Mat 12:1-8
Dalam
tradisi orang-orang Yahudi, hal sakral tidak saja merujuk kepada benda (misalya
Tabut Perjanjian), juga tidak sebatas pada tempat (Bait Allah atau kemah suci)
dan orang-orang khusus seperti orang-orang Lewi yang membongkar dan memasang
kemah suci, tetapi merujuk juga pada waktu sakral (Hari Sabat).
Sabat adalah waktu
sakral sebab dikuduskan oleh Allah (Kej 2:3; Kel 20:11). Itulah waktu untuk
Allah dan dikhususkan bagi Allah. Enam hari lamanya Tuhan bekerja menjadikan
langit dan bumi, dan pada hari ketujuh
Ia
berhenti bekerja untuk beristirahat (Kej 2:2-3; Kel 31:17). Demikian juga
bangsa Israel, sesuai yang difirmankan Tuhan, mereka bekerja selama enam hari dan
para hari ketujuh, hari yang disebut Sabat itu, mereka beristirahat (lih Kel
16: 26.29-30).
Sesuai namanya, seperti
yang diungkapkan dalam Ensiklopedi PB, Sabat (Ibr - syabât) berarti “berhenti,
menghentikan, tidak bekerja” dan itu tepatnya hari “ketujuh” (syibe’at). Ketika
bangsa Israel berhenti bekerja dan mereka beristirahat pada hari ketujuh,
mereka meniru Allah yang beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi. Secara
manusiawi, manusia butuh istirahat, akan tetapi bukan hanya sekadar istirahat,
melainkan juga dan yang terutama adalah megambil bagian dalam tindakan yang
dilakukan oleh Tuhan sendiri.
Oleh karena Hari
Sabat itu berkenaan dengan waktu Allah dan dikhususkan bagi Allah, maka
beristirahat secara deduktif diartikan sebagai berhenti dari segala kesibukan
manusiawi untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Waktu sakral itu adalah waktu
untuk berdoa dan membangun hubungan yang intim dengan Tuhan. Memelihara Sabat
berarti menunjukkan kesetiaan terhadap Allah sendiri.
Atas dasar ini
maka bangsa Israel sangat menjaga dan memelihara hari Sabat. Dan itu terbukti
dengan penjabaran hukum tentang hari itu dalam berbagai peraturan dan
detail-detailnya yang tidak terhitung jumlahnya. Di sana sini muncul berbagai
larangan seperti larangan memersiapkan makanan, menyalahkan api, mengumpulkan
potongan-potongan kayu, menuai, membantu hewan dan manusia dalam bahaya dan
berbagai larangan lainnya yang harus dilaksanakan secara ketat.
Pada
masa Yesus hidup dan berkarya, orang-orang Farisi, seperti yang dikisahkan
Injil Matius 12:1-8, adalah golongan yang ketat menjaga hukum hari Sabat. Berbagai
larangan yang disebutkan di atas wajib hukumnya untuk dipatuhi. Melanggarnya
sama dengan berlaku tidak hormat dan tidak setia kepada Allah. Itulah sikap durhaka
kepada Allah. Hal yang patut untuk dilakukan adalah tinggal di tempat
masing-masing, selain memuji dan memuliakan Allah dalam doa dan ibadah.
Sangatlah
wajar orang-orang Farisi menjadi marah ketika mereka melihat murid-murid Yesus
memetik gandum pada hari Sabat. Mereka tidak peduli dengan alasan kelaparan
yang mendasari tindakan para murid yang memetik gandum pada hari Sabat. Yang
mereka pikirkan adalah bahwa tindakan memetik gandum pada hari Sabat itu sudah
melanggar hukum waktu sakral.
Maka
datanglah mereka kepada Yesus dan memrotes tindakan para murid: "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat
sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."
Yesus
menanggapi ocehan orang-orang Farisi dengan mengangkat kisah tentang Daud dan
pengikutnya yang makan roti sajian yang tidak boleh dimakan baik oleh dia
maupun pengikutnya, selain imam-imam. Mereka tidak bersalah karena alasan
keselamatan yang juga menjadi kehendak Tuhan sendiri. Sama halnya misalnya, para
imam yang melanggar hukum Sabat di Bait Allah, namun mereka tidak bersalah.
Tanggapan-Nya
itu tidak sama sekali melawan kesakralan hari Sabat. Dia yang adalah Tuhan atas
hari Sabat dan yang menyucikan hari Sabat tidak mungkin berbuat melawan
diri-Nya sendiri. Namun dengan jawaban-Nya, Yesus ingin menunjukkan bahwa
terhadap hal yang lebih tinggi nilainya hal yang lebih rendah harus patuh dan
tunduk padanya. Belas kasihan itu lebih tinggi maka ketika diutamakan dengan
konsekuensi melanggar kesakralan waktu Sabat maka tentu orang tidak bersalah
dan dijatuhi hukuman.
Sebagai
Israel baru yang telah ditebus oleh Kristus, kita memandang bahwa waktu sakral
adalah bagian dari hidup kita di mana kita mengambil bagian dalam tindakan
Allah sendiri. Kita istirahat dari rutinias dan masuk dalam persekutuan dan
relasi dengan Tuhan. Kita maknai waktu sakral itu dengan doa, ibadah, misa dan
berbagai aktivitas religius lain yang kita lakukan dengan penuh kesadaran dan
penghayatan.
Kita
tidak saja menunjukkan kesetiaan kita, hormat dan sembah kita kepada Tuhan saat
kita masuk ke dalam waktu sakral kita. Sebagai imbalannya, kita menerima segala
anugerah untuk menjalankan kehidupan kita sesuai kehendak-Nya. Salah satunya
adalah anugerah untuk memindai nilai yang memungkinkan kita melanggar aturan
demi hal yang lebih tinggi nilainya tanpa menjadi salah.
Marilah
kita menunjukkan kesetiaan kita kepada Tuhan atas hari Sabat dengan membiarkan
Dia merajai hidup kita. Kita pasti melakukan yang benar seperti yang
dikehendaki-Nya dan dijauhi dari sikap orang Farisi yang menghargai aturan demi
aturan itu sendiri. *** Apol Wuwur***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar