Secara pribadi saya merasa bersyukur dan bangga tinggal di tengah
keberagaman masyarakat. Lokasi tempat tinggal saya cukup strategis di tengah
kota, dengan lenskep daerah dataran rendah yang rata. Boleh dikatakan, semua
masyarakat yang ada di sekitar adalah para pendatang yang berasal dari pelbagai
daerah, suku dan agama yang berbeda-beda. Kebanggaan yang tumbuh dalam diri
saya didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, saya dapat mengenal dan
bercengkerama dengan orang-orang dari berbagai latar dan karakteristik yang
berbeda-beda. Kedua, saya semakin dibentuk menjadi pribadi yang matang dalam
pola pikir dan tindakan untuk lebih memberi respek terhadap situasi sosial yang
ada. Ketiga, dalam dimensi spiritual, saya merasa sungguh ditantang untuk terus
menghidupi iman saya kepada Tuhan. Iman yang radikal kepada Tuhan di satu sisi,
menuntun saya untuk di sisi yang lain, terus membawa wajah Tuhan dalam setiap
gerakan sosial pribadi di tengah keberagaman umat. Sikap radikal kepada Tuhan
bukannya membuat saya semakin ekslusif (menutup diri) tetapi menjadikan saya
lebih inklusif. Lebih terbuka menerima dan memahami setiap perbedaan. Saya
merasa begitu dikuatkan dan didewasakan dalam iman kepada Yesus ketika hidup dalam
keberagaman masyarakat.
Dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15: 21-28) diceritakan bahwa Yesus didatangi oleh seorang perempuan yang datang dari komunitas yang berbeda dengan Yesus. Perempuan itu berasal dari daerah Kanaan, sebuah komunitas non-Yahudi yang kental dengan budaya Yunani. Dalam tradisi Yahudi, orang-orang di luar komunitas Yahudi diberi label sebagai orang kafir atau anjing seperti tertera dalam bacaan Injil. Tidak heran apabila Yesus secara tidak langsung menyebut perempuan Kanaan dengan kata anjing. Ini merujuk dalam budaya Yahudi yang menganggap rendah orang di luar komunitas mereka. Bukan pula merupakan sebuah kebetulan ketika Yesus berniat melakukan ekspansi pewartaan sabda-Nya ke daerah-daerah non Yahudi. Ada niat yang suci dan tulus ketika Yesus melakukan perjalanan ke daerah Tirus dan Sidon. Yesus menyadari bahwa misi keselamatan Allah yang diemban-Nya tidak hanya khusus terberi untuk orang-orang Yahudi, tetapi semua orang yang ada di muka bumi. Misi Yesus menembus batas suku, agama, golongan dan kepentingan politik.
Walaupun demikian, identitas sebagai orang Yahudi tetap melekat dalam
pribadi Yesus sebagai seorang manusia. Sehingga memengaruhi juga cara pandang
Yesus terhadap orang-orang di luar komunitas Yahudi. Perempuan Kanaan adalah
salah satu contoh kasus konkrit. Ia datang meminta bantuan kepada Yesus untuk
menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan. Pada awalnya Yesus tidak
memberi respon sedikit pun terhadap perempuan itu. Para murid Yesus sedikit
lebih frontal dengan meminta Yesus untuk menyuruh perempuan itu segera pergi.
Yesus menanggapi pernyataan para murid-Nya dengan menyampaikan bahwa Ia diutus
hanya kepada orang Israel. Bahkan Yesus menegaskan statement-Nya tersebut dengan sebuah analogi bahwa tidak pantas
memberi roti yang disiapkan untuk anak-anak kepada anjing. “Tidak patut
mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada
anjing.” Anjing yang dimaksud di sini adalah orang-orang non Yahudi. Termasuk
di dalamnya adalah si perempuan Kanaan tersebut.
Menghadapi tantangan yang demikian, ternyata tidak menyurutkan niat dari perempuan Kanaan itu. Malahan dengan tenang dan tetap menunjukkan kerendahan hati-Nya, ia berkata: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” Sikap perempuan ini menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan kata-kata diskriminatif yang diterimanya. Imannya kepada Yesus untuk mendapatkan pertolongan adalah hal pokok. Baginya lebih penting menjaga konsistensi imannya daripada harus goyah oleh karena tantangan yang harus diterimanya. Melihat sikap perempuan Kanaan yang begitu kokoh dan tulus Yesus akhirnya memberi apresiasi. “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Iman perempuan yang kuat kepada Yesus telah menyelamatkan hidupnya. Anak perempuannya menjadi sembuh dari sakit yang dideritanya.
Pengalaman iman lintas batas yang dialami oleh perempuan Kanaan dalam bacaan Injil pada hari ini memberi inspirasi kepada kita akan sikap beberapa tokoh yang ditampilkan. Pertama, sikap compassion Yesus. Yesus sungguh menunjukkan keprihatinan dan perhatiannya kepada perempuan Kanaan tersebut. Walaupun perempuan itu datang dari latar dan status yang berbeda jauh dengan Yesus, tidak menjadi halangan bagi Yesus untuk membagikan kasih-Nya kepada perempuan itu. Yesus telah menunjukkan belas kasih Allah dengan menyembuhkan anak perempuan Kanaan itu. Kedua, sikap iman dari perempuan Kanaan. Perempuan Kanaan itu tahu dengan pasti bahwa Yesus adalah orang Yahudi. Sebuah komunitas yang merasa diri paling unggul dibandingkan dengan dirinya yang datang dari komunitas non Yahudi. Tetapi batasan itu tidak serta merta membatasi sang perempuan Kanaan untuk menghampiri Yesus. Ia sungguh percaya akan kuasa Allah yang bernaung dalam diri Yesus. Karena imannya yang teguh kepada Yesus, akhirnya anaknya pun menjadi sembuh dari sakit. Ketiga, sikap ego dan apatis dari para rasul. Para rasul lebih mementingkan rasa ego sehingga mereka tidak peduli dengan perempuan Kanaan yang sementara berkesusahan. Para rasul bahkan berniat mengusir perempuan tersebut.
Sikap para rasul yang egoistis dan apatis mempresentasikan sikap sebagian orang-orang di masa kini. Hidup dalam konteks keberagaman ternyata tidak selalu berjalan mulus. Sikap orang-orang demikian cenderung ekslusif atau menutup diri dari komunitas di luar kelompok mereka. Orang-orang yang berkarakter ekslusif lebih mudah menerima orang-orang yang memiliki banyak persamaan dengan mereka. Entah persamaan suku, golongan, agama atau bahkan kepentingan politik. Di sisi lain, orang-orang seperti ini biasanya bersikap tertutup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Mereka sulit membangun relasi sosial dengan orang-orang yang memiliki perbedaan suku, agama, golongan dengan mereka. Orang-orang yang ekslusif biasanya merasa diri paling benar, paling hebat dan paling suci. Karakteristik inilah yang menciptakan pagar tembok dalam diri mereka. Pagar yang sulit ditembus oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Dapat dipastikan bahwa mereka kurang atau tidak bisa memberi respek apalagi sekedar membantu orang yang sementara mengalami kesusahan di sekitar mereka. Kehadiran orang-orang ini ibarat kerikil-kerikil tajam yang acapkali bisa menyulut api konflik dalam situasi sosial yang sangat beragam.
Kita perlu belajar dari dua tokoh inspiratif yakni Perempuan Kanaan dan Yesus sendiri. Walaupun ada perbedaan status yang mencolok tetapi tidak menjadi batu sandungan bagi dua tokoh ini untuk saling memberi perhatian dan respek satu sama lain. Dari perempuan Kanaan, kita belajar untuk menerima perbedaan sebagai sebuah ungkapan syukur untuk saling memperkaya diri satu sama lain. Perbedaan yang kita miliki dengan orang lain bukannya menjadi unsur yang memisahkan tetapi justru semakin mempersatukan dan melengkapi hidup kita. Orang lain yang berbeda dengan kita, baik agama, suku, golongan, dan sebagainya; bukan sebagai musuh yang harus dijauhi. Tetapi sebagai sahabat dekat yang bisa menjadi sarana bagi kita mensyeringkan pengalaman hidup sosial iman kita. Di dalam perbedaan itu juga, semakin menegaskan identitas iman yang kita anut sebagai pribadi yang merdeka. Kita semakin kuat dengan iman kita akan Yesus dan semakin diteguhkan untuk mengekspresikan hidup iman kita. Dari Yesus, kita belajar untuk saling berbagi kasih dan perhatian dengan sesama manusia. Terutama dengan mereka yang berbeda dengan kita. Perhatian dan cinta lintas batas yang diberikan hendaknya semakin mengukuhkan diri kita sebagai murid Yesus yang militan. Bahwa kita tidak hanya hadir untuk membawa wajah Tuhan kepada saudara/i yang berbeda keyakinan dengan kita. Tetapi kepada semua orang tanpa memandang latar hidup dan status sosial, kita hadir untuk berbagi kasih dan saling meneguhkan satu di antara yang lain.
Dalam komunitas Rumah Sakit Bukit Lewoleba, kita datang dari berbagai daerah, suku, dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan yang kita alami tentu tidak menciptakan jarak tetapi semakin mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan di antara kita. Dalam perbedaan itu juga, kita semakin ditantang untuk memperkuat hidup iman kita masing-masing. Bagi saudara/i yang beragama Katolik, pengalaman hidup dalam keberagaman semakin menguatkan iman kita akan Yesus dalam menjalani panggilan hidup di lembaga tercinta ini. Dengan iman yang teguh akan Yesus, berimplikasi lanjut pada karakter pribadi kita, untuk semakin bekerja dengan penuh kesetiaan, semangat pengorbanan dan pelayanan yang prima. Dan tentu kita tidak ragu-ragu untuk berbagi kasih dan cinta dengan sesama saudara yang berbeda dengan kita. Semoga. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar