Jumat, 28 Agustus 2020

PANGGILAN MENJADI KUDUS

 

Mat 25:1-13 

            . Kekudusan dan keselamatan bukan milik pribadi para biarawan/biarawati, namun semua orang Kristiani dipanggil secara khusus untuk mencapai kekudusan dan keselamatan itu. Panggilan untuk hidup dalam kekudusan harus direspon dan ditanggapi dengan serius dengan tetap konsisten melakukan perbuatan-perbuatan baik sesuai kehendak Allah dan konsisten menolak hidup yang dikuasai oleh hasrat yang menyesatkan. Kemarin kita telah bersama-sama merefleksikan perjalanan hidup Sta. Monika. Beliau adalah ibu kandung dari St. Agustinus. Iman dan cara hidup Sta. Monika patut diteladani khususnya bagi ibu-ibu yang anak-anaknya dipengaruhi oleh gaya hidup glamour dan terlena dalam lembah nista. Berkat imannya yang teguh dan hidup doa yang tekun, anaknya Agustinus bertobat dan menjadi seorang kudus. Sta. Monika telah berperan sebagai ibu yang baik sekaligus sebagai pengasuh iman bagi anaknya hingga imannya dewasa dan matang. Tak ada dalam kamus hidupnya terbersit kata menyerah dan putus asa, namun ia berjuang untuk memenangkan hati dan jiwa anaknya untuk dipersembahkan kepada Tuhan.

           

Hari ini, Gereja Katolik sejagad memperingati pesta St. Agustinus, Uskup dan Pujangga Gereja. Agustinus adalah sosok anak yang dulunya dikenal sebagai anak yang sangat menyusahkan dan merepotkan orang tuanya, karena ia memeluk ajaran sesat, memiliki hidup moral yang bejat, hidup bergelimang dosa, namun berkat doa dan ketekunan iman Sta. Monika ibunya, maka ia berhasil ditobatkan dan kembali ke pangkuan Gereja Katolik. Tuhan telah membelokkan arah hidupnya dan menggerakan hatinya untuk mengenal Allah yang benar dan pada akhirnya menghantarnya menjadi seorang uskup yang kudus dan seorang Pujangga Gereja yang termasyur.

           

Injil yang baru saja kita dengar tadi, di mana Yesus mengumpamakan penantian terhadap Kerajaan Allah seperti sepuluh gadis. Lima di antaranya bijaksana dan lima yang lainnya bodoh. Lima gadis yang bijaksana setia menanti mempelai laki-laki penuh harapan. Dalam penantian panjang itu mereka bijaksana melakukan apa yang nanti diperlukan dalam penantian yang tak pasti itu. Selain membawa pelita, mereka juga membawa minyak sebagai cadangan. Ketika mempelai datang, mereka dalam keadaan siap dan masuk dalam perjamuan bersama mempelai. Sementara lima gadis yang bodoh, mereka juga menanti tetapi mereka tidak memperhatikan dan memperlengkapi diri dengan apa yang diperlukan dalam penantian tersebut. Mereka hanya membawa lampu tetapi tidak membawa minyak, ketika mempelai datang, mereka tidak berada di tempat penantian karena mereka pergi membeli minyak untuk pelita yang sudah pudar nyalanya. Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus ini erat terkait dengan Kerajaan Allah. Untuk memasuki Kerajaan Allah, kita perlu setia menanti dan tekun untuk mempersiapkan hati menerima datangnya Kerajaan Allah. Cara kita menanti dengan mempersiapkan hidup yang baik, karena untuk memasuki Kerajaan Allah kita tidak mungkin nebeng atau meminjam kesetiaan iman orang lain atau kualitas hidup iman orang lain. Kita masing-masing membawa hidup kita sendiri dengan segala kebaikan dan kesetiaan kita sendiri selama hidup ke hadapan Allah untuk ditakar dan ditimbang. Keputusan atasnya sangat tergantung dari kemurahan hati Allah, sehingga intervensi manusia tidak dapat mempengaruhi keputusan bebas Allah atas nasib manusia.

           

Dalam ajaran Yahudi, minyak adalah simbol perbuatan baik. Lima wanita bijaksana tahu menjalankan hidup yang menghasilkan perbuatan-perbuatan baik. Keberatan mereka berbagi sedikit minyak kepada lima gadis bodoh bukan menunjukkan keegoisan mereka atau sifat kikir mereka sebagai manusia lemah tetapi ini justru mau menunjukkan hal yang paling mendasar bahwa dalam Kerajaan Surga perbuatan baik seseorang tidak dapat mewakili dan menyelamatkan orang lain. Hanya kita sendiri dapat menolong diri kita, bukan orang lain atau diwakilkan. Jadi, sepanjang peziarahan hidup kita di dunia menjadi masa dimana kita perlu menyiapkan pelita dengan stok minyak yang cukup agar pelita hidup kita tetap menyalah dan tidak redup. Perumpamaan yang disampaikan oleh Yesus kali ini tidak sekedar ilustrasi hampa atau kosong, namun memberi kita pelajaran berharga agar kita dapat membekali diri dengan pengetahuan dan keterampilan yang menjawabi situasi iman kita.

            Poin kesetiaan menjadi amat penting bagi kita dalam menanti, karena itu kesetiaan dalam hidup yang baik sesuai Kehendak Allah adalah hal yang mutlak perlu kita persiapkan. Mentalitas hidup santai dengan prinsip masih ada banyak waktu untuk mempersiapkan diri harus segera diubah dan dibaharui agar kita selalu waspada dan mawas diri. Mentalitas santai justru akan membuat kita kaget dan panik manakala kita didapati dalam keadaan tidak siap alias santai, karena hari Tuhan itu datangnya seperti pencuri di malam hari yang tak dapat diduga. Yang terpenting, kita perlu setia menjalani hidup ini dengan bobot dan kualitas yang memadai sambil berbuat baik, karena itulah persiapan yang paling sederhana yang dapat kita lakukan untuk menyukakan hati Tuhan agar kita layak dan pantas dizinkan masuk menikmati perjamuan surgawi bersama para kudus di surga.

           

Usaha dan ketekunan Sta. Monika mempertobatkan anaknya, adalah teladan istimewa yang perlu dihidupi. Ia menyediakan stok minyak yang banyak dalam hidupnya sehingga anaknya dapat disapah dan ditobatkan oleh Tuhan. Begitu pula, teladan kelima gadis bijaksana mengajarkan kepada kita aspek kesetiaan dalam menanti sambil melaksanakan tugas dan pekerjaan secara bertanggungjawab.

           

Kisah Injil hari ini tentang lima gadis bijaksana dan lima gadis bodoh, tidak hanya menyatakan kepada kita bahwa ada orang bijaksana dan ada orang bodoh, tetapi lebih dari itu, menyatakan kebijaksanaan dan kebodohan itu juga ada dalam diri kita masing-masing. Menjadi orang bijaksana itu penting, namun untuk mencapai tahap bijaksana orang harus melewati proses hidup yang panjang hingga membuatnya matang. Ia harus mati bagi dirinya artinya segala kecenderungan manusiawi harus mampu diatasi dengan tetap berkiblat pada hal-hal yang baik yang menghantarnya mencapai kemurnian diri. Sedangkan, menjadi orang bodoh mengisyaratkan bahwa kita tidak mau berubah dari cara hidup lama kita, kita lebih suka hidup menuruti kehendak dan nafsu murahan kita dan mengabaikan kekudusan. Kita lebih suka mengulur-ulur waktu untuk melakukan perbuatan-perbuatan baik karena kita menganggap kita masih punya banyak waktu untuk melakukannya. Karena itu, kita perlu berdoa dan memohon rahmat Tuhan agar kita dapat hidup bijaksana, tahu mana yang baik dan benar, sempurna dan terus melakukan apa yang menjadi kehendak Tuhan. Dengan demikian, kita dapat mempersembahkan hidup kita kepada Tuhan dengan tanpa cacat, tak bernoda,  tetapi tetap dalam kekudusan sebagaimana St. Agustinus mengalami perubahan hidup yang total sampai usahanya mencapai kekudusan. Semoga semangat ketekunan dan kesetiaan Sta. Monika, St. Agustinus dan lima gadis bijaksana menginspirasi kita untuk membangun kekudusan dalam diri kita dengan tetap konsisten melakukan perbuatan-perbuatan baik yang menjamin kekudusan dan keselamatan kekal. Perbuatan-perbuatan baik adalah garansi kita memperoleh keselamatan dan kemurahan hati dari Tuhan. ***Bernard Wadan***

Senin, 24 Agustus 2020

Jadilah Diri Sendiri

 

Mat 23:23-26


Ahli-ahli Taurat dan kaum Farisi adalah orang-orang yang diberi wewenang untuk menafsir dan mengajarkan hukum Taurat karena memiliki kualifikasi pendidikan yang mumpuni. Mereka juga memiliki otoritas untuk mengkhawal dan membimbing kehidupan umat menurut hukum Taurat. Namun seperti yang dikemukakan dalam Injil, para pemimpin rohani umat Yahudi itu paling sering dikritik oleh Yesus.


Kemunafikan adalah hal utama yang dikritik Yesus. Dalam Injil Matius 23:23-26, terdapat dua hal tipikal para pemimpin Yahudi yang dikritik Yesus. Pertama, mereka memutarbalikkan skala nilai dan prioritas peraturan dalam hukum Taurat (ay 23-24). “Keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan” sebagai yang utama dalam hukum diabaikan. Mereka lebih mengutamakan aspek-aspek luar (periferial).


Kedua, mereka mengejar penampilan luar yang kasat mata untuk mendapatkan kehormatan dan nama baik, akan tetapi justru yang dikejar itu hanyalah upaya kompensasi untuk menyembunyikan kebusukan hati mereka (ay 25-26). Penampilan luar dari hidup mereka sangat memukau, akan tetapi hati mereka penuh rampasan dan kerakusan.


Yesus tidak hanya mengkritik kemunafikan para pemimpin rohani Yahudi. Ia juga memberikan jalan keluar sebagai upaya pembaruan diri atas kecenderungan kepada dosa seperti yang telah mereka lakukan.


Pada soal tentang pemutarbalikan skala nilai dan prioritas, Yesus berkata: “Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”. Persepuluhan dari selasih, adas manis dan jintan pantas dibayar, tetapi itu dilakukan atas dasar keadilan, belas kasihan dan ketaatan yang dijaga dan dipelihara dalam hati. Prinsipnya, jika yang utama ini dihayati dengan sesungguhnya, maka terapannya akan berjalan dengan seadanya.


Pada kecenderungan menyembunyikan kebusukan hati dengan tampilan luaran yang memukau, Yesus meminta hal yang sangat sederhana, bersihkan bagian dalamnya terlebih dahulu, maka sebelah luarnya juga akan bersih. Hati yang penuh dengan rampasan dan kerasukan harus dibersihkan dahulu agar penampilan luarnya benar-benar murni dan bersih.


Pada intinya Yesus menekankan pentingnya kualitas hati yang baik sebagai sumber kebajikan yang memprodusir otentisitas diri yang laik untuk dihargai dan dihormati. Hanya bila orang memiliki kualitas hati yang baik akan hidup apa adanya, jujur dengan diri sendiri dan jauh dari kepalsuan. Inilah ideal dari hidup orang beriman sesungguhnya.


Kritikan Yesus kepada para petinggi rohani Yahudi yang menggunakan kedok rohani untuk kepentingan diri mereka sendiri menjadi peringatan dan bahkan mungkin juga kritikan terhadap diri kita apabila kualitas hidup kita tidak jauh dari hidup para pemimpin itu. Kata celaka yang ditujukan untuk mereka dapat tertuju kepada kita bila kita tidak mendengarkan perintah-Nya memperbaiki hidup kita.


Maka baiklah kita menggunakan kesempatan sekarang untuk memperbaiki hidup kita dan membangun hidup kita yang mumpuni di hadapan Tuhan. Karena kehidupan yang otentik itu bersumber dari hati, maka seperti yang dikehendaki Tuhan, patutlah kita mengolah hati kita menjadi sumber kebajikan dan nilai yang menjiwai dan menggerakkan kita untuk hidup secara otentik. Bersihkan cawan hati kita maka bagian luarnya juga akan menjadi bersih.


Hati yang bersih akan membuat kita menjadi diri kita sendiri, jujur dan apa adanya. Kita tidak berkedok. Mungkin saja kita akan tidak disukai karena kualitas hidup kita yang baru seperti ini, akan tetapi lebih baik kita menanggung kesukaran ini demi kebaikan dan keselamatan kita. Akan menjadi lebih baik bila kita disukai Tuhan karena kemurnian hidup kita daripada berusaha menggunakan kedok demi menyukakan hati orang namun pada akhirnya kita menjadi celaka. ***Apol Wuwur***

 

 

 

 

 


Rabu, 19 Agustus 2020

BELASKASIH ALLAH

 (Mat 20: 1 – 16a)

 

Kata adil menunjuk pada arti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, atau berpegang kepada kebenaran (KBBI). Sejatinya dalam setiap dimensi kehidupan, kata adil menjadi sarat makna, yang semestinya diperjuangkan untuk memberi kesejahteraan lahir dan batin bagi setiap warga/masyarakat (bonum commune). Kata adil menjadi selaras apabila disandingkan dengan kata kewajiban. Tanpa kewajiban, prinsip keadilan menjadi kehilangan maknanya. Pada dasarnya setiap warga/masyarakat harus melaksanakan kewajibannya terlebih dahulu. Baru setelah itu, orang bisa menerima atau menuntut haknya. Hak yang diterima seseorang akan memenuhi prinsip adil kalau sesuai dengan takaran kewajiban yang telah dilaksanakannya. Oleh karena itu, adil tidak berarti sama rata dan sama banyak. Kalau demikian yang terjadi maka tidak akan disebut sebagai sebuah keadilan. Inilah prinsip dari sebuah kata adil yang dihidupi oleh orang-orang di muka bumi. Lalu bagaimana makna adil yang ditawarkan Tuhan kepada umat manusia?

 

Dalam bacaan Injil (Mat 20:1-16a) hari ini (Rabu, 19/8/2020), Yesus mengetengahkan prinsip adil  dengan ilustrasi kisah mengenai orang-orang upahan di kebun anggur. Adalah seorang tuan rumah yang sementara mencari para pekerja yang akan bekerja di kebun anggurnya. Para pekerja yang ditemukan dan dipanggil itu datang dalam waktu yang berbeda-beda. Ada yang datang pagi-pagi, dan ada yang datang agak siang sekitar pukul sembilan. Kemudian ada pekerja yang baru ditemukan dan dipanggil pada siang hari dan sore hari yakni pukul dua belas dan pukul tiga. Bahkan ada pekerja yang baru datang pada pukul lima sore. Praktis, mereka hanya memiliki durasi waktu satu jam untuk bekerja di kebun anggur. Keanehan mulai terjadi saat mereka menerima upah. Semua pekerja mendapat upah yang sama yakni sebesar satu dinar. Tentu para pekerja yang datang lebih dahulu dan bekerja lebih lama melakukan protes. Mereka merasa tidak adil karena mendapat upah yang sama dengan para pekerja yang datang paling akhir. Namun tuan rumah tetap memegang komitmen dari hasil kesepakatan bahwa mereka diupah sebesar satu dinar sehari. Tidak ada poin tambahan yang memberi keterangan tentang durasi waktu bekerja yang berbeda-beda dari setiap pekerja.

Dari cerita Injil ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa sang tuan rumah itu adalah Tuhan sendiri. Para pekerja adalah umat manusia. Sementara kebun anggur adalah warta keselamatan yang ditawarkan Allah kepada manusia. Saat malam orang menerima upah sebesar satu dinar adalah simbol dari puncak keselamatan yang akan diperoleh umat manusia. Warta keselamatan itu akan mencapai klimaks pada hari penghakiman. Semua umat manusia akan mendapat anugerah keselamatan yang sama. Tidak ada pembedaan atau pengkotak-kotakan berdasarkan lamanya waktu orang menerima warta keselamatan itu. Keadilan menurut Tuhan sungguh berbeda dengan keadilan menurut cara pandang dunia. Keadilan menurut Tuhan adalah saat dimana semua manusia tanpa memandang status masuk ke dalam singgasana kerajaan yang telah disiapkan oleh Bapa di sorga.  Dari pagi hingga petang, Tuhan selalu aktif mencari dan menemukan para hamba-Nya yang telah hilang. Tidak peduli apakah manusia menerima atau tidak, warta keselamatan itu tetap selalu diwartakan dan ditawarkan kepada umat manusia.

 

Tuhan sebagai sang pemilik anggur telah menunjukkan belas kasih-Nya yang sungguh agung kepada manusia. Karena sesungguhnya Ia adalah Allah yang maha belas kasih. Ini ditunjukkan dengan sikap proaktif dari-Nya yang selalu mencari manusia untuk datang ke dalam kebun anggur keselamatan yang telah disiapkan. Sikap belas kasih Tuhan tidak pernah dipengaruhi oleh baik tidaknya tindakan manusia. Tuhan tidak bisa disogok untuk menjadi baik dengan tindakan manusia yang baik. Begitu pun juga, kejahatan manusia sekali pun tidak akan menurunkan kadar belas kasih yang dimiliki-Nya. Ia telah menjadi awal dan akhir dari sebuah kehidupan manusia. Belas kasih Tuhan kepada manusia tetap terjadi sepanjang masa. Ketika manusia menjadi sadar dan mau hidup menjadi pelayan-Nya yang setia, sesungguhnya manusia itu sendiri yang telah menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang selalu mengarahkan hidupnya kepada Tuhan. Dan jaminan itu ada pada keselamatan kekal yang akan diterima pada saat hari penghakiman ketika manusia telah mati. Tuhan juga tidak pernah memaksa seorang manusia untuk menerima tawaran untuk bekerja di ladang anggur-Nya. Dengan kehendak bebas yang dimiliki, manusia berhak untuk menolak setiap tindakan keselamatan dari Tuhan. Namun setiap pilihan tentu ada konsekuensi yang harus diterima. Manusia harus siap menerima apabila singgana keselamatan itu tidak akan menjadi miliknya sebagai akibat dari sikap penolakan terhadap Tuhan.

 

Tuhan sebagai empunya kebun anggur adalah Allah yang maha belaskasih. Apakah kita secara pribadi dalam saat-saat hening telah merenungkan jati diri Tuhan sebagai Allah yang maha belaskasih? Apakah kita juga mau terbuka untuk mendengarkan seruan di kedalaman hati kita yang paling dalam tentang siapa diri kita yang sebenarnya? Tuhan memang telah menyalurkan segala belaskasih-Nya kepada kita, khususnya kita yang berada dalam satu atap Rumah Sakit Bukit Lewoleba. Entah sebagai seorang pekerja yang mengabdi di tempat ini atau sebagai seorang pasien yang sementara merindukan belaskasih Allah. Hari ini Tuhan datang dan menegaskan bahwa belaskasih-Nya telah dilimpahkan kepada kita. Tuhan menanti keterbukaan diri kita untuk menerima kehadiran-Nya dalam diri kita. Dengan-Nya, kita akan mampu melihat segala realitas hidup kita dalam cahaya terang kasih-Nya. Kita secara pribadi dan secara kolektif dalam satu keluarga besar Rumah Sakit Bukit Lewoleba semakin dikuatkan dan diteguhkan bahwa kita tidak pernah berjalan sendiri. Seringan atau seberat apa pun jalan hidup yang kita tempuh, Tuhan telah mengatur dengan segala keadilan-Nya. Keadilan Tuhan itu ada dalam belaskasih yang telah dilimpahkan dalam segala hidup kita. Semoga kita mampu menyadari belaskasih Allah dengan terus memberi kasih kepada setiap orang yang ada di sekitar kita. Amin. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***


Selasa, 11 Agustus 2020

ANEKA KARUNIA DALAM SATU TUBUH

 

(Mat 18: 15 – 20)

 

Kata karunia merupakan sebuah terminologi (istilah) yang tidak asing di telinga kita. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, kata karunia memiliki padanan arti dengan kata hadiah, rahmat, kebajikan, berkat, kasih atau belas kasih. Dalam teologi Kristen, karunia atau karisma adalah sebuah anugerah spiritual yang diberikan kepada semua orang yang percaya untuk menjalankan pelayanan mereka di gereja. Karunia atau kharisma adalah suatu kebajikan yang diberikan oleh Tuhan secara unik kepada setiap individidu. Tidak semua orang mendapat karunia itu persis sama satu dengan yang lain. Karunia yang diberikan Tuhan sifatnya jamak dan beraneka ragam. Setiap orang bisa memiliki salah satu atau lebih dari setiap karunia yang terberi. Karunia itu terberi dalam wujud konkrit seperti minat, bakat, kemampuan atau kompetensi yang dikuasai oleh setiap orang. Dengan karunia atau kharisma tersebut akan sangat membantu manusia untuk menjalankan aktivitasnya sebagai seorang makhluk pekerja (homo faber). Seorang manusia bisa menggunakan pelbagai karunia yang dimiliki untuk membangun kesatuan, kerjasama, solidaritas dan melaksanakan tiap target yang ingin dicapai.

 

Namun di sisi lain, ada implikasi negatif yang bisa terjadi. Banyak orang dengan banyak karunia acapkali bersinggungan dengan perbedaan pendapat dan kepentingan. Ada banyak dinamika yang tercipta akibat benturan pikiran, pendapat dan kepentingan. Imbasnya bisa terjadi dua hal. Di satu sisi perbedaan yang terjadi bisa diselesaikan secara rasional dan profesional. Masing-masing orang saling memahami dan menghargai satu sama lain sehingga ada solusi terbaik yang bisa diterima dan bisa menjembatani setiap kepentingan dalam masing-masing orang. Kalau semua orang memiliki kesepahaman pendapat dan idealisme yang mau digapai, pasti perbedaan yang muncul adalah sebuah kekayaan yang mestinya disyukuri. Di lain sisi, perbedaan pendapat dan pikiran yang muncul bisa menjadi embrio atau akar dari sebuah konflik yang besar. Masing-masing orang tetap bertahan dengan argumentasinya dan saling tidak menerima pendapat satu dengan yang lain. Bisa terjadi bahwa solusi yang mau dituju tidak tercapai. Malahan semakin membara konflik yang tercipta. Mungkin dalam pengalaman yang kita alami atau kita saksikan dari orang lain, perang dingin dan perang terbuka sering mewarnai hidup pergaulan kita dalam sebuah komunitas. Berawal dari sebuah perbedaan yang kecil tetapi dapat memicu konflik yang mengorbankan nilai-nilai yang lebih besar. Nilai persaudaraan dan kekeluargaan kita sebagai satu keluarga dalam satu komunitas yang sama menjadi tawar dan hancur.

 

Ada baiknya kita mendengar nasihat yang disampaikan oleh Yesus dalam bacaan Injil (Mat 18:15-20) pada hari ini (Rabu/12/8/2020). Ada empat tahap yang hendak disampaikan Yesus untuk menyelesaikan konflik atau masalah yang timbul dalam hidup komunitas jemaat kala itu. Pertama, bila ada anggota jemaat yang melakukan kekeliruan atau kesalahan, hendaknya dibicarakan secara empat mata. Anggota jemaat lain dapat memanggil dan menasihati anggota jemaat yang bersalah tersebut secara persuasif dari hati ke hati. Masalah akan selesai apabila ia mau menerima dan memberbaiki diri. Namun kalau dia tidak menerima maka bisa dilanjutkan ke tahap kedua. Pada tahap kedua, pembicaraan yang dilakukan tidak terjadi secara empat mata. Ada beberapa saksi yang dihadirkan untuk memberi bukti dan menguatkan dalil-dalil agar kebenaran suatu persoalan bisa diungkap secara terang benderang. Apabila orang yang bersalah tersebut tidak juga mengakui kesalahannya maka ranah persoalan bisa ditingkatkan ke tahap tiga. Dalam tahap ini, sebuah persoalan sudah menjadi konsumsi publik karena diselesaikan dengan melibatkan banyak orang dalam sebuah jemaat atau komunitas. Orang yang bersalah dihadirkan dan dimintai keterangannya. Setiap anggota jemaat mempunyai kewajiban moral yang sama untuk memberi petunjuk atau nasihat dengan satu harapan agar orang yang bersalah mengakui kesalahannya dan tidak mengulangi lagi kekeliruan atau kesalahannya tersebut. Dapat terjadi bahwa pada tahap ini orang yang bersalah tergerak hatinya untuk merefleksikan dan mengakui kekeliruannya. Maka semua anggota jemaat atau komunitas dapat bersatu kembali untuk menguatkan rasa persaudararan dan kekeluargaan di antara mereka. Namun, apabila tetap tidak menemui jalan keluar maka suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, orang yang tetap menunjukkan kekerasan hatinya itu dapat dipandang oleh anggota komunitas sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Inilah tahap empat atau tahap akhir yang menjadi konsekuensi apabila tiga tahap yang telah dilalui tidak menemui kata sepakat.

 

Jika kita memperhatikan empat tahap penyelesaikan konflik yang disabdakan oleh Yesus, terkesan bahwa pada tahap keempat itu bukan tawaran persoalan yang bijaksana. Keputusan memang diambil tetapi tidak menyelesaikan substansi persoalan yang sebenarnya. Malahan orang yang bersalah semakin diekslusikan atau dipojokan dari komunitasnya dan dicap sebagai orang yang tidak mengenal Allah. Tetapi saya kira bukan itu yang dimaksudkan oleh Yesus. Sebagai kepala persekutuan jemaat, Yesus mengajarkan dan menasihati para murid agar selalu menjaga dan merawat persekutuan yang telah tercipta. Perbedaan-perbedaan di antara sesama anggota komunitas hendaknya tidak merusak persaudaraan tetapi harus dimaknai sebagai rahmat untuk saling memperkaya dan menguatkan kehidupan persekutuan. Bila ada anggota jemaat yang salah dan menyeleweng, bahkan meninggalkan persekutuan, maka mereka perlu didampingi dengan bijaksana dan penuh kasih sayang, tanpa terlalu cepat mengadili dan menghakimi mereka. Dengan cara dan sikap seperti ini, mereka lebih terdorong untuk kembali ke dalam persekutuan. Rekonsiliasi ini akan lancar jalannya jika doa bersama dalam nama Yesus tidak terabaikan. “Jika dua orang dari padamu di dunia ini sepakat meminta apa pun juga, permintaan mereka itu akan dikabulkan oleh Bapa-Ku yang di sorga. Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” Mat 18:19-20).

 

Dalam konteks kekinian, aneka karunia berupa bakat, minat, kemampuan atau kompetensi yang kita miliki adalah sebuah kekayaan dari Tuhan yang luar biasa dan tidak bisa diukur berapa pun nilainya menurut ukuran kita sebagai manusia. Tuhan sudah merancang sedemikian rupa agar tiap manusia memiliki karunia yang berbeda-beda. Dan perbedaan itu bukannya memisahkan tetapi semakin mempererat relasi antara manusia entah dalam satu komunitas yang sama atau antar komunitas yang berbeda. Perbedaan itu adalah aset potensial agar manusia bisa membangun kerja sama dan keintiman untuk saling melengkapi dan mewujudnyatakan rencana atau target tertentu dalam komunitasnya. Konflik dalam ranah persekutuan kita sebagai anggota komunitas merupakan hal yang wajar. Akan tetapi jangan sampai meluluhlantakan semangat dan nilai-nilai lain yang lebih besar. Ada jalan bijaksana yang hendaknya kita ambil untuk meredam dan menyelesaikan segala persoalan yang timbul dalam komunitas. Kita telah mengambil bagian di dalam komunitas Rumah Sakit ini dengan berbagai karunia yang dimiliki sebagai seorang dokter, perawat, bidan, pegawai administrasi, dan karyawan/wati lainnya dengan tugas yang berbeda-beda. Kita juga tentu telah melewati banyak pengalaman yang menguji rasa solidaritas dan kekeluargaan kita. Pernah ada rasa kecewa, sakit hati, dendam kesumat, dan rasa putus asa yang mengiringi ruang dan waktu kita sebagai seorang pekerja mulia di rumah besar ini. Di atas semuanya, kita harus bersyukur bahwa apa pun tantangan dan keterpurukan hidup yang pernah kita alami, menjadi pengalaman yang semakin menguatkan dan memberdayakan sehingga kita tetap berlangkah maju, saling bergandengan tangan memberikan pelayanan yang prima kepada sesama kita yang sementara menderita sakit.

 

Belajar dari inspirasi bacaan Injil hari ini, kita semua mau diingatkan bahwa kita adalah satu ciptaan dengan satu pencipta yakni Allah yang satu dan sama. Sebagai insan ciptaan kita dihadirkan dengan banyak karunia yang berbeda-beda pula. Namun, dalam aneka karunia itu kita tetap terikat pada satu Tubuh yang sama yakni Tuhan sendiri. Ibarat pohon yang memiliki ranting-ranting, demikian juga kita adalah ranting-ranting yang selalu melekat pada pokok yang sama. Dengan mengingat sumber atau pokok kita yang sama, maka kita akan menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk menciptakan kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang. Dalam bahasa iman, kita menggunakan segala karunia yang kita miliki untuk mewartakan sabda Tuhan dalam tugas dan panggilan kita di tempat ini. Kita selalu percaya bahwa Tuhan yang satu dan sama selalu menaungi segala karunia yang kita miliki secara berbeda dalam diri kita masing-masing. Mari kita menggunakan karunia yang kita miliki untuk menyebarluaskan semangat kasih Tuhan kepada orang lain. Walaupun kita berbeda dalam karunia tetapi kita tetap berada dalam satu tubuh yang satu dan sama yakni tubuh Yesus Kristus. Amin. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***

Senin, 10 Agustus 2020

MELAYANI SEBAGAI PENGHAYATAN IMAN

Yoh 12:24-26

Hari ini gereja sejagat memperingati pesta St. Laurensius, seorang diakon di Roma dan ia wafat tahun 258. Ia selalu diinterogasi oleh pihak kekaisaran bahkan ia dipaksa untuk menyembah kaisar, namun karena ia tidak mau, akhirnya ia ditangkap dan disuruh menyerahkan seluruh harta gereja kepada kaisar. Sayang sekali, mereka mengirah harta gereja berupa emas dan perak yang bisa diboyong pulang ke istana, namun mereka terkejut karena yang ada padanya adalah orang-orang miskin. Itulah kekayaan yang dimiliki St. Laurensius. Akhirnya kaisar marah besar lalu menyuruh pasukannya membakar dia hidup-hidup. Ia kemudian rela mati karena kecintaannya yang besar kepada orang-orang miskin yang dianggap sebagai kekayaan hidup yang ia kumpulkan.

Pelayanan adalah bagian yang tak terpisahkan dari penghayatan iman Kristiani. Sepanjang sejarah banyak orang yang bersedia menyerahkan diri, hidup bahkan nyawanya demi pelayanan itu sendiri. St. Laurensius adalah salah satu contoh konkrit kita, ia terlibat langsung dalam banyak hal pelayanan duniawi, namun ia selalu berjuang mengimbanginya dengan iman teguh yang tetap dipraktekkannya hingga mahkota kemartiran menjemputnya. Semangat pelayanannya ini selaras dengan kata-kata Yesus dalam injil-Nya hari ini, “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku.” Mengikuti Yesus di sini berarti berjalan bersama Dia di jalan salib penderitaan hidup, karena kemuliaan seorang murid Kristus ditakar dari sejauh mana kesetiaannya memikul salib penderitaan. Maka, peristiwa salib menyadarkan kita mengapa ada penderitaan. Dengan peristiwa salib yang kita pikul setiap hari, Allah mau menyatakan bahwa, dalam keadaan suka bahkan dalam penderitaan sekalipun Allah selalu hadir dan menyertai hidup kita. Kita jangan takut  kehilangan nyawa ketika kita sedang melakukan misi pelayanan di tengah kehidupan bersama karena kita akan bersukaria untuk hidup kekal di surga.

Ketaan Yesus kepada Bapa-Nya sampai wafat di kayu salib menjadi teladan ketaatan bagi kita untuk terus menghidupkan iman dan karya pelayanan di tengah-tengah mereka yang membutuhkan bantuan dan kehadiran kita. Yesus mau menyadarkan kita bahwa jalan salib adalah jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan keselamatan. Keberpihakan kita kepada mereka yang miskin dan yang terabaikan sebagaimana keberanian yang ditunjukkan St. Laurensius dihadapan kaisar, disamping ia menolak menyembah kaisar, dia dengan bangganya memperkenalkan kekayaannya yang ia kumpulkan bukan emas dan perak tetapi orang-orang miskin sebagai obyek pelayanannya. Ia sama sekali tidak takut bahkan tidak peduli dengan keselamatan nyawanya dihadapan pasukan kaisar, ia lebih memilih mati tragis ketimbang menyembah kaisar yang mabuk kekayaan duniawi. Ia bagaikan biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati lalu menghasilkan banyak buah keselamatan. Perintah Injil hari ini telah dipraktekkan dengan sangat radikal oleh St. Laurensius, ia sama sekali tidak mencintai nyawanya demi keselamatan dirinya di dunia, namun ia berani kehilangan nyawanya di dunia demi hidup kekal di surga. Orientasi dan pelayanannya ditujukan secara khusus kepada orang-orang miskin dan telantar, baginya, mereka harus mendapatkan perhatian khusus karena dalam diri mereka Allah sedang mewujudkan diri-Nya. Pelayanannya kepada orang-orang miskin didasarkan pada penghayatan imannya yang mendalam akan Yesus. Ia sungguh mengikuti teladan dan jejak Yesus dalam misi pewartaan-Nya ke dunia untuk mencari domba-domba yang hilang, putus harapan, miskin dan sederhana yang dianggap sampah masyarakat.

Panggilan untuk melayani sebagai penghayatan iman memungkinkan kita berani bersaksi, karena iman lebih merupakan daya manusiawi yang diteguhkan oleh Tuhan agar dalam situasi apa pun tidak membuat kita putus asa. Yesus menekankan pentingnya memiliki iman, karena dengan keyakinan iman yang kokoh, seseorang dapat meminta kepada Tuhan Roh kekuatan yang ia perlukan agar ia tidak takut menghadapi kekuasaan dunia ini untuk melaksanakan misi pelayanan dan advokasi kepada mereka yang miskin dan terlantar. Dalam Injil yang kita baca hari ini, Yesus menegaskan bahwa “Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikuti Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada.” Secara singkat Yesus menegaskan kepada kita murid-muridNya untuk setia melayani-Nya dalam diri sesama kita. Kita harus terus mencontohi dan meneladani semangat pelayanan Yesus. Kita tidak boleh membanggakan diri atas sejumlah keberhasilan yang kita capai dalam misi pelayanan karena semuanya bersumber dari rahmat dan pertolongan Allah. Kita hendaknya merendah dan berserah kepada Tuhan karena kita telah dijadikan alatnya untuk menebarkan warta keselamatan kepada semua orang. Pelayanan dan pewartaan yang kita laksanakan hendaknya tulus tanpa harus membanggakan diri. Semua jenis pengorbanan yang kita lakukan di dunia ini akan dihormati oleh Allah Bapa di surga dengan menyediakan tempat yang layak bagi kita.

Pesan singkat yang bisa kita tarik dari pesta St. Laurensius  dan Injil hari ini adalah kesetiaan pada pelayanan Kristiani. Ada banyak bentuk pelayanan Kristiani yang bisa kita praktekkan, seperti giat mewartakan Sabda Tuhan dalam bentuk dan cara apa saja, ikut serta dalam membangun persekutuan hidup Kristiani, menolong sesama yang membutuhkan, bersama memuliakan Allah dan memberi diri bagi keagungan Tuhan dalam rupa kemartiran. Kemartiran tidak selalu  berarti menumpahkan darah tetapi ada kerelahan dan kerendahan hati menerima penghinaan dan penolakan demi kemuliaan Kristus. Karena itu, menjadi martir berarti menjadi saksi Kristus dan saksi iman. Menjadi martir tidak harus mati berdarah seperti St. Laurensius. Banyak cara kita bisa menjadi saksi Kristus yakni dengan hidup jujur, tidak korupsi, tidak menghalalkan segala cara untuk mendapat kedudukan terhormat, disiplin diri dan bertanggung jawab dalam tugas dan fungsi kita sebagai ANS. Negara yang kita cintai ini bahkan juga gereja sangat membutuhkan martir-martir non berdarah. Betapa permisifnya orang-orang modern zaman ini yang doyan KKN. Tanpa kita sadari, kadang kala  kita juga menjadi korban atas  sistem yang berlaku  sehingga dengan kesadaran penuh kita  ikut ambil bagian dalam kebiasaan buruk yang sedang trend. Karena itu, Yesus mengajak kita semua sebagai murid-murid-Nya berani menjadi saksi iman akan hidup yang benar dan bersih. Yesus juga mengajak kita semua menjadi pelayan yang berhati mulia bukan berhati bunglon yang ada maunya. Semoga semangat kemartiran St. Laurensius meneguhkan iman kita untuk terus melayani sama saudara-saudari kita yang diasingkan dan diabaikan oleh orang-orang zaman modern ini yang sibuk dan menyibukan diri dengan urusan duniawinya sendiri. Amin. ***Bernad Wadan***

Selasa, 04 Agustus 2020

BERIMAN DI TENGAH KEBERAGAMAN

 (Mat 15: 21 – 28)

Secara pribadi saya merasa bersyukur dan bangga tinggal di tengah keberagaman masyarakat. Lokasi tempat tinggal saya cukup strategis di tengah kota, dengan lenskep daerah dataran rendah yang rata. Boleh dikatakan, semua masyarakat yang ada di sekitar adalah para pendatang yang berasal dari pelbagai daerah, suku dan agama yang berbeda-beda. Kebanggaan yang tumbuh dalam diri saya didasarkan pada beberapa alasan. Pertama, saya dapat mengenal dan bercengkerama dengan orang-orang dari berbagai latar dan karakteristik yang berbeda-beda. Kedua, saya semakin dibentuk menjadi pribadi yang matang dalam pola pikir dan tindakan untuk lebih memberi respek terhadap situasi sosial yang ada. Ketiga, dalam dimensi spiritual, saya merasa sungguh ditantang untuk terus menghidupi iman saya kepada Tuhan. Iman yang radikal kepada Tuhan di satu sisi, menuntun saya untuk di sisi yang lain, terus membawa wajah Tuhan dalam setiap gerakan sosial pribadi di tengah keberagaman umat. Sikap radikal kepada Tuhan bukannya membuat saya semakin ekslusif (menutup diri) tetapi menjadikan saya lebih inklusif. Lebih terbuka menerima dan memahami setiap perbedaan. Saya merasa begitu dikuatkan dan didewasakan dalam iman kepada Yesus ketika hidup dalam keberagaman masyarakat.

Dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15: 21-28) diceritakan bahwa Yesus didatangi oleh seorang perempuan yang datang dari komunitas yang berbeda dengan Yesus. Perempuan itu berasal dari daerah Kanaan, sebuah komunitas non-Yahudi yang kental dengan budaya Yunani. Dalam tradisi Yahudi, orang-orang di luar komunitas Yahudi diberi label sebagai orang kafir atau anjing seperti tertera dalam bacaan Injil. Tidak heran apabila Yesus secara tidak langsung menyebut perempuan Kanaan dengan kata anjing. Ini merujuk dalam budaya Yahudi yang menganggap rendah orang di luar komunitas mereka. Bukan pula merupakan sebuah kebetulan ketika Yesus berniat melakukan ekspansi pewartaan sabda-Nya ke daerah-daerah non Yahudi. Ada niat yang suci dan tulus ketika Yesus melakukan perjalanan ke daerah Tirus dan Sidon. Yesus menyadari bahwa misi keselamatan Allah yang diemban-Nya tidak hanya khusus terberi untuk orang-orang Yahudi, tetapi semua orang yang ada di muka bumi. Misi Yesus menembus batas suku, agama, golongan dan kepentingan politik.

Walaupun demikian, identitas sebagai orang Yahudi tetap melekat dalam pribadi Yesus sebagai seorang manusia. Sehingga memengaruhi juga cara pandang Yesus terhadap orang-orang di luar komunitas Yahudi. Perempuan Kanaan adalah salah satu contoh kasus konkrit. Ia datang meminta bantuan kepada Yesus untuk menyembuhkan anak perempuannya yang kerasukan setan. Pada awalnya Yesus tidak memberi respon sedikit pun terhadap perempuan itu. Para murid Yesus sedikit lebih frontal dengan meminta Yesus untuk menyuruh perempuan itu segera pergi. Yesus menanggapi pernyataan para murid-Nya dengan menyampaikan bahwa Ia diutus hanya kepada orang Israel. Bahkan Yesus menegaskan statement-Nya tersebut dengan sebuah analogi bahwa tidak pantas memberi roti yang disiapkan untuk anak-anak kepada anjing. “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.” Anjing yang dimaksud di sini adalah orang-orang non Yahudi. Termasuk di dalamnya adalah si perempuan Kanaan tersebut.

Menghadapi tantangan yang demikian, ternyata tidak menyurutkan niat dari perempuan Kanaan itu. Malahan dengan tenang dan tetap menunjukkan kerendahan hati-Nya, ia berkata: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.” Sikap perempuan ini menunjukkan bahwa ia tidak peduli dengan kata-kata diskriminatif yang diterimanya. Imannya kepada Yesus untuk mendapatkan pertolongan adalah hal pokok. Baginya lebih penting menjaga konsistensi imannya daripada harus goyah oleh karena tantangan yang harus diterimanya. Melihat sikap perempuan Kanaan yang begitu kokoh dan tulus Yesus akhirnya memberi apresiasi. “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki.” Iman perempuan yang kuat kepada Yesus telah menyelamatkan hidupnya. Anak perempuannya menjadi sembuh dari sakit yang dideritanya.

Pengalaman iman lintas batas yang dialami oleh perempuan Kanaan dalam bacaan Injil pada hari ini memberi inspirasi kepada kita akan sikap beberapa tokoh yang ditampilkan. Pertama, sikap compassion Yesus. Yesus sungguh menunjukkan keprihatinan dan perhatiannya kepada perempuan Kanaan tersebut. Walaupun perempuan itu datang dari latar dan status yang berbeda jauh dengan Yesus, tidak menjadi halangan bagi Yesus untuk membagikan kasih-Nya kepada perempuan itu. Yesus telah menunjukkan belas kasih Allah dengan menyembuhkan anak perempuan Kanaan itu. Kedua, sikap iman dari perempuan Kanaan. Perempuan Kanaan itu tahu dengan pasti bahwa Yesus adalah orang Yahudi. Sebuah komunitas yang merasa diri paling unggul dibandingkan dengan dirinya yang datang dari komunitas non Yahudi. Tetapi batasan itu tidak serta merta membatasi sang perempuan Kanaan untuk menghampiri Yesus. Ia sungguh percaya akan kuasa Allah yang bernaung dalam diri Yesus. Karena imannya yang teguh kepada Yesus, akhirnya anaknya pun menjadi sembuh dari sakit. Ketiga, sikap ego dan apatis dari para rasul. Para rasul lebih mementingkan rasa ego sehingga mereka tidak peduli dengan perempuan Kanaan yang sementara berkesusahan. Para rasul bahkan berniat mengusir perempuan tersebut.

Sikap para rasul yang egoistis dan apatis mempresentasikan sikap sebagian orang-orang di masa kini. Hidup dalam konteks keberagaman ternyata tidak selalu berjalan mulus. Sikap orang-orang demikian cenderung ekslusif atau menutup diri dari komunitas di luar kelompok mereka. Orang-orang yang berkarakter ekslusif lebih mudah menerima orang-orang yang memiliki banyak persamaan dengan mereka. Entah persamaan suku, golongan, agama atau bahkan kepentingan politik. Di sisi lain, orang-orang seperti ini biasanya bersikap tertutup dengan orang-orang yang berbeda dengan mereka. Mereka sulit membangun relasi sosial dengan orang-orang yang memiliki perbedaan suku, agama, golongan dengan mereka. Orang-orang yang ekslusif biasanya merasa diri paling benar, paling hebat dan paling suci. Karakteristik inilah yang menciptakan pagar tembok dalam diri mereka. Pagar yang sulit ditembus oleh orang-orang yang ada di sekitar mereka. Dapat dipastikan bahwa mereka kurang atau tidak bisa memberi respek apalagi sekedar membantu orang yang sementara mengalami kesusahan di sekitar mereka. Kehadiran orang-orang ini ibarat kerikil-kerikil tajam yang acapkali bisa menyulut api konflik dalam situasi sosial yang sangat beragam.

Kita perlu belajar dari dua tokoh inspiratif yakni Perempuan Kanaan dan Yesus sendiri. Walaupun ada perbedaan status yang mencolok tetapi tidak menjadi batu sandungan bagi dua tokoh ini untuk saling memberi perhatian dan respek satu sama lain. Dari perempuan Kanaan, kita belajar untuk menerima perbedaan sebagai sebuah ungkapan syukur untuk saling memperkaya diri satu sama lain. Perbedaan yang kita miliki dengan orang lain bukannya menjadi unsur yang memisahkan tetapi justru semakin mempersatukan dan melengkapi hidup kita. Orang lain yang berbeda dengan kita, baik agama, suku, golongan, dan sebagainya; bukan sebagai musuh yang harus dijauhi. Tetapi sebagai sahabat dekat yang bisa menjadi sarana bagi kita mensyeringkan pengalaman hidup sosial iman kita. Di dalam perbedaan itu juga, semakin menegaskan identitas iman yang kita anut sebagai pribadi yang merdeka. Kita semakin kuat dengan iman kita akan Yesus dan semakin diteguhkan untuk mengekspresikan hidup iman kita. Dari Yesus, kita belajar untuk saling berbagi kasih dan perhatian dengan sesama manusia. Terutama dengan mereka yang berbeda dengan kita. Perhatian dan cinta lintas batas yang diberikan hendaknya semakin mengukuhkan diri kita sebagai murid Yesus yang militan. Bahwa kita tidak hanya hadir untuk membawa wajah Tuhan kepada saudara/i yang berbeda keyakinan dengan kita. Tetapi kepada semua orang tanpa memandang latar hidup dan status sosial, kita hadir untuk berbagi kasih dan saling meneguhkan satu di antara yang lain.

Dalam komunitas Rumah Sakit Bukit Lewoleba, kita datang dari berbagai daerah, suku, dan agama yang berbeda-beda. Perbedaan yang kita alami tentu tidak menciptakan jarak tetapi semakin mempererat tali persaudaraan dan kekeluargaan di antara kita. Dalam perbedaan itu juga, kita semakin ditantang untuk memperkuat hidup iman kita masing-masing. Bagi saudara/i yang beragama Katolik, pengalaman hidup dalam keberagaman semakin menguatkan iman kita akan Yesus dalam menjalani panggilan hidup di lembaga tercinta ini. Dengan iman yang teguh akan Yesus, berimplikasi lanjut pada karakter pribadi kita, untuk semakin bekerja dengan penuh kesetiaan, semangat pengorbanan dan pelayanan yang prima. Dan tentu kita tidak ragu-ragu untuk berbagi kasih dan cinta dengan sesama saudara yang berbeda dengan kita. Semoga. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***


Sabtu, 01 Agustus 2020

Herodes, Herodias Dan Yohanes

Mat 14:1-12 dan Sumber Yang Lain


Herodes yang diceritakan dalam Injil adalah Herodes Antipas, singkatan dari Anti-Patros (Yunani) yang berarti “di tempat Ayah”. Lahir pada tahun 22 sM dari ayah Herodes Agung raja Yudea dan ibu Malthake yang berasal dari Samaria.


Herodes Antipas merajai wilayah Galilea dan Perea sejak tahun 4 sM. Masa kekuasaannya berkahir ketika Caligula, penguasa Roma yang baru itu, mengusirnya ke Lugdunum Convenarum, diperkirakan Saint-Bertrand-de-Comminges sekarang. Ia diusir atas tuduhan keponakannya sendiri, Agripa I, bahwa ia berkonspirasi melawan kekuasaan Roma.


Antipas menikahi Phasaelis, putri Aretas IV Philopatis, namun kemudian diceraikannya untuk menikah secara tidak sah menurut hukum Yahudi dengan Herodias, istri saudara tirinya, Herodes Filipus I (anak Herodes Agung dan istri ketiga, Mariamne II, putri Simon Boethus, Iman Besar dari mazhab Saduki).


Perkawinan dengan keponakan agaknya tidak menjadi persoalan. Sama seperti Antipas, Filipus mengawini Herodias keponakannya sendiri. Akan tetapi menikahi istri orang adalah perbuatan tercela. Itu berzinah. Herodes Antipas telah berzinah dengan mengawini istri saudara tirinya.


Yohanes Pembaptis tampil dalam suara profetisnya mengecam tindakan yang dilakukan oleh Herodes. Dalam khotbahnya ia secara lantang berkata: "Tidak halal engkau mengambil Herodias!"


Bukannya insaf akan perbuatannya, malah menjadi amuk. Ya, ada kuasa. Menentang raja oleh karena salah diartikan dengan menentang kuasa, juga kuasa untuk membenarkan tindakannya. Tak pelak, Herodes, yang ingin menyelamatkannya, dijadikan korban. Yohanes ditangkap dan dipenjarakan.


Keinginan untuk membunuh Yahanes yang dipandang “duri dalam daging” tidak kuasa dijalankannya karena banyak orang memandangnya sebagai nabi. Ia takut terhadap orang banyak. Sebenarnya teguran itu juga menjadi alasan baginya untuk mengeksekusi Yohanes karena menurut catatan Flavius Yosefus, pengaruh publik Yohanes membuatnya takut akan pemberontakan. Yohanes harus disingkirkan agar bahaya itu tidak bakal terjadi.

 

Kekuatiran itu menjadi lebih kuat daripada kesedihan hati Herodes karena putrinya meminta kepala Yohanes di atas sebuah talam seperti yang dihasutkan Herodias. Maka atas alasan janji memberikan apa saja kepada putri raja yang telah menghibur hatinya dan para tamunya pada hari ulang tahunnya, Herodes merasa tepat memerintahkan untuk membunuh Yohanes dan membawa kepada putrinya kepada Yohanes.

 

Ketiga tokoh ini sesungguhnya mendramatisasi kehidupan manusia di dunia ini. Herodes melakonkan orang yang berkuasa yang dapat diterjemahkan dengan pemerintahan di mana kuasa itu ada dan dijalankan.

 

Kuasa itu, seperti yang ditunjukkan Herodes digunakan tidak hanya mengatur kehidupan bersama untuknya kuasa itu diberikan, akan tetapi juga cenderung digunakan untuk melegalkan perbuatan atau kebijakan apapun jika itu berkenan di hati.


Apapun persoalan moral yang ditimbulkannya tidak menjadi hal yang patut dipertimbangkan. Apa yang terjadi dengan orang lain itu bukan urusan, yang penting keinginan hati ini terpenuhi. Filipus tidak pernah dipertimbangkan Herodes, yang penting Herodias ada di tangannya. Inilah egoisme etis yang kuat dalam kekuasaan yang dicintai demi kekuasaan itu sendiri.


Herodias adalah pelakon penghasut yang menggunakan kesempatan yang ada agar keinginan jahat itu dapat diwujudkan. Dia mewakili orang-orang seputar kekuasaan dan berperan secara strategik menentukan kebijakan penguasa termasuk dalam kebijakan-kebijakan yang menyimpang secara etis dan merubuhkan bangunan hidup moralitas. Itulah para penjilat yang bekerja tidak lebih juga untuk mencari keuntungan diri.


Yohanes mewakili utusan Tuhan untuk meluruskan yang bengkok, meratakan yang lekak-lekuk (lih Luk 3:5). Selalu saja ada suara profetis yang muncul di tengah situasi keruntuhan moral dan pembangunan. Bisa saja suara itu diterima, akan tetapi tidak jarang suara-suara kenabian itu dianggap angin berlalu, bahkan ditanggapi secara represif dengan bermain kuasa. Banyak orang mati karena kebenaran. Namun jiwa mereka hidup dalam kebenaran yang tidak termakan oleh waktu.

 

Pentingnya untuk kita di sini adalah bahwa kita belajar untuk mencintai kebenaran. Cinta itu berwujud dalam suara kenabian yang disuarakan berhadapan dengan berbagai ketimpangan yang kita alami dalam hidup ini. Selalu ada risikonya, akan tetapi cinta kepada kebenaran tidak membuat kita lari darinya.


Di samping itu, kita juga belajar dari Herodes dan Herodias. Bahwa kuasa itu diberikan untuk membangun tatanan kehidupan yang baik dan menjadimin rasa keadilan dan damai di antara semua orang. Kuasa bukan alat kepentingan kita. Herodes menyadarkan kita untuk tidak menggunakan kuasa untuk kepentingan diri, jika kita tidak ingin “diusir” dari kehidupan yang Tuhan berikan kepada kita.


Sementara itu, perilaku Herodias menginsafkan kita untuk tidak menjadi penghasut dan menggunakan kesempatan kedekatan dengan penguasa untuk merancangkan kejahatan terhadap orang lain sekalipun memang kita merasa disakit. Sebaiknya kita menerima kenyataan bahwa kita tidaklah sempurna dan ditolong untuk memperbaiki diri melalui kritikan-kritikan yang diberikan untuk menjadi lebih sempurna. Semoga. ***Apol Wuwur***