Sabtu, 01 Agustus 2020

Herodes, Herodias Dan Yohanes

Mat 14:1-12 dan Sumber Yang Lain


Herodes yang diceritakan dalam Injil adalah Herodes Antipas, singkatan dari Anti-Patros (Yunani) yang berarti “di tempat Ayah”. Lahir pada tahun 22 sM dari ayah Herodes Agung raja Yudea dan ibu Malthake yang berasal dari Samaria.


Herodes Antipas merajai wilayah Galilea dan Perea sejak tahun 4 sM. Masa kekuasaannya berkahir ketika Caligula, penguasa Roma yang baru itu, mengusirnya ke Lugdunum Convenarum, diperkirakan Saint-Bertrand-de-Comminges sekarang. Ia diusir atas tuduhan keponakannya sendiri, Agripa I, bahwa ia berkonspirasi melawan kekuasaan Roma.


Antipas menikahi Phasaelis, putri Aretas IV Philopatis, namun kemudian diceraikannya untuk menikah secara tidak sah menurut hukum Yahudi dengan Herodias, istri saudara tirinya, Herodes Filipus I (anak Herodes Agung dan istri ketiga, Mariamne II, putri Simon Boethus, Iman Besar dari mazhab Saduki).


Perkawinan dengan keponakan agaknya tidak menjadi persoalan. Sama seperti Antipas, Filipus mengawini Herodias keponakannya sendiri. Akan tetapi menikahi istri orang adalah perbuatan tercela. Itu berzinah. Herodes Antipas telah berzinah dengan mengawini istri saudara tirinya.


Yohanes Pembaptis tampil dalam suara profetisnya mengecam tindakan yang dilakukan oleh Herodes. Dalam khotbahnya ia secara lantang berkata: "Tidak halal engkau mengambil Herodias!"


Bukannya insaf akan perbuatannya, malah menjadi amuk. Ya, ada kuasa. Menentang raja oleh karena salah diartikan dengan menentang kuasa, juga kuasa untuk membenarkan tindakannya. Tak pelak, Herodes, yang ingin menyelamatkannya, dijadikan korban. Yohanes ditangkap dan dipenjarakan.


Keinginan untuk membunuh Yahanes yang dipandang “duri dalam daging” tidak kuasa dijalankannya karena banyak orang memandangnya sebagai nabi. Ia takut terhadap orang banyak. Sebenarnya teguran itu juga menjadi alasan baginya untuk mengeksekusi Yohanes karena menurut catatan Flavius Yosefus, pengaruh publik Yohanes membuatnya takut akan pemberontakan. Yohanes harus disingkirkan agar bahaya itu tidak bakal terjadi.

 

Kekuatiran itu menjadi lebih kuat daripada kesedihan hati Herodes karena putrinya meminta kepala Yohanes di atas sebuah talam seperti yang dihasutkan Herodias. Maka atas alasan janji memberikan apa saja kepada putri raja yang telah menghibur hatinya dan para tamunya pada hari ulang tahunnya, Herodes merasa tepat memerintahkan untuk membunuh Yohanes dan membawa kepada putrinya kepada Yohanes.

 

Ketiga tokoh ini sesungguhnya mendramatisasi kehidupan manusia di dunia ini. Herodes melakonkan orang yang berkuasa yang dapat diterjemahkan dengan pemerintahan di mana kuasa itu ada dan dijalankan.

 

Kuasa itu, seperti yang ditunjukkan Herodes digunakan tidak hanya mengatur kehidupan bersama untuknya kuasa itu diberikan, akan tetapi juga cenderung digunakan untuk melegalkan perbuatan atau kebijakan apapun jika itu berkenan di hati.


Apapun persoalan moral yang ditimbulkannya tidak menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Apa yang terjadi dengan orang lain itu bukan urusan, yang penting keinginan hati ini terpenuhi. Filipus tidak pernah dipertimbangkan Herodes, yang penting Herodias ada di tangannya. Inilah egoisme etis yang kuat dalam kekuasaan yang dicintai demi kekuasaan itu sendiri.


Herodias adalah pelakon penghasut yang menggunakan kesempatan yang ada agar keinginan jahat itu dapat diwujudkan. Dia mewakili orang-orang seputar kekuasaan dan berperan secara strategik menentukan kebijakan penguasa termasuk dalam kebijakan-kebijakan yang menyimpang secara etis dan merubuhkan bangunan hidup moralitas. Itulah para penjilat yang bekerja tidak lebih juga untuk mencari keuntungan diri.


Yohanes mewakili utusan Tuhan untuk meluruskan yang bengkok, meratakan yang lekak-lekuk (lih Luk 3:5). Selalu saja ada suara profetis yang muncul di tengah situasi keruntuhan moral dan pembangunan. Bisa saja suara itu diterima, akan tetapi tidak jarang suara-suara kenabian itu dianggap angin berlalu, bahkan ditanggapi secara represif dengan bermain kuasa. Banyak orang mati karena kebenaran. Namun jiwa mereka hidup dalam kebenaran yang tidak termakan oleh waktu.

 

Pentingnya untuk kita di sini adalah bahwa kita belajar untuk mencintai kebenaran. Cinta itu berwujud dalam suara kenabian yang disuarakan berhadapan dengan berbagai ketimpangan yang kita alami dalam hidup ini. Selalu ada risikonya, akan tetapi cinta kepada kebenaran tidak membuat kita lari darinya.


Di samping itu, kita juga belajar dari Herodes dan Herodias. Bahwa kuasa itu diberikan untuk membangun tatanan kehidupan yang baik dan menjadimin rasa keadilan dan damai di antara semua orang. Kuasa bukan alat kepentingan kita. Herodes menyadarkan kita untuk tidak menggunakan kuasa untuk kepentingan diri, jika kita tidak ingin “diusir” dari kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita.


Sementara itu, perilaku Herodias menginsafkan kita untuk tidak menjadi penghasut dan menggunakan kesempatan kedekatan dengan penguasa untuk merancangkan kejahatan terhadap orang lain sekalipun memang kita merasa disakit. Sebaiknya kita menerima kenyataan bahwa kita tidaklah sempurna dan ditolong untuk memperbaiki diri melalui kritikan-kritikan yang diberikan untuk menjadi lebih sempurna. Semoga. ***Apol Wuwur***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar