Selasa, 04 Mei 2021

MENJADI RANTING DAN BUAH YANG BAIK

Yoh 15: 1-8

Kita semua pasti pernah mendengar ungkapan yang berbunyi “Buah jatuh tidak jauh dari pohon”. Ungkapan ini mau menggambarkan sifat atau perilaku seorang anak tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Apa yang menjadi ciri khas, karakter dan tindakan tertentu dari seorang anak seringkali dihubungkan dengan orang tuanya. Misalnya cara seorang anak berjalan, berbicara, tertawa, dan tersenyum. Atau bisa juga saat anak menunjukkan kecerdasan dan kelemahan dalam bidang tertentu. Atau juga perilaku yang baik atau buruk dalam kehidupan sosial, acapkali dikorelasikan dengan perilaku orang tuanya. Walaupun memang harus diakui faktor turunan atau genetik bukan satu-satunya penyebab utama. Pada intinya, apa yang melekat dan dilakukan oleh seorang anak kerap disandingkan dengan eksistensi orang tuanya. Karena anak adalah buah cinta yang dihasilkan dari tindakan kasih kedua orang tuanya.

 

Pada hari ini, Yesus menegaskan Diri-Nya kepada para murid dalam bentuk alegori. Yesus membandingkan Diri-Nya dengan pokok anggur. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya” (Yoh 15:5). Pokok anggur itu terbentuk dari akar sampai batang. Pada pokok anggur itu tersedia atau melekat cabang-cabang dan ranting-ranting. Cabang-cabang atau ranting-ranting mendapat asupan makanan dari pokok anggur. Kehidupan cabang dan ranting bergantung pada asupan makanan yang disuplai sang pokok tumbuhan. Kalau asupan makanannya berjalan baik dan bernilai gizi pasti ranting dan cabang akan bertumbuh dan berkembang baik. Tidak hanya itu, dari ranting-ranting pohon anggur akan nampak buah-buah anggur yang baik dan berlimpah. Sebaliknya kalau aliran makanan tidak berjalan dengan baik dan lancar maka cabang atau ranting dari tumbuhan itu akan menjadi kering. Kemudian, ia akan dipotong dan dibuang atau dibakar karena tidak efektif menghasilkan buah.

 

Terminologi pokok anggur dalam bacaan Injil menunjuk secara jelas kepada pribadi Yesus sendiri. Dan ranting-ranting yang dimaksud adalah para rasul. Kehadiran Yesus telah menghidupi dan menjiwai kehidupan para rasul-Nya. Yesus telah tinggal di dalam hati para rasul. Dan sebaliknya, para rasul juga telah tinggal dalam hati Yesus. Dengan sabda dan perbuatan ajaib-ilahi-Nya, para rasul telah diyakinkan untuk percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah melalui Yesus. Bersama-sama dengan Yesus, para murid menginternalisasikan (merekam dan menanamkan) dalam diri segala nilai yang diajarkan Yesus. Dan secara bertahap mereka mulai mewartakan karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus kepada semua orang. Walaupun gerakan yang diperlihatkan belum terasa militan namun apa yang mereka lakukan sungguh memberi kesaksian dan peneguhan bagi banyak orang untuk ikut percaya kepada karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus.

Secara implisit, Yesus juga mewanti-wanti para rasulnya, apabila mereka hanya mengikuti Dia karena terpesona dengan tutur kata dan aksi mukjizat-Nya, maka mereka hanya cukup menjadi ranting yang tidak sehat. Lambat laun, ranting itu akan menjadi kering dan mati. Memang ada begitu banyak orang Israel, selain para rasul, yang mengikuti Yesus. Tetapi motivasi mendasar yang melatari keputusan mereka adalah karena merasa terpesona, kagum, semakin penasaran untuk melihat hal ajaib apa lagi yang akan dilakukan oleh Yesus. Mereka tidak memiliki sikap percaya dan penyerahan diri yang total kepada Allah. Mentalitas dan perilaku dangkal seperti inilah yang gampang menyeret mereka untuk segera berlalu dan melupakan Yesus dengan segala ajaran baik yang telah Ia sampaikan.

 

Menyatakan diri untuk mengikuti Yesus itu mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Namun sangat sulit bagi orang beriman untuk menghidupi dan mengimplementasikan segala ajaran-Nya dalam kehidupan konkrit. Kita gampang terseret arus duniawi yang gelap dan sesat. Kita mudah melupakan Tuhan dengan segala perbuatan atau tindakan yang destruktif. Sebuah tindakan buruk atau jahat yang berseberangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus. Kita lebih suka dituntun oleh iblis, daripada Allah sendiri. Kita lebih senang mengakui kekuatan sesat si jahat, daripada kekuatan Tuhan sendiri. Kita lebih bahagia meneladani perbuatan si jahat, daripada meneladani jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan.

 

Seringkali saya merasa aneh, ketika mendengar ada pernyataan dari orang-orang beriman, terutama (minta maaf) kaum laki-laki yang terdiri dari orang muda dan orang dewasa yang tidak tertarik lagi pergi ke gereja atau berdoa di tingkat basis dan lingkungan. Lebih fatal lagi, saya menyaksikan secara langsung bagaimana mereka lebih suka menghantar pasangan atau istrinya sampai di depan pintu gerbang gereja. Kemudian mereka pulang ke rumah. Nanti sehabis perayaan ekaristi, mereka berpura-pura mengenakan pakaian rapih dan pergi menjemput istrinya. Fenomena yang sama terjadi juga di tingkat basis dan lingkungan. Yang lebih aktif terlibat dalam pelbagai urusan rohani seperti doa, katekese, dan urusan social keagamaan lainnnya adalah para wanita dan anak-anak.

 

Saya pernah mendengar seorang bapak mengajukan pembelaan dirinya terkait dengan ketidakhadirannya dalam kegiatan rohani. Ia berpikir lebih baik menjadi orang baik daripada pergi ke gereja. Yang menciptakan persoalan semakin kompleks adalah ia tidak sungguh-sungguh berbuat seperti apa yang dikatakannya. Ia belum bisa menjadi orang baik yang menunjukkan keberpihakannya kepada nilai-nilai moral dan nilai-nilai kristiani. Saya tidak sepakat juga dengan dalil yang disampaikannya bahwa lebih baik menjadi orang baik daripada pergi ke gereja. Ini cara berpikir pragmatis untuk menghindari rasa salah dan berusaha menjadi orang benar dengan cara yang tidak benar. Dan yang lebih utama, ia sementara berusaha mengingkari identitas kristianinya dengan tidak memedulikan apa yang diwartakan oleh Tuhan sendiri. Ia hanya menjadi pengikut Tuhan secara formalistik (administratif) tetapi tidak secara mendalam dan total menjadi seorang pengikut Tuhan yang setia dan militan.

 

Tuhan telah membuka pikiran dan hati kita bahwa Ia adalah Sang Pokok Anggur, dan kita adalah ranting-ranting-Nya yang baik. Semoga kita tetap melekatkan diri kepada-Nya dengan sikap setia dan percaya. Kita tetap dan selalu menimba kekuatan firman-Nya agar terang-Nya tetap bernyala dalam hati kita. Dengan demikian, tidak hanya menjadi ranting yang baik, tetapi kita juga mampu menjadi buah-buah yang baik dalam tugas dan karya nyata kita di dunia. Tuhan tidak bisa bekerja sendiri untuk mengalirkan misi keselamatan kepada seluruh makhluk. Ia membutuhkan diri kita sebagai mitra untuk menjangkau seluruh umat-Nya. Mari kita menjadi ranting dan buah yang baik untuk menyebarkan semangat Injil-Nya melalui kesaksian hidup yang baik di tengah keluarga, basis, lingkungan, tempat kerja, dan dimana serta kapan saja kita berada. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar