Mat 23:13-22
Setiap tanggal 22 Agustus, Gereja Katolik Roma
merayakan peringatan Santa Perawan Maria Ratu (Santa Maria Regina). Maria disebut Ratu karena dan sebagaimana
Kristus adalah Raja. Konsili Vatikan II meneruskan tradisi sejak abad IV,
menegaskan kembali ajaran tentang keratuan Maria: “Ia telah ditinggikan oleh
Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai
Puteranya” (Lumen Gentium 59). Gelar
Ratu diberikan untuk menunjukkan secara resmi keadaan Santa Perawan Maria yang
bertahta di sisi Puteranya, Raja Kemuliaan. Gelar sebagai Ratu beserta
kekuasaannya telah diperkenalkan di lingkungan rahib Benediktin sejak awal abad
XII. Nyanyian yang amat terkenal yakni Salve
Regina sudah diketahui dalam abad XI. Madah itu merupakan ungkapan khas
para rahib dalam menyatakan permohonan kepada Santa Perawan Maria.
Mengapa Santa Perawan Maria layak
digelari Ratu? Secara biblis bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Keratuan
Maria bisa dimengerti sebagai cara mengambil bagian secara unggul dalam imamat
rajawi umat Perjanjian Baru. Semua orang dipanggil untuk memerintah bersama
Kristus. Santa Perawan Maria merupakan yang pertama dari semua orang yang
terpanggil untuk memerintah bersama Kristus untuk selama-lamanya. Kedua,
Keratuan Maria juga merupakan konsekuensi keikutsertaan Bunda Maria dalam
misteri Paskah Puteranya yang dinyatakan dalam kerendahan diri, penderitaan dan
kemuliaan. Oleh karena Maria telah ikut serta dalam merendahkan diri sebagai
hamba dan mengalami sengsara bersama Kristus, maka layaklah Bunda Maria
mengalami kemuliaan bersama Kristus.
Ketiga, keratuan Santa Perawan Maria
adalah tujuan akhir dari perjalanannya sebagai murid. Pada akhir hidupnya di
dunia, Santa Perawan Maria dipindahkan ke dalam Kerajaan Puteranya dan menerima
kepenuhan “mahkota kehidupan”. Tujuan akhir ini mempunyai makna bagi Gereja dan
seluruh ciptaan, sebab Santa Perawan Maria yang kini telah bersatu sepenuhnya
dengan Kristus merupakan gambaran arah perjalanan sejarah Gereja dan seluruh
ciptaan menuju “langit dan bumi yang baru” (Why:21:1); suatu kediaman bersama
Allah di mana “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita” (Why :21:4).
Paus Pius XII menyebut Maria sebagai
Ratu karena ia adalah Bunda Kristus dan juga karena seturut kehendak Allah ia
memainkan peranan yang unik dalam karya penebusan Tuhan. “Sebagaimana Puteranya, Maria mengalahkan maut dan diangkat dengan
badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan sorgawi, di mana sebagai ratu ia duduk
dalam kemegahan di sisi Puteranya, Raja abadi” (Pius XII, Munificentissimus Deus; Acta Apostolicae
Sedis (1950). Gelar Maria sebagai Ratu dinyatakan dalam dokumen Gereja,
khususnya dalam ensiklik Pius XII Ad
caeli reginam. Paus Pius XII memasukkan dalam kalander liturgi tanggal 31
Mei sebagai pesta Maria Ratu. Ketika kalender liturgi diperbarui pada tahun
1969, pesta Santa Perawan Maria Ratu digeser ke tanggal 22 Agustus, yaitu dalam
oktaf atau hari ke kedelapan sesudah Hari Raya Pengangkatan Santa Perawan Maria
ke sorga. Pesta liturgis yang baru ini dipandang sebagai kelanjutan dari
ketentuan tentang pengangkatan Maria ke sorga, dan sebagai penegasan
pengantaraan Maria.
Seluruh ayat dalam bab 23 dari Injil
Matius berisi kecaman Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang
Farisi. Yesus mengecam mereka karena kemunafikan mereka. Hidup mereka penuh
kepalsuan. Apa yang tampak dari luar berbeda dengan apa yang ada di dalam diri.
Mereka memang mengetahui secara baik kebenaran firman Tuhan, karena mereka
mempelajarinya. Tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan perbuatan mereka jauh
menyimpang dari ajaran yang telah disampaikan oleh mereka sendiri. Ini adalah
gambaran cara hidup orang munafik. Orang munafik biasanya menutupi kekurangan
atau kesalahannya dengan cara yang licik. Di depan orang banyak mereka
berpura-pura baik, ramah, sokh rohani dan saleh. Padahal sejatinya bertolak
belakang. Motivasi pelayanan yang ditampilkan pun tidak murni, “Semua pekerjaan
yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang”.
Dengan lain kata, mereka melakukan kebaikan atau menampilkan kesalehan supaya beroleh pujian dan sanjungan dari orang lain. Pelayanan mereka tidak dilandasi kasih. Maka Tuhan memberi nasihat: “turutilah dan lakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Orang beriman dewasa ini masih jatuh dalam cara hidup munafik, seperti yang digambarkan di atas. Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk terus dan tetap belajar menjadi orang yang bijaksana dalam menjalankan hukum dan tata cara agama serta perilaku moral dengan jujur, baik, dan benar, tanpa mengorbankan orang lain. Kita juga belajar dari Santa Perawan Maria Ratu yang telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang setia, total, dan tulus dalam menjalankan perintah Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar