Kamis, 25 Juni 2020

Altar Dan Hidup Itu Satu Kesatuan Bangunan Rohani


Mat 7:21-29
Memperhatikan aspek-aspek formal dari sebuah perayaan sebegitu ketatnya bisa membahayakan orang terjerumus ke dalam ritualisme. Orang melupakan apa yang menjadi inti dari sebuah perayaan, meski super ketat dengan cara-cara yang telah ditetapkan sebagai suatu yang baku. Tidak jarang ditemukan orang begitu setia terhadap perayaan tertentu, akan tetapi hidupnya tidak dijiwai oleh perayaan itu. Hidup orang jauh dari makna perayaan yang dirayakan.

Bahaya semacam ini bisa mendera siapa saja, tidak mengenal status. Bukan tidak mungkin, seorang imam menunjukkan gejala yang sama ketika misalnya merayakan sebuah Ekaristi sebagai suatu kewajiban tanpa melibatkan diri di dalam perayaan tersebut. Ekaristi berakhir ketika perayaan itu selesai, padahal hakikatnya adalah bahwa Ekaristi itu tidak berakhir, melainkan melanjut dan terus berjalan di dalam hidup.

Hanya jika orang menyatukan diri dengan Ekaristi dan memberikan diri untuk dijiwai olehnya, hanya dia yang dapat membawa Ekaristi itu ke dalam praksis hidupnya. Tidak ada dikotomi antara apa yang ada di atas altar dengan hidup di luar altar. Altar dan hidup adalah satu kesatuan hidup yang utuh. Maka ketika Ekaristi dirayakan dengan tingkatan partisipasi diri yang total, maka ia akan disertai olehnya sepanjang hari.

Ketika Yesus mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”, sebenarnya Yesus tidak mempertentangkan antara aspek ritual dan aspek praksis. Bagaimanapun aspek ritual adalah bagian dari hidup dan keberadaannya turut menentukan nilai dari hidup manusia.

Yesus sendiri berulang kali berdoa dan Ia sedirilah yang menetapkan Ekaristi. Namun ini bukan perkaranya. Yang ditekankan Yesus adalah ketika orang terlalu memperhatikan aspek-aspek ritual secara formal dan menekuninya sebagai suatu kewajiban belaka, sementara itu ia mengabaikan makna dari ritual yang menjiwai hidupnya, sehingga terjadi pemisahan yang tajam antara ritual dan hidup. Orang berseru dan terus berseru kepada Tuhan, tetapi dia lupa untuk melakukan apa yang baik sesuai kehendak Allah di dalam hidupnya.

Perilaku hidup demikian diibaratkan Yesus dengan mendirikan rumah di atas pasir. Tidak akan bertahan. Bila datang badai, hujan dan banjir maka segera rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. Sedikit saja tantangan dan kesulitan, orang mudah terombang-ambing, mudah putus asa dan  gampang menyembunyikan diri.

Berbanding terbalik dengan orang yang tidak hanya berseru kepada Tuhan, melainkan melaksanakan kehendak Bapa di surga di dalam keseharian hidupnya. Ada kesatuan antara makna terdalam dari suatu perayaan di mana kehendak Allah itu dinyatakan secara otoritatif dan yang menjiwai orang yang berpartisipasi secara total di dalamnya dengan praktik hidup di mana orang melaksanakan secara saksama semua yang telah diterimanya dalam sebuah ritus yang dirayakan. Dan inilah yang dimaksukan Yesus dengan membangun hidup atas dasar wadas yang kokoh yang tidak mudah dirubuhkan oleh tantangan dan kesulitan apapun.

Hidup Yesus menjadi suatu model yang paling sempurna untuk diteladani. Ia selalu mengawali setiap karyanya dengan berdoa dan berseru kepada Bapa-Nya. Di dalam doa-Nya, Ia menyatukan diri dengan Bapa-Nya dan mengalirlah kehendak Bapa-Nya ke dalam diri-Nya dan itulah dasar bagi Dia untuk melaksanakan karya perutusan-Nya dengan baik. Ke mana saja Ia pergi, Ia tidak pernah membebaskan diri-Nya dari perbuatan baik sesuai kehendak Bapa-Nya. Doa dan hidup-Nya adalah satu kesatuan yang membawanya kepada kesuksesan dan kesempurnaan melaksanakan kehendak Bapa-Nya.

Yesus tidak hanya mengajarkan cara hidup yang benar sebagai anak-anak Allah, akan tetapi Ia telebih dahulu menunjukkan jalan itu dengan perbuatan hidup-Nya. Dan itulah jalan yang dirintis untuk dijejaki. Dan setiap orang yang berjalan pada jalan yang sama tidak akan pernah mendengarkan kata-kata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Marilah kita melihat diri kita masing-masing dengan saksama, apakah kita sudah membangun rumah hidup kita di atas wadas ataukah di atas pasir?  Apakah masing-masing kita sudah berjalan di jalan yang Yesus rintis: ada kesatuan antara altar (berseru) dengan perbuatan baik dalam hidup kita?

Jika kita belumlah apa-apa, maka sekarang adalah saatnya kita membangun hidup kita seperti yang Tuhan kehendaki bagi kita. Altar (doa, berseru) dan praktik hidup kita bangun sebagai suatu bangun rohani hidup kita. Sabda dan kehendak Tuhan yang menjiwai setiap perayaan yang kita rayakan akan benar-benar menjiwai kita dan kita bawa kekuatan itu di dalam seluruh perjuangan hidup kita. Kita kokoh dan kuat, dan tidak akan pernah bisa dirubuhkan. Itulah keselamatan kita.***Apol Wuwur***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar