Mat 15:21-28
Sahabat saya, seorang Katolik, menceritakan
pengalaman bagaimana ia didoakan oleh seorang ustad. Sang ustad itu adalah
seorang ulama muslim karismatik yang sangat disegani oleh pelbagai kalangan dan
lintas agama. Kebetulan sahabat saya sangat mengagumi beliau. Dalam suatu
kesempatan dimana sahabat ini bertemu muka dengan sang ustad, maka tanpa
ragu-ragu ia meminta supaya didoakan. Sang ulama awalnya ragu karena melihat
ada kalung salib menjuntai di leher sang sahabat. Namun sahabat saya meyakinkan
sang ustad. “Saya percaya doa anda akan memberi berkat dan menyelamatkan hidup
saya”. Maka dengan senyum yang tulus, sang ustad akhirnya mendoakan sahabat
saya.
Kalau kita membaca Injil Matius, setidaknya
ada dua orang yang dipuji oleh Yesus karena iman mereka yang besar. Pertama,
seorang perwira tentara Romawi yang datang kepada Yesus untuk meminta
pertolongan karena hambanya sedang sakit. Ketika Yesus hendak menyambangi
rumahnya, perwira itu berkata: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam
rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Mat 8:8).
Mendengar hal itu, Yesus pun memuji iman sang perwira. “Aku berkata kepadamu,
sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara
orang Israel” (Mat 8:10).
Kedua, seorang perempuan Kanaan yang
diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15.21-28). Ia sangat ngotot kepada
Yesus supaya Yesus bisa menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan
setan. Ia tidak peduli kepada para murid yang mencoba menghalanginya. Bahkan
tantangan tidak datang dari para murid saja. Beberapa pernyataan Yesus pun
menyudutkan dan menyepelekan perempuan Kanaan ini. Statusnya sebagai orang
Kanaan yang notabene dipandang sebagai masyarakat kelas dua, dan ditambah
dengan kodratnya sebagai perempuan, semakin menguatkan posisinya sebagai orang
yang tidak pantas untuk menerima pertolongan. Apalagi ditolong oleh orang
Yahudi, seperti Yesus, yang memang dianggap sebagai bangsa kelas atas kala itu.
Namun semua tantangan tidak menyurutkan niat
perempuan Kanaan untuk terus meminta belaskasihan dari Yesus. Ia rela
merendahkan dirinya di hadapan Yesus walau dianggap sebagai anjing yang
mengharap remah-remah roti dari tuannya. Terhadap sikap perempuan Kanaan ini,
Yesus pun berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang
kaukehendaki” (Mat 15:28). Karena imannya itu pula, anaknya menjadi pulih dari
sakitnya.
Sang perwira tentara Romawi dan perempuan Kanaan,
dua-duanya dianggap sebagai orang kafir. Atau orang yang tidak percaya kepada
Allah. Namun keduanya tetap memiliki iman yang besar. Mereka percaya bahwa
Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan mereka. Lebih miris lagi
perempuan Kanaan. Ia dihambat dan dihina dengan kata-kata yang menyakitkan.
Namun ia tetap sabar dan kuat menghadapinya. Sebagai manusia, mungkin ia merasa
sakit hati dan kecewa. Tetapi ia tetap mengumpulkan kekuatannya demi
belaskasihan Tuhan kepada anaknya.
Perempuan Kanaan dan sang perwira tentara
Romawi telah menginspirasi banyak nilai kepada kita. Ada beberapa nilai atau
hal positif yang kita ambil dari refleksi rohani kali ini. Pertama,
belaskasihan Allah kepada manusia. Bahwa belaskasihan Allah menjamah setiap
relung hati manusia yang percaya kepada-Nya. Belaskasihan Allah menerobos
batas-batas kemanusiaan kita. Entah orang kaya, orang kecil dan miskin, Entah
orang dengan agama dan keyakinan apa pun. Entah orang dengan budaya dan tradisi
mana pun. Belaskasihan Allah senantiasa menaungi mereka yang percaya. Kedua,
sikap sabar dan keteguhan hati. Konsekuensi dari sikap percaya adalah sikap
sabar dan teguh hati. keutamaan ini diperlukan agar kita tidak mudah goyah dan
patah manakala menghadapi aneka tantangan dan hambatan. Kita tetap percaya akan
belaskasihan Tuhan walau tantangan dan hambatan itu datang bertubi-tubi.
Ketiga, kerendahan hati. konsekuensi dari sikap percaya adalah selalu rendah
hati di hadapan Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan mengabaikan intervensi-Nya
dalam kehidupan. Dalam kerendahan hati, kita tetap memasrahkan seluruh diri dan
hidup kita kepada-Nya.
Kisah perempuan Kanaan yang dianggap sebagai
orang yang tidak ber-Tuhan sungguh mengugah dan menggugat kehidupan iman kita.
Bertumbuh sejak lahir hingga beranjak menjadi dewasa, iman kita akan Tuhan
senantiasa ditumbuhkan, dikembangkan, dan dipupuk agar tetap mekar layaknya
bunga yang mekar tanpa layu. Namun seringkali iman kita mudah goyah manakala
dihantam pelbagai badai zaman ini. Tuntutan ekonomi yang semakin sulit, gaya
hidup sosial yang tinggi, hantaman budaya asing yang tidak terfilterisasi
(tidak disaring dengan baik), menjadi sekian tantangan yang bisa menggerus
kadar keimanan kita kepada Tuhan.
Kita senantiasa belajar dari perempuan Kanaan untuk tidak
mudah goyah dan terperosok dalam pelbagai tantangan. Kita tetap kuat dan teguh
hati kepada Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan angkuh di
hadapan-Nya. Kita tetap percaya dan berharap bahwa belaskasihan Allah akan
datang dan menaungi hidup kita. Mari kita meyakini bahwa Iman kepada Tuhan
sungguh menyelamatkan hidup.WL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar