Yoh 12:24-26
Hari ini kita
merayakan pesta Santo Laurensius, seorang diakon dan martir (225-258). Santo
Laurensius merupakan salah satu dari tujuh diakon yang bertugas membantu Paus
Sixtus II di Roma. Ia mati sebagai martir di bawah kaisar Valerianus. Kita
tidak memiliki banyak informasi tentang Santo Laurensius, kecuali bahwa dia
bertugas sebagai pengawas dan bendahara harta kekayaan. Dengan kapasitas dan
wewenang demikian, Laurensius sungguh memberi perhatian bagi orang kecil dan
miskin di kota Roma. Ia terkenal karena kemurahan hatinya kepada orang-orang
miskin. Perhatian Laurensius terhadap orang miskin sungguh menggemakan karakter
Tuhan. Menjelang kematiannya yang tragis sebagai martir, Laurensius
mengumpulkan semua orang kecil dan miskin di kota Roma dan membagi habis semua
harta kekayaan yang disimpannya kepada mereka. Kemudian ia membawa mereka ke
hadapan kaisar Roma untuk diperkenalkan sebagai bagian dari harta kekayaan
gereja yang abadi. Tindakan Laurensius ini yang memicu kemarahan Kaisar
Valerianus. Para algojo pun diperintahkan untuk membakar hidup-hidup Laurensius
di atas besi panas. Kejadian ini tercatat pada tanggal 10 Agustus 258;
sekaligus menjadi tanggal kematian Santo Laurensius sebagai abdi Allah yang
setia.
Dengan
kemartirannya, Santo Laurensius memberikan contoh paling konkrit bahkan ekstrim
bagaimana menghayati kata-kata Yesus dalam Injil hari ini (Yoh 12:24-26). Dalam
Injil, kita mendengar komentar dan penjelasan Yesus tentang kematian dan
kebangkitan-Nya. Yesus membandingkan kematian-Nya seperti biji gandum yang
jatuh ke tanah dan mati. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam
tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan
menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Hanya dengan proses itu kehidupan baru
bersemi sampai akhirnya melipatgandakan buah-buahnya. Yesus menyerahkan
hidup-Nya melalui penderitaan dan kematian di kayu salib dan bangkit kembali
dalam kehidupan baru. Penderitaan dan kematian Yesus melahirkan kehidupan baru
dengan bertumbuhnya jumlah orang-orang yang terinspirasi oleh hidup-Nya dan
berkomitmen mengikuti Dia. Santo Laurensius mengikuti secara harafiah dengan
mengalami penderitaan sesungguhnya dan menumpahkan darah kemartiran. Laurensius
bagaikan sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Tetapi dari kematiannya
banyak orang mendapat inspirasi untuk bertumbuh dan dikuatkan dalam iman. Darah
kemartirannya menjadi pupuk bagi perkembangan gereja hingga dewasa ini.
Menarik
menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana caranya kita menghayati dan menghidupi
kata-kata Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ada seorang sahabat menceritakan
pengalaman bagaimana ibu kandungnya diperlakukan secara tidak baik oleh saudaranya
yang lain. Bahkan kalau dibilang perlakuan itu sudah tidak manusiawi. Ibunya
sering dimarahi, dimaki, dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun
sang ibu hanya diam. Mungkin dalam diamnya ia juga merasa kecewa dan sakit
sebagai seorang manusia. Tetapi ia tidak pernah menceritakan atau mengungkapkan
perasaannya terkait masalah itu kepada orang lain. Bahkan kepada anak lainnya, yang
tidak tinggal bersamanya. Walaupun menerima perlakuan yang tidak baik dari
anaknya, sang ibu dari sahabat ini tetap menunjukkan perhatian dan kasih yang
tulus. Ia tetap bekerja di kebun untuk menafkahi sang anak. Walaupun sang anak
hanya bermalas-malasan saja di rumah. Ia juga sangat bermurah hati. Ketika
menerima dana BLT (bantuan Tunai Lansung) dari desa, ia akan membagi sebagian
uang tersebut kepada anak. Ironis memang. Kasih ibu begitu dasyat. Kejahatan
sang anak dibalas dengan kebaikan yang total dan tulus. Sahabat saya seringkali
mengingatkan sang ibu untuk tidak boleh lagi memberi perhatian dan kasih kepada
sang saudara yang jahat itu. Namun ibunya tidak mengindahkannya. Ia tetap mengampuni
sang anak, memberi perhatian dan kasih yang tulus.
Sang ibu dari sahabat saya,
sebenarnya telah memperlihatkan diri dan hidupnya ibarat biji gandum yang jatuh
dan mati di tanah. Walaupun secara fisik ia masih hidup, namun ia “telah mati”
dari sikap-sikap keduniawiannya. Ia sudah menanggalkan sikap egois dan rasa
gengsi sebagai orang tua. Ia sudah “menguburkan” sikap marah dan balas dendam
ketika diperlakukan tidak manusiawi. Ia rela menanggalkan sikap-sikap
manusiawinya demi menumbuhkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan dalam
kehidupan seperti yang diajarkan oleh Sang Guru ilahi Yesus Kristus. Dalam
ketidaksadarannya, sang ibu sedang mewariskan spirit kasih Yesus dalam
kehidupan. Spirit kasih yang terejawantah dalam sikap murah hati, tidak balas
dendam, selalu mengampuni, tetap setia, rendah hati, dan sebagainya.
Saya meyakini bahwa pengalaman dan
pembelajaran tentang filosofi biji gandum yang harus jatuh dan mati untuk
kemudian dapat berbuah banyak tentu sangat rumit untuk dipahami. Serumit kita
membayangkan Yesus yang ilahi tetap sungguh-sungguh manusia harus rela
menderita dan wafat di kayu salib. Serumit juga saat kita memikirkan nasib St.
Laurensius yang harus dipanggang hidup-hidup di atas bara api. Memikirkannya
saja sudah sulit apalagi melaksanakannya. Tentu kita tidak perlu menafsirkan
dan menjalankan secara ekstrim konsep “biji gandum yang jatuh di tanah dan
mati” seperti yang dilakukan Yesus dan Santo Laurensius. Kita perlu belajar
dari ibu sahabat saya untuk secara sederhana memahami dan mengimplementasikan
filosofi “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati”. Kita perlu mengolah hidup
dan menata diri lebih baik. Kita hendaknya rela menanggalkan keegoan, rasa
gengsi, dan sikap arogan demi menumbuhkan spirit kasih yang diajarkan oleh
Yesus. Dalam konteks tupoksi kita di Rumah Sakit Bukit Lewoleba, seyogyanya
kita menumbuhkembangkan semangat pelayanan yang tulus dan total dengan
menghindari pelbagai kepentingan pribadi dan orientasi mencari keuntungan.
Sebagai seorang pasien, mari kita menghidupkan filosofi biji gandum yang jatuh
di tanah dengan bersikap sabar dan tetap teguh dalam pengharapan iman kepada
Tuhan,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar