Senin, 06 Februari 2023

Iman Yang Menyelamatkan

                                                    Mat 15:21-28

 

Sahabat saya, seorang Katolik, menceritakan pengalaman bagaimana ia didoakan oleh seorang ustad. Sang ustad itu adalah seorang ulama muslim karismatik yang sangat disegani oleh pelbagai kalangan dan lintas agama. Kebetulan sahabat saya sangat mengagumi beliau. Dalam suatu kesempatan dimana sahabat ini bertemu muka dengan sang ustad, maka tanpa ragu-ragu ia meminta supaya didoakan. Sang ulama awalnya ragu karena melihat ada kalung salib menjuntai di leher sang sahabat. Namun sahabat saya meyakinkan sang ustad. “Saya percaya doa anda akan memberi berkat dan menyelamatkan hidup saya”. Maka dengan senyum yang tulus, sang ustad akhirnya mendoakan sahabat saya.

 

Kalau kita membaca Injil Matius, setidaknya ada dua orang yang dipuji oleh Yesus karena iman mereka yang besar. Pertama, seorang perwira tentara Romawi yang datang kepada Yesus untuk meminta pertolongan karena hambanya sedang sakit. Ketika Yesus hendak menyambangi rumahnya, perwira itu berkata: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Mat 8:8). Mendengar hal itu, Yesus pun memuji iman sang perwira. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel” (Mat 8:10).

 

Kedua, seorang perempuan Kanaan yang diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15.21-28). Ia sangat ngotot kepada Yesus supaya Yesus bisa menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Ia tidak peduli kepada para murid yang mencoba menghalanginya. Bahkan tantangan tidak datang dari para murid saja. Beberapa pernyataan Yesus pun menyudutkan dan menyepelekan perempuan Kanaan ini. Statusnya sebagai orang Kanaan yang notabene dipandang sebagai masyarakat kelas dua, dan ditambah dengan kodratnya sebagai perempuan, semakin menguatkan posisinya sebagai orang yang tidak pantas untuk menerima pertolongan. Apalagi ditolong oleh orang Yahudi, seperti Yesus, yang memang dianggap sebagai bangsa kelas atas kala itu.

 

Namun semua tantangan tidak menyurutkan niat perempuan Kanaan untuk terus meminta belaskasihan dari Yesus. Ia rela merendahkan dirinya di hadapan Yesus walau dianggap sebagai anjing yang mengharap remah-remah roti dari tuannya. Terhadap sikap perempuan Kanaan ini, Yesus pun berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki” (Mat 15:28). Karena imannya itu pula, anaknya menjadi pulih dari sakitnya.

 

Sang perwira tentara Romawi dan perempuan Kanaan, dua-duanya dianggap sebagai orang kafir. Atau orang yang tidak percaya kepada Allah. Namun keduanya tetap memiliki iman yang besar. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan mereka. Lebih miris lagi perempuan Kanaan. Ia dihambat dan dihina dengan kata-kata yang menyakitkan. Namun ia tetap sabar dan kuat menghadapinya. Sebagai manusia, mungkin ia merasa sakit hati dan kecewa. Tetapi ia tetap mengumpulkan kekuatannya demi belaskasihan Tuhan kepada anaknya.

 

Perempuan Kanaan dan sang perwira tentara Romawi telah menginspirasi banyak nilai kepada kita. Ada beberapa nilai atau hal positif yang kita ambil dari refleksi rohani kali ini. Pertama, belaskasihan Allah kepada manusia. Bahwa belaskasihan Allah menjamah setiap relung hati manusia yang percaya kepada-Nya. Belaskasihan Allah menerobos batas-batas kemanusiaan kita. Entah orang kaya, orang kecil dan miskin, Entah orang dengan agama dan keyakinan apa pun. Entah orang dengan budaya dan tradisi mana pun. Belaskasihan Allah senantiasa menaungi mereka yang percaya. Kedua, sikap sabar dan keteguhan hati. Konsekuensi dari sikap percaya adalah sikap sabar dan teguh hati. keutamaan ini diperlukan agar kita tidak mudah goyah dan patah manakala menghadapi aneka tantangan dan hambatan. Kita tetap percaya akan belaskasihan Tuhan walau tantangan dan hambatan itu datang bertubi-tubi. Ketiga, kerendahan hati. konsekuensi dari sikap percaya adalah selalu rendah hati di hadapan Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan mengabaikan intervensi-Nya dalam kehidupan. Dalam kerendahan hati, kita tetap memasrahkan seluruh diri dan hidup kita kepada-Nya.

 

Kisah perempuan Kanaan yang dianggap sebagai orang yang tidak ber-Tuhan sungguh mengugah dan menggugat kehidupan iman kita. Bertumbuh sejak lahir hingga beranjak menjadi dewasa, iman kita akan Tuhan senantiasa ditumbuhkan, dikembangkan, dan dipupuk agar tetap mekar layaknya bunga yang mekar tanpa layu. Namun seringkali iman kita mudah goyah manakala dihantam pelbagai badai zaman ini. Tuntutan ekonomi yang semakin sulit, gaya hidup sosial yang tinggi, hantaman budaya asing yang tidak terfilterisasi (tidak disaring dengan baik), menjadi sekian tantangan yang bisa menggerus kadar keimanan kita kepada Tuhan.

 

Kita senantiasa belajar dari perempuan Kanaan untuk tidak mudah goyah dan terperosok dalam pelbagai tantangan. Kita tetap kuat dan teguh hati kepada Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan angkuh di hadapan-Nya. Kita tetap percaya dan berharap bahwa belaskasihan Allah akan datang dan menaungi hidup kita. Mari kita meyakini bahwa Iman kepada Tuhan sungguh menyelamatkan hidup.WL


Tidak ada komentar:

Posting Komentar