Selasa, 30 Juni 2020

PESAN IMAN DIBALIK SETIAP PENGALAMAN HIDUP MANUSIA


(Mat 8:23-27)
           
Setiap peristiwa hidup, baik itu menyenangkan maupun menyedihkan selalu ada pesan iman dibaliknya. Orang berjuang memaknai setiap pengalaman hidupnya secara positip ke dalam rana iman. Sampai peristiwa kematian pun orang beriman masih sangat yakin bahwa dibalik peristiwa kematian, Allah memiliki rencana indah bagi manusia. Manusia tidak sanggup memikul beban penderitaannya sendiri, meskipun ia telah berbagi dengan sesamanya, kemampuan manusia amat terbatas untuk menghadapi ujian, cobaan, dan penderitaan. Tuhan menjadi tempat sandaran terakhir, di sana manusia menyerahkan hidupnya pada kuasa Tuhan.

Dalam bacaan pertama hari ini, sebelum kota Sodom dan Gemora dihancurkan oleh Yahwe karena kedosaannya,  dua orang malaikat Tuhan diutus untuk menyelamatkan Lot dan keluarganya. Ketika kedua Malaikat Tuhan menginap di rumah Lot, orang-orang sodom datang mengepung rumahnya untuk menganiaya kedua orang asing itu. Karena Lot sangat menghormati kedua tamunya, ia ingin menyerahkan kedua putrinya yang belum pernah disentuh oleh laki-laki manapun sebagai ganti kedua orang asing ini. Namun, orang-orang Sodom semakin marah dan berkeinginan menganiaya Lot melebihi kedua tamunya. Disini kedua Malaikat Tuhan menarik Lot ke dalam rumah dan membutakan mata semua orang Sodom yang mengepung rumahnya. Kemudian kedua Malaikat Tuhan membimbing Lot keluar dari kota itu sehingga luput dari bahaya kehancuran. Sayangnya, istri Lot tidak patuh pada perintah malaikat sehingga dia mendapat malapetaka berubah menjadi tiang garam. Di dalam Injil hari ini, Yesus meredakan gelombang tinggi yang hampir menenggelamkan perahu murid sehingga mereka luput dari bahaya. Di dalam kedua peristiwa itu, ada makna iman yang tersirat di dalamnya yakni  Allah tampil sebagai penolong di saat manusia diterpah cobaan dan tantangan hidup. Oleh karena kesetiaan Lot kepada Allah maka ia dan keluarganya diselamatkan oleh Allah dari kehancuran Sodom, sedangkan  pengakuan para murid akan kuasa Yesus, mereka diselamatkan dari badai gelombang dan angin ribut.

Ungkapan: Tuhan, tolonglah, kita binasa, secara tidak langsung para murid menyadari keterbatasan dan ketidakmampuan mereka menghadapai badai gelombang dan angin sakal. Apabila mereka sanggup meredahkan angin dan badai gelombang, pasti mereka tidak akan membangunkan Yesus dari tidurnya. Mereka pasti bisa mengatasi kondisi alam yang menerpa perahu mereka, apalagi kebanyakan para murid memiliki latar belakang kehidupan sebagai nelayan. Pengalaman  dan kecakapan mereka dalam melaut tidak mampu menolong mereka keluar dari kemelut badai dan angin ribut yang menerpa perahu mereka. Mungkin saja gelombang besar dan angin ribut yang dahsyat menjadi pengalaman pertama mereka dalam melaut. Kepanikan, ketakutan dan keputusasaan menerpa perjalanan mereka, dalam benak para murid yang kemudian akan terjadi adalah kehancuran dan kematian bila mereka terus mengandalkan kemampuan , pengalaman dan kecakapan mereka sebagai pelaut. Pilihan untuk bisa selamat hanya ada pada diri Yesus, karena itu mereka membangunkan Yesus sambil berkata: “Tuhan, tolonglah, kita binasa.”

Seruan para murid itu menunjukkan bahwa mereka sama sekali tidak mampu mengatasi kesulitannya sendiri, mereka merasa bahwa badai dan angin ribut di danau itu berada di luar kemampuan mereka. Yesus dalam tidurnya mau memberikan kesempatan kepada para murid-Nya untuk mengatasi sendiri kesulitan yang menghadang mereka. Yesus tidak serta merta mengambil alih begitu saja situasi sulit yang tengah dihadapi para murid-Nya. Ia ingin melihat sejauh mana iman dan kepercayaan para murid kepada-Nya. Ternyata pengenalan para murid akan Yesus begitu dangkal dan terbatas sehingga Yesus harus turun tangan mengatasi situasi sulit yang menerpa perahu mereka. Sebelum Yesus menghardik angin dan danau yang kian mengamuk, Yesus berkata kepada mereka, “Mengapa kalian takut, hai orang yang kurang percaya!” Perkataan Yesus ini menjadi peringatan bagi para murid-Nya, karena sebetulnya situasi seperti ini bisa diselesaikan dan diatasi oleh para murid Yesus apabila mereka percaya dan memiliki iman yang kokoh kepada Allah. Untuk menunjukkan kebesaran Tuhan atas manusia dan alam ciptaan, Yesus langsung menghardik angin dan danau, maka angin dan danau pun menjadi teduh dan tenang. Peristiwa ini membuat orang-orang yang mengikuti-Nya menjadi heran bahkan dalam keheranan mereka berkata, “Orang apakah Dia ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”. Kuasa dan kebesaran Tuhan telah disingkapkan oleh Yesus, Ia mau menunjukkan bahwa Allah berkuasa atas manusia dan alam semesta. Tidak ada kekuatan lain yang mengatasi atau menyerupai kuasa Allah, manusia pun tidak bisa mengandalkan kekuatan dirinya, ia tetap manusia lemah dan terbatas yang  tidak bisa menyelamatkan dirinya ketika diterpa badai cobaan dan penderitaan yang melampaui kemampuannya. Ia harus jujur dengan dirinya bahwa ia adalah makhluk terbatas dan harus mengakui kebesaran dan kemahakuasaan Allah sambil memohon: “Tuhan, tolonglah, jangan sampai aku binasa”.

Keterbatasan dan ketidakmampuan manusia hanya bisa diatasi dan disempurnakan oleh Tuhan sendiri. Manusia pada dirinya adalah makhluk terbatas dan rapuh. Ia tidak bisa mengandalkan kemampuan dirinya sendiri tanpa melibatkan dan memberi tempat bagi Tuhan untuk berkarya. Keagungan Tuhan harus disingkapkan agar kasih-Nya menjadi nyata bagi manusia sehingga dunia diubah dan diselamatkan. Ketidakmampuan para murid Yesus dalam menghadapi situasi sulit menegaskan bahwa mereka belum bisa mandiri karena mereka belum mengenal Yesus secara mendalam dan belum sungguh-sungguh beriman kepada Yesus.
            Hari ini kita semua dipanggil dan diutus oleh Yesus menjadi saksi iman-Nya untuk mewartakan kebesaran Tuhan karena Ia telah membebaskan kita dari cobaan dan tantangan hidup. Ia mengharapkan agar kita tidak boleh takut menghadapi badai dan gelombang penderitaan meskipun selalu datang silih berganti.  Iman dan kepercayaan kepada Yesus menjadi satu-satunya senjata yang kita miliki, dengan begitu, Yesus akan selalu hadir dalam kehidupan kita karena kita selalu memberi-Nya tempat di dalam hati untuk bersemayam. Tidak ada hal yang tidak mungkin tidak dapat dilakukan oleh Yesus, Ia meminta kita untuk percaya dan menyerahkan segalanya kepada Dia. Dalam dan melalui Dia  segala kecemasan dan penderitaan dapat diatasi, karena Allah yang kita imani bukanlah Allah yang masah bodoh dan tidak turut merasakan kesulitan dan penderitaan hidup manusia. Ketika kita mengalami badai kehidupan yang menggoncang iman dan kepercayaan kita, Allah tidak pernah meninggalkan kita sendirian, Ia hadir mengubah dan mengangkat kita keluar dari situasi sulit dan Ia hadir membawa kedamaian, sukacita dan kesejahteraan. Karena itu, berpalinglah kepada Yesus, pasrahkan segalanya pada-Nya, maka kita tidak akan binasa, karena Allah selalu tampil sebagai penolong, Ia selalu datang pada saat yang tepat, ketika kita sedang putus asa dan kehilangan harapan.

Semua peristiwa hidup yang kita alami setiap hari harus dimaknai dalam kaca mata iman Kristiani bahwa Allah sedang menguji kesetiaan dan iman kita kepada-Nya, apakah kita sungguh-sungguh berserah dan memohon kekuatan dari-Nya atau kita cukup merasa puas bahkan merasa hebat dengan kemampuan diri kita sendiri. Sebagai murid-murid Kristus, kita percaya bahwa Tuhan selalu ada dan tinggal bersama kita, meskipun terkadang kita tidak menyadari kehadiran pribadi dan kuasa-Nya, lantas kita mencari perlindungan ke tempat yang lain. Sekali lagi, Sabda Tuhan hari ini menghinspirasi, mengingatkan dan mengundang kita  untuk senantiasa mengandalkan pertolongan dan kekuatan dari Tuhan dalam seluruh ziarah hidup kita hari ini dan selama-lamanya. Tuhan memberkati....***Bernad Wadan***

Kamis, 25 Juni 2020

Altar Dan Hidup Itu Satu Kesatuan Bangunan Rohani


Mat 7:21-29
Memperhatikan aspek-aspek formal dari sebuah perayaan sebegitu ketatnya bisa membahayakan orang terjerumus ke dalam ritualisme. Orang melupakan apa yang menjadi inti dari sebuah perayaan, meski super ketat dengan cara-cara yang telah ditetapkan sebagai suatu yang baku. Tidak jarang ditemukan orang begitu setia terhadap perayaan tertentu, akan tetapi hidupnya tidak dijiwai oleh perayaan itu. Hidup orang jauh dari makna perayaan yang dirayakan.

Bahaya semacam ini bisa mendera siapa saja, tidak mengenal status. Bukan tidak mungkin, seorang imam menunjukkan gejala yang sama ketika misalnya merayakan sebuah Ekaristi sebagai suatu kewajiban tanpa melibatkan diri di dalam perayaan tersebut. Ekaristi berakhir ketika perayaan itu selesai, padahal hakikatnya adalah bahwa Ekaristi itu tidak berakhir, melainkan melanjut dan terus berjalan di dalam hidup.

Hanya jika orang menyatukan diri dengan Ekaristi dan memberikan diri untuk dijiwai olehnya, hanya dia yang dapat membawa Ekaristi itu ke dalam praksis hidupnya. Tidak ada dikotomi antara apa yang ada di atas altar dengan hidup di luar altar. Altar dan hidup adalah satu kesatuan hidup yang utuh. Maka ketika Ekaristi dirayakan dengan tingkatan partisipasi diri yang total, maka ia akan disertai olehnya sepanjang hari.

Ketika Yesus mengajarkan, “Bukan setiap orang yang berseru kepada-Ku: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak Bapa-Ku yang di sorga”, sebenarnya Yesus tidak mempertentangkan antara aspek ritual dan aspek praksis. Bagaimanapun aspek ritual adalah bagian dari hidup dan keberadaannya turut menentukan nilai dari hidup manusia.

Yesus sendiri berulang kali berdoa dan Ia sedirilah yang menetapkan Ekaristi. Namun ini bukan perkaranya. Yang ditekankan Yesus adalah ketika orang terlalu memperhatikan aspek-aspek ritual secara formal dan menekuninya sebagai suatu kewajiban belaka, sementara itu ia mengabaikan makna dari ritual yang menjiwai hidupnya, sehingga terjadi pemisahan yang tajam antara ritual dan hidup. Orang berseru dan terus berseru kepada Tuhan, tetapi dia lupa untuk melakukan apa yang baik sesuai kehendak Allah di dalam hidupnya.

Perilaku hidup demikian diibaratkan Yesus dengan mendirikan rumah di atas pasir. Tidak akan bertahan. Bila datang badai, hujan dan banjir maka segera rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya. Sedikit saja tantangan dan kesulitan, orang mudah terombang-ambing, mudah putus asa dan  gampang menyembunyikan diri.

Berbanding terbalik dengan orang yang tidak hanya berseru kepada Tuhan, melainkan melaksanakan kehendak Bapa di surga di dalam keseharian hidupnya. Ada kesatuan antara makna terdalam dari suatu perayaan di mana kehendak Allah itu dinyatakan secara otoritatif dan yang menjiwai orang yang berpartisipasi secara total di dalamnya dengan praktik hidup di mana orang melaksanakan secara saksama semua yang telah diterimanya dalam sebuah ritus yang dirayakan. Dan inilah yang dimaksukan Yesus dengan membangun hidup atas dasar wadas yang kokoh yang tidak mudah dirubuhkan oleh tantangan dan kesulitan apapun.

Hidup Yesus menjadi suatu model yang paling sempurna untuk diteladani. Ia selalu mengawali setiap karyanya dengan berdoa dan berseru kepada Bapa-Nya. Di dalam doa-Nya, Ia menyatukan diri dengan Bapa-Nya dan mengalirlah kehendak Bapa-Nya ke dalam diri-Nya dan itulah dasar bagi Dia untuk melaksanakan karya perutusan-Nya dengan baik. Ke mana saja Ia pergi, Ia tidak pernah membebaskan diri-Nya dari perbuatan baik sesuai kehendak Bapa-Nya. Doa dan hidup-Nya adalah satu kesatuan yang membawanya kepada kesuksesan dan kesempurnaan melaksanakan kehendak Bapa-Nya.

Yesus tidak hanya mengajarkan cara hidup yang benar sebagai anak-anak Allah, akan tetapi Ia telebih dahulu menunjukkan jalan itu dengan perbuatan hidup-Nya. Dan itulah jalan yang dirintis untuk dijejaki. Dan setiap orang yang berjalan pada jalan yang sama tidak akan pernah mendengarkan kata-kata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari pada-Ku, kamu sekalian pembuat kejahatan!”

Marilah kita melihat diri kita masing-masing dengan saksama, apakah kita sudah membangun rumah hidup kita di atas wadas ataukah di atas pasir?  Apakah masing-masing kita sudah berjalan di jalan yang Yesus rintis: ada kesatuan antara altar (berseru) dengan perbuatan baik dalam hidup kita?

Jika kita belumlah apa-apa, maka sekarang adalah saatnya kita membangun hidup kita seperti yang Tuhan kehendaki bagi kita. Altar (doa, berseru) dan praktik hidup kita bangun sebagai suatu bangun rohani hidup kita. Sabda dan kehendak Tuhan yang menjiwai setiap perayaan yang kita rayakan akan benar-benar menjiwai kita dan kita bawa kekuatan itu di dalam seluruh perjuangan hidup kita. Kita kokoh dan kuat, dan tidak akan pernah bisa dirubuhkan. Itulah keselamatan kita.***Apol Wuwur***


Jumat, 19 Juni 2020

Meneladani Hidup Maria


Luk 2:41-51
Setelah kita merayakan keagungan kasih Allah yang dilambangkan dengan hati Yesus maha kudus, yakni Allah yang memberikan diri-Nya sehabis-habisnya demi keselamatan kita umat manusia, maka pada hari ini kita memperingati hati tersuci Santa Perawan Maria, lambang pemberian diri yang total kepada Allah. Hati Yesus menandakan kasih Allah kepada manusia dan hati Maria menandakan tanggapan paling murni terhadap kasih Allah.

Maka bukan kebetulan bahwa peringatan hati tersuci santa perawan Maria, oleh Gereja, diperingati sesudah hari raya Hati Yesus Maha Kudus. Hal ini tentu tidak dimaksudkan untuk menyejajarkan Maria sebagai manusia dengan Yesus sebagai Tuhan - jelas dari nama perayaan - melainkan untuk menyatakan bagaimana sikap manusia yang seharusnya terhadap kasih Allah yang agung atas manusia. Allah dalam diri Putra-Nya telah memberikan diri sehabis-habis-Nya dalam pengorbanan diri yang total di atas salib demi manusia, maka atas cara yang sama manusia menanggapi kasih Allah itu.

Kedua perayaan itu mengisyaratkan adanya pertemuan hati antara hati ilahi dan insani, hati Allah dan hati manusia. Allah memberi hati-Nya dan manusia menerima hati Allah itu sebagai suatu persembahan diri yang murni dan utuh kepada Allah. Sama dengan mengatakan Allah mengasihi manusia dan manusia yang mengalami kasih Allah itu dengan kasih yang setimpal sebagai suatu pemberian diri kepada Allah. Dan Maria, tipologi iman orang beriman itu, memberikan jalan yang teramat murni bagi setiap orang beriman untuk membalas kasih agung Allah itu.

Maka ketika kita mempengingati hati tersuci perawan Maria, sesungguhnya kita memperingati keteladanan Maria sebagai seorang hamba Allah yang memiliki kasih dan iman yang murni. Kita tidak menyembahnya, seperti acapkali dituduhkan kepada kita, melainkan sebagai seorang yang beriman sejati yang mampu menanggapi kasih Allah secara total dan radikal sepanjang hidupnya, sepatutnya kita menyatakan rasa hormat setinggi-tingginya. Kasih seutuhnya dipersembahkan kepada Allah dan itulah dasar kita menyatakan hormat kita kepadanya.

Tidak banyak teks Kitab Suci menguraikan kehidupan Santa Perawan Maria. Akan tetapi beberapa teks yang mengisahkan kehidupan Maria secara representan menggambarkan bagaimana Maria mempersembahkan hidupnya secara utuh kepada Allah. Fiatnya untuk rencana dan kehendak Allah adalah fiat iman dan kasih yang sempurna kepada Allah.

Sebagaiman yang dikisahkan dalam Injil hari ini, kita mendapat sedikit kisah tentang Maria yang menggambarkan tentang sikap hatinya. Maria dan Yusuf, suaminya, kuatir akan Yesus karena Ia tidak ada bersama mereka dan sanak keluarga mereka. Dengan susah payah mereka kembali ke Yerusalem untuk mencari Dia. Ketika menemukan Dia dan Maria ibu-Nya bertanya, mengapa Ia melakukan demikian terhadap mereka, Yesus malahan bertanya balik: “Mengapa kamu mencari Aku? Tidakkah kamu tahu, bahwa Aku harus berada di dalam rumah Bapa-Ku?”

Dikatakan bahwa Maria, seperti Yusuf, tidak mengerti akan apa yang dikatakan Yesus. Namun demikian Maria tidak lantas putus asa. Dengan hati penuh keibuan ia bersama suaminya membawa Yesus kembali ke nazareth. Dan semua perkara  disimpan di hatinya. Maria membiarkan perkara itu menjadi bagian dari hatinya yang sejak semula sudah diarahkannya untuk Allah.

Di dalam hatinya itu, ia menemukan rahasia dari perkara itu. Maka ketidakmengertian Maria bukanlah suatu malapetaka, melainkan suatu kesempatan untuk semakin membuka hatinya kepada Allah dan berserah diri secara total. Keterarahan tunggal itu membuat hatinya menjadi sumber kebajikan ilahi. Ia bertumbuh menjadi pribadi sempurna dalam segalanya.  Hatinya menjadi tanda cinta tanpa syarat dan kepercayaan tanpa batas. Dan itulah keteladannya.

Ketika kita memperingati hati tersuci Santa Perawan Maria, kita memberikan hormat yang tinggi terhadap hatinya yang sempurna dan yang dipersembahkan secara utuh kepada Allah. Dan dari empunya hati yang sempurna itu, Allah membiarkan jiwanya tertembus pedang agar setiap kita yang datang kepadanya memperoleh anugerah yang sama untuk menjadi sempurna seperti dia. Hatinya mengalirkan benih cinta dan iman kepada kita agar kita menjadi sama dan serupa di hadapan Allah dalam cinta dan iman.

Oleh karena peringatan hari ini adalah peringatan akan keteladan kualitas hidup Maria di hadapan Allah, maka sebagai putra-putrinya yang baik yang terarah kepada kesempurnaan, patutlah kita belajar untuk mempersembahkan hati kita kepada Allah dalam kobaran nyala api cinta dan iman yang sama.

Maka janganlah kita berhenti datang kepada dia dalam devosi-devosi kita, dan janganlah kita berhenti memohon bantuannya, sebab dia  yang sudah berjalan menuju kesempuraan hidup sebagai putri kesayangan Allah akan juga membawa kita ke sana.***Apol Wuwur***


Rabu, 17 Juni 2020

Bertumbuh Dalam Kualitas Doa


Mat 6:6-15
Salah satu hal yang diajarkan Yesus berkenaan dengan doa adalah janganlah kita bertele-tele seperti orang yang tidak mengenal Allah. Yesus memberikan alasan mendasar mengapa kita jangan bertele-tele dalam doa, karena Bapa kita mengetahui apa yang kita perlukan, sebelum kita meminta kepada-Nya.

Ajaran ini mengingatkan kita bahwa yang dibutuhkan Tuhan adalah ungkapan hati yang langsung dan jelas pada apa yang mau disampaikan tanpa harus membumbuinya dengan banyaknya kata. Banyaknya kata dan panjangnya kalimat tidak menentukan mutu dari doa kita. Bertele-tele malah membuat kita menjadi tidak fokus dan konsen untuk mengangkat hati kita kepada Dia yang mahatahu. Jika kita lebih fokus kepada banyak kata-kata yang ingin kita katakan maka kita condong mengabaikan bahwa yang intinya adalah kita menyatu hati dengan Dia yang menginginkan hati kita.

Yesus meminta kita agar kata-kata secukupnya saja namun bernas untuk menggambarkan hati kita kepada-Nya. Jika sesuatu yang jujur datangnya dari hati kita dan diungkapkan apa adanya di dalam kata-kata yang sederhana dan tepat maka itu sudah menunjukkan keseluruhan dari apa yang hendak kita sampaikan. Bahkan boleh dikatakan bahwa dalam diam tanpa kalimat dan kata pun, hati kita berbicara dengan Tuhan apabila kita memang sungguh-sungguh mau berdoa, dan Ia pasti mendengarkan seruan kita yang tak terucapkan.

Untuk menunjukkan bagaimana kita berdoa dengan baik, Yesus mengajarkan kita doa Bapa Kami. Doa itu begitu sederhananya, tidak bertele-tele, namun sangat bernas dan mengungkapkan apa yang mendasar dalam hidup kita. Ia sempurna dalam formulasi maupun isinya. Secara keseluruhan, ia mengungkapkan apa yang sejatinya kita lakukan di dalam hidup kita baik dalam tatanan relasi vertikal dengan Allah Bapa, maupun relasi horisontal antarsesama.  Oleh karena kesempurnaan ini, maka doa Bapa Kami menjadi model dari doa-doa kita, dan segala doa kita disempurnakan dengan doa itu.

Karena penekanan utama doa kepada Allah Bapa adalah ungkapan hati atas hal-hal mendasar dalam hidup kita maka yang terpenting bagi kita adalah menyatukan diri dengan setiap kata yang diucapkan. Hal yang sama terjadi juga ketika doa Bapa Kami dan doa-doa apapun yang kita daraskan. Gerakan bibir ketika kata-kata doa keluar dari mulut kita adalah gerakan hati. Dan ini terjadi bila setiap kita benar-benar menyadari bahwa kita berdoa, dan bukan mengucapkan doa. Kita fokus dan penuh konsentrasi. Jiwa kita menyatu dalam aktivitas doa kita.

Kualitas doa ini benar-benar dinyatakan oleh setiap kita yang memandang setiap doa sebagai kebutuhan dasar hidup kita. Akan lain jadinya ketika kita berdoa hanya untuk memenuhi kewajiban keagamaan kita. Kewajiban tanpa kesadaran menjerumuskan kita ke dalam formalisme. Kita membutuhkan waktu bermenit-menit, bahkan berjam-jam, misalnya di dalam Ekaristi atau apapun kebaktian itu, namun kita tidak berdoa apapun karena hati kita tidak menyatu dengan aktivitas doa yang sedang berlangsung. Kita hanya seolah-olah berdoa.

Pengalaman seperti ini bisa menjadi suatu medan reflleksi bagi kita. Sebagai umat beriman kita memang tidak bisa menghindari doa sebagai suatu aktivitas keagamaan kita. Kita berdoa dan terus berdoa. Namun defakto, kita berada dalam tegangan antara yang nyata terjadi dan ideal ke arah mana kita diarahkan. Dalam tegangan itu, kita bisa terarah kepada ideal tetapi juga bisa terpuruk. Dalam situasi inilah kita patut melihat diri kita bagaimana kita menghayati kehidupan doa kita secara baik.

Untuk maksud itu, maka atas dasar firman Tuhan dalam Injil hari ini, kita bisa melakukan otokritik atas diri kita sendiri. Kita sendirilah yang paling mengetahui diri kita sendiri dan hanya kita sendiri pulalah yang secara orisinal melakukan kritik atas diri kita. Dengan melakukan otokritik kita bisa menyadari kekuatan dan kelemahan diri kita dan kita bisa bergerak untuk membangun kehidupan doa kita secara berkualitas. Semakin jujur dan tajam kita melakukan otokritik semakin terbuka peluang bagi kita untuk bertumbuh dalam kualitas doa kita.

Sebagai satu kesatuan umat beriman, kita tidak bisa menyangkal bahwa kualitas kehidupan doa secara personal baik akan sangat menentukan kualitas doa kita secara komunal sebagai suatu persekutuan umat beriman. Maka ketika kita meningkat secara kualitatif di dalam kehidupan doa pribadi akan memberi nilai pada kualitas doa secara komunal dan sebaliknya kualitas doa komunal yang baik akan memberikan jaminan penghayatan doa secara pribadi.

Doa yang berkualitas adalah gambaran kehidupan kita sebagai anak-anak Tuhan. Maka marilah kita membangun dan terus membangun kehidupan doa kita secara berkualitas sebab olehnya kita dapat bertumbuh sebagai orang-orang Kristiani berkualitas pula.***Apol Wuwur***

Sabtu, 13 Juni 2020

JANGANLAH BERSUMPAH


Mat 5:33-37
Sumpah adalah hal yang berperanan penting dalam kehidupan manusia. Dalam Perjanjian Lama, ketika orang bersumpah, orang memanggil nama Allah agar Ia dapat mempengaruhi orang itu untuk bersaksi.  Peranan Allah adalah membimbing orang untuk mengatakan yang benar; Ia menggerakkan orang agar mulutnya mengucapkan apa yang ada di dalam hatinya.

Jelas di sini, Allah dipanggil bukan dalam arti menjadikan-Nya sebagai saksi dari apa yang dilakukan manusia. Ia menyaksikan apa yang manusia lakukan, tetapi tidak dapat dijadikan saksi oleh manusia.

Dalam praktik hidup, sekian sering terjadi penyimpangan. Allah dipanggil menjadi saksi dari perbuatan manusia seakan-akan Allah itu milik manusia dan sederajat dengan manusia yang dapat digunakan untuk kepentingan manusia. Sesungguhnya, “manusia tidak dapat bersumpah demi Allah, sebab Allah bukanlah milik manusia” (Xavier Leon-Dufour).

Menyadari akan bahaya demikian, maka kepada kita manusia Yesus bukan saja mengingatkan, melainkan menyatakan dengan jelas agar kita manusia jangan bersumpah. Dan kiranya jelas, sabda Yesus yang diucapkan-Nya dalam Injil hari ini mengarahkan kita manusia kepada kebenaran itu.

Hanya kepada kita, sebagaimana tertera pada bagian akhir Injil hari ini, Yesus memberikan suatu anjuran  untuk kita lakukan dalam hidup kita: “Jika ya, hendaklah kamu katakan: ya, jika tidak, hendaklah kamu katakan: tidak. Apa yang lebih dari pada itu berasal dari si jahat”.

Inilah kata-kata Tuhan sendiri yang mengarahkan kita untuk memaknai kata-kata-Nya pada bagian awal Injil hari ini: “peganglah sumpahmu di depan Tuhan”. Artinya bahwa kita diminta Yesus untuk mengatakan apa yang sungguh-sungguh benar. Yang ada di hati itulah yang dikatakan. Salah katakan salah, benar katakan benar. 

Melalui sabda-Nya ini Yesus mengajak kita untuk membangun otentisitas dalam hidup kita. Kita mengatakan yang benar karena memang benar demikian. Otoritas kebenaran kita adalah kebenaran yang kita nyatakan sesuai dengan apa yang ada dalam hati, bukan karena kita bersumpah atas nama apapun, juga bersumpah atas nama Allah..

Oleh karena itu, marilah kita menyadari bahwa kita dipanggil kepada keotentikan hidup di bahwa prinsip yang Tuhan ajarkan ini. Bangunlah kejujuran dalam diri kita karena itulah yang mengarahkan kita kepada integritas diri sebagai murid-murid Tuhan, dan itulah otentitas hidup kita. Dan setiap kita yang hidup dengan otentik akan mengalami sukacita dan damai sejahtera dalam hidup kita.***Apol Wuwur***

Selasa, 09 Juni 2020

MENJADI CAHAYA YANG BERSINAR DI DEPAN ORANG


MAT 5:13-16
Hidup manusia memiliki arti mendalam ketika kehadirannya berguna bagi orang lain. Manusia tidak bisa memikirkan dirinya sendiri tetapi ia berkewajiban memberi dirinya bagi orang lain. Sebagaimana Yesus, Ia datang bukan mencari popularitas diri yang sia-sia tetapi kehadiran-Nya di dunia untuk melakukan misi keselamatan bagi semua orang, Ia hadir di dunia memberi diri-Nya sepenuhnya. Yesus dalam pengajaran-Nya selalu menggunakan bahasa perumpamaan untuk membantu pendengarnya memahami pesan pengajaran-Nya. Perumpamaan yang diambil juga adalah hal-hal sederhana yang bersentuhan langsung dengan kehidupan praktis yang biasa dikenal, dialami dan dirasakan. Kali ini Yesus menggunakan perumpamaan garam dan terang/cahaya untuk menekankan pentingnya para rasul melaksanakan tugas perutusan yang dimandatkan kepada mereka dengan baik.

Pada masa Yesus, orang yang baik sering kali disebut sebagai garam dunia, maka ketika Yesus bersabda, “Kamu adalah garam dunia”, para pendengarnya sudah tahu bahwa mereka harus menjadi orang yang baik dan karena kebaikan itu mereka bisa mempengaruhi orang lain. Demikian pun ketika Yesus berkata, “Kamu adalah terang dunia”, orang langsung memahami maksudnya karena orang-orang Yahudi menyebut seorang rabbi yang baik sebagai pelita bagi Israel. Garam dan terang adalah hal yang vital dan sangat dibutuhkan manusia dalam hidupnya. Garam memberi rasa enak pada makanan agar tidak hambar, tawar, dan garam juga berfungsi untuk mengawetkan. Selain itu, Yesus juga meminta para pengikut-Nya menjadi cahaya atau terang. Cahaya berfungsi untuk menghalau kegelapan, cahaya memungkinkan manusia dapat melihat dengan jelas agar ia tidak tersandung batu, agar ia tidak jatuh ke dalam lubang kehancuran, karena itu Yesus berkata “ Kamu ini cahaya dunia. Demikianlah cahayamu harus bersinar di depan orang agar mereka melihat perbuatan yang baik dan memuji Bapamu di surga”.

Yesus dalam bacaan Injil hari ini menekankan aspek keteladanan dari para murid-Nya dan kita sebagai pengikut-Nya. Keteladanan yang dituntut Yesus sebagai garam adalah, bahwa sebagai orang beriman, kehadiran kita ditengah dunia dan konteksnya, kita perlu menghadirkan rasa sedap agar hidup ini terasa indah dan menyenangkan untuk dijalani. Kita juga perlu menjadi pribadi yang bisa hadir dan mengawetkan kebenaran, keadilan, persaudaraan, kekeluargaan dan cinta kasih. Ketika Yesus menyebut terang, artinya kita diminta Yesus menjadi pribadi-pribadi yang memancarkan perbuatan-perbuatan terang agar semua orang diselamatkan. Inilah keteladanan dan panutan yang ditekankan Yesus bagi kita semua. Dalam situasi apa pun, keteladanan dalam hal penegakkan nilai-nilai kebajikan hidup Kristiani harus ditegakkan tanpa kompromi. Agar garam kehidupan kita tidak kehilangan fungsi dan rasanya serta cahaya kekristenan kita perlahan-lahan tidak meredup oleh karena dominannya hal-hal duniawi yang lebih menggiurkan, maka kita butuh ketahanan dan asupan nutrisi iman yang kuat. Iman kita akan Yesus semakin mendalam kalau kita terus membaharui diri dengan kebiasaan doa yang teratur dan melakukan hal-hal sederhana yang inspiratif dan mendidik.

Ajaran Yesus hari ini serasa sulit untuk dilakukan. Orang mulai pesimis dengan kemampuan dirinya, namun Yesus tetap menyeruhkan agar para murid harus menjadi garam dan terang bagi orang lain, artinya Yesus sangat yakin dengan kemampuan dasar yang kita miliki, namun yang jadi soal sekarang: apakah kita bersedia diutus atau tidak. Seruhan ini kalau diabaikan maka kita tidak pernah memiliki kesempatan lagi untuk menjadi garam dan terang bagi orang lain. Sikap berbagi dengan orang lain mutlak perlu dilakukan agar semua orang diselamatkan. Meskipun kemampuan rohani dan intelektual kita kurang memadai namun kesetiaan kita yang tulus kepada Allah mendorong kita untuk siap diutus menjadi garam dan terang bagi dunia. Nabi Elia telah membuka jalan kesetiaan dengan mendengarkan Allah untuk siap diutus kepada janda di Sarfat.

Ternyata hidup manusia harus bisa merepresentasikan hidup Allah itu sendiri. Allah menghendaki agar manusia menjalani hidupnya secara berkualitas dan bermakna tidak asal sekedar hidup bagi dirinya. Hidupnya harus berguna bagi dirinya dan bagi orang lain. Dengan menjalani hidup seperti garam dan cahaya, ia telah ikut ambil bagian secara penuh dalam misi pewartaan Yesus yakni mengubah hidup iman manusia yang biasa-biasa menuju keselamatan paripurna yang ditawa Allah. panggilan kemuridan dengan kesaksian hidupnya yang bermutu, mengawetkan dunia dari kehancuran dosa, dengan pola hidup yang baik itu dapat menyinari orang-orang yang hidup dalam kegelapan. Semoga kita adalah deretan pengikut Kristus yang siap diutus menjadi garam dan terang yang memiliki kualitas tinggi  untuk bersaksi tentang kabar suka cita Allah.

Sebagai murid-murid Yesus, kita semua dipanggil dan diutus menjadi garam dan terang dunia. Menjadi garam dan terang berarti bahwa lewat tingkah laku yang baik kita bisa mempengaruhi orang lain untuk berubah menjadi orang baik. Menjadi garam dan terang juga berarti bersedia untuk berkorban, menderita dan bahkan mati demi kebaikan orang lain. Seperti garam yang harus hancur supaya memberi rasa enak pada makanan, dan lilin harus luluh agar dapat menyalah dan terangnya membias di seluruh ruangan, maka kita pun harus berkorban demi kebaikan dan kebahagiaan orang lain meski harus menanggung konsekuensi atasnya. Dalam keyakinan kristiani kita memaknainya sebagai salib kehidupan. Yesus mengharapkan, sebelum kita menerima perutusan sebagai garam dan terang bagi orang lain, sebaiknya kita menggarami dan menerangi diri kita agar tujuan dan sasaran pewartaan kita dapat tercapai sesuai kehendak Allah. Mari kita berguru pada Elia yang selalu siap sedia diutus Allah kepada seorang janda di Sarfat. Ia mampu menjadi garam dan terang yang baik karena kesetiaannya kepada Allah. Janda Sarfat percaya akan semua yang dikatakan oleh Elia sesuai dengan sabda Tuhan yang diucapkan-Nya dengan perantaraan Elia. Semoga Roh Kudus menguatkan hati kita untuk terus memberi makna sejati pada pesan Injil hari ini sehingga kita dapat berbuat baik kepada sesama kapan dan dimana pun kita berada. Semoga..  ***Bernad Wadan***

Kamis, 04 Juni 2020

YESUS ADALAH MESIAS


2Tim 3:10-17 & Mrk 12:35-37
Hari ini (Jumat/5/6/2020), Gereja Katolik sejagat memperingati Santo Bonefasius. Seorang uskup dan martir.  Kisah hidup Bonefasius adalah kisah keberhasilan dan pengorbanan. Dia mencatat keberhasilan gemilang dalam misinya di Jerman dengan mempertobatkan para penyembah berhala. Namun hidupnya berakhir tragis ketika kelompok barbar membunuhnya justru saat ia mempersiapkan penguatan bagi beberapa orang yang bertobat. Karya misioner yang prestisius dari St. Bonefasius  tidak terlepas dari kekuatan spiritual yang mengalir dari imannya akan Yesus sebagai Mesias yang bukan saja dalam arti keturunan Daud tetapi jauh melampaui di atas segala-galanya yakni Mesias Sang Putra Ilahi (Berjalan Bersama Sang Sabda, hal. 217).

Terminologi Mesias menjadi materi utama pengajaran Yesus pada hari ini di bait Allah (Mrk 12:35-37). Pada pokoknya, Yesus ingin memberi pencerahan kepada banyak orang mengenai siapakah Mesias itu sebenarnya. Pengajaran tentang Mesias ini dikaitkan dengan sikap para ahli taurat yang mengatakan bahwa Mesias adalah anak Daud. Benarkah Mesias itu anak Daud atau jauh melampaui anak Daud? Menjawabi itu, Yesus pun mengutip kalimat yang diucapkan Daud sendiri atas ilham Roh Kudus: “Tuhan telah berfirman kepada Tuanku: duduklah di sebelah kanan-Ku, sampai musuh-musuh-Mu Kutaruh di bawah kaki-Mu (Mrk 12:36)”. Dari penjelasan di atas ada dua hal yang mau disampaikan terkait makna Mesias. Pertama, secara genealogi (garis keturunan secara biologis) Mesias itu berasal dari keturunan Daud sehingga pantas dikatakan sebagai anak Daud. Kedua, merujuk kepada pengakuan Daud sendiri, ternyata Mesias itu berasal dari garis ilahi. Ia tidak hanya sekedar anak Daud. Tetapi lebih dari itu, Mesias adalah firman yang telah menjadi manusia. Dia adalah Yesus, anak Allah yang diurapi untuk membawa keselamatan bagi manusia.

Orang-orang Yahudi memahami Mesias adalah seorang utusan Allah yang lahir dari keturunan Daud untuk membawa bangsa Israel keluar dari penjajahan bangsa Romawi. Orang Israel era Yesus ternyata masih merindukan seorang sosok seperti Daud yang akan duduk sebagai raja yang gagah perkasa. Dia tidak hanya disegani oleh kawan dan lawan, tetapi ia akan menjadikan Israel sebagai bangsa yang merdeka, bangsa yang otonom, terlepas dari penindasan penjajah. Mesias dalam pandangan orang Israel adalah Mesias yang hadir secara politik dan militer. Eforia akan figur Daud mengaburkan mata batin mereka untuk mengenal siapa Yesus sebenarnya. Kehadiran Yesus di tengah-tengah orang Israel hendak menegaskan bahwa Mesias yang dijanjikan oleh Allah itu telah hadir. Dan sekarang telah ada di hadapan mata mereka. Tetapi Mesias itu tidak seperti yang mereka bayangkan; yang akan hadir secara politik. Yesus mau membuka pikiran dan pandangan orang Israel saat itu bahwa model kepemimpinan-Nya sebagai seorang Mesias berbeda dengan model kepemimpinan raja Daud. Ia bukan raja duniawi. Melainkan raja sorgawi yang akan membawa umat Israel keluar dari belenggu dosa menuju keselamatan kekal. Kesalahan “gagal paham” orang Israel melalui para elit agama Yahudi, menyebabkan mereka tidak mampu melihat Mesias anak Allah yang hidup dalam diri Yesus. Pada akhirnya, mereka juga menolak Yesus dan seluruh ajaran-Nya.

Dalam masa pengembaraan-Nya di dunia, Yesus tidak secara otonom memperkenalkan diri-Nya terlepas dari Allah. Yesus selalu menegaskan bahwa Diri dan segala karya-Nya adalah dari Bapa di sorga (Iman Katolik, hal. 313). Yesus adalah representasi langsung dari Allah sendiri. Berbicara tentang Allah berarti kita berbicara mengenai Yesus dan segala karya-Nya di muka bumi. Ini dengan tegas mengatakan bahwa sesungguhnya Mesias itu adalah Yesus. Putra Allah yang telah menyejarah dalam sejarah keselamatan hidup manusia. Kalau hanya dimengerti  sebagai keturunan Daud dalam aspek manusiawi maka bisa dipastikan bahwa Santo Bonefasius tidak akan melakukan segala sesuatu demi Sang Mesias yang mendatangkan risiko bagi nyawanya. Santo Bonefasius sungguh-sungguh mengakui Yesus sebagai Mesias. Dan itu bukan sebuah pilihan tanpa konsekuensi. Ia harus menghadapi banyak kesulitan dan penderitaan demi mempertahankan imannya akan Yesus Sang Mesias. Begitu pula, dalam surat keduanya kepada Timotius (2Tim 3:10-17), Paulus berusaha mengingatkan dan meneguhkan Timotius akan risiko pilihan mereka mengikuti Yesus. Sebuah risiko yang sulit. Tetapi Paulus menguatkan Timotius untuk tetap berpegang pada kebenaran yang telah ia terima dan yakini (2Tim 3:14).
Keyakinan kita tentang Yesus sebagai Mesias tentu harus tetap membara dalam hati kita masing-masing. Tidak sekedar kata-kata kosong. Bahwa Yesus bukan sekedar Mesias anak Daud. Tetapi lebih dari itu, Yesus sebagai Mesias, Anak Allah yang telah menjadi manusia dan tinggal di antara kita. Keyakinan kita tentang Mesias, hendaknya menyadarkan kita untuk tetap teguh dan selalu mengandalkan Dia dalam segala dinamika hidup yang kita hadapi. Tidak hanya dalam nada syukur, kita memuliakan Yesus Sang Mesias yang telah meretas jalan kebaikan dan kesuksesan yang kita alami. Namun, dalam tiap kesulitan dan penderitaan yang kita alami, hendaknya iman kita akan Dia tetap teguh. Kita tidak boleh patah semangat dan berpindah kepada kekuatan lain selain diri-Nya. Hanya dalam kesulitan dan tantangan itulah, iman kita akan Yesus sang Mesias terus berkembang dan menjadi matang. Kita akan menjadi seorang murid Kristus yang setia dan militan dalam mengarungi arus zaman yang semakin ganas. Amin. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***


Senin, 01 Juni 2020

MENANTIKAN LANGIT YANG BARU DAN BUMI YANG BARU


2 Ptr 3:12-15a.17-18 & Mrk 12:13-17
Tuhan menjanjikan langit yang baru dan bumi yang baru. Langit dan bumi baru yang ditantai dengan kebenaran itu menggantikan langit dan bumi yang akan berlalu. Semua orang percaya akan masuk dan mengalami situasi yang tidak akan pernah berubah di dalam dunia dan langit yang baru itu.
Dunia dan langit baru itu dinantikan sebab belum tiba saatnya. Menantikan bukan dengan pasif di mana orang bermalas-malasan menunggu saatnya tiba (lih. 2 Tes 3:10-11), melainkan secara aktif berjuang untuk hidup dengan benar, sehingga ketika tiba saatnya kita “kedapatan tak bercacat dan tak bernoda di hadapan-Nya, dalam perdamaian dengan Dia”(2 Ptr 3:14).

Dalam perjuangan menantikan “keadaan baru” itu, Petrus menasihati agar berwaspadalah selalu. Kewaspadaan menyadarkan kita selalu akan situasi nyata yang dialami dan bagaimana kita seharusnya mengambil sikap yang tepat terhadap situasi itu, sehingga kita tidak terjebak di dalamnya. Dalam bahasa Petrus, kewaspadaan membuat kita tidak  terseret ke dalam kesesatan orang-orang yang tak mengenal hukum, dan tidak kehilangan peganganmu yang teguh (2 Ptr 3:17).
Kewaspadaan itu pula yang diingatkan Yesus dalam banyak kesempatan. Injil hari ini mengisahkan bagaimana Yesus menunjukkan kewaspadaan-Nya terhadap jebakan orang Farisi dan Herodian. Dengan bertanya soal apakah boleh membayar pajak kepada kaisar atau tidak, mereka berharap mendapatkan suatu kesalahan untuk menyalahkan dan mendiskreditkan Yesus. Atas kesaksian yang mereka peroleh, mereka dapat membawa Yesus kepada pengadilan.

Namun Yesus tahu permainan licik mereka. Maka dengan licik pula Ia menanggapi jebakan mereka.  "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah!" adalah jawaban yang membuat para musuh-Nya bertekuk lutut. Orang Farisi dan Herodian tidak berkata apa-apa lagi setelah Yesus menjawabi pertanyaan mereka.
Inilah jalan yang ditunjukkan Yesus untuk semua orang yang percaya kepada-Nya agar senantiasa waspada terhadap kesesatan yang menjerumuskan kita ke dalam dosa dan kematian.
Kesesatan itu bisa datang dari orang-orang yang tidak percaya dan yang menentang kebenaran yang diidentifikasi Petrus sebagai “orang-orang yang tak mengenal hukum” dan oleh penginjil dirujuk langsung kepada identitas orang yang jelas, yakni orang Farisi dan Herodian. Namun kesesatan juga datang dari diri kita sendiri yang mengutamakan “keinginan daging” daripada keinginan Roh. Keinginan Roh adalah kebenaran.

Agar kita dapat waspada maka Petrus menasihati kita: “... bertumbuhlah dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita” (2 Ptr 3:18). Dengan menghayati nasihat ini, kita memperoleh di dalam diri kita kekuatan yang diperlukan untuk sadar senantiasa dan tidak terlena dalam situasi dunia yang menjerumuskan.Kita tetap teguh berdiri dalam kebenaran iman dalam segala situasi. Kita pun dikuatkan untuk sabar menanggung segala sesuatu demi keadaan hidup kita yang baru di bawah bumi dan langit yang baru.
Sekarang kita masih berada di langit dan bumi yang akan segera berlalu. Kita masih berjuang dan terus berjuang. Bukan hanya berjuang melawan diri sendiri, tetapi juga berjuang untuk menghadapi dunia dengan kebenaran-kebenarannya sendiri yang jika tidak diwaspadai dapat menggiring dan menyesatkan kita.

Konteks kehidupan bangsa kita juga menuntut sikap iman yang mantap. Sikap iman itu membantu kita untuk memilah mana yang benar dan harus diperjuangkan dan mana yang berusaha dibenarkan dengan tujuan yang menjerumuskan dan karena itu harus dielakkan.
Ketika Petrus berbicara tentang menantikan langit dan bumi yang baru yang ditandai oleh kebenaran, maka sebagai orang beriman kita dapat menerjemahkan hal ini juga dalam konteks kehidupan berbangsa kita yang demikian. Kebenaran sepenuhnya ada pada langit dan bumi yang baru, akan tetapi juga harus diperjuangkan di bawah langit dan bumi sekarang ini, di langit dan bumi Indonesia yang kita cintai ini. Maka kewaspadaan diminta dari kita agar kita tidak tergiring oleh pemikiran-pemikiran yang merusakkan dan menghancurkan bangsa kita.
Marilah kita menumbuhkembangkan kasih karunia dan pengenalan akan Dia terus-menerus di dalam diri kita karena itulah kekuatan kita untuk menantikan langit dan bumi yang baru di bawah langit dan bumi sekarang ini. Kita pasti dibukakan jalan untuk waspada, dijiwai untuk memperjuangkan kebenaran iman yang kita akui dan sabar menantikan kepenuhannya yang akan datang. ***Apol Wuwur***