Selasa, 11 Agustus 2020

ANEKA KARUNIA DALAM SATU TUBUH

 

(Mat 18: 15 – 20)

 

Kata karunia merupakan sebuah terminologi (istilah) yang tidak asing di telinga kita. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata karunia memiliki padanan arti dengan kata hadiah, rahmat, kebajikan, berkat, kasih atau belas kasih. Dalam teologi Kristen, karunia atau karisma adalah sebuah anugerah spiritual yang diberikan kepada semua orang yang percaya untuk menjalankan pelayanan mereka di gereja. Karunia atau kharisma adalah suatu kebajikan yang diberikan oleh Tuhan secara unik kepada setiap individidu. Tidak semua orang mendapat karunia itu persis sama satu dengan yang lain. Karunia yang diberikan Tuhan sifatnya jamak dan beraneka ragam. Setiap orang bisa memiliki salah satu atau lebih dari setiap karunia yang terberi. Karunia itu terberi dalam wujud konkrit seperti minat, bakat, kemampuan atau kompetensi yang dikuasai oleh setiap orang. Dengan karunia atau kharisma tersebut akan sangat membantu manusia untuk menjalankan aktivitasnya sebagai seorang makhluk pekerja (homo faber). Seorang manusia bisa menggunakan pelbagai karunia yang dimiliki untuk membangun kesatuan, kerjasama, solidaritas dan melaksanakan tiap target yang ingin dicapai.

 

Namun di sisi lain, ada implikasi negatif yang bisa terjadi. Banyak orang dengan banyak karunia acapkali bersinggungan dengan perbedaan pendapat dan kepentingan. Ada banyak dinamika yang tercipta akibat benturan pikiran, pendapat dan kepentingan. Imbasnya bisa terjadi dua hal. Di satu sisi perbedaan yang terjadi bisa diselesaikan secara rasional dan profesional. Masing-masing orang saling memahami dan menghargai satu sama lain sehingga ada solusi terbaik yang bisa diterima dan bisa menjembatani setiap kepentingan dalam masing-masing orang. Kalau semua orang memiliki kesepahaman pendapat dan idealisme yang mau digapai, pasti perbedaan yang muncul adalah sebuah kekayaan yang mestinya disyukuri. Di lain sisi, perbedaan pendapat dan pikiran yang muncul bisa menjadi embrio atau akar dari sebuah konflik yang besar. Masing-masing orang tetap bertahan dengan argumentasinya dan saling tidak menerima pendapat satu dengan yang lain. Bisa terjadi bahwa solusi yang mau dituju tidak tercapai. Malahan semakin membara konflik yang tercipta. Mungkin dalam pengalaman yang kita alami atau kita saksikan dari orang lain, perang dingin dan perang terbuka sering mewarnai hidup pergaulan kita dalam sebuah komunitas. Berawal dari sebuah perbedaan yang kecil tetapi dapat memicu konflik yang mengorbankan nilai-nilai yang lebih besar. Nilai persaudaraan dan kekeluargaan kita sebagai satu keluarga dalam satu komunitas yang sama menjadi tawar dan hancur.

 

Ada baiknya kita mendengar nasihat yang disampaikan oleh Yesus dalam bacaan Injil (Mat 18:15-20) pada hari ini (Rabu/12/8/2020). Ada empat tahap yang hendak disampaikan Yesus untuk menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul dalam hidup komunitas jemaat kala itu. Pertama, bila ada anggota jemaat yang melakukan kekeliruan atau kesalahan, hendaknya dibicarakan secara empat mata. Anggota jemaat lain dapat memanggil dan menasihati anggota jemaat yang bersalah tersebut secara persuasif dari hati ke hati. Masalah akan selesai apabila ia mau menerima dan memberbaiki diri. Namun kalau dia tidak menerima maka bisa dilanjutkan ke tahap kedua. Pada tahap kedua, pembicaraan yang dilakukan tidak terjadi secara empat mata. Ada beberapa saksi yang dihadirkan untuk memberi bukti dan menguatkan dalil-dalil agar kebenaran suatu persoalan bisa diungkap secara terang benderang. Apabila orang yang bersalah tersebut tidak juga mengakui kesalahannya maka ranah persoalan bisa ditingkatkan ke tahap tiga. Dalam tahap ini, sebuah persoalan sudah menjadi konsumsi publik karena diselesaikan dengan melibatkan banyak orang dalam sebuah jemaat atau komunitas. Orang yang bersalah dihadirkan dan dimintai keterangannya. Setiap anggota jemaat mempunyai kewajiban moral yang sama untuk memberi petunjuk atau nasihat dengan satu harapan agar orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan tidak mengulangi lagi kekeliruan atau kesalahannya tersebut. Dapat terjadi bahwa pada tahap ini orang yang bersalah tergerak hatinya untuk merefleksikan dan mengakui kekeliruannya. Maka semua anggota jemaat atau komunitas dapat bersatu kembali untuk menguatkan rasa persaudararan dan kekeluargaan di antara mereka. Namun, apabila tetap tidak menemui jalan keluar maka suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, orang yang tetap menunjukkan kekerasan hatinya itu dapat dipandang oleh anggota komunitas sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Inilah tahap empat atau tahap akhir yang menjadi konsekuensi apabila tiga tahap yang telah dilalui tidak menemui kata sepakat.

 

Jika kita memperhatikan empat tahap penyelesaikan konflik yang disabdakan oleh Yesus, terkesan bahwa pada tahap keempat itu bukan tawaran persoalan yang bijaksana. Keputusan memang diambil tetapi tidak menyelesaikan substansi persoalan yang sebenarnya. Malahan orang yang bersalah semakin diekslusikan atau dipojokan dari komunitasnya dan dicap sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Tetapi saya kira bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus. Sebagai kepala persekutuan jemaat, Yesus mengajarkan dan menasihati para murid agar selalu menjaga dan merawat persekutuan yang telah tercipta. Perbedaan-perbedaan di antara sesama anggota komunitas hendaknya tidak merusak persaudaraan tetapi harus dimaknai sebagai rahmat untuk saling memperkaya dan menguatkan kehidupan persekutuan. Bila ada anggota jemaat yang salah dan menyeleweng, bahkan meninggalkan persekutuan, maka mereka perlu didampingi dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, tanpa terlalu cepat mengadili dan menghakimi mereka. Dengan cara dan sikap seperti ini, mereka lebih terdorong untuk kembali ke dalam persekutuan. Rekonsiliasi ini akan lancar jalannya jika doa bersama dalam nama Yesus tidak terabaikan. “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” Mat 18:19-20).

 

Dalam konteks kekinian, aneka karunia berupa bakat, minat, kemampuan atau kompetensi yang kita miliki adalah sebuah kekayaan dari Tuhan yang luar biasa dan tidak bisa diukur berapa pun nilainya menurut ukuran kita sebagai manusia. Tuhan sudah merancang sedemikian rupa agar tiap manusia memiliki karunia yang berbeda-beda. Dan perbedaan itu bukannya memisahkan tetapi semakin mempererat relasi antara manusia entah dalam satu komunitas yang sama atau antar komunitas yang berbeda. Perbedaan itu adalah aset potensial agar manusia bisa membangun kerja sama dan keintiman untuk saling melengkapi dan mewujudnyatakan rencana atau target tertentu dalam komunitasnya. Konflik dalam ranah persekutuan kita sebagai anggota komunitas merupakan hal yang wajar. Akan tetapi jangan sampai meluluhlantakan semangat dan nilai-nilai lain yang lebih besar. Ada jalan bijaksana yang hendaknya kita ambil untuk meredam dan menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam komunitas. Kita telah mengambil bagian di dalam komunitas Rumah Sakit ini dengan berbagai karunia yang dimiliki sebagai seorang dokter, perawat, bidan, pegawai administrasi, dan karyawan/wati lainnya dengan tugas yang berbeda-beda. Kita juga tentu telah melewati banyak pengalaman yang menguji rasa solidaritas dan kekeluargaan kita. Pernah ada rasa kecewa, sakit hati, dendam kesumat, dan rasa putus asa yang mengiringi ruang dan waktu kita sebagai seorang pekerja mulia di rumah besar ini. Di atas semuanya, kita harus bersyukur bahwa apa pun tantangan dan keterpurukan hidup yang pernah kita alami, menjadi pengalaman yang semakin menguatkan dan memberdayakan sehingga kita tetap berlangkah maju, saling bergandengan tangan memberikan pelayanan yang prima kepada sesama kita yang sementara menderita sakit.

 

Belajar dari inspirasi bacaan Injil hari ini, kita semua mau diingatkan bahwa kita adalah satu ciptaan dengan satu pencipta yakni Allah yang satu dan sama. Sebagai insan ciptaan kita dihadirkan dengan banyak karunia yang berbeda-beda pula. Namun, dalam aneka karunia itu kita tetap terikat pada satu Tubuh yang sama yakni Tuhan sendiri. Ibarat pohon yang memiliki ranting-ranting, demikian juga kita adalah ranting-ranting yang selalu melekat pada pokok yang sama. Dengan mengingat sumber atau pokok kita yang sama, maka kita akan menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang. Dalam bahasa iman, kita menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk mewartakan sabda Tuhan dalam tugas dan panggilan kita di tempat ini. Kita selalu percaya bahwa Tuhan yang satu dan sama selalu menaungi segala karunia yang kita miliki secara berbeda dalam diri kita masing-masing. Mari kita menggunakan karunia yang kita miliki untuk menyebarluaskan semangat kasih Tuhan kepada orang lain. Walaupun kita berbeda dalam karunia tetapi kita tetap berada dalam satu tubuh yang satu dan sama yakni tubuh Yesus Kristus. Amin. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar