Selasa, 28 Februari 2023

Spirit Kasih Melampaui Batas

                                                               Luk 6:6-11

           

            Hari ini kita memperingati Santa Teresa dari Kalkuta. Santa Teresa dari Kalkuta adalah seorang kudus di abad modern ini. Selama lebih dari 45 tahun, ia berkarya di India, melayani mereka yang miskin, sakit, yatim piatu, dan sekarat, sambil membimbing ekspansi Konggregasi Misionaris Cinta Kasih dari India ke seluruh dunia. Konggerasi yang didirikannya terus berkembang. Dan pada akhir hidupnya, Santa Teresa telah menjalankan berbagai karya amal seperti panti jompo, rumah penampungan bagi para penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Santa Teresa lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje, Makedonia Utara dan meninggal pada tanggal 5 September 1997 d Kalkuta, India, dalam usia 87 tahun.

 

            Pada hari ini, penginjil Lukas membentangkan sebuah kisah mukjizat yang dilakukan oleh Yesus di dalam rumah ibadat. Mukjizat itu adalah penyembuhan seseorang yang mati sebelah tangannya. Menarik karena aksi fenomenal demikian dilakukan pada hari sabat. Sebuah hari suci yang melarang segala aktivitas atau pekerjaan manusia, termasuk menyembuhkan orang sakit. Barangsiapa melanggarnya maka akan dicap sebagai pendosa. Tentu juga ada konsekuensi hukum yang harus diterima bagi setiap pelanggarnya.

 

            Tetapi tidak bagi Yesus. Yesus melihat aturan atau hukum yang berlaku pada hari sabat tidak mencerminkan keberpihakan bagi orang yang sedang menderita sakit. Memang segala jenis aturan atau hukum yang berlaku penting dalam menata kehidupan manusia. Termasuk juga hakikat aturan agama sebagai pedoman atau kompas untuk menumbuhkembangkan iman umat. Namun mendewakan aturan atau hukum agama sembari mengabaikan keselamatan bagi jiwa dan raga manusia, tentu menjadi hal yang sangat naif. Tidak bisa diterima oleh logika atau akal sehat. Bagi Yesus, aturan atau hukum agama pada hari sabat yang membredel atau menghalangi keselamatan bagi manusia sangat bertentangan dengan spirit dari hukum agama itu sendiri.

 

            Spirit dari hukum Taurat sesungguhnya adalah spirit kasih. Namun para pemimpin agama memperlakukan aturan atau hukum agama tidak sesuai dengan spirit kasih yang dikumandangkan oleh Allah. Aturan atau hukum agama hanya dilihat sebatas seperangkat aturan legal formal. Tidak lebih dari itu. Bahkan lebih fatal lagi, aturan dan hukum agama dipakai untuk mencari keuntungan ekonomi dan sosial bagi elit agama. Secara khusus aturan atau hukum yang berlaku pada hari Sabat, dipandang oleh Yesus bertentangan dengan spirit kasih yang dibawa-Nya. Oleh karena itu, dengan sikap tegas dan lugas, Yesus menyembuhkan seseorang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat. Apa yang dilakukan oleh Yesus menjadi tanda bahwa spirit kasih Allah melampaui segala aturan atau hukum yang dibuat oleh manusia.

 

            Yesus tidak peduli dengan reaksi negatif dari para pemimpin agama. Bagi-Nya, yang terpenting adalah memberi pemahaman bagi public tentang spirit kasih yang terdapat dalam setiap aturan atau hukum agama. Dan tidak sekedar bicara. Yesus memberi bukti spirit kasih Allah dengan tindakan yang membawa kesembuhan dan keselamatan bagi semua orang. Aksi Yesus memang di satu sisi membawa dampak yang negatif dalam kehidupan-Nya. Karena Ia sementara menabuh genderang perang dengan orang-orang yang tidak menyukai-Nya. Namun di sisi lain, aksi Yesus berhasil memikat sebagian orang untuk percaya dan menjadi pengikut-Nya.

 

            Aksi mukjizat penyembuhan oleh Yesus yang melampaui aturan hari Sabat memberi inspirasi atau pembelajaran yang penting dalam kehidupan iman kita. Bahwa dalam menjalani panggilan hidup kita sebagai orang beriman di dalam keragaman tugas, fungsi dan karya, hendaknya tidak dibatasi oleh sekat-sekat atau penghalang. Kita tidak dibatasi oleh rasa ego, gengsi, status, identitas keagamaan atau suku. Kita harus melepaskan diri dari aneka penghalang untuk berani memberi diri, mewartakan spirit kasih Tuhan kepada setiap orang yang kita layani. Harus kita akui bahwa pasti ada tantangan yang menyertai jalan kebaikan yang diretas. Mungkin saja ada orang yang tidak menyukai kemudian bersikap sentimen. Ada saja hal tidak baik yang dilakukan untuk menjegal atau menghalangi niat dan komitmen baik yang kita lakukan. Seperti Yesus, kita tidak perlu takut. Kita berada di pihak yang benar dan dibenarkan oleh Tuhan. Kita memiliki Tuhan sehingga kita tidak perlu takut.

 

            Santa Teresa dari Kalkuta adalah seorang abdi Allah yang setia. Banyak orang yang memusuhinya, termasuk para rekan sejawatnya, karena melihat pelbagai aksi kemanusiaan yang ditunjukkannya. Apa yang dilakukan oleh Santa Teresa jauh melampaui sekat-sekat yang menjadi penghalang. Spirit kasihnya  melampaui sekat agama, suku dan ras. Ia meninggalkan rasa ego dan gengsinya demi melayani orang-orang kecil, sakit, dan miskin di negara India. Kita mungkin tidak bisa melakukan hal-hal besar seperti Santa Teresa dari Kalkuta. Akan tetapi, ada banyak hal kecil dan sederhana yang bisa kita tunjukkan untuk mewartakan spirit kasih Tuhan dalam hidup. Sekecil apa pun hal yang kita lakukan, tentu sangat bermanfaat bagi orang lain yang merasakannya.

Selasa, 21 Februari 2023

Spirit Santa Perawan Maria Ratu

                                                    Mat 23:13-22

           

            Setiap tanggal 22 Agustus, Gereja Katolik Roma merayakan peringatan Santa Perawan Maria Ratu (Santa Maria Regina). Maria disebut Ratu karena dan sebagaimana Kristus adalah Raja. Konsili Vatikan II meneruskan tradisi sejak abad IV, menegaskan kembali ajaran tentang keratuan Maria: “Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya” (Lumen Gentium 59). Gelar Ratu diberikan untuk menunjukkan secara resmi keadaan Santa Perawan Maria yang bertahta di sisi Puteranya, Raja Kemuliaan. Gelar sebagai Ratu beserta kekuasaannya telah diperkenalkan di lingkungan rahib Benediktin sejak awal abad XII. Nyanyian yang amat terkenal yakni Salve Regina sudah diketahui dalam abad XI. Madah itu merupakan ungkapan khas para rahib dalam menyatakan permohonan kepada Santa Perawan Maria.

 

            Mengapa Santa Perawan Maria layak digelari Ratu? Secara biblis bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Keratuan Maria bisa dimengerti sebagai cara mengambil bagian secara unggul dalam imamat rajawi umat Perjanjian Baru. Semua orang dipanggil untuk memerintah bersama Kristus. Santa Perawan Maria merupakan yang pertama dari semua orang yang terpanggil untuk memerintah bersama Kristus untuk selama-lamanya. Kedua, Keratuan Maria juga merupakan konsekuensi keikutsertaan Bunda Maria dalam misteri Paskah Puteranya yang dinyatakan dalam kerendahan diri, penderitaan dan kemuliaan. Oleh karena Maria telah ikut serta dalam merendahkan diri sebagai hamba dan mengalami sengsara bersama Kristus, maka layaklah Bunda Maria mengalami kemuliaan bersama Kristus.

 

            Ketiga, keratuan Santa Perawan Maria adalah tujuan akhir dari perjalanannya sebagai murid. Pada akhir hidupnya di dunia, Santa Perawan Maria dipindahkan ke dalam Kerajaan Puteranya dan menerima kepenuhan “mahkota kehidupan”. Tujuan akhir ini mempunyai makna bagi Gereja dan seluruh ciptaan, sebab Santa Perawan Maria yang kini telah bersatu sepenuhnya dengan Kristus merupakan gambaran arah perjalanan sejarah Gereja dan seluruh ciptaan menuju “langit dan bumi yang baru” (Why:21:1); suatu kediaman bersama Allah di mana “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau  dukacita” (Why :21:4).

 

            Paus Pius XII menyebut Maria sebagai Ratu karena ia adalah Bunda Kristus dan juga karena seturut kehendak Allah ia memainkan peranan yang unik dalam karya penebusan Tuhan. “Sebagaimana Puteranya, Maria mengalahkan maut dan diangkat dengan badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan sorgawi, di mana sebagai ratu ia duduk dalam kemegahan di sisi Puteranya, Raja abadi” (Pius XII, Munificentissimus Deus; Acta Apostolicae Sedis (1950). Gelar Maria sebagai Ratu dinyatakan dalam dokumen Gereja, khususnya dalam ensiklik Pius XII Ad caeli reginam. Paus Pius XII memasukkan dalam kalander liturgi tanggal 31 Mei sebagai pesta Maria Ratu. Ketika kalender liturgi diperbarui pada tahun 1969, pesta Santa Perawan Maria Ratu digeser ke tanggal 22 Agustus, yaitu dalam oktaf atau hari ke kedelapan sesudah Hari Raya Pengangkatan Santa Perawan Maria ke sorga. Pesta liturgis yang baru ini dipandang sebagai kelanjutan dari ketentuan tentang pengangkatan Maria ke sorga, dan sebagai penegasan pengantaraan Maria.

 

            Seluruh ayat dalam bab 23 dari Injil Matius berisi kecaman Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus mengecam mereka karena kemunafikan mereka. Hidup mereka penuh kepalsuan. Apa yang tampak dari luar berbeda dengan apa yang ada di dalam diri. Mereka memang mengetahui secara baik kebenaran firman Tuhan, karena mereka mempelajarinya. Tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan perbuatan mereka jauh menyimpang dari ajaran yang telah disampaikan oleh mereka sendiri. Ini adalah gambaran cara hidup orang munafik. Orang munafik biasanya menutupi kekurangan atau kesalahannya dengan cara yang licik. Di depan orang banyak mereka berpura-pura baik, ramah, sokh rohani dan saleh. Padahal sejatinya bertolak belakang. Motivasi pelayanan yang ditampilkan pun tidak murni, “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang”.

 

            Dengan lain kata, mereka melakukan kebaikan atau menampilkan kesalehan supaya beroleh pujian dan sanjungan dari orang lain. Pelayanan mereka tidak dilandasi kasih. Maka Tuhan memberi nasihat: “turutilah dan lakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Orang beriman dewasa ini masih jatuh dalam cara hidup munafik, seperti yang digambarkan di atas. Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk terus dan tetap belajar menjadi orang yang bijaksana dalam menjalankan hukum dan tata cara agama serta perilaku moral dengan jujur, baik, dan benar, tanpa mengorbankan orang lain. Kita juga belajar dari Santa Perawan Maria Ratu yang telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang setia, total, dan tulus dalam menjalankan perintah Tuhan. 

Senin, 13 Februari 2023

Biji Gandum Harus Mati

 

Yoh 12:24-26

           

            Hari ini kita merayakan pesta Santo Laurensius, seorang diakon dan martir (225-258). Santo Laurensius merupakan salah satu dari tujuh diakon yang bertugas membantu Paus Sixtus II di Roma. Ia mati sebagai martir di bawah kaisar Valerianus. Kita tidak memiliki banyak informasi tentang Santo Laurensius, kecuali bahwa dia bertugas sebagai pengawas dan bendahara harta kekayaan. Dengan kapasitas dan wewenang demikian, Laurensius sungguh memberi perhatian bagi orang kecil dan miskin di kota Roma. Ia terkenal karena kemurahan hatinya kepada orang-orang miskin. Perhatian Laurensius terhadap orang miskin sungguh menggemakan karakter Tuhan. Menjelang kematiannya yang tragis sebagai martir, Laurensius mengumpulkan semua orang kecil dan miskin di kota Roma dan membagi habis semua harta kekayaan yang disimpannya kepada mereka. Kemudian ia membawa mereka ke hadapan kaisar Roma untuk diperkenalkan sebagai bagian dari harta kekayaan gereja yang abadi. Tindakan Laurensius ini yang memicu kemarahan Kaisar Valerianus. Para algojo pun diperintahkan untuk membakar hidup-hidup Laurensius di atas besi panas. Kejadian ini tercatat pada tanggal 10 Agustus 258; sekaligus menjadi tanggal kematian Santo Laurensius sebagai abdi Allah yang setia.

 

            Dengan kemartirannya, Santo Laurensius memberikan contoh paling konkrit bahkan ekstrim bagaimana menghayati kata-kata Yesus dalam Injil hari ini (Yoh 12:24-26). Dalam Injil, kita mendengar komentar dan penjelasan Yesus tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Yesus membandingkan kematian-Nya seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Hanya dengan proses itu kehidupan baru bersemi sampai akhirnya melipatgandakan buah-buahnya. Yesus menyerahkan hidup-Nya melalui penderitaan dan kematian di kayu salib dan bangkit kembali dalam kehidupan baru. Penderitaan dan kematian Yesus melahirkan kehidupan baru dengan bertumbuhnya jumlah orang-orang yang terinspirasi oleh hidup-Nya dan berkomitmen mengikuti Dia. Santo Laurensius mengikuti secara harafiah dengan mengalami penderitaan sesungguhnya dan menumpahkan darah kemartiran. Laurensius bagaikan sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Tetapi dari kematiannya banyak orang mendapat inspirasi untuk bertumbuh dan dikuatkan dalam iman. Darah kemartirannya menjadi pupuk bagi perkembangan gereja hingga dewasa ini.

 

            Menarik menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana caranya kita menghayati dan menghidupi kata-kata Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ada seorang sahabat menceritakan pengalaman bagaimana ibu kandungnya diperlakukan secara tidak baik oleh saudaranya yang lain. Bahkan kalau dibilang perlakuan itu sudah tidak manusiawi. Ibunya sering dimarahi, dimaki, dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun sang ibu hanya diam. Mungkin dalam diamnya ia juga merasa kecewa dan sakit sebagai seorang manusia. Tetapi ia tidak pernah menceritakan atau mengungkapkan perasaannya terkait masalah itu kepada orang lain. Bahkan kepada anak lainnya, yang tidak tinggal bersamanya. Walaupun menerima perlakuan yang tidak baik dari anaknya, sang ibu dari sahabat ini tetap menunjukkan perhatian dan kasih yang tulus. Ia tetap bekerja di kebun untuk menafkahi sang anak. Walaupun sang anak hanya bermalas-malasan saja di rumah. Ia juga sangat bermurah hati. Ketika menerima dana BLT (bantuan Tunai Lansung) dari desa, ia akan membagi sebagian uang tersebut kepada anak. Ironis memang. Kasih ibu begitu dasyat. Kejahatan sang anak dibalas dengan kebaikan yang total dan tulus. Sahabat saya seringkali mengingatkan sang ibu untuk tidak boleh lagi memberi perhatian dan kasih kepada sang saudara yang jahat itu. Namun ibunya tidak mengindahkannya. Ia tetap mengampuni sang anak, memberi perhatian dan kasih yang tulus.

 

            Sang ibu dari sahabat saya, sebenarnya telah memperlihatkan diri dan hidupnya ibarat biji gandum yang jatuh dan mati di tanah. Walaupun secara fisik ia masih hidup, namun ia “telah mati” dari sikap-sikap keduniawiannya. Ia sudah menanggalkan sikap egois dan rasa gengsi sebagai orang tua. Ia sudah “menguburkan” sikap marah dan balas dendam ketika diperlakukan tidak manusiawi. Ia rela menanggalkan sikap-sikap manusiawinya demi menumbuhkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan dalam kehidupan seperti yang diajarkan oleh Sang Guru ilahi Yesus Kristus. Dalam ketidaksadarannya, sang ibu sedang mewariskan spirit kasih Yesus dalam kehidupan. Spirit kasih yang terejawantah dalam sikap murah hati, tidak balas dendam, selalu mengampuni, tetap setia, rendah hati, dan sebagainya.

 

            Saya meyakini bahwa pengalaman dan pembelajaran tentang filosofi biji gandum yang harus jatuh dan mati untuk kemudian dapat berbuah banyak tentu sangat rumit untuk dipahami. Serumit kita membayangkan Yesus yang ilahi tetap sungguh-sungguh manusia harus rela menderita dan wafat di kayu salib. Serumit juga saat kita memikirkan nasib St. Laurensius yang harus dipanggang hidup-hidup di atas bara api. Memikirkannya saja sudah sulit apalagi melaksanakannya. Tentu kita tidak perlu menafsirkan dan menjalankan secara ekstrim konsep “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati” seperti yang dilakukan Yesus dan Santo Laurensius. Kita perlu belajar dari ibu sahabat saya untuk secara sederhana memahami dan mengimplementasikan filosofi “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati”. Kita perlu mengolah hidup dan menata diri lebih baik. Kita hendaknya rela menanggalkan keegoan, rasa gengsi, dan sikap arogan demi menumbuhkan spirit kasih yang diajarkan oleh Yesus. Dalam konteks tupoksi kita di Rumah Sakit Bukit Lewoleba, seyogyanya kita menumbuhkembangkan semangat pelayanan yang tulus dan total dengan menghindari pelbagai kepentingan pribadi dan orientasi mencari keuntungan. Sebagai seorang pasien, mari kita menghidupkan filosofi biji gandum yang jatuh di tanah dengan bersikap sabar dan tetap teguh dalam pengharapan iman kepada Tuhan,

Senin, 06 Februari 2023

Iman Yang Menyelamatkan

                                                    Mat 15:21-28

 

Sahabat saya, seorang Katolik, menceritakan pengalaman bagaimana ia didoakan oleh seorang ustad. Sang ustad itu adalah seorang ulama muslim karismatik yang sangat disegani oleh pelbagai kalangan dan lintas agama. Kebetulan sahabat saya sangat mengagumi beliau. Dalam suatu kesempatan dimana sahabat ini bertemu muka dengan sang ustad, maka tanpa ragu-ragu ia meminta supaya didoakan. Sang ulama awalnya ragu karena melihat ada kalung salib menjuntai di leher sang sahabat. Namun sahabat saya meyakinkan sang ustad. “Saya percaya doa anda akan memberi berkat dan menyelamatkan hidup saya”. Maka dengan senyum yang tulus, sang ustad akhirnya mendoakan sahabat saya.

 

Kalau kita membaca Injil Matius, setidaknya ada dua orang yang dipuji oleh Yesus karena iman mereka yang besar. Pertama, seorang perwira tentara Romawi yang datang kepada Yesus untuk meminta pertolongan karena hambanya sedang sakit. Ketika Yesus hendak menyambangi rumahnya, perwira itu berkata: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Mat 8:8). Mendengar hal itu, Yesus pun memuji iman sang perwira. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel” (Mat 8:10).

 

Kedua, seorang perempuan Kanaan yang diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15.21-28). Ia sangat ngotot kepada Yesus supaya Yesus bisa menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Ia tidak peduli kepada para murid yang mencoba menghalanginya. Bahkan tantangan tidak datang dari para murid saja. Beberapa pernyataan Yesus pun menyudutkan dan menyepelekan perempuan Kanaan ini. Statusnya sebagai orang Kanaan yang notabene dipandang sebagai masyarakat kelas dua, dan ditambah dengan kodratnya sebagai perempuan, semakin menguatkan posisinya sebagai orang yang tidak pantas untuk menerima pertolongan. Apalagi ditolong oleh orang Yahudi, seperti Yesus, yang memang dianggap sebagai bangsa kelas atas kala itu.

 

Namun semua tantangan tidak menyurutkan niat perempuan Kanaan untuk terus meminta belaskasihan dari Yesus. Ia rela merendahkan dirinya di hadapan Yesus walau dianggap sebagai anjing yang mengharap remah-remah roti dari tuannya. Terhadap sikap perempuan Kanaan ini, Yesus pun berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki” (Mat 15:28). Karena imannya itu pula, anaknya menjadi pulih dari sakitnya.

 

Sang perwira tentara Romawi dan perempuan Kanaan, dua-duanya dianggap sebagai orang kafir. Atau orang yang tidak percaya kepada Allah. Namun keduanya tetap memiliki iman yang besar. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan mereka. Lebih miris lagi perempuan Kanaan. Ia dihambat dan dihina dengan kata-kata yang menyakitkan. Namun ia tetap sabar dan kuat menghadapinya. Sebagai manusia, mungkin ia merasa sakit hati dan kecewa. Tetapi ia tetap mengumpulkan kekuatannya demi belaskasihan Tuhan kepada anaknya.

 

Perempuan Kanaan dan sang perwira tentara Romawi telah menginspirasi banyak nilai kepada kita. Ada beberapa nilai atau hal positif yang kita ambil dari refleksi rohani kali ini. Pertama, belaskasihan Allah kepada manusia. Bahwa belaskasihan Allah menjamah setiap relung hati manusia yang percaya kepada-Nya. Belaskasihan Allah menerobos batas-batas kemanusiaan kita. Entah orang kaya, orang kecil dan miskin, Entah orang dengan agama dan keyakinan apa pun. Entah orang dengan budaya dan tradisi mana pun. Belaskasihan Allah senantiasa menaungi mereka yang percaya. Kedua, sikap sabar dan keteguhan hati. Konsekuensi dari sikap percaya adalah sikap sabar dan teguh hati. keutamaan ini diperlukan agar kita tidak mudah goyah dan patah manakala menghadapi aneka tantangan dan hambatan. Kita tetap percaya akan belaskasihan Tuhan walau tantangan dan hambatan itu datang bertubi-tubi. Ketiga, kerendahan hati. konsekuensi dari sikap percaya adalah selalu rendah hati di hadapan Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan mengabaikan intervensi-Nya dalam kehidupan. Dalam kerendahan hati, kita tetap memasrahkan seluruh diri dan hidup kita kepada-Nya.

 

Kisah perempuan Kanaan yang dianggap sebagai orang yang tidak ber-Tuhan sungguh mengugah dan menggugat kehidupan iman kita. Bertumbuh sejak lahir hingga beranjak menjadi dewasa, iman kita akan Tuhan senantiasa ditumbuhkan, dikembangkan, dan dipupuk agar tetap mekar layaknya bunga yang mekar tanpa layu. Namun seringkali iman kita mudah goyah manakala dihantam pelbagai badai zaman ini. Tuntutan ekonomi yang semakin sulit, gaya hidup sosial yang tinggi, hantaman budaya asing yang tidak terfilterisasi (tidak disaring dengan baik), menjadi sekian tantangan yang bisa menggerus kadar keimanan kita kepada Tuhan.

 

Kita senantiasa belajar dari perempuan Kanaan untuk tidak mudah goyah dan terperosok dalam pelbagai tantangan. Kita tetap kuat dan teguh hati kepada Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan angkuh di hadapan-Nya. Kita tetap percaya dan berharap bahwa belaskasihan Allah akan datang dan menaungi hidup kita. Mari kita meyakini bahwa Iman kepada Tuhan sungguh menyelamatkan hidup.WL


Senin, 15 Agustus 2022

Panggilan Untuk Melayani

  

Mat 20:20-28

 

Hari ini kita memperingati Santo Yakobus Rasul. Ia adalah salah satu dari kedua belas rasul Yesus. Orang tuanya bernama Zebedeus dan Salome. Ia memiliki seorang saudara bernama Yohanes; yang juga merupakan seorang murid Yesus. Kedua saudara ini dikenal sebagai anak-anak Zebedeus. Selain itu, Yakobus anak Zebedeus juga disebut sebagai Yakobus Tua atau Yakobus Besar untuk membedakannya dengan rasul lainnya yakni Yakobus anak Alfeus. Yakobus anak Alfeus adalah sepupu dekat dari Yesus. Nama lainnya Yakobus Muda atau Yakobus Kecil. Yakobus dan Yohanes anak-anak Zebedeus bersama Petrus menjadi tiga orang murid yang paling dekat dengan Yesus. Tentu tidak menafikan peran para murid yang lain. Namun dalam beberapa teks Kitab Suci yang kita baca, nama tiga orang rasul ini paling sering ditemukan. Yakobus Rasul diperkirakan meninggal sebagai martir pada tahun 44 M. Ia dieksekusi mati dengan pedang oleh Raja Herodes Agripa I (Kis 12:1-2). Mungkin banyak orang mengira Surat Yakobus yang terdapat dalam teks Perjanjian Baru ditulis oleh Yakobus bin Zebedeus. Namun menurut tradisi, Surat Yakobus ditulis oleh Yakobus bin Alfeus.

 

Esensi  kuasa dan jabatan ibarat gula yang senantiasa dikerubuti semut. Memang rasanya yang manis menjadi daya tarik bagi siapa saja. Tidak cukup hanya memandang. Banyak orang ingin mengecapi cita rasanya. Kemudian timbul niat untuk mengambil dan memilikinya. Demi memuaskan keinginan atau memenuhi kebutuhan dasar pribadi atau kelompok, Si gula telah menjadi magnet yang sangat menggiurkan. Seperti si gula, demikian juga tentang kuasa dan jabatan. Dua esensi tak berwujud ini ternyata juga sangat menggiurkan. Rasanya tidak hanya enak namun bisa memuaskan bagi siapa saja yang memilikinya. Tidak cukup hanya bermimpi, membayangkan, atau berimajinasi tentangnya. Banyak orang ingin mendekat, memegang, meraihnya dengan sigap, dan tidak akan melepaskannya lagi. Ia sungguh molek dan rupawan, bahk bidadari dari langit ketujuh. Tidak heran untuk mendapatkannya banyak cara ditempuh. Bahkan dengan menghalalkan segala cara. Entah dengan cara yang baik atau pun dengan cara yang sebaliknya; kasar dan gelap.

 

Tentang kuasa dan jabatan, ia memang sudah uzur (tua). Bisa jadi lebih tua dari Yesus. Magisnya telah menggoda dua orang murid dari anak-anak Zebedeus. Mereka adalah Yohanes dan Yakobus. Tidak tanggung-tanggung, ibu kandung mereka pun turut terlibat di dalamnya. Manuver cantik coba dimainkan. Bersama sang ibu mereka datang kepada Yesus untuk meminta kue yang bernama kuasa dan jabatan. Sang ibu sebagai juru bicara memang tidak secara kebetulan dipasang. Ia diseting sebagai pion karena memiliki keunggulan. Selain mungkin karena komunikasinya lebih luwes, kelembutan hatinya sebagai seorang ibu dan perempuan disinyalir bisa merontokan hati Sang Tuhan Yesus. Rasa pongah yang dibungkus dengan kerendahan hati palsu ternyata tidak bisa menembus hati seorang Yesus.

 

Karena Yesus sangat tahu, Orientasi mereka adalah soal keinginan duniawi. Dan sangat jauh dari tataran ilahi. Kuasa dan jabatan yang mau digapai oleh ibu Salome dan kedua anaknya (Yohanes dan Yakobus) sangat berkarakter duniawi. Sangat dangkal nilainya. Mereka ingin dikenal, diakui, dilayani dan memiliki banyak harta duniawi. Tentu tidak sejalan dengan visi dan misi yang dibawa oleh Yesus. Kuasa dan jabatan yang dimaksud oleh Yesus adalah esensi ilahi. Karena kuasa dan jabatan itu dianugerahkan sendiri oleh Allah, Sang Bapa. Tetapi tidak mudah bagi manusia untuk mendapatkannya. Dan tidak gampang pula untuk direalisasikan oleh setiap manusia. “Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hambamu” (Mat 20:26-27).

 

Kata-kata Yesus di atas secara implisit telah menggambarkan model kuasa dan jabatan yang dibawa oleh Yesus. Sangat bertentangan dengan kuasa dan jabatan yang bersifat duniawi. Sungguh tidak mengenakan dan mengandung risiko tinggi. Di dalamnya, kita memiliki kewajiban untuk melayani, dan bukan untuk dilayani. Kita seharusnya memberi dengan tulus, tetapi tidak mengharap pamrih atasnya. Harta duniawi memang penting, tetapi tidak menjadi fokus. Apalagi terus ditimbun di balik tembok egoisme. Harta sorgawilah yang senantiasa dicari dan ditimbun dalam bejana hati. Kita dengan tulus hati menghormati dan menghargai orang lain, namun tidak patut meminta penghormatan atau penghargaan dari mereka. Kemegahan diri tidak dicari di dalamnya, melainkan kerendahan hatilah yang terus dipupuk. Untuk semua kebajikan yang telah dilakukan ini, kita pun harus rela dibakar oleh sekian tantangan dan hambatan. “Dapatkah kamu meminum cawan, yang harus Kuminum” (Mat 20:22). Hinaan, cercaan, makian, dan penindasan tidak jarang menjadi menu makanan bagi setiap orang yang memiliki Kristus di dalam hatinya.

 

Di dalam kuasa dan jabatan ilahi inilah terselip esensi panggilan Tuhan. Panggilan untuk melayani, dan bukan sebaliknya dilayani. Sebagai orang Katolik, kita semua dibimbing dan diarahkan untuk memahami, menjiwai, dan menghidupi panggilan itu dalam kehidupan sehari-hari. Di lingkup keluarga, masyarakat, komunitas atau pun di mana saja, hendaknya panggilan untuk melayani tetap kita wujudnyatakan. Rasul Yakobus anak Zebedeus telah memberi bukti. Bahkan dengan taruhan nyawanya, ia tetap giat, tulus, dan total menghidupi panggilan Tuhan untuk melayani semua orang. Mari kita sungguh menghayati spirit panggilan Tuhan untuk melayani dan bukan untuk dilayani. ***

Minggu, 31 Juli 2022

Kita Menjadi Tanda Tuhan

                                                             Mat 12:38-42

 

Ada banyak cara yang dilakukan oleh manusia untuk mengungkapkan rasa kasih atau cinta kepada orang lain. Ungkapan kasih atau cinta itu sebagai tanda yang menyatakan kedekatan sebuah relasi atau hubungan. Ungkapan cinta dengan pelbagai bentuk juga mempresentasikan tanda ketulusan atau totalitas bagi orang yang sungguh dikasihi. Seorang ayah atau ibu tidak ragu-ragu memberikan hadiah yang terbaik bagi anak-anaknya sebagai tanda kasih atau cinta yang tulus. Seorang pria atau wanita memberikan hadiah terbaik untuk sahabatnya sebagai tanda kasih yang besar. Hadiah terbaik juga menjadi tanda bagi lenggengnya hubungan sepasang kekasih. Dan masih banyak hal dilakukan oleh manusia sebagai perwujudan tanda kasih bagi orang lain. Tanpa sebuah tanda, bisa saja timbul gugatan dan rasa pesimis akan adanya rasa kasih yang terjalin antar manusia. Tentu orang dapat bertanya-tanya, apa bukti yang diberikan untuk mewujudkan cinta itu. Memang kehadiran tanda dalam bentuk yang nyata atau pun tidak nyata menjadi komponen penting untuk memastikan dalamnya relasi dan kasih yang terbangun.

 

Kebutuhan akan adanya sebuah tanda juga menjadi bahan percakapan antara para ahli Taurat, orang-orang Farisi dan Yesus. Para elit agama Yahudi (ahli Taurat dan orang Farisi), meminta tanda dari Yesus bukan sebagai tanda cinta. Permintaan tanda kepada Yesus hanyalah sebuah gugatan atas pelbagai hal tidak lazim dan fenomenal yang dilakukan Yesus. Melalui kata-kata Yesus yang penuh kuasa, bahkan dengan terang membawa nama Allah, menimbulkan ketidaknyamanan dan antipati di kalangan elit agama. Belum lagi ditambah dengan aksi-aksi mukjizat yang membuat para elit agama semakin terpojok. Dalam hati memang timbul rasa kagum secara pribadi kepada Yesus. Namun segera berganti dengan amarah dan iri hati yang dasyat. Mereka takut kehilangan simpati publik dari umat yang mulai terpengaruh dengan gerakan ilahi Yesus. Kedudukan, jabatan atau kuasa yang dimiliki mulai terancam dengan kehadiran Yesus.

 

Dengan demikian mereka perlu meminta klarifikasi dari Yesus terkait semua hal yang dikatakan dan dilakukan Yesus. Permintaan untuk melihat tanda dari Yesus merupakan pertanyaan jebakan. Selain juga bahwa mereka ingin menggugat kuasa ilahi Yesus. Jawaban Yesus nantinya dapat dipakai oleh mereka untuk menjerat-Nya dalam sebuah kesalahan. Sepertinya apa yang menjadi harapan mereka tidak tercapai. Yesus justru merespon permintaan mereka dengan mengatakan hal yang lain. Yesus menjustifikasi mereka sebagai angkatan bobrok. Angkatan yang jahat dan tidak setia. Yesus tidak sekedar mengklaim seperti itu. Ada pendasaran yang jelas. Bahwa sangat naif apabila mereka meminta sebuah tanda dari Yesus sebagai bukti otoritatif dari segala yang dilakukan-Nya. Dengan melihat, mendengar, dan meresapi apa yang dibuat Yesus, sebenarnya mereka tidak perlu lagi meminta tanda dari-Nya. Karena Yesus adalah tanda itu sendiri. Yesus adalah tanda perwujudan Allah secara langsung. Yesus adalah tanda yang membawa penghiburan dan keselamatan bagi semua orang. Yesus adalah tanda kuasa agung ilahi yang menyata di tengah dunia.

 

Kedegilan hati, sikap sombong dan egoisme telah menutup jalan bagi mereka untuk mengenali siapa Yesus. Mereka gagal menangkap tanda ilahi dalam diri Yesus karena merasa diri lebih hebat dan pintar. Berbeda dengan mereka, Yesus justru memberi apresiasi kepada orang Niniwe. Bangsa kafir yang tidak mengenal Allah. Tetapi mereka dapat membaca tanda ilahi yang dibawa oleh Yunus. Berkat pewartaan yang dikumandangkan oleh nabi Yunus, semua orang Niniwe bertobat. Padahal mereka tidak mengenal siapa Allah itu sebelumnya. Hal ini berbanding terbalik dengan sikap orang Israel yang mengklaim diri sebagai bangsa pilihan Allah. Mereka merasa diri paling dekat dengan Allah namun tidak mampu membaca tanda ilahi dalam diri Yesus.

 

Seperti para elit agama Israel yang gagal paham, seringkali juga kita gagal membaca tanda kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap pengalaman atau peristiwa yang dihadapi dianggap biasa saja. Kalau pun kita mengalami keberhasilan atau kebahagiaan tertentu, hal itu dipandang sebagai usaha pribadi. Jarang kita memahaminya dalam konteks “tanda ilahi”. Dan ketika mengalami pengalaman pahit, ada kecenderungan untuk menyalahkan diri, orang lain, dan Tuhan. Hal aneh yang mungkin tidak pernah disadari adalah kita sering meminta sesuatu yang berlebihan pada Tuhan. Kita memperlakukan Tuhan seperti seorang body guard yang harus menjaga kita setiap waktu. Kita tidak mau ada tantangan atau hambatan yang terjadi dalam hidup. Kalau masih ada tantangan atau hambatan timbul keragu-raguan pada Tuhan. Kita juga acapkali memandang Tuhan seperti superman. Dia yang selalu hadir memenuhi apa yang kita butuhkan dan inginkan dalam hidup. Kalau apa yang kita harapkan tidak tercapai, lagi-lagi Tuhan diragukan eksistensi-Nya. Sungguh, Tuhan itu berada dalam kemahakuasaan-Nya sendiri. Ia tidak pernah bisa dikendalikan oleh pikiran dan kehendak manusia. Ia jauh melampaui manusia. Namun Ia juga begitu dekat oleh karena kasih-Nya kepada manusia. Tuhan memang entitas tidak terbatas. Tetapi dalam ketidakterbatasan-Nya, Ia dapat dirasakan kehadiran-Nya dalam seluruh pengalaman manusiawi.

Hari ini kita sungguh diteguhkan bahwa Tuhan telah menjadi tanda dalam setiap peristiwa, kejadian, dan pengalaman hidup yang kita alami setiap hari. Entah pengalaman yang biasa-biasa saja, atau pun pengalaman yang penuh lika-liku perjuangan dan pergumulan, pengalaman tentang kegagalan dan keberhasilan, ternyata Tuhan menjadi tanda yang sungguh hidup. Sebagai orang Katolik, setiap pengalaman hidup adalah pengalaman iman yang sementara menguatkan ziarah hidup. Karena di dalam setiap pengalaman yang kita alami, Tuhan sungguh telah menjadi tanda yang membawa kekuatan, penghiburan, dan keselamatan. Semoga kita juga belajar menjadi tanda yang baik bagi orang lain lewat pewartaan, pelayanan, dan dedikasi yang tulus dan total.

Rabu, 22 Juni 2022

Menghindari Sikap Munafik

Mat 6: 1-6.16-18

 

Kebiasaan pamer sudah ada sejak dahulu kala sampai sekarang. Orang-orang yang suka pamer biasanya melakukan segala sesuatu hanya untuk dipuji orang. Tidak jarang demi mendapatkan pujian tersebut, mereka berusaha menampilkan diri serba baik dan hebat di depan orang. Kebiasaan pamer juga seolah mengikuti perkembangan zaman yang ditandai dengan munculnya pelbagai platform media sosial online seperti FB, instagram, twitter, dan lain-lain. Sarana-sarana digitalisasi ini dimanfaatkan oleh banyak orang untuk memamerkan diri. Jamak pula diikuti dengan pameran harta benda duniawi yang dimiliki. Harta benda apa saja pasti dijadikan bahan untuk dipamerkan di media public. Masing-masing orang berlomba-lomba menunjukkan diri dan kekayaannya demi mendapatkan likes atau coments.

 

Kecenderungan pamer juga menyusup masuk dalam kehidupan beragama. Dalam bacaan Injil hari ini (Mat 6:1-6.16-18), Yesus mengkritik kebiasaan pamer yang ditampilkan oleh para orang beragama. Ada tiga kebiasaan para elit agama yang menjadi sorotan Yesus. Pertama, sikap orang-orang beragama yang selalu memberitahukan ke publik apabila hendak menyumbang (bersedekah) sesuatu. Orang merasa belum sempurna apabila perbuatan baiknya tidak ketahui oleh banyak orang. Kedua, sikap orang-orang beragama yang selalu berdoa di tempat-tempat umum, seperti jalan raya dan pasar supaya dilihat orang dan mendapatkan simpati publik. Kalau di tempat tersembunyi pasti lolos dari perhatian orang-orang. Ketiga, sikap orang-orang beragama yang selalu memperlihatkan wajah yang murung di muka umum apabila sedang berpuasa. Bisa juga supaya lebih meyakinkan, ditambahkan asesoris tertentu supaya lebih kelihatan sedang menjalankan puasa. Tiga kebiasaan orang beragama ini menurut Yesus tidak patut dilakukan karena yang dicari oleh mereka hanya kemuliaan yang bersifat duniawi. Mereka hanya ingin mendapatkan pengakuan dan pujian dari khalayak. Tetapi hati mereka tidak dekat dengan Allah. Yesus melabeli orang-orang ini sebagai golongan orang-orang munafik.

 

Tentu ada alasan mendasar mengapa Yesus memberi cap munafik kepada orang-orang beragama yang suka memamerkan kesalehan pribadi. Selain karena ingin mendapatkan simpati dan pujian, hal menarik yang ditemukan oleh Yesus adalah bahwa mereka tidak mampu menunjukkan eksistensi pribadi sebagai orang-orang yang sungguh beriman kepada Allah. Kelekatan pada kekayaan, prestise atau nama baik, jabatan dan kekuasaan, menggiring orang-orang beragama kala itu bertindak menghalalkan segala cara, termasuk menjual nama agama dan ayat-ayat suci. Perilaku korup yang kental, tindakan pencurian dan penipuan yang merajalela, penindasan terhadap orang-orang kecil, sikap diskriminatif yang masif, menjadikan sekian masalah atau dosa pribadi sekaligus kolektif menghinggapi sebagian besar kalangan beragama saat itu. Di sisi lain, hal kontras mereka tampilkan dengan identifikasi diri sebagai yang suci. Kesalehan palsu inilah yang menggerogoti pribadi mereka sebagai orang-orang munafik.

 

 Sikap atau perilaku munafik menyerang diri kita juga sebagai orang-orang beragama. Acapkali apa yang kita tampilkan tidak sesuai dengan kenyataan. Penampilan secara fisik ternyata bisa menipu setiap orang yang melihat. Pakaian yang bagus beserta pernak-pernik yang melekat di tubuh tidak sepenuhnya mewakili jati diri kita yang sebenarnya. Karena kita memang terlahir sebagai orang-orang yang sudah memiliki agama. Kita mewarisi agama dari leluhur, kakek, nenek dan orang tua. Tetapi kita belum sampai pada level untuk sungguh memahami dan menghidupi ajaran agama sesuai dengan kehendak Tuhan. Kita semua, saya dan anda sering terjebak untuk tidak mengasihi Allah. Sikap munafik juga tergambar dengan tidak sejalannya kata-kata dan perbuatan. Apa yang dikatakan, berbeda dengan apa yang dibuat. Memang pelbagai kebaikan dan keindahan sering lebih nampak keluar dari mulut. Namun menjadi melorot pada level implementasinya. Kita dapat dengan mudah berkata tentang kejujuran, kesetiaan, keadilan, pengorbanan, ugahari (hemat), kerendahan hati, dan pelbagai keutamaan yang lainnya. Tetapi seringkali pula kita mengangkangi pelbagai nilai tersebut dengan sikap-sikap destruktif (negatif).

 

Ada kata-kata yang sangat menginspirasi dari Santo Agustinus. Siapa pun yang tidak mencintai Dia (Tuhan) yang menciptakan manusia, tidak belajar mencintai manusia dengan benar. Kita masih menampilkan sikap-sikap munafik dalam hidup karena seturut kata-kata Agustinus, kita belum sepenuhnya mencintai Tuhan yang menjadikan kita sebagai seorang manusia. Cinta kita masih sangat dangkal. Kita masih sibuk mencintai diri dan memberi kesenangan serta kenikmatan padanya. Dengan cinta yang dangkal, kita mudah terseret pada arus kemunafikan. Hari ini Tuhan mau mengembalikan jati diri kita ke level yang paling hakiki. Tuhan menghendaki agar kita sungguh menjadi orang beragama yang tidak memperlihatkan sikap munafik dalam hidup. Dan elemen yang mendasarinya adalah kadar cinta kita yang total kepada Tuhan. Kalau kita sungguh mencintainya berarti kita mau mengikuti apa yang telah menjadi firman dan kehendak-Nya. Mari kita memperlihatkan pribadi kita yang penuh ketulusan, kerendahan hati dan totalitas untuk melayani sesama bukan untuk mencari keuntungan pribadi. Tetapi demi kemuliaan nama Allah di tempat yang maha tinggi. ***AKD***