Senin, 13 Februari 2023

Biji Gandum Harus Mati

 

Yoh 12:24-26

           

            Hari ini kita merayakan pesta Santo Laurensius, seorang diakon dan martir (225-258). Santo Laurensius merupakan salah satu dari tujuh diakon yang bertugas membantu Paus Sixtus II di Roma. Ia mati sebagai martir di bawah kaisar Valerianus. Kita tidak memiliki banyak informasi tentang Santo Laurensius, kecuali bahwa dia bertugas sebagai pengawas dan bendahara harta kekayaan. Dengan kapasitas dan wewenang demikian, Laurensius sungguh memberi perhatian bagi orang kecil dan miskin di kota Roma. Ia terkenal karena kemurahan hatinya kepada orang-orang miskin. Perhatian Laurensius terhadap orang miskin sungguh menggemakan karakter Tuhan. Menjelang kematiannya yang tragis sebagai martir, Laurensius mengumpulkan semua orang kecil dan miskin di kota Roma dan membagi habis semua harta kekayaan yang disimpannya kepada mereka. Kemudian ia membawa mereka ke hadapan kaisar Roma untuk diperkenalkan sebagai bagian dari harta kekayaan gereja yang abadi. Tindakan Laurensius ini yang memicu kemarahan Kaisar Valerianus. Para algojo pun diperintahkan untuk membakar hidup-hidup Laurensius di atas besi panas. Kejadian ini tercatat pada tanggal 10 Agustus 258; sekaligus menjadi tanggal kematian Santo Laurensius sebagai abdi Allah yang setia.

 

            Dengan kemartirannya, Santo Laurensius memberikan contoh paling konkrit bahkan ekstrim bagaimana menghayati kata-kata Yesus dalam Injil hari ini (Yoh 12:24-26). Dalam Injil, kita mendengar komentar dan penjelasan Yesus tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Yesus membandingkan kematian-Nya seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Hanya dengan proses itu kehidupan baru bersemi sampai akhirnya melipatgandakan buah-buahnya. Yesus menyerahkan hidup-Nya melalui penderitaan dan kematian di kayu salib dan bangkit kembali dalam kehidupan baru. Penderitaan dan kematian Yesus melahirkan kehidupan baru dengan bertumbuhnya jumlah orang-orang yang terinspirasi oleh hidup-Nya dan berkomitmen mengikuti Dia. Santo Laurensius mengikuti secara harafiah dengan mengalami penderitaan sesungguhnya dan menumpahkan darah kemartiran. Laurensius bagaikan sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Tetapi dari kematiannya banyak orang mendapat inspirasi untuk bertumbuh dan dikuatkan dalam iman. Darah kemartirannya menjadi pupuk bagi perkembangan gereja hingga dewasa ini.

 

            Menarik menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana caranya kita menghayati dan menghidupi kata-kata Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ada seorang sahabat menceritakan pengalaman bagaimana ibu kandungnya diperlakukan secara tidak baik oleh saudaranya yang lain. Bahkan kalau dibilang perlakuan itu sudah tidak manusiawi. Ibunya sering dimarahi, dimaki, dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun sang ibu hanya diam. Mungkin dalam diamnya ia juga merasa kecewa dan sakit sebagai seorang manusia. Tetapi ia tidak pernah menceritakan atau mengungkapkan perasaannya terkait masalah itu kepada orang lain. Bahkan kepada anak lainnya, yang tidak tinggal bersamanya. Walaupun menerima perlakuan yang tidak baik dari anaknya, sang ibu dari sahabat ini tetap menunjukkan perhatian dan kasih yang tulus. Ia tetap bekerja di kebun untuk menafkahi sang anak. Walaupun sang anak hanya bermalas-malasan saja di rumah. Ia juga sangat bermurah hati. Ketika menerima dana BLT (bantuan Tunai Lansung) dari desa, ia akan membagi sebagian uang tersebut kepada anak. Ironis memang. Kasih ibu begitu dasyat. Kejahatan sang anak dibalas dengan kebaikan yang total dan tulus. Sahabat saya seringkali mengingatkan sang ibu untuk tidak boleh lagi memberi perhatian dan kasih kepada sang saudara yang jahat itu. Namun ibunya tidak mengindahkannya. Ia tetap mengampuni sang anak, memberi perhatian dan kasih yang tulus.

 

            Sang ibu dari sahabat saya, sebenarnya telah memperlihatkan diri dan hidupnya ibarat biji gandum yang jatuh dan mati di tanah. Walaupun secara fisik ia masih hidup, namun ia “telah mati” dari sikap-sikap keduniawiannya. Ia sudah menanggalkan sikap egois dan rasa gengsi sebagai orang tua. Ia sudah “menguburkan” sikap marah dan balas dendam ketika diperlakukan tidak manusiawi. Ia rela menanggalkan sikap-sikap manusiawinya demi menumbuhkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan dalam kehidupan seperti yang diajarkan oleh Sang Guru ilahi Yesus Kristus. Dalam ketidaksadarannya, sang ibu sedang mewariskan spirit kasih Yesus dalam kehidupan. Spirit kasih yang terejawantah dalam sikap murah hati, tidak balas dendam, selalu mengampuni, tetap setia, rendah hati, dan sebagainya.

 

            Saya meyakini bahwa pengalaman dan pembelajaran tentang filosofi biji gandum yang harus jatuh dan mati untuk kemudian dapat berbuah banyak tentu sangat rumit untuk dipahami. Serumit kita membayangkan Yesus yang ilahi tetap sungguh-sungguh manusia harus rela menderita dan wafat di kayu salib. Serumit juga saat kita memikirkan nasib St. Laurensius yang harus dipanggang hidup-hidup di atas bara api. Memikirkannya saja sudah sulit apalagi melaksanakannya. Tentu kita tidak perlu menafsirkan dan menjalankan secara ekstrim konsep “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati” seperti yang dilakukan Yesus dan Santo Laurensius. Kita perlu belajar dari ibu sahabat saya untuk secara sederhana memahami dan mengimplementasikan filosofi “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati”. Kita perlu mengolah hidup dan menata diri lebih baik. Kita hendaknya rela menanggalkan keegoan, rasa gengsi, dan sikap arogan demi menumbuhkan spirit kasih yang diajarkan oleh Yesus. Dalam konteks tupoksi kita di Rumah Sakit Bukit Lewoleba, seyogyanya kita menumbuhkembangkan semangat pelayanan yang tulus dan total dengan menghindari pelbagai kepentingan pribadi dan orientasi mencari keuntungan. Sebagai seorang pasien, mari kita menghidupkan filosofi biji gandum yang jatuh di tanah dengan bersikap sabar dan tetap teguh dalam pengharapan iman kepada Tuhan,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar