Mat
7:21-29
Memperhatikan aspek-aspek formal dari sebuah
perayaan sebegitu ketatnya bisa membahayakan orang terjerumus ke dalam
ritualisme. Orang melupakan apa yang menjadi inti dari sebuah perayaan, meski super
ketat dengan cara-cara yang telah ditetapkan sebagai suatu yang baku. Tidak
jarang ditemukan orang begitu setia terhadap perayaan tertentu, akan tetapi hidupnya
tidak dijiwai oleh perayaan itu. Hidup orang jauh dari makna perayaan yang
dirayakan.
Bahaya semacam ini bisa mendera siapa saja,
tidak mengenal status. Bukan tidak mungkin, seorang imam menunjukkan gejala
yang sama ketika misalnya merayakan sebuah Ekaristi sebagai suatu kewajiban
tanpa melibatkan diri di dalam perayaan tersebut. Ekaristi berakhir ketika
perayaan itu selesai, padahal hakikatnya adalah bahwa Ekaristi itu tidak
berakhir, melainkan melanjut dan terus berjalan di dalam hidup.
Hanya jika orang menyatukan diri dengan
Ekaristi dan memberikan diri untuk dijiwai olehnya, hanya dia yang dapat
membawa Ekaristi itu ke dalam praksis hidupnya. Tidak ada dikotomi antara apa
yang ada di atas altar dengan hidup di luar altar. Altar dan hidup adalah satu
kesatuan hidup yang utuh. Maka ketika Ekaristi dirayakan dengan tingkatan
partisipasi diri yang total, maka ia akan disertai olehnya sepanjang hari.
Ketika Yesus mengajarkan, “Bukan setiap orang
yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga,
melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”, sebenarnya Yesus
tidak mempertentangkan antara aspek ritual dan aspek praksis. Bagaimanapun
aspek ritual adalah bagian dari hidup dan keberadaannya turut menentukan nilai
dari hidup manusia.
Yesus sendiri berulang kali berdoa dan Ia
sedirilah yang menetapkan Ekaristi. Namun ini bukan perkaranya. Yang ditekankan
Yesus adalah ketika orang terlalu memperhatikan aspek-aspek ritual secara
formal dan menekuninya sebagai suatu kewajiban belaka, sementara itu ia mengabaikan
makna dari ritual yang menjiwai hidupnya, sehingga terjadi pemisahan yang tajam
antara ritual dan hidup. Orang berseru dan terus berseru kepada Tuhan, tetapi
dia lupa untuk melakukan apa yang baik sesuai kehendak Allah di dalam hidupnya.
Perilaku hidup demikian diibaratkan Yesus
dengan mendirikan rumah di atas pasir. Tidak akan bertahan. Bila datang badai,
hujan dan banjir maka segera rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya.
Sedikit saja tantangan dan kesulitan, orang mudah terombang-ambing, mudah putus
asa dan gampang menyembunyikan diri.
Berbanding terbalik dengan orang yang tidak
hanya berseru kepada Tuhan, melainkan melaksanakan kehendak Bapa di surga di
dalam keseharian hidupnya. Ada kesatuan antara makna terdalam dari suatu
perayaan di mana kehendak Allah itu dinyatakan secara otoritatif dan yang menjiwai
orang yang berpartisipasi secara total di dalamnya dengan praktik hidup di mana
orang melaksanakan secara saksama semua yang telah diterimanya dalam sebuah
ritus yang dirayakan. Dan inilah yang dimaksukan Yesus dengan membangun hidup
atas dasar wadas yang kokoh yang tidak mudah dirubuhkan oleh tantangan dan
kesulitan apapun.
Hidup Yesus menjadi suatu model yang paling
sempurna untuk diteladani. Ia selalu mengawali setiap karyanya dengan berdoa
dan berseru kepada Bapa-Nya. Di dalam doa-Nya, Ia menyatukan diri dengan
Bapa-Nya dan mengalirlah kehendak Bapa-Nya ke dalam diri-Nya dan itulah dasar
bagi Dia untuk melaksanakan karya perutusan-Nya dengan baik. Ke mana saja Ia
pergi, Ia tidak pernah membebaskan diri-Nya dari perbuatan baik sesuai kehendak
Bapa-Nya. Doa dan hidup-Nya adalah satu kesatuan yang membawanya kepada
kesuksesan dan kesempurnaan melaksanakan kehendak Bapa-Nya.
Yesus tidak hanya mengajarkan cara hidup yang
benar sebagai anak-anak Allah, akan tetapi Ia telebih dahulu menunjukkan jalan
itu dengan perbuatan hidup-Nya. Dan itulah jalan yang dirintis untuk dijejaki.
Dan setiap orang yang berjalan pada jalan yang sama tidak akan pernah
mendengarkan kata-kata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku,
kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Marilah kita melihat diri kita masing-masing
dengan saksama, apakah kita sudah membangun rumah hidup kita di atas wadas
ataukah di atas pasir? Apakah
masing-masing kita sudah berjalan di jalan yang Yesus rintis: ada kesatuan
antara altar (berseru) dengan perbuatan baik dalam hidup kita?
Jika kita belumlah apa-apa, maka sekarang
adalah saatnya kita membangun hidup kita seperti yang Tuhan kehendaki bagi
kita. Altar (doa, berseru) dan praktik hidup kita bangun sebagai suatu bangun
rohani hidup kita. Sabda dan kehendak Tuhan yang menjiwai setiap perayaan yang
kita rayakan akan benar-benar menjiwai kita dan kita bawa kekuatan itu di dalam
seluruh perjuangan hidup kita. Kita kokoh dan kuat, dan tidak akan pernah bisa
dirubuhkan. Itulah keselamatan kita.***Apol Wuwur***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar