Yoh 15: 1-8
Kita semua
pasti pernah mendengar ungkapan yang berbunyi “Buah jatuh tidak jauh dari
pohon”. Ungkapan ini mau menggambarkan sifat atau perilaku seorang anak tidak
jauh berbeda dengan orang tuanya. Apa yang menjadi ciri khas, karakter dan
tindakan tertentu dari seorang anak seringkali dihubungkan dengan orang tuanya.
Misalnya cara seorang anak berjalan, berbicara, tertawa, dan tersenyum. Atau
bisa juga saat anak menunjukkan kecerdasan dan kelemahan dalam bidang tertentu.
Atau juga perilaku yang baik atau buruk dalam kehidupan sosial, acapkali
dikorelasikan dengan perilaku orang tuanya. Walaupun memang harus diakui faktor
turunan atau genetik bukan satu-satunya penyebab utama. Pada intinya, apa yang
melekat dan dilakukan oleh seorang anak kerap disandingkan dengan eksistensi
orang tuanya. Karena anak adalah buah cinta yang dihasilkan dari tindakan kasih
kedua orang tuanya.
Pada hari ini, Yesus menegaskan Diri-Nya kepada
para murid dalam bentuk alegori. Yesus membandingkan Diri-Nya dengan pokok
anggur. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya” (Yoh 15:5). Pokok
anggur itu terbentuk dari akar sampai batang. Pada pokok anggur itu tersedia
atau melekat cabang-cabang dan ranting-ranting. Cabang-cabang atau
ranting-ranting mendapat asupan makanan dari pokok anggur. Kehidupan cabang dan
ranting bergantung pada asupan makanan yang disuplai sang pokok tumbuhan. Kalau
asupan makanannya berjalan baik dan bernilai gizi pasti ranting dan cabang akan
bertumbuh dan berkembang baik. Tidak hanya itu, dari ranting-ranting pohon
anggur akan nampak buah-buah anggur yang baik dan berlimpah. Sebaliknya kalau
aliran makanan tidak berjalan dengan baik dan lancar maka cabang atau ranting
dari tumbuhan itu akan menjadi kering. Kemudian, ia akan dipotong dan dibuang
atau dibakar karena tidak efektif menghasilkan buah.
Terminologi pokok anggur dalam bacaan Injil
menunjuk secara jelas kepada pribadi Yesus sendiri. Dan ranting-ranting yang
dimaksud adalah para rasul. Kehadiran Yesus telah menghidupi dan menjiwai
kehidupan para rasul-Nya. Yesus telah tinggal di dalam hati para rasul. Dan
sebaliknya, para rasul juga telah tinggal dalam hati Yesus. Dengan sabda dan
perbuatan ajaib-ilahi-Nya, para rasul telah diyakinkan untuk percaya dan
menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah melalui Yesus. Bersama-sama dengan
Yesus, para murid menginternalisasikan (merekam dan menanamkan) dalam diri
segala nilai yang diajarkan Yesus. Dan secara bertahap mereka mulai mewartakan
karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus kepada semua orang. Walaupun gerakan
yang diperlihatkan belum terasa militan namun apa yang mereka lakukan sungguh
memberi kesaksian dan peneguhan bagi banyak orang untuk ikut percaya kepada
karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus.
Secara implisit, Yesus juga mewanti-wanti para
rasulnya, apabila mereka hanya mengikuti Dia karena terpesona dengan tutur kata
dan aksi mukjizat-Nya, maka mereka hanya cukup menjadi ranting yang tidak
sehat. Lambat laun, ranting itu akan menjadi kering dan mati. Memang ada begitu
banyak orang Israel, selain para rasul, yang mengikuti Yesus. Tetapi motivasi
mendasar yang melatari keputusan mereka adalah karena merasa terpesona, kagum,
semakin penasaran untuk melihat hal ajaib apa lagi yang akan dilakukan oleh Yesus.
Mereka tidak memiliki sikap percaya dan penyerahan diri yang total kepada
Allah. Mentalitas dan perilaku dangkal seperti inilah yang gampang menyeret
mereka untuk segera berlalu dan melupakan Yesus dengan segala ajaran baik yang
telah Ia sampaikan.
Menyatakan diri untuk mengikuti Yesus itu mudah,
semudah membalikkan telapak tangan. Namun sangat sulit bagi orang beriman untuk
menghidupi dan mengimplementasikan segala ajaran-Nya dalam kehidupan konkrit.
Kita gampang terseret arus duniawi yang gelap dan sesat. Kita mudah melupakan
Tuhan dengan segala perbuatan atau tindakan yang destruktif. Sebuah tindakan
buruk atau jahat yang berseberangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang
dikumandangkan oleh Yesus. Kita lebih suka dituntun oleh iblis, daripada Allah
sendiri. Kita lebih senang mengakui kekuatan sesat si jahat, daripada kekuatan
Tuhan sendiri. Kita lebih bahagia meneladani perbuatan si jahat, daripada
meneladani jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan.
Seringkali saya merasa aneh, ketika mendengar ada
pernyataan dari orang-orang beriman, terutama (minta maaf) kaum laki-laki yang
terdiri dari orang muda dan orang dewasa yang tidak tertarik lagi pergi ke
gereja atau berdoa di tingkat basis dan lingkungan. Lebih fatal lagi, saya
menyaksikan secara langsung bagaimana mereka lebih suka menghantar pasangan
atau istrinya sampai di depan pintu gerbang gereja. Kemudian mereka pulang ke
rumah. Nanti sehabis perayaan ekaristi, mereka berpura-pura mengenakan pakaian
rapih dan pergi menjemput istrinya. Fenomena yang sama terjadi juga di tingkat
basis dan lingkungan. Yang lebih aktif terlibat dalam pelbagai urusan rohani
seperti doa, katekese, dan urusan social keagamaan lainnnya adalah para wanita
dan anak-anak.
Saya pernah mendengar seorang bapak mengajukan pembelaan
dirinya terkait dengan ketidakhadirannya dalam kegiatan rohani. Ia berpikir
lebih baik menjadi orang baik daripada pergi ke gereja. Yang menciptakan
persoalan semakin kompleks adalah ia tidak sungguh-sungguh berbuat seperti apa
yang dikatakannya. Ia belum bisa menjadi orang baik yang menunjukkan
keberpihakannya kepada nilai-nilai moral dan nilai-nilai kristiani. Saya tidak
sepakat juga dengan dalil yang disampaikannya bahwa lebih baik menjadi orang
baik daripada pergi ke gereja. Ini cara berpikir pragmatis untuk menghindari
rasa salah dan berusaha menjadi orang benar dengan cara yang tidak benar. Dan
yang lebih utama, ia sementara berusaha mengingkari identitas kristianinya
dengan tidak memedulikan apa yang diwartakan oleh Tuhan sendiri. Ia hanya menjadi
pengikut Tuhan secara formalistik (administratif) tetapi tidak secara mendalam
dan total menjadi seorang pengikut Tuhan yang setia dan militan.
Tuhan telah membuka pikiran dan hati kita bahwa Ia
adalah Sang Pokok Anggur, dan kita adalah ranting-ranting-Nya yang baik. Semoga
kita tetap melekatkan diri kepada-Nya dengan sikap setia dan percaya. Kita
tetap dan selalu menimba kekuatan firman-Nya agar terang-Nya tetap bernyala
dalam hati kita. Dengan demikian, tidak hanya menjadi ranting yang baik, tetapi
kita juga mampu menjadi buah-buah yang baik dalam tugas dan karya nyata kita di
dunia. Tuhan tidak bisa bekerja sendiri untuk mengalirkan misi keselamatan
kepada seluruh makhluk. Ia membutuhkan diri kita sebagai mitra untuk menjangkau
seluruh umat-Nya. Mari kita menjadi ranting dan buah yang baik untuk
menyebarkan semangat Injil-Nya melalui kesaksian hidup yang baik di tengah
keluarga, basis, lingkungan, tempat kerja, dan dimana serta kapan saja kita
berada. Amin. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar