orang berdosa lainnya. “Yesus mendengarnya dan berkata: Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (Mat 9:12). Dengan pernyataan itu, Yesus menegaskan tujuan kedatangan-Nya ke muka bumi sebenarnya untuk menyelamatkan mereka yang sakit dan terbuang. Tetapi tidak bermakna menafikan orang sehat dan benar di mata Allah. Orang sehat dan benar perlu memperjuangkan dan mempertahankan konsistensi mereka kepada kehendak Allah. Berbeda lagi kalau orang sehat dan benar merasa diri paling paling pintar dan tidak memerlukan jalan menuju Allah. Kelompok orang ini yang pasti akan mendapat kecaman keras dari Yesus. Mereka akan dipandang sebagai orang-orang “keras hati” yang tidak mendapat hikmat dari Allah. Sementara orang sakit dan termarginalisasi perlu diangkat, disembuhkan dan dibimbing secara khusus oleh Yesus. Termasuk Matius, pemungut cukai. Ia menjadi salah seorang yang diselamatkan dan kemudian mendapat meterai sebagai seorang rasul potensial. Tidak hanya mengajar dan memberi kesaksian lewat kata-kata, Matius juga menyumbangkan karya besar-Nya bagi gereja dengan menulis Injil Matius.

 

Sebagai seorang murid, Matius menjadi salah seorang saksi hidup yang menyertai Yesus selama pewartaan-Nya, sampai saat sengsara dan wafat. Matius juga menjadi saksi kebangkitan dan kenaikan Yesus ke sorga. Santo Irenius mengatakan bahwa Matius memberitakan Injil di antara orang-orang Yahudi demi meyakinkan mereka bahwa Mesias yang dinanti-nantikan telah datang dalam diri Yesus Kristus. Santo Klemes dari Alexandria menguatkan bahwa Matius merasul di kalangan Yahudi selama 15 tahun. Kemudian ia pergi memberitakan Injil ke negara-negara lain. Matius pergi ke Ethiopia di selatan Laut Kaspia dan di beberapa wilayah kerajaan Persia Parsia, Makedonia, dan Suriah (Katakombe.Org).

 

Matius tidak akan menjadi seorang murid yang hebat lagi setia apabila ia tidak mampu membuka hatinya untuk menerima tawaran Yesus. Begitu sebaliknya, Matius tetaplah menjadi seorang Matius pemungut cukai yang tidak dianggap apabila Yesus tidak datang dan memanggilnya. Perpaduan antara panggilan Tuhan dan jawaban mutlak dari Matius untuk meninggalkan ketercelaannya sebagai seorang pemungut cukai menjadi kunci utama keselamatan yang akan diterima Matius. Matius menjadi besar dalam karya keselamatan Allah karena kepercayaan dan kesetiaannya dalam misi mulia Allah. Yesus mau Matius ditinggikan sebagai seorang rasul. Yesus tidak mau Matius direndahkan akibat dosanya sebagai seorang pemungut cukai.

 

Kita semua juga dipanggil oleh Yesus untuk menjadi seorang murid seperti Santo Matius. Hanya keterbukaan hatilah yang membuat panggilan Yesus itu menjadi efektif dalam diri kita. Tentu tidak sekedar menjadi seorang murid dalam tataran administratif. Pertama, kita harus bertobat dan meninggalkan manusia lama kita. Manusia lama yang mengungkung kita dalam keberdosaan. Kedua, kita harus betul-betul menunjukkan jati diri kita sebagai murid Yesus dengan menunjukkan semangat kasih Yesus kepada orang lain. Dari dalam penjara, Santo Paulus menulis suratnya kepada orang-orang Efesus; “Hendaklah kamu selalu rendah hati, lemah lembut, dan sabar. Tunjukkanlah kasihmu dalam hal saling membantu” (Ef 4:2). Nasihat Paulus tidak hanya ditujukan kepada orang Efesus. Tetapi kepada kita yang membanggakan diri sebagai orang Katolik di masa kini. Kita harus menunjukkan identitas kita sebagai orang Katolik dengan menjadi seorang murid Yesus yang berkualitas. Seorang murid yang mampu menunjukkan ciri khas untuk membawa wajah kasih Tuhan kepada sesama, terutama kepada mereka yang sakit dan terpinggirkan. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***

Rabu, 16 September 2020

KASIH YANG MENYAPA

Luk 7:31-35

            Ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi hadir hanya untuk mengamat-amati kesalahan orang lain. Mereka sibuk menilai perbuatan orang lain meskipun perbuatan itu benar dan membantu sesama. Sepertinya tidak ada hal yang benar yang dilakukan oleh orang lain, mereka mengklaim diri mereka sebagai penjaga kemurnian hukum Taurat, sehingga mereka menempatkan diri sebagai orang yang bebas kritik. Zaman ini juga tidak sulit bagi kita menemukan orang yang bersikap seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Kita suka mengkritisi pekerjaan orang, bantuan kemanusiaan bahkan ajaran dan pendampingan rohani kepada orang lain. Mentalitas yang demikian karena kita tidak pernah damai dengan diri sendiri, kita mengabaikan aspek introspeksi diri untuk menemukan siapa diriku sebenarnya. Yesus hadir hari ini untuk menawarkan kasih bagi kita semua.

            Injil hari ini mengajak kita untuk merenungkan soal kekebalan hati kita terhadap Tuhan yang mengundang kita mendekati dan hidup bersama-Nya. Tuhan senantiasa mengundang tetapi kadangkala kita menutup hati kita dengan sejumlah alasan yang tidak masuk akal. Satu alasan mendasar karena kita lebih memilih untuk hidup dalam kedosaan dan tidak mau berubah, bahkan kita menganggap keberhasilan dalam bidang ekonomi jauh lebih menjanjikan ketimbang mengejar hidup rohani. Keadaan lama kita yang penuh dosa terasa nikmat dan menyenangkan sehingga kita tidak lagi menyadari diri tengah hidup dan dikuasai oleh kenikmatan dosa.

            Persisi itu dinyatakan dalam Injil hari ini, meskipun Yohanes dan Yesus datang menawarkan pewartaan Kerajaan Allah, namun orang-orang yang mendengarkan pewartaan mereka menutup telinga dan hati tanpa memberi kesempatan sedikit pun untuk melihat sisi positip dari pengajaran Yohanes dan Yesus. Mereka sibuk mengkritisi hal-hal sepeleh seperti makan minum. Yohanes Pembaptis datang dengan asketisnya tidak makan dan minum, lalu dia diklaim kerasukan setan. Sedangkan Yesus datang dengan semangat yang berbeda, makan dan minum, kemudian mereka berkata: Lihatlah Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Penilaian dan kritik mereka tidak substansial artinya mereka tidak mengerti hakikat kehadiran Yesus di tengah-tengah dunia, Yesus dinilai dari sisi luarnya saja, hanya soal makan dan minum, karena itu mereka lupa bahwa soal selera tidak boleh diperdebatkan. Kehadiran Yesus membawa tawaran keselamatan namun tawaran ini tidak disikapi sebagai sesuatu yang penting bagi keselamatan jiwa mereka. Hal ini disebabkan oleh karena mereka telah menutup hati mereka terhadap kedatangan Yesus. Tidak salah kalau kemudian Yesus mengumpamakan angkatan itu seperti anak-anak yang duduk-duduk di pasar layaknya gelandangan yang menghambur-hamburkan waktu mereka dengan bersenang-senang tanpa sebuah orientasi hidup yang jelas dan terukur. Undangan dan tawaran keselamatan dari Yesus kepada orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat tidak digubris karena mereka merasa kehadiran Yesus telah menurunkan pamor mereka, Yesus telah mengalihkan simpati dan empati orang banyak sehingga mereka merasa kehilangan dukungan masyarakat. Kualitas hidup rohani mereka tidak ada, yang ada hanyalah pencarian kehormatan dan nama besar yang menjadi tujuan akhir mereka.

            Injil hari ini mengingatkan kita semua sebagai murid-murid Kristus, bahwa kadangkala kita juga berlaku seperti orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat. Kita sepertinya kesurupan mengejar popularitas diri, ingin dikenal dan dikenang sebagai orang penting dan suci. Kita giat mewartakan Injil keselamatan kepada orang lain, kita menuntut mereka agar hidup sesuai perintah Allah dan taat dalam beribadah. Segala hal baik yang kita ajarkan itu baik untuk dibagikan tapi menjadi tantangan serius bagi kita adalah apakah kita juga setia mempraktekkan semua hal yang kita ajarkan dan paksakan kepada orang lain atau tidak? Sampai pada tahap ini kita butuh waktu hening untuk mengintrospeksi dan mengevaluasi diri kita secara jujur. Hal itu bisa kita lakukan manakala kita jujur membuka hati dan diri kita untuk mendengarkan sapaan Tuhan. Kebajikan kerendahan hati diperlukan agar pengenalan diri yang mendalam membawa kita kepada aspek pertobatan dan pembaharuan diri yang sempurna. Ketika kerendahan hati mampu mengubah hidup kita ke jalan yang benar, maka pada saat yang bersamaan kita memasrahkan diri kita pada kehendak Allah untuk dijadikan sebagai agen pewarta yang jujur yang siap diutus untuk membaharui dunia.

            Undangan dan tawaran keselamatan dari Tuhan harus direspon dengan kualitas iman yang mumpuni. Kita harus membuka hati kepada semua orang dan menerima hal baik dari mereka untuk kebaikan kita. Kita tidak boleh apatis dan menganggap rendah setiap orang, mungkin ada hal baik atau petuah bijak yang mengalir darinya yang bisa dijadikan pegangan yang membantu menguatkan hidup rohani kita. Sikap apatis dan cuek dari orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat terhadap kehadiran dan ajaran Yesus telah membuat mereka hancur berantakan karena tidak memiliki dasar iman yang kuat. Mereka tidak memiliki kasih yang mendalam sehingga mereka memandang Yesus sebatas sebagai musuh bukan Allah yang mewujudkan dirinya menjadi manusia.

            Sebagai murid-murid Yesus, kita diundang dan diajak untuk menjadikan kasih sebagai kekuatan kita untuk memandang Yesus sebagai Allah. Lewat kasih,  kita dimungkinkan untuk mengetahui segala kehendak Allah dalam hidup kita dan menjadikan kita semakin bijaksana. Pengenalan akan kasih Allah juga sangat didukung oleh aspek kerendahan hati yang memungkinkan kita mengetahui kebaikan dan rahmat kasih Allah. Semoga kita selalu merasa haus akan kehadiran Allah dan tawaran keselamatan yang dibawa-Nya. Mari kita saling mendukung dan menyempurnakan agar kita berjalan bersama menuju jalan keselamatan yang ditunjukkan oleh Yesus. Semoga... ***Bernard Wadan***


Senin, 14 September 2020

PENDERITAAN SEBAGAI UJIAN IMAN

Yoh 19:25-27 (PESTA SANTA PERAWAN MARIA BERDUKACITA)

            Setiap manusia memiliki salib kehidupannya masing-masing yang berbeda tetapi tetap terasa berat. Beban penderitaan hidup ini serasa tak pernah berakhir karena kita ingin menyelesaikannya sendiri, kita merasa paling mampu dan bisa mengatasinya sendiri tanpa butuh bantuan rahmat Allah. Hari ini, Bunda Maria Bunda berdukacita mengajarkan kepada kita semua rahasia mengatasi penderitaan agar jangan sampai membuat kita putus asa dan kehilangan relasi dengan Tuhan.  Dalam penderitaan dan kesedihannya yang mendalam, Bunda Maria tetap setia dan bersikap pasrah penuh harap akan pertolongan Allah.  Bunda Maria hanya mengandalkan tiga keutamaan hidup yang menjadi dasar kokoh baginya untuk tetap setia pada Tuhan yaitu iman, harap dan kasih. Pertanyaan yang menantang bagi kita murid-murid Yesus: Mampukah kita melaksanakan tiga keutamaan dasar ini sehingga kita layak membangun relasi yang baik dengan Tuhan dan sesama?

            Kemarin Gereja merayakan pesta Salib Suci Yesus, dimana kita diajak untuk menyadari bahwa kasih Allah begitu besar sehingga Ia mengutus Putra-Nya yang tunggal untuk menyelamatkan kita. Keselamatan yang ditempuh oleh Yesus bukanlah jalan kekuasaan atau kemenangan di dunia tetapi salib penderitaan. Ia ingin mengajarkan jalan itu kepada kita, agar kita jangan ragu  memanggul salib hidup kita karena dibalik salib itu terbentang kebangkitan yang mulia. Hari ini Gereja Katolik memperingati pesta Santa Perawan Maria Bunda Berdukacita. Banyak sekali penderitaan yang dialami Bunda Maria dalam perjalanan hidupnya bersama Yesus Puteranya, dalam karya agung penyelamatan umat manusia dari dosa. Maria selalu menyertai Yesus dalam suka dukanya sejak Ia di dalam kandungan hingga akhir hidup-Nya di bawah kaki salib. Ibu dan wanita mana di dunia ini yang bisa setegar Maria, menyaksikan Putera-Nya dicemooh, dicaci maki, dan disiksa dengan keji dalam jalan salib menuju Golgota dan pada akhirnya dipaku di kayu salib. St. Bonaventura dan St. Alfonsus Maria de Liguori merenungkan dan mengajarkan tujuh dukacita Maria yakni: saat Simeon meramalkan kejadian yang akan menimpa Yesus (Luk 2:34-35), saat pengungsian ke Mesir (Mat 2:13-14), saat bersama Yusuf suaminya mencari Yesus di Yerusalem (Luk 2:43-45), saat Yesus berjumpa dengan ibuNya dalam jalan salib (Luk 27:27), saat Yesus wafat disalib (Yoh 19:25-27), saat Yesus dibaringkan di pangkuannya (Mrk 15:43-46), dan saat Yesus dimakamkan (Yoh 19:41-42). Deretan pengalaman dukacita ini menunjukkan bahwa, Bunda Maria sanggup menghadapinya sebagai bukti bahwa ia benar-benar memperoleh rahmat dari Tuhan dan diberi karunia iman, pengharapan dan kasih melimpah. Oleh karena itu, Gereja memberikan penghormatan besar kepada Maria sebagai “Mater Dolorosa (Bunda Berdukacita atau Ratu para martir).           

            Kalau kita memperhatikan semua ayat Injil yang dikutip untuk menggambarkan dukacita Bunda Maria di atas, maka kita melihat bahwa ayat-ayat ini justru lebih fokus pada Yesus Puteranya. Maria berdukacita dalam hubungannya dengan penderitaan Yesus. Maria ikut aktif atau memiliki andil yang besar untuk keselamatan umat manusia. Ia menjadi teladan iman bagi kita terutama ketika kita mengalami penderitaan, ia justru banyak menderita supaya kita memperoleh penebusan yang berlimpah melalui jalan salib penderitaan Puteranya. Bunda Maria juga memberikan teladan ketaatan iman, ia berjanji kepada Tuhan: ‘jadilah padaku menurut perkataan-mu.” (Luk 1:38). Seluruh hidupnya ia dedikasikan untuk selalu hadir bersama Yesus sampai akhir/tuntas. Ia juga menerima kita semua menjadi anak-anaknya sesuai perintah Yesus Puteranya. 

            Bunda Maria berdiri di dekat salib Yesus, bahkan Michael Angelo melukiskan Bunda Maria memangku Yesus yang telah wafat di kayu salib. Bunda Maria adalah teladan umat beriman, maka kita sebagai orang beriman dengan rendah hati berusaha meneladani Bunda Maria agar bersama dan bersatu dengan Yesus yang disalibkan. Kita mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah dan dunia demi keselamatan seluruh umat manusia. Bunda yang Berdukacita setiap saat mengajak kita untuk berdiri di dekat salib Yesus untuk merasakan dan merenungkan seluruh penderitaan Yesus. Dengan begitu, kita dapat ikut berpartisipasi memikul salib penderitaan Yesus dalam mengatasi penderitaan hidup kita sehari-hari. Kita memberikan diri seutuhnya pada pekerjaan, tugas atau kewajiban yang dibebankan kepada kita dengan semangat “hanya memberi tak harap kembali, bagai sang surya menyinari dunia”. Semoga cara hidup dan cara bertindak kita dimanapun dan kapanpun ‘menyinari dunia’ artinya membuat dan menyebabkan segala sesuatu baik adanya. Masing-masing dari kita menjadi ‘terang’ bagi dunia; kehadiran dan sepak terjang kita dimanapun dan kapanpun tidak mempersulit orang lain, melainkan membuat orang lain dengan mudah dan gembira melaksanakan tugas pekerjaan dan kewajiban mereka.

            Dukacita merupakan pengalaman yang sering kali kita jumpai dalam hidup kita. Namun terkadang cara kita menyikapinya juga berbeda. Dukacita bisa membuat kita putus asa, lekas menyerah, dan tidak mau berusaha untuk bangkit kembali dari keterpurukan. Hanya orang yang memiliki iman, harapan dan kasih yang teguh akan Tuhan yang sanggup melihat kemuliaan di balik penderitaan dan kematian yang penuh dukacita itu. Meskipun manusia memiliki kecenderungan untuk hidup nyaman dan menghindari kesulitan. Namun sebagai umat beriman hendaknya kita jangan pernah melarikan diri dari permasalahan, penderitaan, atau pun kesengsaraan yang kita temui di sepanjang jalan kehidupan. Bunda Maria selalu memberi kita teladan istimewa, agar kita setia memikul salib kehidupan dengan taat, setia, percaya dan berserah diri kepada rahmat Tuhan. Semoga kita tidak seperti para murid Yesus yang melarikan diri melihat penderitaan Yesus disalib, tetapi berani menghadapi penderitaan sebagai ujian iman, karena Bunda Berdukacita senantiasa mendoakan kita, agar tetap setia mengikuti Yesus dan menerima kehendak Allah sepahit apa pun.

            Hari ini kita diajak untuk belajar dari Bunda Maria yang selalu menanggung penderitaan dalam iman, harap dan kasih. Tiga keutamaan ini merupakan dasar kokoh bagi kita dalam mengarungi dunia kehidupan yang selalu dihantui oleh penderitaan ini. Bunda Maria selalu tabah dan sabar sampai akhir karena dia menyandarkan hidupnya pada iman, harap, dan kasih. Hal ini mengajarkan kepada kita untuk mencontohi teladan iman Bunda Maria yang selalu siap menderita. Pengalaman penderitaan Maria ini membuka jalan bagi kita murid-murid Yesus untuk semakin setia mengikuti Yesus yang tersalib agar iman kita semakin didewasakan sehingga kita dapat menyerahkan hidup kita seutuhnya kepada Kehendak Allah. Tanpa melewati tantangan dan penderitaan hidup, kita tidak akan pernah mengalami kematangan dalam iman, karena dengannya kita dikuatkan oleh Allah. Maria Bunda berdukacita setia melaksanakan semua rencana kasih Allah dalam hidupnya, ia setia menapaki jalan-jalan kerikil panggilannya untuk ikut ambil bagian dalam salib penderitaan Yesus Puteranya. Pada perayaan Maria Berdukacita ini, kita sekali lagi diajak untuk mengenang kembali kehidupan Bunda Maria yang setia pada kehendak dan rencana Allah meskipun jalan kehidupannya penuh dengan duka dan derita. Ia selalu setia menemani Yesus, bahkan mengikuti perjalananNya sampai di kaki salib, meskipun para murid melarikan diri. Ia tetap berdiri tegak walaupun hatinya hancur, kehadirannya memberikan kekuatan bagi Yesus untuk menuntaskan tugas perutusanNya di dunia. Amin

*****Bernard Wadan****

 

 

 

Kamis, 10 September 2020

KASIH SEBAGAI PERWUJUDAN IMAN

                                                            Luk 6:27-38

            Di zaman modern yang ditandai oleh melejitnya teknologi informatika, memungkinkan orang rame-rame membuat akun palsu untuk menebar fitnah atau hoax dan nyata itu dilakukan oleh orang-orang beragama. Ajaran kasih dan pengampunan sangat jauh dan bahkan dianggap tidak penting. Mereka yang masih mempunya penghayatan agama yang standar akan menerapkan hukum normal yang berlaku: mengasihi orang yang mengasihi mereka dan membenci orang yang membenci atau menyakiti mereka. Menjadi tantangan bagi kita pengikut Kristus: mampukah kita melaksanakan ajaran dan teladan kasih dari Yesus?

            Berangkat dari pengalaman kita sehari-hari bahwa kasih itu sangat mudah diucapkan namun sulit untuk dilaksanakan. Kasih itu tidak pernah akan dilakukan/dipraktekkan jika kita hanya melihat sisi negatip orang (keburukan dan kejahatan mereka terhadap kita) tanpa merefleksikan pesan dari setiap peristiwa hidup yang terjadi. Hukum kasih yang diajarkan oleh Yesus sendiri merupakan salah satu prinsip moral yang khas Kristiani. Prinsip ini diinspirasi oleh kotbah Yesus sendiri seperti yang kita dengar dalam bacaan Injil hari ini: “sebagaimana kalian kehendaki orang perbuat kepada kalian, demikian pula hendaknya kalian berbuat kepada mereka.” Prinsip kasih ini tidak hanya milik orang Kristen namun juga diajarkan oleh agama-agama samawi lainnya serta diajarkan pula oleh aliran kepercayaan pada umumnya. Namun, terdapat perbedaan yang cukup mencolok dalam penerapan pengajarannya. Agama-agama samawi dan aliran kepercayaan merumuskan hukum kasih secara negatif dalam bentuk larangan, misalnya “Jangan melakukan sesuatu yang tidak kamu ingin orang lain lakukan kepadamu.” Rumusan ini tampak lebih gampang diwujudkan karena kita hanya bersikap pasif atau diam, sepanjang kita tidak berbuat jahat terhadap orang lain maka kita akan tetap berada dalam zona aman. Dalam Kekristenan, Yesus justru merumuskan hukum kasih secara positif dalam bentuk perintah, misalnya “Hendaklah kalian murah hati sebagaimana Bapamu murah hati adanya.” Yesus mendorong kita untuk lebih aktif dan berinisiatif berbuat baik kepada orang lain. Kalau kita kaji lebih mendalam maka, rumusan ini jauh lebih menantang dan sangat berat untuk diwujudkan, apalagi berbuat baik kepada orang yang memusuhi kita atau kepada mereka yang tidak tahu berterima kasih atas kebaikan yang pernah kita berikan. Yesus mengajak kita untuk mempraktekkan hukum kasih ini dengan tulus tanpa diboncengi motivasi  kepentingan pribadi yang terselubung di dalamnya. Perintah Yesus ini bukan tanpa dasar, Ia sendiri telah mempraktekanya ketika Ia disalibkan, Ia masih mendoakan mereka yang menyalibkan-Nya.

            Harus kita akui bahwa tanpa kasih, kehidupan manusia tidak pernah menjadi lebih baik, justru hadirnya kasih membuat segalanya menjadi bermakna, sempurna dan bernilai, bahkan kasih mampu mematahkan dan mengakhiri rantai kekerasan. Kasih ditawarkan oleh Yesus menjadi suatu cara hidup yang khas Kristiani. Yesus tidak pernah mengajarkan kita untuk membinasakan musuh-musuh karena mereka adalah anak-anak Allah, sebaliknya Ia berkata, “Kasihilah musuh-musuhmu...Jangan menghakimi..Janganlah menghukum...Ampunila”. Mengasihi itu adalah tindakan ilahi karena Allah adalah Kasih. Maka siapa pun yang tidak mengasihi musuhnya berarti ia tidak mengenal Allah yang adalah Kasih, ia bukanlah murid-murid Kristus yang sejati. Karena itu, berhentilah untuk memusuhi orang agar kita bisa bebas untuk saling mengasihi.  

            Apabila prinsip kasih mampu kita terapkan karena Allah telah menunjukkan kerahiman dan kasih-Nya kepada kita maka pengampunan akan lebih mudah diwujudkan kepada mereka yang membenci kita. Yesus mendorong murid-murid-Nya agar berdoa dan meminta berkat keselamatan bagi orang yang membenci dan menganiaya mereka. Untuk mempraktekkan ajaran Yesus tentang kasih, kita tidak bisa mengandalkan kemampuan diri kita sendiri, namun kita perlu membangun keintiman dan hubungan yang baik dengan-Nya agar rahmat dan belas kasih Allah menerangi budi kita untuk melakukannya. Kita juga dapat meneladani Yesus yang telah menunjukkan kasih-Nya kepada kita orang-orang berdosa, karena Kristus rela mati bagi kita untuk diperdamaikan dengan Allah. Pengalaman-pengalaman negatif yang kita jumpai dalam hidup harus diubah menjadi berkat dan rahmat bila kita memiliki kemauan untuk mendengarkan nasihat Yesus. Yesus meminta para murid dan kita sekalian untuk mengubah hukum gigi ganti gigi dengan hukum kasih Yesus. “Sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga demikian kepada mereka” (Luk 6:31).

             Untuk mencapai tahap pengampunan, kita perlu membersihkan hati dari pikiran-pikiran negatif yang mencemarkannya. sesama kita termasuk musuh sekalipun. Kita juga perlu membangun relasi dan komunikasi yang harmonis dengan Allah sehingga rahmat Hati harus dimurnikan dengan kekuatan doa yang teratur dan membiasakan diri melakukan hal-hal baik yang memungkinkan iman kita menjadi dewasa dan dewasa dalam bersikap. Iman harus bisa didaratkan dalam praktek kasih kepada Allah dalam diri -Nya dapat mengalir dan memampukan kita untuk bersikap adil dan bijaksana. Dengan begitu kebaikan hati mengarahkan sikap dan tindakan kita untuk mampu mengasihi musuh-musuh dan berdoa bagi orang yang menyakiti hati kita. Kita diundang untuk melihat diri kita sendiri dan belajar mengolah luka-luka hati kita sebelum kita mengungkapkan kekecewaan kita kepada mereka yang membeci kita. Kita harus belajar untuk mengendalikan diri dan berhenti menghakimi orang tanpa alasan agar kita dapat memandang memandang semua orang sebagai saudara dan sahabat.

            Perintah Yesus untuk mengasihi musuh dan berbuat baik bagi mereka yang membenci kita itu tetap berlaku dan masih relevan di zaman kita. Orang beriman harus melangkah lebih jauh, menyelam lebih dalam, berinisiatif untuk melakukan yang lebih sebagai ungkapan imannya. Karena itu, Yesus memberikan contoh kasih yang radikal bukan supaya orang menjadi radikal, melainkan menyadari bahwa hanya dengan melangkah lebih jauh dari kebiasaan dunia, orang-orang beriman dapat membaharui dunia, memperjuangkan dan menegakkan kasih demi kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat. Kita semua dipanggil dan ditantang  untuk memberi semangat cinta, sehingga kasih Kristus yang penuh korban itu dialami dan dinikmati buahnya oleh semua orang, karena kasih Yesus mengalahkan segala-galanya. ***Bernad Wadan***

Senin, 07 September 2020

Kelahiran Santa Perawan Maria

 Mat 1:1-16.18-23

Kelahiran itu suatu peristiwa yang istimewa. Keistimewaannya itu dapat ditelusuri dalam setiap acara yang dibuat. Ada sukacita yang besar yang dialami sebagai tanda bahwa orang menerima kelahiran sebagai suatu berkat yang patut disyukuri. Bukan hanya hidup melainkan juga anugerah-anugerah istimewa yang diberikan Tuhan kepada setiap orang yang dilahirkan.  Masing-masing orang memiliki keistimewaannya.

 

Pada hari ini Gereja sejagat merayakan pesta syukur atas hari kelahiran Santa Perawan Maria. Ia adalah anugerah istimewa yang Tuhan berikan kepada manusia. Oleh kesediaan atas keterpilihannya, Maria telah mengambil bagian dalam rencana besar Allah untuk menyelamatkan umat manusia. Ia membuka pintu keselamatan dengan mengandung dan melahirkan Yesus, Putera Allah, Sang Penyelamat.

 

Seperti yang diajarkan oleh Gereja bahwa setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa manusia tidak berdaya untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Allah dalam keputusan karena kasih-Nya, mengambil inisiatif untuk menyelamatkan manusia. Namun Allah tidak bekerja sendirian. Allah melibatkan manusia di dalam rencana kasih-Nya itu supaya manusia pun ikut serta bertanggung jawab atas hidup dan keselamatannya.

 

Maka Allah menyiapkan seorang yang dikehendaki-Nya dari awal pembentukannya hingga pada waktunya ia dipanggil menjadi seorang ibu yang mengandung dan melahirkan Putra-Nya untuk menebus dunia. Maria yang dipilih itu dikadung tanpa noda dosa dan menjadi suci sejak awal. Dalam keadaan suci, Maria mengandung dari Roh Kudus dan melahirkan Yesus seperti yang ditulis: "Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel" -- yang berarti: Allah menyertai kita.

 

Dalam rasa syukur kepada Allah, Gereja pun menyatakan kasih dan penghormatan yang istimewa kepada Maria karena jasanya itu. Maria tidak memikirkan dirinya saja. Ia peduli dengan kehidupan dan keselamatan manusia, maka atas kehendak bebasnya ia memilih memberikan dirinya dan tunduk pada kehendak Allah, agar karya keselamatan Allah itu dapat bekerja dalam dunia dan mendatangkan kebaikan bagi semua orang dan semua alam ciptaan-Nya.

 

Dalam konteks ini, maka ketika pada hari ini Gereja merayakan pesta kelahiran Maria, Gereja sesungguhnya mengakui imannya akan Allah yang telah  berkarya membuka pintu keselamatan melalui Maria. Serentak juga Gereja menyatakan kasih dan penghormatan istimewa kepada Maria yang telah bekerja sama dengan Allah untuk mendatang kebaikan bagi manusia dan alam ciptaan Tuhan.

 

Tidak ada sumber otentik yang memberikan keterangan tentang hari kelahiran Santa Perawan Maria yang kita rayakan hari ini. Gereja secara otoritatif menetapkan tanggal 8 September sebagai hari kelahiran Maria. Yang penting di sini adalah bukan soal ketepatan waktu kelahirannya, melainkan soal pengakuan iman bahwa Maria telah dipilih dan ditetapkan Allah menjadi ibu yang mengandung dan melahirkan Putra Allah.  Kita juga mengakui bahwa Maria mendapatkan kedudukan terhormat dalam kehidupan kita sebagai iman umat beriman.

 

Dalam iman akan Allah dan hormat kepada Maria, Gereja mengajak kita sekalian agar dalam rasa penuh syukur setiap kita merefleksikan hari kelahiran kita sebagai suatu yang istimewa. Tuhan memiliki rencana atas hidup kita, bukan saja untuk diri kita sendiri tetapi juga bagi orang lain. Ada tugas dan tanggung jawab yang diberikan Tuhan kepada masing-masing kita untuk kepentingan bersama. Tugas dan tanggung jawab itu mesti dipukul dengan rela dan penuh tanggung jawab.

Maka dari itu, baiklah kita memaknai hidup kita sebagai panggilan untuk memberikan diri bagi kebaikan bersama, seperti Maria telah memberikan dirinya bagi hidup dan keselamatan umat manusia. Janganlah kita memikirkan diri kita sendiri. Tuhan telah menempatkan orang lain di sekitar kita sama seperti kita bagi orang lain agar saling membantu dan menolong untuk mendatangkan kebaikan bersama. Berilah diri kita satu akan yang lain. *** Apol Wuwur***


Selasa, 01 September 2020

MELIHAT DENGAN MATA LEBAH

(Luk 4: 38 – 44)


Kita semua pasti pernah melihat binatang yang bernama lebah dan lalat. Dua binatang kecil ini memiliki mata dengan fungsi yang sama untuk mengamati dan mengambil sebuah obyek berupa makanan untuk dimakan. Namun ada perbedaan yang mendasar dari mata lalat dan mata lebah. Kalau mata lalat selalu mencari sampah yang busuk; tidak hanya di tempat kotor tetapi juga di tempat yang bersih. Sedangkan mata lebah selalu mencari bunga yang harum; tidak hanya di tempat bersih tetapi juga di tempat sampah atau tempat kotor. Analogi mata lebah dan mata lalat mau memberi pesan kepada kita bahwa sebagai manusia acapkali kita menggunakan mata lalat untuk menaru prasangka, curiga dan sentimen kepada orang lain. Sebaik apa pun hal yang dilakukan oleh orang lain, kita sering mengenakan mata lalat untuk menghakimi dan mendiskreditkan orang lain. Kita jarang menggunakan mata lebah untuk melihat segala realitas. Mata lebah adalah simbol mata yang selalu melihat segala sesuatu dalam kaca mata positif. Termasuk dalam hal-hal negatif, mata lebah menggerakkan kita untuk memandang dan memahami segala sesuatu secara positif. Kita tidak gampang jatuh ke dalam sikap prasangka dan curiga kepada orang lain. Mata lebah selalu membangun energi positif dalam diri agar kita mau memberi respek dan meneladani kebaikan yang ada dalam diri setiap manusia.

 

Pengalaman penolakan di kampung halaman-Nya Nazaret (Luk 4:16-30), ternyata tidak menyurutkan niat mulia dari Yesus untuk terus mewartakan karya pelayanan Allah di daerah lain. Di daerah Kapernaum, di dalam sebuah rumah ibadat, banyak orang takjub mendengar perkataan-Nya. Orang banyak juga terpesona menyaksikan mukjizat penyembuhan seorang yang kerasukan setan (Luk 4:31-37). “Alangkah hebatnya perkataan ini! sebab dengan penuh wibawa dan kuasa Ia memberi perintah kepada roh-roh jahat dan mereka pun keluar” (Luk 4:36). Apresiasi kepada Yesus ini dilatari oleh pengalaman orang-orang di Kapernaum yang mengalami hal-hal baik dan prestisius yang telah dilakukan oleh Yesus.

 

Dari dalam rumah ibadat, Yesus pergi ke rumah Simon, salah seorang murid-Nya. Di dalam rumah itu, Yesus mendapati ibu mertua Simon yang sementara menderita sakit demam. Yesus kemudian menyembuhkan sakitnya. Ketika orang banyak mendengar tentang Yesus dan segala perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya, mereka membawa kenalan dan kerabat yang sementara menderita berbagai penyakit untuk disembuhkan. Kapernaum sungguh berbeda dengan Nazaret. Di kampung asalnya, Yesus tidak memperlihatkan satu mukjizat pun kepada orang-orang dan segenap anggota keluarga-Nya. Malahan mereka menaru prasangka, sentimen dan mengusir Yesus dari hadapan mereka. Sementara di Kapernaum, orang banyak begitu antusias menerima dan memuji segala perkataan dan perbuatan besar yang telah dilakukan Yesus. Orang Kapernaum sungguh memberi respek atas kehadiran Yesus dan kuasa ilahi yang keluar dari dalam diri-Nya. Indikasi sikap respek berikutnya yang dilakukan oleh orang Kapernaum adalah mereka berusaha menahan Yesus untuk tinggal bersama-sama dengan mereka (Mat 4:42). Tentu saja Yesus menolaknya. Apa yang dilakukan oleh orang Kapernaum bertentangan dengan tujuan kedatangan-Nya ke tengah dunia. Ia bermisi bukan untuk daerah-daerah tertentu saja tetapi kepada semua daerah yang merindukan kabar keselamatan dari Allah.

 

Pengalaman penolakan dan penerimaan yang dialami oleh Yesus di kampung Nazaret dan Kapernaum mengafirmasi analogi mengenai mata lalat dan mata lebah. Orang Nazaret lebih bertendensi mengenakan mata lalat menyambut kehadiran Yesus. Memang pada awalnya mereka cukup simpatik dengan Yesus. Namun kemudian segera berganti dengan sikap kecewa, iri hati, sentimen yang berlebihan ketika mengetahui latar hidup dari Yesus. Mereka tidak percaya bahwa Yesus yang datang dari masyarakat kalangan bawah bisa tampil penuh wibawa dan kuasa. Malahan orang Nazaret menaru prasangka akan niat tulus yang dibawa oleh Yesus. Mereka tidak percaya akan hal-hal baik yang dikatakan dan dilakukan oleh Yesus. Berbeda dengan orang Nazaret, orang Kapernaum sungguh memakai mata lebah untuk menangkap segala kebaikan yang dibawa oleh Yesus. Kebaikan itu terwujud dalam sabda dan tindakan mukjizat yang menyelamatkan banyak orang. Orang Kapernaum memberi respek dan menempatkan Yesus sebagai orang yang sangat spesial dalam hidup mereka. Kehadiran Yesus yang memberi kesejukan lewat kata-kata dan tindakan mukjizat yang menyelamatkan mereka dari segala penyakit sungguh memberi kekuatan dan keyakinan bahwa Yesus bukan orang sembarangan. Yesus adalah manusia yang memiliki kuasa Allah. Bahkan setan-setan yang keluar dari tubuh orang sakit pun memberi pengakuan yang dasyat: “Engkau adalah anak Allah” (Mat 4:41).

 

Sebagai orang Katolik, seringkali kita menaru curiga, prasangka, sentimen, atau sikap destruktif lainnya kepada orang atau sesama. Kita cenderung menghakimi mereka dengan ucapan dan tindakan yang tidak pantas. Bahkan, kita mengekslusi, memarginalisasi atau mengkarantina mereka dari lingkup pergaulan sosial. Seperti orang Nazaret, kita cenderung menggunakan mata lalat untuk melihat segala realitas yang ada di sekeliling kita. Sebaik apa pun kenyataan yang baik selalu kita lihat sebagai hal yang tidak baik. Orang yang membawa kebaikan dan prestasi saja selalu kita anggap remeh. Apalagi jika ia mempunyai sedikit kesalahan. Pasti akan mendapat hinaan dan cercaan yang luar biasa.

 

Kita sungguh belajar dari sikap orang Kapernaum. Pikiran yang waras dan ketulusan hati menuntun kita untuk dapat memberi respek pada setiap pengalaman atau kenyataan yang kita hadapi. Kita sungguh menghargai orang lain sebagai pribadi yang mulia di hadapan Tuhan, seburuk apa pun kesalahan yang telah dilakukan. Kita juga memberi respek kepada segala kebaikan, prestasi kerja atau hal-hal positif yang dibawa oleh sesama atau rekan kerja kita. Karena dari segala kebaikan itu, kita juga mau belajar untuk menjadi baik dan mendongkrak prestasi kerja yang mungkin saja masih melempem. Dengan demikian, kita telah berupaya mengenakan mata lebah untuk melihat dan memandang realitas yang ada di sekitar kita. Mata lebah membantu kita untuk melihat segala pengalaman manusiawi sebagai sebuah pengalaman iman dimana Tuhan sendiri yang sementara melakukan intervensi dalam hidup kita. Menyadari hal demikian, tentu semakin meningkatkan hidup iman dan ketakwaan kita kepada-Nya. kita semakin mengakui Dia, sebagai Mesias, Anak Allah yang hidup. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***