Selasa, 21 Februari 2023

Spirit Santa Perawan Maria Ratu

                                                    Mat 23:13-22

           

            Setiap tanggal 22 Agustus, Gereja Katolik Roma merayakan peringatan Santa Perawan Maria Ratu (Santa Maria Regina). Maria disebut Ratu karena dan sebagaimana Kristus adalah Raja. Konsili Vatikan II meneruskan tradisi sejak abad IV, menegaskan kembali ajaran tentang keratuan Maria: “Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya” (Lumen Gentium 59). Gelar Ratu diberikan untuk menunjukkan secara resmi keadaan Santa Perawan Maria yang bertahta di sisi Puteranya, Raja Kemuliaan. Gelar sebagai Ratu beserta kekuasaannya telah diperkenalkan di lingkungan rahib Benediktin sejak awal abad XII. Nyanyian yang amat terkenal yakni Salve Regina sudah diketahui dalam abad XI. Madah itu merupakan ungkapan khas para rahib dalam menyatakan permohonan kepada Santa Perawan Maria.

 

            Mengapa Santa Perawan Maria layak digelari Ratu? Secara biblis bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Keratuan Maria bisa dimengerti sebagai cara mengambil bagian secara unggul dalam imamat rajawi umat Perjanjian Baru. Semua orang dipanggil untuk memerintah bersama Kristus. Santa Perawan Maria merupakan yang pertama dari semua orang yang terpanggil untuk memerintah bersama Kristus untuk selama-lamanya. Kedua, Keratuan Maria juga merupakan konsekuensi keikutsertaan Bunda Maria dalam misteri Paskah Puteranya yang dinyatakan dalam kerendahan diri, penderitaan dan kemuliaan. Oleh karena Maria telah ikut serta dalam merendahkan diri sebagai hamba dan mengalami sengsara bersama Kristus, maka layaklah Bunda Maria mengalami kemuliaan bersama Kristus.

 

            Ketiga, keratuan Santa Perawan Maria adalah tujuan akhir dari perjalanannya sebagai murid. Pada akhir hidupnya di dunia, Santa Perawan Maria dipindahkan ke dalam Kerajaan Puteranya dan menerima kepenuhan “mahkota kehidupan”. Tujuan akhir ini mempunyai makna bagi Gereja dan seluruh ciptaan, sebab Santa Perawan Maria yang kini telah bersatu sepenuhnya dengan Kristus merupakan gambaran arah perjalanan sejarah Gereja dan seluruh ciptaan menuju “langit dan bumi yang baru” (Why:21:1); suatu kediaman bersama Allah di mana “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau  dukacita” (Why :21:4).

 

            Paus Pius XII menyebut Maria sebagai Ratu karena ia adalah Bunda Kristus dan juga karena seturut kehendak Allah ia memainkan peranan yang unik dalam karya penebusan Tuhan. “Sebagaimana Puteranya, Maria mengalahkan maut dan diangkat dengan badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan sorgawi, di mana sebagai ratu ia duduk dalam kemegahan di sisi Puteranya, Raja abadi” (Pius XII, Munificentissimus Deus; Acta Apostolicae Sedis (1950). Gelar Maria sebagai Ratu dinyatakan dalam dokumen Gereja, khususnya dalam ensiklik Pius XII Ad caeli reginam. Paus Pius XII memasukkan dalam kalander liturgi tanggal 31 Mei sebagai pesta Maria Ratu. Ketika kalender liturgi diperbarui pada tahun 1969, pesta Santa Perawan Maria Ratu digeser ke tanggal 22 Agustus, yaitu dalam oktaf atau hari ke kedelapan sesudah Hari Raya Pengangkatan Santa Perawan Maria ke sorga. Pesta liturgis yang baru ini dipandang sebagai kelanjutan dari ketentuan tentang pengangkatan Maria ke sorga, dan sebagai penegasan pengantaraan Maria.

 

            Seluruh ayat dalam bab 23 dari Injil Matius berisi kecaman Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus mengecam mereka karena kemunafikan mereka. Hidup mereka penuh kepalsuan. Apa yang tampak dari luar berbeda dengan apa yang ada di dalam diri. Mereka memang mengetahui secara baik kebenaran firman Tuhan, karena mereka mempelajarinya. Tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan perbuatan mereka jauh menyimpang dari ajaran yang telah disampaikan oleh mereka sendiri. Ini adalah gambaran cara hidup orang munafik. Orang munafik biasanya menutupi kekurangan atau kesalahannya dengan cara yang licik. Di depan orang banyak mereka berpura-pura baik, ramah, sokh rohani dan saleh. Padahal sejatinya bertolak belakang. Motivasi pelayanan yang ditampilkan pun tidak murni, “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang”.

 

            Dengan lain kata, mereka melakukan kebaikan atau menampilkan kesalehan supaya beroleh pujian dan sanjungan dari orang lain. Pelayanan mereka tidak dilandasi kasih. Maka Tuhan memberi nasihat: “turutilah dan lakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Orang beriman dewasa ini masih jatuh dalam cara hidup munafik, seperti yang digambarkan di atas. Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk terus dan tetap belajar menjadi orang yang bijaksana dalam menjalankan hukum dan tata cara agama serta perilaku moral dengan jujur, baik, dan benar, tanpa mengorbankan orang lain. Kita juga belajar dari Santa Perawan Maria Ratu yang telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang setia, total, dan tulus dalam menjalankan perintah Tuhan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar