(Mat 18: 15 – 20)
Kata karunia merupakan sebuah terminologi (istilah) yang tidak asing di
telinga kita. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata karunia memiliki padanan
arti dengan kata hadiah, rahmat, kebajikan, berkat, kasih atau belas kasih.
Dalam teologi Kristen, karunia atau karisma adalah sebuah anugerah spiritual
yang diberikan kepada semua orang yang percaya untuk menjalankan pelayanan
mereka di gereja. Karunia atau kharisma adalah suatu kebajikan yang diberikan
oleh Tuhan secara unik kepada setiap individidu. Tidak semua orang mendapat
karunia itu persis sama satu dengan yang lain. Karunia yang diberikan Tuhan
sifatnya jamak dan beraneka ragam. Setiap orang bisa memiliki salah satu atau
lebih dari setiap karunia yang terberi. Karunia itu terberi dalam wujud konkrit
seperti minat, bakat, kemampuan atau kompetensi yang dikuasai oleh setiap
orang. Dengan karunia atau kharisma tersebut akan sangat membantu manusia untuk
menjalankan aktivitasnya sebagai seorang makhluk pekerja (homo faber). Seorang
manusia bisa menggunakan pelbagai karunia yang dimiliki untuk membangun
kesatuan, kerjasama, solidaritas dan melaksanakan tiap target yang ingin
dicapai.
Namun di sisi lain, ada implikasi negatif yang bisa terjadi. Banyak orang
dengan banyak karunia acapkali bersinggungan dengan perbedaan pendapat dan
kepentingan. Ada banyak dinamika yang tercipta akibat benturan pikiran,
pendapat dan kepentingan. Imbasnya bisa terjadi dua hal. Di satu sisi perbedaan
yang terjadi bisa diselesaikan secara rasional dan profesional. Masing-masing
orang saling memahami dan menghargai satu sama lain sehingga ada solusi terbaik
yang bisa diterima dan bisa menjembatani setiap kepentingan dalam masing-masing
orang. Kalau semua orang memiliki kesepahaman pendapat dan idealisme yang mau
digapai, pasti perbedaan yang muncul adalah sebuah kekayaan yang mestinya
disyukuri. Di lain sisi, perbedaan pendapat dan pikiran yang muncul bisa
menjadi embrio atau akar dari sebuah konflik yang besar. Masing-masing orang
tetap bertahan dengan argumentasinya dan saling tidak menerima pendapat satu
dengan yang lain. Bisa terjadi bahwa solusi yang mau dituju tidak tercapai.
Malahan semakin membara konflik yang tercipta. Mungkin dalam pengalaman yang
kita alami atau kita saksikan dari orang lain, perang dingin dan perang terbuka
sering mewarnai hidup pergaulan kita dalam sebuah komunitas. Berawal dari
sebuah perbedaan yang kecil tetapi dapat memicu konflik yang mengorbankan
nilai-nilai yang lebih besar. Nilai persaudaraan dan kekeluargaan kita sebagai
satu keluarga dalam satu komunitas yang sama menjadi tawar dan hancur.
Ada baiknya kita mendengar nasihat yang disampaikan oleh Yesus dalam bacaan
Injil (Mat 18:15-20) pada hari ini (Rabu/12/8/2020). Ada empat tahap yang
hendak disampaikan Yesus untuk menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul
dalam hidup komunitas jemaat kala itu. Pertama, bila ada anggota jemaat yang
melakukan kekeliruan atau kesalahan, hendaknya dibicarakan secara empat mata.
Anggota jemaat lain dapat memanggil dan menasihati anggota jemaat yang bersalah
tersebut secara persuasif dari hati ke hati. Masalah akan selesai apabila ia
mau menerima dan memberbaiki diri. Namun kalau dia tidak menerima maka bisa
dilanjutkan ke tahap kedua. Pada tahap kedua, pembicaraan yang dilakukan tidak
terjadi secara empat mata. Ada beberapa saksi yang dihadirkan untuk memberi
bukti dan menguatkan dalil-dalil agar kebenaran suatu persoalan bisa diungkap
secara terang benderang. Apabila orang yang bersalah tersebut tidak juga
mengakui kesalahannya maka ranah persoalan bisa ditingkatkan ke tahap tiga.
Dalam tahap ini, sebuah persoalan sudah menjadi konsumsi publik karena
diselesaikan dengan melibatkan banyak orang dalam sebuah jemaat atau komunitas.
Orang yang bersalah dihadirkan dan dimintai keterangannya. Setiap anggota
jemaat mempunyai kewajiban moral yang sama untuk memberi petunjuk atau nasihat
dengan satu harapan agar orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan tidak
mengulangi lagi kekeliruan atau kesalahannya tersebut. Dapat terjadi bahwa pada
tahap ini orang yang bersalah tergerak hatinya untuk merefleksikan dan mengakui
kekeliruannya. Maka semua anggota jemaat atau komunitas dapat bersatu kembali
untuk menguatkan rasa persaudararan dan kekeluargaan di antara mereka. Namun,
apabila tetap tidak menemui jalan keluar maka suka atau tidak suka, mau atau
tidak mau, orang yang tetap menunjukkan kekerasan hatinya itu dapat dipandang
oleh anggota komunitas sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Inilah tahap
empat atau tahap akhir yang menjadi konsekuensi apabila tiga tahap yang telah dilalui
tidak menemui kata sepakat.
Jika kita memperhatikan empat tahap penyelesaikan konflik yang disabdakan
oleh Yesus, terkesan bahwa pada tahap keempat itu bukan tawaran persoalan yang
bijaksana. Keputusan memang diambil tetapi tidak menyelesaikan substansi
persoalan yang sebenarnya. Malahan orang yang bersalah semakin diekslusikan
atau dipojokan dari komunitasnya dan dicap sebagai orang yang tidak mengenal
Allah. Tetapi saya kira bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus. Sebagai kepala
persekutuan jemaat, Yesus mengajarkan dan menasihati para murid agar selalu
menjaga dan merawat persekutuan yang telah tercipta. Perbedaan-perbedaan di
antara sesama anggota komunitas hendaknya tidak merusak persaudaraan tetapi
harus dimaknai sebagai rahmat untuk saling memperkaya dan menguatkan kehidupan
persekutuan. Bila ada anggota jemaat yang salah dan menyeleweng, bahkan
meninggalkan persekutuan, maka mereka perlu didampingi dengan bijaksana dan
penuh kasih sayang, tanpa terlalu cepat mengadili dan menghakimi mereka. Dengan
cara dan sikap seperti ini, mereka lebih terdorong untuk kembali ke dalam
persekutuan. Rekonsiliasi ini akan lancar jalannya jika doa bersama dalam nama
Yesus tidak terabaikan. “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat
meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang
di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ
Aku ada di tengah-tengah mereka” Mat 18:19-20).
Dalam konteks kekinian, aneka karunia berupa bakat, minat, kemampuan atau
kompetensi yang kita miliki adalah sebuah kekayaan dari Tuhan yang luar biasa
dan tidak bisa diukur berapa pun nilainya menurut ukuran kita sebagai manusia.
Tuhan sudah merancang sedemikian rupa agar tiap manusia memiliki karunia yang
berbeda-beda. Dan perbedaan itu bukannya memisahkan tetapi semakin mempererat
relasi antara manusia entah dalam satu komunitas yang sama atau antar komunitas
yang berbeda. Perbedaan itu adalah aset potensial agar manusia bisa membangun
kerja sama dan keintiman untuk saling melengkapi dan mewujudnyatakan rencana
atau target tertentu dalam komunitasnya. Konflik dalam ranah persekutuan kita
sebagai anggota komunitas merupakan hal yang wajar. Akan tetapi jangan sampai
meluluhlantakan semangat dan nilai-nilai lain yang lebih besar. Ada jalan
bijaksana yang hendaknya kita ambil untuk meredam dan menyelesaikan segala
persoalan yang timbul dalam komunitas. Kita telah mengambil bagian di dalam
komunitas Rumah Sakit ini dengan berbagai karunia yang dimiliki sebagai seorang
dokter, perawat, bidan, pegawai administrasi, dan karyawan/wati lainnya dengan
tugas yang berbeda-beda. Kita juga tentu telah melewati banyak pengalaman yang
menguji rasa solidaritas dan kekeluargaan kita. Pernah ada rasa kecewa, sakit
hati, dendam kesumat, dan rasa putus asa yang mengiringi ruang dan waktu kita
sebagai seorang pekerja mulia di rumah besar ini. Di atas semuanya, kita harus
bersyukur bahwa apa pun tantangan dan keterpurukan hidup yang pernah kita
alami, menjadi pengalaman yang semakin menguatkan dan memberdayakan sehingga
kita tetap berlangkah maju, saling bergandengan tangan memberikan pelayanan
yang prima kepada sesama kita yang sementara menderita sakit.
Belajar dari inspirasi bacaan Injil hari ini, kita semua mau diingatkan
bahwa kita adalah satu ciptaan dengan satu pencipta yakni Allah yang satu dan
sama. Sebagai insan ciptaan kita dihadirkan dengan banyak karunia yang
berbeda-beda pula. Namun, dalam aneka karunia itu kita tetap terikat pada satu
Tubuh yang sama yakni Tuhan sendiri. Ibarat pohon yang memiliki
ranting-ranting, demikian juga kita adalah ranting-ranting yang selalu melekat
pada pokok yang sama. Dengan mengingat sumber atau pokok kita yang sama, maka
kita akan menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk menciptakan
kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang. Dalam bahasa iman, kita
menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk mewartakan sabda Tuhan dalam
tugas dan panggilan kita di tempat ini. Kita selalu percaya bahwa Tuhan yang
satu dan sama selalu menaungi segala karunia yang kita miliki secara berbeda
dalam diri kita masing-masing. Mari kita menggunakan karunia yang kita miliki
untuk menyebarluaskan semangat kasih Tuhan kepada orang lain. Walaupun kita
berbeda dalam karunia tetapi kita tetap berada dalam satu tubuh yang satu dan sama
yakni tubuh Yesus Kristus. Amin. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar