Jumat, 17 Juli 2020

Waktu Sakral


Mat 12:1-8
Dalam tradisi orang-orang Yahudi, hal sakral tidak saja merujuk kepada benda (misalya Tabut Perjanjian), juga tidak sebatas pada tempat (Bait Allah atau kemah suci) dan orang-orang khusus seperti orang-orang Lewi yang membongkar dan memasang kemah suci, tetapi merujuk juga pada waktu sakral (Hari Sabat).

Sabat adalah waktu sakral sebab dikuduskan oleh Allah (Kej 2:3; Kel 20:11). Itulah waktu untuk Allah dan dikhususkan bagi Allah. Enam hari lamanya Tuhan bekerja menjadikan langit dan bumi, dan pada hari ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat (Kej 2:2-3; Kel 31:17). Demikian juga bangsa Israel, sesuai yang difirmankan Tuhan, mereka bekerja selama enam hari dan para hari ketujuh, hari yang disebut Sabat itu, mereka beristirahat (lih Kel 16: 26.29-30).

Sesuai namanya, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedi PB, Sabat (Ibr - syabât) berarti “berhenti, menghentikan, tidak bekerja” dan itu tepatnya hari “ketujuh” (syibe’at). Ketika bangsa Israel berhenti bekerja dan mereka beristirahat pada hari ketujuh, mereka meniru Allah yang beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi. Secara manusiawi, manusia butuh istirahat, akan tetapi bukan hanya sekadar istirahat, melainkan juga dan yang terutama adalah megambil bagian dalam tindakan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.

Oleh karena Hari Sabat itu berkenaan dengan waktu Allah dan dikhususkan bagi Allah, maka beristirahat secara deduktif diartikan sebagai berhenti dari segala kesibukan manusiawi untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Waktu sakral itu adalah waktu untuk berdoa dan membangun hubungan yang intim dengan Tuhan. Memelihara Sabat berarti menunjukkan kesetiaan terhadap Allah sendiri.

Atas dasar ini maka bangsa Israel sangat menjaga dan memelihara hari Sabat. Dan itu terbukti dengan penjabaran hukum tentang hari itu dalam berbagai peraturan dan detail-detailnya yang tidak terhitung jumlahnya. Di sana sini muncul berbagai larangan seperti larangan memersiapkan makanan, menyalahkan api, mengumpulkan potongan-potongan kayu, menuai, membantu hewan dan manusia dalam bahaya dan berbagai larangan lainnya yang harus dilaksanakan secara ketat.

Pada masa Yesus hidup dan berkarya, orang-orang Farisi, seperti yang dikisahkan Injil Matius 12:1-8, adalah golongan yang ketat menjaga hukum hari Sabat. Berbagai larangan yang disebutkan di atas wajib hukumnya untuk dipatuhi. Melanggarnya sama dengan berlaku tidak hormat dan tidak setia kepada Allah. Itulah sikap durhaka kepada Allah. Hal yang patut untuk dilakukan adalah tinggal di tempat masing-masing, selain memuji dan memuliakan Allah dalam doa dan ibadah.

Sangatlah wajar orang-orang Farisi menjadi marah ketika mereka melihat murid-murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat. Mereka tidak peduli dengan alasan kelaparan yang mendasari tindakan para murid yang memetik gandum pada hari Sabat. Yang mereka pikirkan adalah bahwa tindakan memetik gandum pada hari Sabat itu sudah melanggar hukum waktu sakral.

Maka datanglah mereka kepada Yesus dan memrotes tindakan para murid:  "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."

Yesus menanggapi ocehan orang-orang Farisi dengan mengangkat kisah tentang Daud dan pengikutnya yang makan roti sajian yang tidak boleh dimakan baik oleh dia maupun pengikutnya, selain imam-imam. Mereka tidak bersalah karena alasan keselamatan yang juga menjadi kehendak Tuhan sendiri. Sama halnya misalnya, para imam yang melanggar hukum Sabat di Bait Allah, namun mereka tidak bersalah.

Tanggapan-Nya itu tidak sama sekali melawan kesakralan hari Sabat. Dia yang adalah Tuhan atas hari Sabat dan yang menyucikan hari Sabat tidak mungkin berbuat melawan diri-Nya sendiri. Namun dengan jawaban-Nya, Yesus ingin menunjukkan bahwa terhadap hal yang lebih tinggi nilainya hal yang lebih rendah harus patuh dan tunduk padanya. Belas kasihan itu lebih tinggi maka ketika diutamakan dengan konsekuensi melanggar kesakralan waktu Sabat maka tentu orang tidak bersalah dan dijatuhi hukuman.

Sebagai Israel baru yang telah ditebus oleh Kristus, kita memandang bahwa waktu sakral adalah bagian dari hidup kita di mana kita mengambil bagian dalam tindakan Allah sendiri. Kita istirahat dari rutinias dan masuk dalam persekutuan dan relasi dengan Tuhan. Kita maknai waktu sakral itu dengan doa, ibadah, misa dan berbagai aktivitas religius lain yang kita lakukan dengan penuh kesadaran dan penghayatan.

Kita tidak saja menunjukkan kesetiaan kita, hormat dan sembah kita kepada Tuhan saat kita masuk ke dalam waktu sakral kita. Sebagai imbalannya, kita menerima segala anugerah untuk menjalankan kehidupan kita sesuai kehendak-Nya. Salah satunya adalah anugerah untuk memindai nilai yang memungkinkan kita melanggar aturan demi hal yang lebih tinggi nilainya tanpa menjadi salah.

Marilah kita menunjukkan kesetiaan kita kepada Tuhan atas hari Sabat dengan membiarkan Dia merajai hidup kita. Kita pasti melakukan yang benar seperti yang dikehendaki-Nya dan dijauhi dari sikap orang Farisi yang menghargai aturan demi aturan itu sendiri. *** Apol Wuwur***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar