Selasa, 28 Juli 2020

Terang dan Kegelapan


Mat 13:36-43

Hidup manusia dipengaruhi oleh dua kekuatan yang saling berlawanan. Ada kekuatan terang dan ada kekuatan kegelapan; ada kekuatan kebaikan dan ada juga kekuatan kejahatan.

Dua kekuatan itu bukanlah hal yang asing. Keduanya terus dialami manusia dalam hidup ini. Bahkan keduanya adalah unsur-unsur yang ada dan menyatu dengan manusia, seperti gandum dan lalang yang bertumbuh bersamaan dan tidak dapat dibedakan, kecuali hasilnya.

Setiap saat kekuatan terang dan kebaikan akan terus-menerus berperang melawan kekuatan kegelapan dan kejahatan. Dan itu terjadi dalam diri manusia, di dalam hati manusia, tempat di mana ditaburkan benih kebaikan oleh Tuhan dan benih kejahatan yang ditaburkan oleh Iblis.

Pilihan manusia menentukan mana kekuatan yang lebih kuat dan berpengaruh dalam kehidupannya. Memilih terang berarti menang atas kegelapan, yang berarti berkiblat kepada Tuhan. Memilih kegelapan berarti kalah atas terang, yang berarti berkiblat kepada Iblis.

Pilihan itu bisa bersifat konstan. Tetapi juga bisa berubah sejauh kekuatan-kekuatan itu berpengaruh dalam suatu peperangan merebut hati manusia. Orang bisa saja memilih terang daripada kegelapan, akan tetapi dalam keadaan tertentu orang yang lazim memilih terang ternyata juga bisa memilih kegelapan. Dan inilah yang sering mengejutkan banyak orang. “Orang dikenal baik”, akan tetapi ternyata bisa melakukan yang tidak baik.

Berbeda halnya orang yang terbiasa memilih kegelapan dan melakukan perbuatan jahat. Dalam keadaan tertentu orang jahat itu dapat melakukan perbuatan baik. Akan tetapi karena dikenal sebagai penjahat maka perbuatan baik itu tidak selalu disambut dengan gembira. Tetapi Tuhan dalam cara-Nya yang unik dapat membuat orang jahat bertobat dan berkiblat pada kebenaran-Nya dan hidup dalam terang.

Ini mengingatkan kita bahwa selalu ada kemungkinan setiap kita melakukan, baik yang baik maupun yang jahat. Peluang selalu terbuka untuk itu.

Meskipun demikian, sesuai kehendak Tuhan sendiri, setiap kita dipanggil kepada terang dan kebaikan. Panggilan ini tentu mengandung tantangan dan kesulitan tersendiri. Sebab kejahatan itu ada di dalam kehidupan kita seperti lalang di antara gandum. Kejahatan itu dibiarkan Tuhan hadir dalam hidup kita. Bukan bertujuan untuk menjerumuskan dan membinasakan, melainkan agar kita belajar untuk mengarahkan diri kita sepenuhnya pada Dia.

Iblis dapat menggunakan kebebasan kita menentukan pilihan sebagai kesempatan untuk memengaruhi hati kita dan membelokkan kiblat kita kepadanya. Akan tetapi pilihan kepada Tuhan dan kebenaran-Nya membuat kita tetap teguh berdiri dan menjauhi kejahatan. Bahkan dalam situasi kegelapan yang kita alami pun akan terbit terang bagi kita (bdk. Mzr 112:4). Tuhan membuat terang-Nya bercahaya dalam hati kita (bdk. 2 Kor 4:6) untuk mengenal dan mencintai kebenaran-Nya.

Pilihan yang menuntut perjuangan yang tidak mudah ini tentu tidaklah sia-sia. Dia yang telah memanggil kita kepada terang pada akhirnya membuat kita bercahaya seperti matahari (Mat 13:43). Genaplah yang dikatakan Amsal: “Terang orang benar bercahaya gemilang” (Am 13;9).

Hanya apabila kita salah membidik kebenaran maka Iblis akan menggunakan kesempatan itu dengan tipu muslihatnya untuk menjerumuskan kita. Ia membuat kita salah dalam mencintai. Hati kita diarahkan kepada hal-hal kegelapan. Dalam kegelapan, kita berpikir bahwa yang kita lakukan adalah benar dan kita tinggal dalam kegelapan seperti yang diinginkannya. Maka nasib kita akan sama seperti gandum yang dibuang ke dalam dapur api.

Sabda Tuhan tentang gandum dan lalang menyadarkan kita agar kita mengenal panggilan kita kepada kebenaran dan hidup dalam kebenaran yang Tuhan taburkan dalam hati kita. Iblis dapat memengaruhi kita untuk menuruti keinginannya dan membuat kita terjatuh, akan tetapi sebagai orang yang telah dibenarkan oleh Tuhan, hendaknya kita bangun kembali dari kejatuhan kita. Pengalaman kejatuhan menjadi kesempatan untuk membangun komitmen iman yang lebih kokoh pada kebenaran-Nya.

Kita diajak Tuhan untuk memberikan hati kita kepada Dia agar Ia menjadikan hati kita sebagai ladang untuk menanamkan kebenaran-Nya yang menuntun kita untuk hidup sesuai kehendak-Nya. Hati yang diterangi kebenaran-Nya tidak akan salah dalam mencintai kebenaran dan itulah yang menentukan keselamatan kita. ***Apol Wuwur***

Kamis, 23 Juli 2020

YESUS PEWARTA YANG HANDAL


Mat 13:18-23
Menjadi pengikut Yesus yang sungguh-sungguh beriman pada masa kini memiliki konsekuensi tersendiri. Ada sekian banyak tantangan yang harus kita hadapi. Tantangan-tantangan tersebut tidak hanya datang dari luar kelompok kita tetapi justru hebatnya tantangan itu muncul dari kelompok kita sendiri. Ada banyak sindiran, celaan, hinaan bahkan makian yang  harus kita terima manakala orang melihat kita cukup serius menaati segala ritus agama. Jamak terjadi bahwa tidak kurang orang-orang dalam kelompok kita sendiri sangat alergi ketika diajak berbicara atau berdiskusi mengenal hal-hal yang berbau agama. Kita bisa dicap sokh suci, sokh hebat, dan sebagainya. Dalam suatu kesempatan saya pernah mengajak seorang kenalan untuk boleh berbagi waktu mengikuti syering Kitab Suci bersama-sama dengan saya. Kebetulan ia berprofesi sebagai tukang ojek sehingga waktunya sangat terbatas. Awalnya beliau sangat antusias. Ia juga bersedia mengajak beberapa kawannya untuk bisa bergabung. Namun hingga kini ide brilian itu hanya sampai sebatas rencana. Saya memahami beliau dari sisi kesibukannya sebagai seorang kepala keluarga yang harus bertanggung jawab sepenuhnya mengurus kehidupan keluarga. Tidak hanya dari sisi ekonomi tetapi  banyak dimensi kehidupan yang lain. Hal-hal yang mungkin menjadi tantangan sehingga membatasi kami untuk tidak bisa mewujudkan rencana mulia tersebut.

Hari ini (Jumat/24/7/2020) Yesus menggambarkan kepada para murid-Nya (Mat 13:18-23) pelbagai tantangan yang harus mereka hadapi sebagai seorang pewarta. Yesus menganalogikan aneka tantangan itu ibarat benih yang jatuh di lokasi yang berbeda-beda. Pertama, benih yang jatuh di pinggir jalan. “Pinggir jalan” merepresentasikan tipikal orang-orang yang menerima warta Allah tetapi tidak memahami dengan baik apa yang telah mereka pelajari. Ketika datang sedikit saja tantangan, benih itu tidak bertahan lama. Ia pasti akan langsung mati. Kedua, benih yang jatuh di tanah yang berbatu-batu. Karakteristik orang-orang pada kelompok yang kedua ini tidak jauh berbeda dengan orang-orang pada kelompok pertama. Pada awalnya mereka begitu gembira menyambut warta Allah. Namun, karena tidak berakar maka benih itu mudah goyah. Pada saat muncul tantangan berupa penindasan dan penganiayaan, orang-orang ini tidak bertahan. Mereka dengan mudah akan melepaskan benih yang telah tertanam dalam diri mereka. Ketiga, benih yang jatuh di tengah semak berduri. Orang-orang yang berada dalam zona ini kelihatan cukup militan. Mereka menerima dan merawat dengan baik warta Allah yang mereka dengar. Mereka sungguh percaya dan menghidupi sabda itu dalam hidup mereka. Tetapi yang menjadi persoalan adalah mereka mudah sekali tergoda untuk hidup dalam perilaku duniawi yang menawarkan kekayaan, perilaku hedonis dan konsumtif. Tantangan-tantangan ini yang merusak tembok kepercayaan dan keyakinan mereka akan sabda Allah.

Dari perumpamaan yang dikemukakan oleh Yesus mengenai sulitnya benih untuk berkembang dalam tiga zona di atas, kita dapat menemukan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh umat beriman dalam melaksanakan perutusannya sebagai seorang murid Yesus. Pertama, berkembangnya sikap rasionalisme di antara umat beragama. Banyak umat beragama yang telah luntur sikap imannya kepada Tuhan. Entah karena sikap malas atau juga bosan dengan rutinitas kehidupan rohani yang telah sekian lama dijalani. Kemudian diperparah lagi dengan peliknya menghadapi kehidupan duniawi dalam segala aspek semakin membuat banyak orang mulai mempertanyakan dan meragukan intervensi Tuhan dalam hidup mereka. Keberadaan Tuhan mulai diragukan eksistensi-Nya, karena sikap rasionalisme. Kedua, tantangan penindasan dan penganiayaan. Banyak pengikut Yesus yang terpaksa harus “serong ke lain hati” atau berpindah keyakinan karena tidak tahan dengan segala bentuk penindasan. Atau lebih ekstrim mereka dianiaya secara fisik dan harus mempertaruhkan nyawa. Hal ini yang menyebabkan banyak pengikut mengambil sikap aman dengan melepaskan iman mereka akan Yesus. Ketiga, tantangan klasik yang selalu dihadapi oleh umat beriman secara turun temurun adalah mudah terlempar ke dalam perilaku hedonis, komsumtif dan materialistis. Perilaku-perilaku destruktif inilah yang menyebabkan seseorang untuk tidak sulit melepaskan keterikatan hidupnya kepada ajaran ilahi. Orang-orang tidak lagi menemukan kebenaran di dalam Yesus tetapi sudah mendapatkan kebenarannya sendiri di dalam perilaku-perilaku sesat demikian. Istilah yang lebih keren, orang sudah menghidupi agama baru dalam hidup mereka sehingga tidak peduli lagi dengan ajaran Yesus.
Sebagai umat beriman, kita boleh berbangga karena dari sekian banyak benih yang jatuh di tanah yang tidak berkualitas, ternyata ada juga benih yang jatuh di tanah yang subur. Menurut Yesus, benih yang baik apabila jatuh di tanah yang baik maka pasti akan mendapatkan panenan yang berlimpah. Masih banyak orang baik di muka bumi ini yang dengan penuh keterbukaan menerima curahan sabda Allah dan menjaganya pula dengan penuh kesetiaan. Kesetiaan dan militansi dalam menghidupi warta Allah inilah yang membuat orang beriman tidak mudah terjebak untuk jatuh dalam tantangan-tantangan. Patut kita apresiasi bahwa tidak sedikit pengikut Yesus era ini yang menunjukkan sikap setia dan militan dalam menjaga sikap imannya kepada Tuhan. Mereka mampu bertahan dalam menghadapi sekian kesulitan yang tentu saja tidak ringan. Mereka bahkan siap mengorbankan nyawanya demi mempertahankan imannya akan Yesus. Spiritualitas hidup seperti inilah yang mampu menciptakan efek positif bagi umat beragama yang lain. Mereka tidak peduli dihina, dicerca, diejek dan ditindas. Bagi para orang beriman, menjadi pengikut Yesus adalah sebuah harga mati yangt tidak bisa ditawar. Keteladanan hidup inilah yang mendorong umat beragama yang lain untuk tetap menunjukkan sikap iman yang teguh kepada Yesus, berani dan tidak mudah tergoda untuk “jatuh cinta kepada orang ketiga”. Gambaran ini mau menunjukkan bahwa tidak selamanya benih itu jatuh ke dalam wilayah yang buruk. Ternyata banyak juga benih yang jatuh di tempat yang strategis yakni tanah yang baik.

Sebagai seorang pewarta Kristus yang handal di era ini, kita semua diharapkan untuk tetap menjaga integritas pribadi agar tidak mudah jatuh ke dalam pencobaan. Ada banyak sekali tantangan yang siap menerkam ibarat serigala yang sedang lapar. Tetapi Tuhan selalu meneguhkan agar kita tetap teguh berjalan di jalan yang telah ditetapkan-Nya. Tidak hanya lewat kata-kata, tetapi lewat tindakan konkrit dalam melayani sesama, sesungguhnya kita telah mengabdikan diri kita menjadi seorang pewarta sabda yang handal. Amin. ***Atanasius KD Labaona***



Senin, 20 Juli 2020

Persaudaraan Dalam Komitmen Iman


Mat 12:46-50

Sabda Yesus hari ini membawa kita kepada suatu pemahaman yang lebih dalam tentang apa artinya saudara. Saudara tidak hanya diartikan sebagai pihak dengan mana kita memiliki hubungan darah, melainkan juga atas suatu relasi yang terbentuk oleh karena gerakan iman yang sama untuk melakukan apa yang menjadi kehendak Allah. Komitmen iman untuk melakukan kehendak Allah adalah dasar dari persaudaraan kristiani.

Kata-kata Yesus, “Siapa ibu-Ku? Dan siapa saudara-saudara-Ku?”, bukanlah suatu penyangkalan atau penolakan persaudaraan berdasarkan hubungan darah.
Bagaimana pun Ia adalah Sabda Kekal yang telah berinkarnasi ke dalam daging. Ia menjadi manusia dan lahir dari rahim seorang manusia, Maria, ibu-Nya. Menjadi manusia tidak saja berarti mengenakan kemanusiaan tetapi juga menghormati dan menghargai hal-hal manusiawi, termasuk hubungan persaudaraan berdasarkan darah.

Meskipun demikian, sebagai penyempurna, Yesus tidak membatasi diri pada persaudaraan atas hubungan biologis semata, melainkan lebih jauh membawa orang kepada suatu tingkat hubungan yang lebih tinggi dan menentukan, yaitu hubungan persaudaraan yang dibangun atas dasar komitmen iman untuk mendengarkan dan melaksanakan sabda Allah.

Yesus tidak saja berbicara, tetapi Ia menunjukkan bukti siapakah sesungguhnya orang yang dimaksudkan-Nya. Dikatakan dalam Injil: “sambil menunjuk ke arah murid-murid-Nya: "Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku!” (Mat 12:49) sebab mereka inilah yang melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga.

Maria ditunjuk Yesus sebagai ibu-Nya bukan saja karena Maria telah mengandung dan melahirkan-Nya secara biologis, tetapi lebih utama karena komitmen iman yang telah ditunjukkan ibu-Nya sejak semula. Maria telah menerima kehendak Allah melalui malaikat Gibrail dan menyatakan fiatnya untuk melaksanakan kehendak Allah itu dalam hidupnya. Demikian juga para murid. Mereka disebut saudara-Nya karena mereka mendengarkan dan melakukan sabda-Nya.

Demikian halnya orang-orang yang mendengarkan dan melakukan sabda-Nya, disebut Yesus sebagai saudara dan ibu-Nya. “Sebab siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Ku di sorga, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku” (Mat 12:50).  

Ketika Yesus menunjuk ibu-Nya dan para murid sebagai ibu dan saudara-Nya, Ia menunjukkan suatu komunitas beriman yang memiliki komitmen iman yang satu dan sama untuk melaksanakan kehendak Allah. Mereka hidup dalam satu visi tunggal itu. Mereka saling mengasihi dan menopang dan berjalan menuju kesempurnaan seperti yang dikehendaki-Nya.

Sebagaimana Yesus kehendaki bagi para pendengar-Nya untuk membangun persaudaraan sejati dalam iman kepada Dia, suatu persaudaraan yang terbuka kepada Sabda Allah dan hidup menurut sabda itu, demikianlah kita semua yang telah menerima Dia oleh karena iman dan baptisan. Kita memiliki panggilan untuk mengusahakan terus-menerus di dalam hidup kita suatu persaudaraan atas dasar komitmen yang satu dan sama, yaitu komitmen iman untuk mendengarkan dan melaksanakan Sabda Allah.

Komitmen itu bukan suatu khayalan jika kita benar-benar menghayatinya dalam sikap dan perbuatan yang nyata; ada hal-hal praktis yang kita buat dan hal itu dapat dirasakan dan dialami oleh orang-orang di sekitar kehidupan kita.

Tidaklah cukup kita berhenti pada pengakuan seakan-akan dengan itu kita sudah menjadi sempurna. Pengakuan iman adalah dasar bagi kita dalam membangun komitmen untuk menghadirkan kasih dan kebaikan Allah secara nyata dalam hidup kita. Di mana saja dan kapan saja kita bisa hadir untuk membawa kasih dan pengampunan, perdamaian dan keharmonisan, penerimaan dan pengakuan, peneguhan dan motivasi dan masih banyak lagi kebajikan kristiani yang dirindukan banyak orang di tengah situasi dunia ini.

Kita menyadari bahwa kita bukanlah manusia sempurna yang sebegitu gampangnya melaksanakan apa yang Tuhan kehendaki. Ada berbagai tantangan dan kesulitan riil yang kita hadapi. Namun di tengah situasi ini, Tuhan tetap memanggil kita untuk membangun terus-menerus dan mempertajam visi kita sebagai murid-Nya, yakni melakukan firman-Nya. Tuhan meminta kita agar di tengah situasi sulit  dan menantang itu, kita berjuang menjadi semakin fokus dan terbuka persketif untuk membangun komitmen yang lebih dalam, kuat dan kokoh.

Untuk maksud itu, kita bisa belajar dari ibu-Nya, juga pada para murid-Nya yang terbuka terhadap kehendak Allah dan melaksanakannya dalam hidup mereka. Bersama mereka kita bisa berjalan menuju kesempurnaan identitas kita sebagai pendengar dan pelaku firman-Nya yang layak disapa Tuhan sebagai ibu-Nya, saudara-Nya laki-laki dan saudara-Nya perempuan.

Marilah kita membangun persaudaraan sejati atas dasar komitmen iman kita kepada Dia dengan setia mendengarkan dan melakukan Sabda Allah. ***Apol Wuwur***

Jumat, 17 Juli 2020

Waktu Sakral


Mat 12:1-8
Dalam tradisi orang-orang Yahudi, hal sakral tidak saja merujuk kepada benda (misalya Tabut Perjanjian), juga tidak sebatas pada tempat (Bait Allah atau kemah suci) dan orang-orang khusus seperti orang-orang Lewi yang membongkar dan memasang kemah suci, tetapi merujuk juga pada waktu sakral (Hari Sabat).

Sabat adalah waktu sakral sebab dikuduskan oleh Allah (Kej 2:3; Kel 20:11). Itulah waktu untuk Allah dan dikhususkan bagi Allah. Enam hari lamanya Tuhan bekerja menjadikan langit dan bumi, dan pada hari ketujuh Ia berhenti bekerja untuk beristirahat (Kej 2:2-3; Kel 31:17). Demikian juga bangsa Israel, sesuai yang difirmankan Tuhan, mereka bekerja selama enam hari dan para hari ketujuh, hari yang disebut Sabat itu, mereka beristirahat (lih Kel 16: 26.29-30).

Sesuai namanya, seperti yang diungkapkan dalam Ensiklopedi PB, Sabat (Ibr - syabât) berarti “berhenti, menghentikan, tidak bekerja” dan itu tepatnya hari “ketujuh” (syibe’at). Ketika bangsa Israel berhenti bekerja dan mereka beristirahat pada hari ketujuh, mereka meniru Allah yang beristirahat setelah menciptakan langit dan bumi. Secara manusiawi, manusia butuh istirahat, akan tetapi bukan hanya sekadar istirahat, melainkan juga dan yang terutama adalah megambil bagian dalam tindakan yang dilakukan oleh Tuhan sendiri.

Oleh karena Hari Sabat itu berkenaan dengan waktu Allah dan dikhususkan bagi Allah, maka beristirahat secara deduktif diartikan sebagai berhenti dari segala kesibukan manusiawi untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Waktu sakral itu adalah waktu untuk berdoa dan membangun hubungan yang intim dengan Tuhan. Memelihara Sabat berarti menunjukkan kesetiaan terhadap Allah sendiri.

Atas dasar ini maka bangsa Israel sangat menjaga dan memelihara hari Sabat. Dan itu terbukti dengan penjabaran hukum tentang hari itu dalam berbagai peraturan dan detail-detailnya yang tidak terhitung jumlahnya. Di sana sini muncul berbagai larangan seperti larangan memersiapkan makanan, menyalahkan api, mengumpulkan potongan-potongan kayu, menuai, membantu hewan dan manusia dalam bahaya dan berbagai larangan lainnya yang harus dilaksanakan secara ketat.

Pada masa Yesus hidup dan berkarya, orang-orang Farisi, seperti yang dikisahkan Injil Matius 12:1-8, adalah golongan yang ketat menjaga hukum hari Sabat. Berbagai larangan yang disebutkan di atas wajib hukumnya untuk dipatuhi. Melanggarnya sama dengan berlaku tidak hormat dan tidak setia kepada Allah. Itulah sikap durhaka kepada Allah. Hal yang patut untuk dilakukan adalah tinggal di tempat masing-masing, selain memuji dan memuliakan Allah dalam doa dan ibadah.

Sangatlah wajar orang-orang Farisi menjadi marah ketika mereka melihat murid-murid Yesus memetik gandum pada hari Sabat. Mereka tidak peduli dengan alasan kelaparan yang mendasari tindakan para murid yang memetik gandum pada hari Sabat. Yang mereka pikirkan adalah bahwa tindakan memetik gandum pada hari Sabat itu sudah melanggar hukum waktu sakral.

Maka datanglah mereka kepada Yesus dan memrotes tindakan para murid:  "Lihatlah, murid-murid-Mu berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat."

Yesus menanggapi ocehan orang-orang Farisi dengan mengangkat kisah tentang Daud dan pengikutnya yang makan roti sajian yang tidak boleh dimakan baik oleh dia maupun pengikutnya, selain imam-imam. Mereka tidak bersalah karena alasan keselamatan yang juga menjadi kehendak Tuhan sendiri. Sama halnya misalnya, para imam yang melanggar hukum Sabat di Bait Allah, namun mereka tidak bersalah.

Tanggapan-Nya itu tidak sama sekali melawan kesakralan hari Sabat. Dia yang adalah Tuhan atas hari Sabat dan yang menyucikan hari Sabat tidak mungkin berbuat melawan diri-Nya sendiri. Namun dengan jawaban-Nya, Yesus ingin menunjukkan bahwa terhadap hal yang lebih tinggi nilainya hal yang lebih rendah harus patuh dan tunduk padanya. Belas kasihan itu lebih tinggi maka ketika diutamakan dengan konsekuensi melanggar kesakralan waktu Sabat maka tentu orang tidak bersalah dan dijatuhi hukuman.

Sebagai Israel baru yang telah ditebus oleh Kristus, kita memandang bahwa waktu sakral adalah bagian dari hidup kita di mana kita mengambil bagian dalam tindakan Allah sendiri. Kita istirahat dari rutinias dan masuk dalam persekutuan dan relasi dengan Tuhan. Kita maknai waktu sakral itu dengan doa, ibadah, misa dan berbagai aktivitas religius lain yang kita lakukan dengan penuh kesadaran dan penghayatan.

Kita tidak saja menunjukkan kesetiaan kita, hormat dan sembah kita kepada Tuhan saat kita masuk ke dalam waktu sakral kita. Sebagai imbalannya, kita menerima segala anugerah untuk menjalankan kehidupan kita sesuai kehendak-Nya. Salah satunya adalah anugerah untuk memindai nilai yang memungkinkan kita melanggar aturan demi hal yang lebih tinggi nilainya tanpa menjadi salah.

Marilah kita menunjukkan kesetiaan kita kepada Tuhan atas hari Sabat dengan membiarkan Dia merajai hidup kita. Kita pasti melakukan yang benar seperti yang dikehendaki-Nya dan dijauhi dari sikap orang Farisi yang menghargai aturan demi aturan itu sendiri. *** Apol Wuwur***

Rabu, 15 Juli 2020

MENJADI ORANG KECIL


Mat 11: 25-27
Sekitar tahun 415, St. Augustinus berjalan di sepanjang pantai. Dia sedang frustrasi dan mengambil waktu untuk berhenti dari mengerjakan apa yang kemudian dikenal sebagai salah satu kontribusi doktrinal terrbesarnya dalam Gereja, De Trinitate, atau On the Trinity. Pokok bahasan telah membuatnya lelah hingga kurang istirahat dan ia merasa butuh udara segar. Pada saat itulah, ketika gelombang berbusa menghempas pantai, seorang bocah laki-laki menarik perhatian St. Augustinus. Anak berwajah bintik-bintik dengan alis yang berkerut itu sedang merencanakan sesuatu, berlari bolak-balik, antara laut dan lubang kecil di tanah. “Putraku,” St Agustinus menyapa anak itu,”Apa yang kamu lakukan di sana”. Bocah itu mengangkat cangkang merah muda yang digunakannya untuk memindahkan air. “Aku mencoba memasukkan lautan besar yang indah itu ke dalam lubang kecil ini”, teriaknya, menunjuk ke pasir dengan tegas. Santo Agustinus tersenyum, terpesona oleh kepolosan anak itu. Dia kemudian mengikuti bocah itu untuk berlutut di samping lubang kecil itu, mengawasinya mengeluarkan beberapa tetes kecil. “Anakku”, uskup Hippo itu berusaha menjelaskan anak itu dengan lembut, sambil membalikkan bahu kurus bocah itu ke laut. Dia kemudian merentangkan tangannya sendiri lebar-lebar. “Kamu tidak akan pernah bisa memuat samudra yang luar biasa besar ini ke dalam lubang kecil itu!” Anak itu tidak tersentak, tetapi menjawab dengan cepat,”Dan sama seperti Anda, Anda tidak akan mungkin bisa memahami Tritunggal Mahakudus yang tak terbatas ke dalam keterbatasan otak manusia.” Kemudian dalam sekejap, bocah itu menghilang. Selama berabad-abad banyak pemikir besar berspekulasi tentang legenda ini. Apakah anak itu malaikat atau sebenarnya Dia adalah Kristus sendiri. Terlepas dari identitas bocah itu, satu pesan yang kita tangkap dari cerita ini adalah kita tidak pernah dapat memahami misteri-misteri itu sekaligus dengan mengandalkan kekuatan pengetahuan dan kepandaian otak kita. Kita perlu membuka pikiran dan hati kita kepada Tuhan, dan Dia akan menyatakan diri-Nya kepada kita sedikit demi sedikit.

Hari ini (Rabu/15/7/2020), dalam bacaan suci (Mat 11:25-27) yang kita baca, Yesus mengucap syukur kepada bapa-Nya. “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil” (Mat 11:25). Satu ungkapan dengan dua sasaran yang berbeda. Pertama, ungkapan syukur karena misteri Sang Bapa tetap tersembunyi untuk orang bijak dan pandai. Kedua, misteri itu menyatakan diri-Nya kepada orang kecil. Mengapa Yesus mengkontraskan orang bijak-pandai dan orang kecil? Kita perlu kembali kepada konteks kehidupan orang Israel kala itu. Orang bijak-pandai yang dimaksudkan oleh Yesus adalah orang-orang yang merasa diri hebat dalam kekuasaan atau pintar dalam keilmuan sehingga efek lanjutannya adalah timbul rasa congkak atau arogan dalam dirinya. Konsekuensi logisnya, mereka tidak pernah menganggap orang lain sejajar atau selevel dengan mereka. Mereka suka memojokan dan mendiskreditkan orang-orang yang mereka anggap bodoh dan berbeda kelas dengan mereka. Mereka tidak suka disaingi. Apalagi dikritik. Mereka adalah golongan orang yang anti kritik. Termasuk dalam golongan ini adalah para elit agama saat itu yang mengklaim diri sebagai pembawa kebenaran sejati. Tidak ada kebenaran yang lain selain dari apa yang mereka sampaikan. Mereka tidak segan-segan menggunakan segala cara, bahkan menghalalkan segala cara, untuk meredam orang-orang yang berusaha memberi kritik atau menyampaikan suatu ajaran yang lain. Yesus adalah salah satu orang yang dicap sebagai pembelot dan pembangkang. Ajaran tentang kebenaran sejati yang dibawa oleh Yesus ditolak mentah-mentah. Kehendak baik dari Allah yang datang dalam diri Yesus, tidak dapat ditangkap dan dimengerti karena mereka telah membentengi diri dengan sikap egois dan sombong. Mereka tidak dapat menyelami misteri Allah yang dibawa oleh Yesus karena terpapar oleh sikap ekslusif. Dengan demikian, tidak ada peluang sekecil apa pun bagi rahmat Allah untuk mengalir dalam diri mereka.

Berbeda dengan kaum cerdik-pandai, golongan kedua yang sungguh mendapat tempat di hati Yesus adalah kelompok orang kecil. Orang kecil itu identik dengan orang miskin, orang sakit dan orang yang tersingkir dalam komunitas sosial. Karakteristik orang-orang ini akan lebih mudah bersikap rendah hati, tidak menutup dirinya tetapi selalu terbuka untuk menerima sapaan Allah. Dalam arti yang lebih luas, terminologi orang kecil tidak sebatas dalam diri orang-orang yang sudah disebutkan di atas. Orang kecil  menurut Yesus adalah semua orang lintas batas (lintas geografis, lintas ekonomi, lintas sosial, lintas usia, lintas gender, dsb) yang memiliki kepekaan hati yang tulus untuk mau mendengarkan dan mengikuti sabda Allah yang disampaikan oleh Yesus. Orang kecil itu harus memiliki kerendahan hati dan keterbukaan diri. Hanya dengan sikap demikian, mereka mampu menyelami dan memahami misteri Allah yang tersembul dalam diri Yesus. Yesus mengucap syukur kepada Bapa-Nya bahwa ternyata banyak orang Israel yang memiliki pribadi seperti orang kecil. Tidak hanya terbatas pada kelompok dua belas rasul. Ada banyak orang Israel yang sungguh-sungguh mendengarkan dan percaya kepada-Nya. Mereka bisa saja mengalami sentuhan dari warta sabda-Nya atau dari setiap tindakan mukjizat yang dilakukan oleh Yesus. Mereka sungguh percaya bahwa Yesus adalah Anak Allah yang hidup demi keselamatan umat manusia.

Mencermati bacaan hari ini, kita bisa merefleksikan diri masing-masing untuk lebih menukik masuk ke dalam sabda Tuhan. Sudah sampai level mana kita berada. Atau dalam tataran kelompok mana kita mengikatkan diri. Dalam kelompok manusia cerdik-pandai atau kelompok orang kecil? Kelompok cerdik-pandai adalah kelompok yang suka mengagungkan kehebatan dan kepintarannya. Mereka tidak suka diberi masukan dan sangat anti kritik. Orang-orang ini suka berjalan dengan pola pikir sendiri, susah bekerja dalam tim, dan tidak bisa diajak berkolaborasi memajukan roda organisasi. Mirisnya, mereka suka mencuci tangan atau melarikan diri manakala ada masalah atau tantangan datang menerpa. Sebaliknya, orang kecil adalah kelompok orang yang rendah hati, terbuka terhadap berbagai gagasan dan kritik dari orang lain. Tipe orang-orang ini suka membangun diskusi, mau bekerja sama untuk menemukan solusi yang baik demi kemajuan lembaga atau organisasi. Hebatnya, orang-orang dalam kelompok kecil ini cenderung mampu bertahan dalam kesulitan dan keterpurukan hidup yang dialami. Semoga kita semua yang berada dalam satu atap lembaga ini mampu menemukan jati diri kita sebagai orang-orang kecil. Orang-orang yang mampu menangkap setiap bisikan ilahi dalam setiap tugas dan pekerjaan di unit kita masing-masing agar kita tidak terhempas dalam kubangan orang-orang yang merasa diri paling hebat dan pintar. Kita yakin, Tuhan telah menyatakan diri-Nya dengan sukarela dalam diri dan karya kita. Tugas kita adalah menangkap misteri Allah itu dan mewujudnyatakannya dalam tugas dan panggilan kita sehari-hari. Mari kita menjadi orang kecil yang selalu berpikir dan bertindak seturut kehendak Allah demi memajukan lembaga yang kita cintai ini. Semoga. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***

Senin, 13 Juli 2020

SIKAP TOTAL


Yes 1: 11-17 dan Mat 10: 34-11:1
Salah satu intensi doa yang saya bawakan dalam apel bersama (lingkup Kementerian Agama Kab. Lembata) hari ini (Senin/13/7/2020) adalah mendoakan rekan-rekan kerja yang menerima SK (Surat Keputusan) Kenaikan Pangkat. Saya memberi afirmasi dalam doa itu bahwa dengan peristiwa berahmat tersebut tidak membuat mereka berjumawa (membanggakan diri) tetapi semakin memompa energi positif dalam diri mereka untuk tetap berkarya membawa wajah Allah ke tengah-tengah orang yang mereka layani. Salah satu energi positif yang merasuki diri mereka adalah sikap totalitas dalam bekerja. Mereka mampu bekerja dengan seluruh jiwa. Tidak ada kepentingan untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok. Atau sikap berpura-pura memenuhi dokumen yang bersifat administratif belaka. Kelihatan sungguh bekerja tetapi sebenarnya tidak bekerja dengan sungguh-sungguh. Sikap total dalam bekerja menuntut kebersihan hati untuk menjauhi sikap destruktif. Sikap yang membuat manusia untuk tidak bekerja dengan total.

Seringkali orang yang sungguh menjunjung sikap total dalam filosofi hidupnya, menghadapi  tantangan yang tidak sedikit. Entah itu tantangan dari luar atau pun tantangan yang datang dari dalam diri sendiri. Tantangan dari luar bisa berupa adanya ketidaksukaan dan sikap iri hati dari orang lain. Dan tantangan dari dalam bisa muncul dengan adanya virus-virus mematikan seperti sikap masa bodoh, sikap mencari gampang (instan), sikap mencari prestise dan motif memperkaya diri secara ekonomi. Sikap-sikap destruktif yang mengancam totalitas dalam berkarya ini sebenarnya sudah menjadi sebuah kisah sejarah yang secara tidak sadar terus diwariskan dari generasi ke generasi. Termasuk dalam era Yesus. Ada banyak orang Israel pada saat itu yang tidak menunjukkan hidup sosial-keagamaan yang baik. Mereka memang orang beragama tetapi tidak total dalam menjalankan hidup keagamaan. Hidup mereka diliputi oleh kepura-puraan dan kemunafikan. Ketika melihat keadaan dunia yang sudah tercemar dengan sikap-sikap manusia yang telah menyimpang dari kehendak Allah, Yesus mengatakan: “Jangan kamu menyangka bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat 10:38). Yesus sudah membayangkan bahwa kehadiran-Nya di muka bumi pasti tidak disukai oleh banyak orang. Sikap kritis dan keberaniannya dalam mendobrak sistem kehidupan sosial yang telah mapan membawa banyak pertentangan dan konflik. Tetapi itulah komitmen hidup yang ingin dan telah ditunjukkan oleh Yesus. Ia sungguh total menjalankan misi-Nya untuk mewartakan Injil Kerajaan Allah; membawa banyak orang menjadi warga Kerajaan Sorgawi.

Selain memberi pernyataan yang menohok, Yesus juga memberi ultimatum yang keras kepada orang banyak. Termasuk juga kepada para murid-Nya. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak layak bagi-Ku.” Yesus men-dressure orang-orang yang mendengarkan sabda-Nya bahwa mereka juga harus menunjukkan sikap seperti yang telah Ia tunjukkan. Mereka harus berani menunjukkan konsekuensi hidup yang nyata apabila mau mengikuti Dia. Memikul salib tidak hanya sebuah ungkapan untuk bertahan dalam setiap kesulitan dan penderitaan. Lebih dari itu, orang Israel harus menunjukkan sikap total dalam melanjutkan misi perutusan yang telah ditanam oleh Yesus sendiri. Orang-orang yang mau mengikuti Yesus adalah orang-orang yang sungguh-sungguh mau bekerja dengan kesungguhan hati. Mereka harus menunjukkan sikap total dan tulus, tidak ada kepentingan instan yang bermain di dalamnya. Mereka tidak boleh memanfaatkan identitas pribadi sebagai murid Yesus untuk mencari pelbagai keuntungan. Baik itu kepentingan ekonomi atau demi mendongkrak publisitas diri. Sikap total menunjuk pada sikap jiwa besar dari seorang manusia untuk melepaskan diri dari segala keterikatan duniawi. Suatu bentuk keterikatan yang menghambat gerak maju mereka sebagai laskar Kristus yang sejati. Sebagai murid Yesus mereka hanya punya keterikatan yang bertumpu pada misi Kerajaan Allah.

Sebagai seorang murid Yesus di masa ini, kita juga mau diarahkan untuk bersikap total dalam seluruh tugas dan karya kita. Dalam bidang panggilan kita masing-masing, secara otomatis terejawantah karya panggilan Allah. Kita bisa saja tergoda untuk memanfaatkan jabatan atau peluang tertentu untuk memperkaya diri atau meningkatkan prestise diri. Ini yang menurut Yesus, kita tidak sungguh-sungguh memikul salib dalam hidup kita. Dan sebenarnya kita tidak layak untuk menjadi pengikut-Nya. Untuk mengikuti Yesus dengan Total, kita harus meninggalkan segala keterikatan kita dengan duniawi. Pengabdian kita harus betul-betul total, dengan seluruh jiwa. Dengan demikian, kita sementara mewujudkan Injil Kristus dalam seluruh tugas dan pengabdian kita. “Jangan lagi membawa persembahanmu yang tidak sungguh, sebab baunya adalah kejijikan bagi-Ku” (Yes 1:10). Tuhan tidak mementingkan segala persembahan dan sikap sembah yang palsu. Yang dibutuhkan Tuhan adalah sikap total dalam mengabarkan kasih-Nya di tengah dunia. Mari kita menjadi pengikuti-Nya dengan sikap penuh total dalam bekerja. ***Atanasius KD Labaona***

Selasa, 07 Juli 2020

BELAS KASIH DINYATAKAN DALAM TINDAKAN KASIH


Mat 9:32-38
Banyak orang mengungkapkan belas kasihnya kepada sesama yang menderita dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang yang cukup puas kalau mendengar atau melihat sesamanya yang menderita dengan ungkapan kata kasihan yang keluar dari dibibirnya, sedangkan ada sebagian pula yang mengungkapkan rasa kasihannya dengan tindakan nyata memberi/menyumbang, merawat atau memperhatikan secara langsung untuk meringankan beban sesamanya. Dua ekspresi ungkapan belas kasih ini sangat tergantung dari penghayatan iman masing-masing orang.

Injil hari ini menceritakan tentang mukjizat penyembuhan yang dilakukan oleh  Yesus kepada seorang bisu, namun peristiwa ini menimbulkan reaksi dan tanggapan beragam dari orang-orang sederhana dan orang-orang Farisi. Rekasi orang kebanyakan adalah heran, kagum dan terpesona. Dalam kekaguman mereka berkata, “Hal semacam itu belum pernah dilihat orang di Israel!”. Sementara itu, reakasi berbeda yang ditunjukkan orang-orang Farisi adalah cemburu dan benci, bahkan mereka tak segan-segan menghina Yesus, “Dengan kuasa penghulu setan Ia mengusir setan”. Orang kebanyakan melihat Yesus dengan penuh kegaguman karena mereka adalah orang-orang sederhana yang sangat membutuhkan pertolongan. Mereka melihat Yesus sebagai tokoh yang memiliki rasa belas kasih yang mendalam dan memiliki keprihatinan serta keberpihakan yang tinggi terhadap orang sakit, kecil dan menderita. Sebaliknya, orang-orang Farisi melihat Yesus telah bersekutu dengan setan dalam melakukan mukjizat penyembuhan. Mereka sulit menerima kebenaran bahwa Yesus adalah Anak Allah yang mempunyai kuasa melakukan mukjizat-mukjizat. Orang Farisi tidak mampu melihat realitas penderitaan sesamanya karena nurani mereka telah tumpul, mereka sibuk mencari penghormatan dan penghargaan yang sia-sia sehingga tidak punya waktu untuk menyalurkan kasih.

Sikap orang-orang Farisi itu sekurang-kurangnya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, mereka merasa terancam karena Yesus kelihatannya lebih berwibawa dalam perkataan dan perbuatan. Ketika seorang terancam, dia menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan dan kepuasan dirinya. Kedua, mereka terlalu arogan dan sulit menerima perubahan yang ditawarkan oleh Yesus. Mereka malah membenci Yesus yang menawarkan perubahan cara berpikir dan berperilaku. Ketiga, mereka dibebani oleh prasangka mereka sendiri tentang Yesus sehingga sulit menerima kebenaran-kebenaran yang ditawarkan Yesus. Akhirnya, mereka hidup tertutup dan mengambang dengan tafsir hukum Taurat yang kaku, memaksa orang lain untuk taat pada hukum Taurat, sementara tindakan dan perbuatan mereka menyimpang jauh dari kebenaran hukum Taurat. Meskipun dibenci dan ditolak oleh orang-orang Farisi, Yesus tetap mengabdi dan melayani orang sakit, kecil, sederhana dan yang terpinggirkan. Ia tetap mengungkapkan belas kasihnya kepada sesama yang lemah dan sakit melalui tindakan kasih yang nyata, Ia tidak sekedar omong tetapi langsung mempraktekkannya sehingga antara teori dan praktek kedua-duanya berjalan seimbang. Aspek pengabdian dan pelayanan adalah dua karakteristik dasar yang mewarnai seluruh hidup dan karya Yesus. Ia menjadi seorang Gembala yang mampu mengubah hidup orang lain menuju pembebasan dan pertobatan sejati. Ia mempunyai kedalaman asa untuk merasakan apa yang dirasakan oleh para murid dan orang-orang yang dengan tekun dan setia mengikuti-Nya. Ia mengabdikan seluruh diri dan hidup-Nya untuk melayani orang-orang sakit dan kecil yang selalu setia mencari-Nya. Ia pergi keluar dan masuk kampung untuk menjumpai semua orang yang merindukan pembebasan dari beragam belenggu yang melilit hidup mereka. Ia mengajar di rumah ibadat dan mewartakan Injil Kerajaan Surga, karena Ia datang ke dunia sebagai bukti belas kasih Allah dan Ia menaruh belas kasih kepada keadaan manusia yang penuh dosa dan menderita. Karena belas kasih yang besar, Ia mendorong keterlibatan banyak orang dalam karya itu agar semua orang beroleh belas kasih dan kemurahan yang sama dari Allah untuk dipancarkan. Yesus berkata, “Tuaian memang banyak tetapi pekerja sedikit. Karena itu, mintalah kepada Tuan yang empunya tuaian, supaya Ia mengirimkan pekerja-pekerja untuk tuaian itu”. Sebetulnya Yesus sedang mengajak para murid-Nya untuk bertekun dalam doa agar Allah mengirimkan lebih banyak orang  untuk menjadi murid-murid Kristus agar bisa ikut ambil bagian dalam misi pewartaan Yesus demi menyelamatkan umat manusia yang menjauh dari Allah.

Tugas mengabdi dan melayani Tuhan diwariskan pertama-tama kepada para murid-Nya, lalu diteruskan oleh Gereja hingga sekarang. Melalui Sakramen Permandian semua orang dipanggil untuk mengambil bagian dalam tugas-tugas Kristus. Itu berarti setiap anggota Gereja dipanggil untuk menjadi gembala; menghadirkan wajah belas kasih Tuhan, membangun kembali harapan yang patah, menghadirkan Kerajaan Allah secara nyata dalam carut-marutnya dunia dewasa ini. “Panenan memang besar, tetapi sedikitlah pekerja untuk menuainya” menjadi spirit yang menggerakan kita semua kepada sebuah keterlibatan dan perjumpaan dengan dunia.

Sebetulnya, yang dimaksudkan dengan “pekerja-pekerja” oleh Yesus bukan hanya kaum biarawan-buiarawati tetapi juga semua pengikut-Nya. Artinya semua orang yang memang hatinya tersentuh untuk tulus menjadi pewarta. Untuk menjadi seorang pewarta Kabar Gembira, sungguh diharapkan kerelaan untuk berkorban baik tenaga, pikiran, waktu juga materi. Tanpa kerelaan untuk berkorban, mustahil ia akan menjadi pewarta yang baik dan benar.

Kita saat ini hidup dalam dunia yang sibuk. Banyak orang terperangkap dalam pola kerja modern yang menyita banyak waktu, itu makanya, seringkali orang tidak mampu membagi waktu untuk bisa menjadi pewarta yang melayani secara penuh. Kaum religius juga terperangkap dalam pengaruh modernisme dengan berbagai pengaruhnya. Maka tidak heran kadang mereka juga kesulitan membagi waktu untuk melayani sesuai dengan harapan umat. Tetapi ini tidak berarti mereka harus memaafkan diri hanya karena pengaruh-pengaruh kesibukan sekunder yang mereka alami. Yang utama dan nomor satu bagi mereka adalah melayani umat dengan bersedia berkorban tenaga, perasaan dan waktu. Maka baiklah, kita semua mendoakan kaum religius agar mereka menjadi pewarta yang baik hati dan siap berkorban demi umat.

Sabda Tuhan hari ini menggugah dan menginspirasi kita semua untuk menghidupkan belas kasih di dalam diri kita masing-masing dan kita wujudnyatakan dalam tindakan kasih kepada mereka yang sakit, kecil, sederhana dan yang terbuang. Selain itu kita bersedia menyediakan waktu, tenaga bahkan materi untuk mendukung kegiatan pewartaan agar lebih banyak orang dibawa kepada Yesus untuk diselamatkan. ***Bernad Wadan***

Minggu, 05 Juli 2020

KITA HARUS PERCAYA


Yoh 20: 24-29
Hari ini (Jumat/3/7/2020), kita merayakan pesta St Thomas Rasul atau yang biasa disebut dengan Didimus. Tidak banyak informasi yang bisa diperoleh tentang rasul yang satu ini. Dalam Kitab Suci, kita mengetahui bahwa Thomas rasul adalah salah seorang murid dalam kelompok dua belas rasul. Menurut catatan tradisi, St Thomas Rasul lahir di Galilea. Thomas berasal dari kalangan keluarga kelas bawah dengan latar kehidupan ekonomi yang rendah. Mungkin karena dengan backroud keluarga seperti ini yang membentuk Thomas Rasul menjadi pribadi yang pesimis dan sangat berhati-hati dalam mengambil keputusan dalam hidup. Thomas Rasul juga dikenal sebagai seorang rasul yang sangat kritis. Ia tidak mudah percaya akan suatu hal sebelum ia sendiri membuktikannya. Menurut catatan St Ambrosius dan Hieronimus, Thomas rasul menyebarkan kabar gembira Injil ke arah timur dengan mengikuti jalan para pedagang. Mulai dari daerah Siria, Armenia, Persia dan India. Dan di daerah India, dekat Madras, di kota Malaipur, Thomas Rasul menerima mahkota kemartirannya. Ia mati karena tubuhnya ditusuk dengan tombak.

Sikap kritis dari Thomas Rasul ditunjukkan dengan sikap skeptisnya terhadap kebangkitan Yesus. Ketika para murid yang lain begitu bersemangat menceritakan pengalaman telah bertemu dengan Yesus yang bangkit, Thomas Rasul bersikap sebaliknya. “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh 20:25). Pernyataan Thomas ini mau menggambarkan pribadinya yang sangat rasional dan tidak mau percaya  begitu saja akan suatu hal. Apalagi percaya dengan hal-hal yang bersifat irasional; dalam hal ini peristiwa kebangkitan Yesus. Menghadapi pribadi Rasul Thomas yang demikian, Yesus punya pendekatan tersendiri. Yesus mendatangi lagi para murid yang sedang berkumpul dalam sebuah rumah yang telah dikunci dengan sangat rapat. Setelah mengucapkan salam damai sejahtera kepada mereka, ia berkata kepada Thomas: “Taruhlah jarimu di sini dan lihatlah tangan-Ku, ulurkanlah tanganmu dan cucukkan ke dalam lambung-Ku dan jangan engkau tidak percaya lagi, melainkan percayalah” (Yoh 20:27). Melihat kehadiran Yesus yang kasat mata, serta merta meluluhlantakkan sikap skeptis Thomas Rasul. Thomas Rasul begitu terpukau dengan kehadiran Yesus yang apa adanya. Dengan kain kafan yang masih membaluti tubuh-Nya dan bekas-bekas luka yang menganga. Thomas hanya bergumam: “Ya Tuhanku dan Allahku” (Yoh 20:28). Ungkapan tulus dari Thomas tersebut membuktikan bahwa ia telah percaya. Ia tidak ragu-ragu lagi dengan kebangkitan Sang Guru Ilahi-Nya.

Saya mempunyai kenalan seorang bapak yang memiliki kharisma rohani untuk menyembuhkan orang-orang yang bergulat dengan penyakit non-medis (penyakit yang tidak bisa dideteksi dan disembuhkan secara medis, sehingga membutuhkan pengobatan secara alternatif). Saya mungkin termasuk memiliki pribadi seperti Thomas. Tidak mudah percaya begitu saja akan suatu hal. Saya perlu mengujinya dengan data-data yang obyektif. Suatu saat, kebetulan ada seorang saudara saya yang telah menderita sakit kronis namun tidak bisa disembuhkan secara medis. Berbagai upaya dilakukan tetapi hasilnya nihil. Bahkan penyakitnya tergolong misterius karena tidak bisa dideteksi secara medis oleh pihak dokter. Akhirnya, kami memutuskan untuk membawa si pasien kepada sang bapak. Sang bapak menolak disebut sebagai dukun atau orang pintar. Ia merasa lebih pas kalau dilabeli sebagai seorang pendoa. Karena ia menggunakan metode penyembuhannya dengan berdoa kepada Tuhan. Ia merasa dirinya hanya sebagai seorang “alat Tuhan” untuk menyampaikan kemurahan dan kedasyatan kasih-Nya dalam peristiwa penyembuhan. Saya memperhatikan dengan seksama setiap gerakan tubuh dan ucapan bibirnya. Ternyata ia memang berdoa dengan menggunakan tradisi Katolik. Ada juga simbol-simbol rohani yang dipakai seperti salib, patung Maria, gambar, dan lilin. Pada awalnya biasa-biasa saja. Tidak ada yang luar biasa. Setelah beberapa kali “menghadap beliau”, perlahan-lahan saya mulai menyingkirkan rasa pesimis yang tumbuh dalam diri. Saudara saya sungguh merasakan adanya perubahan yang signifikan dalam tubuhnya. Ia merasa telah menjadi kuat kembali dan mulai beraktifitas secara normal. Dalam suatu kesempatan interaksi, saya sempat mengganggu alur pikiran sang bapak dengan berkata: “Bagaimana hal itu bisa terjadi?” Ia hanya menjawab diplomatis: “Kamu harus percaya kepada Tuhan maka segala hal yang tidak mungkin akan menjadi mungkin.”
Kamu harus percaya kepada Tuhan maka segala hal bisa terjadi. Kata-kata sederhana ini telah menjadi semacam mantra sakti yang tetap terngiang dalam pikiran saya hingga saat ini. Bahkan ketika saya berdoa secara pribadi, saya sungguh yakin bahwa Tuhan pasti akan mendengarkan doa saya. Walaupun mungkin Ia belum atau tidak mengabulkan apa yang saya sampaikan. Saya yakin, ada kehendak-Nya yang tetap misterius namun tetapi indah bagi segenap makhluk yang menaruh harapan besar dalam diri-Nya. Saya menyadari bahwa banyak orang beragama yang cepat merasa kecewa dan putus asa manakala mereka berkeyakinan bahwa Tuhan tidak menjawab segala doa yang mereka panjatkan. Saya sering mendengar sharing dari beberapa kenalan dan sahabat yang kelihatan mulai goyah dengan imannya. Mereka bahkan memvonis Tuhan berlaku tidak adil. Kenapa orang lain begitu diperhatikan hidupnya. Sementara mereka tidak mengalami perubahan. Hidup mereka tetap susah. Usaha tidak pernah berkembang. Penyakit yang mereka derita tidak sembuh. Dan masih banyak lagi litani keluhan yang mereka sampaikan. Saya hanya mengatakan demikian. Kalau Tuhan langsung menjawab doamu, ia sementara menambahkan imanmu. Apabila Tuhan membutuhkan waktu cukup lama untuk menjawab apa yang engkau minta, ia sementara menambahkan kesabaranmu. Dan ternyata jika Ia tidak mengabulkan sama sekali doamu, maka Ia sementara merencanakan sesuatu yang sungguh indah dalam hidupmu. Percayalah kepada Tuhan, dan jangan biarkan sikap ragu-ragu itu tetap mendekam dalam hatimu.

Hari ini kita sungguh belajar dari Thomas Rasul bahwa walaupun tidak melihat Tuhan secara kasat mata namun kita tetap percaya akan segala kemahakuasaan dan kedasyatan kasih-Nya kepada kita. Tuhan tetap ada dalam seluruh peristiwa hidup yang kita alami. Tidak hanya demikian. Ia juga turut melakukan intervensi dengan menggunakan akal dan kehendak kita sebagai seorang manusia biasa. Ia pasti merencanakan segala yang baik untuk kita. Mari kita selalu menaruh sikap percaya kepada-Nya. Semoga. Tuhan memberkati. ***Atanasius KD Labaona***