Mat 14:1-12 dan Sumber Yang Lain
Herodes yang diceritakan dalam Injil adalah Herodes Antipas, singkatan dari
Anti-Patros (Yunani) yang berarti “di tempat Ayah”. Lahir pada tahun 22 sM dari
ayah Herodes Agung raja Yudea dan ibu Malthake yang berasal dari Samaria.
Herodes Antipas merajai wilayah Galilea dan Perea sejak tahun 4 sM. Masa
kekuasaannya berkahir ketika Caligula, penguasa Roma yang baru itu, mengusirnya
ke Lugdunum Convenarum, diperkirakan Saint-Bertrand-de-Comminges sekarang. Ia
diusir atas tuduhan keponakannya sendiri, Agripa I, bahwa ia berkonspirasi
melawan kekuasaan Roma.
Antipas menikahi Phasaelis, putri Aretas IV Philopatis, namun kemudian
diceraikannya untuk menikah secara tidak sah menurut hukum Yahudi dengan
Herodias, istri saudara tirinya, Herodes Filipus I (anak Herodes Agung dan
istri ketiga, Mariamne II, putri Simon Boethus, Iman Besar dari mazhab Saduki).
Perkawinan dengan keponakan agaknya tidak menjadi persoalan. Sama seperti
Antipas, Filipus mengawini Herodias keponakannya sendiri. Akan tetapi menikahi
istri orang adalah perbuatan tercela. Itu berzinah. Herodes Antipas telah
berzinah dengan mengawini istri saudara tirinya.
Yohanes Pembaptis tampil dalam suara profetisnya mengecam tindakan yang
dilakukan oleh Herodes. Dalam khotbahnya ia secara lantang berkata: "Tidak
halal engkau mengambil Herodias!"
Bukannya insaf akan perbuatannya, malah menjadi amuk. Ya, ada kuasa. Menentang
raja oleh karena salah diartikan dengan menentang kuasa, juga kuasa untuk
membenarkan tindakannya. Tak pelak, Herodes, yang ingin menyelamatkannya,
dijadikan korban. Yohanes ditangkap dan dipenjarakan.
Keinginan untuk membunuh Yahanes yang dipandang “duri dalam daging” tidak kuasa
dijalankannya karena banyak orang memandangnya sebagai nabi. Ia takut terhadap
orang banyak. Sebenarnya teguran itu juga menjadi alasan baginya untuk
mengeksekusi Yohanes karena menurut catatan Flavius Yosefus, pengaruh publik
Yohanes membuatnya takut akan pemberontakan. Yohanes harus disingkirkan agar
bahaya itu tidak bakal terjadi.
Kekuatiran itu menjadi lebih kuat daripada
kesedihan hati Herodes karena putrinya meminta kepala Yohanes di atas sebuah
talam seperti yang dihasutkan Herodias. Maka atas alasan janji memberikan apa
saja kepada putri raja yang telah menghibur hatinya dan para tamunya pada hari
ulang tahunnya, Herodes merasa tepat memerintahkan untuk membunuh Yohanes dan
membawa kepada putrinya kepada Yohanes.
Ketiga tokoh ini sesungguhnya mendramatisasi
kehidupan manusia di dunia ini. Herodes melakonkan orang yang berkuasa yang
dapat diterjemahkan dengan pemerintahan di mana kuasa itu ada dan dijalankan.
Kuasa itu, seperti yang ditunjukkan Herodes
digunakan tidak hanya mengatur kehidupan bersama untuknya kuasa itu diberikan,
akan tetapi juga cenderung digunakan untuk melegalkan perbuatan atau kebijakan
apapun jika itu berkenan di hati.
Apapun persoalan moral yang ditimbulkannya tidak menjadi hal yang patut
dipertimbangkan. Apa yang terjadi dengan orang lain itu bukan urusan, yang
penting keinginan hati ini terpenuhi. Filipus tidak pernah dipertimbangkan
Herodes, yang penting Herodias ada di tangannya. Inilah egoisme etis yang kuat
dalam kekuasaan yang dicintai demi kekuasaan itu sendiri.
Herodias adalah pelakon penghasut yang menggunakan kesempatan yang ada agar
keinginan jahat itu dapat diwujudkan. Dia mewakili orang-orang seputar
kekuasaan dan berperan secara strategik menentukan kebijakan penguasa termasuk
dalam kebijakan-kebijakan yang menyimpang secara etis dan merubuhkan bangunan
hidup moralitas. Itulah para penjilat yang bekerja tidak lebih juga untuk
mencari keuntungan diri.
Yohanes mewakili utusan Tuhan untuk meluruskan yang bengkok, meratakan yang
lekak-lekuk (lih Luk 3:5). Selalu saja ada suara profetis yang muncul di tengah
situasi keruntuhan moral dan pembangunan. Bisa saja suara itu diterima, akan
tetapi tidak jarang suara-suara kenabian itu dianggap angin berlalu, bahkan
ditanggapi secara represif dengan bermain kuasa. Banyak orang mati karena
kebenaran. Namun jiwa mereka hidup dalam kebenaran yang tidak termakan oleh
waktu.
Pentingnya untuk kita di sini adalah bahwa
kita belajar untuk mencintai kebenaran. Cinta itu berwujud dalam suara kenabian
yang disuarakan berhadapan dengan berbagai ketimpangan yang kita alami dalam
hidup ini. Selalu ada risikonya, akan tetapi cinta kepada kebenaran tidak
membuat kita lari darinya.
Di samping itu, kita juga belajar dari Herodes dan Herodias. Bahwa kuasa itu
diberikan untuk membangun tatanan kehidupan yang baik dan menjadimin rasa
keadilan dan damai di antara semua orang. Kuasa bukan alat kepentingan kita.
Herodes menyadarkan kita untuk tidak menggunakan kuasa untuk kepentingan diri,
jika kita tidak ingin “diusir” dari kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita.
Sementara itu, perilaku Herodias menginsafkan kita untuk tidak menjadi
penghasut dan menggunakan kesempatan kedekatan dengan penguasa untuk
merancangkan kejahatan terhadap orang lain sekalipun memang kita merasa
disakit. Sebaiknya kita menerima kenyataan bahwa kita tidaklah sempurna dan
ditolong untuk memperbaiki diri melalui kritikan-kritikan yang diberikan untuk
menjadi lebih sempurna. Semoga. ***Apol Wuwur***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar