Yoh 16:29-33
Beberapa hari yang lalu, ibu ketua
lingkungan di tempat saya tinggal, memposting di grup WA lingkungan, sebuah
foto kebersamaan penuh nuansa persaudaraan yang diambil sebelum badai pandemi
Covid-19 terjadi. Foto itu memuat kegiatan pembinaan rohani dalam rangka hari
ulang tahun pelindung lingkungan kami, yakni Santa Teresa dari Kalkuta.
Kemudian ada caption (tulisan di
bawah gambar) yang berbunyi, “Merindukan kenangan indah ini terulang kembali.
Semoga spirit Bunda Teresa tetap abadi”. Saya merespon postingan itu dengan
tulisan, “Spirit Bunda Teresa memang tidak mati di lingkungan kita, walaupun
kita sementara mengalami pengalaman kematian karena terpapar badai Covid-19.”
Saya sengaja menulis demikian
bukan tanpa sebab dan akibat. Harus kita akui bahwa terpaan badai covid-19
memang menghantam seluruh sendi kehidupan kita. Mulai dari lesunya ekonomi
keluarga, merosotnya karakter pendidikan anak-anak kita, kesehatan kita yang
terancam, kehidupan sosial yang dibatasi, sampai kepada kehidupan iman yang
terasa garing (tidak bergairah). Situasi umum tersebut terjadi di mana-mana.
Semua orang berteriak. Mengeluh. Masing-masing orang berusaha mempertahankan
diri untuk tetap hidup dan selamat. Walaupun banyak juga saudara/i kita yang
terhempas, terkena dampak cukup parah dari badai Covid-19.
Beruntungnya, dalam situasi gelap
yang kita alami, nilai-nilai hidup seperti semangat kasih dan perhatian, sikap
peduli dan tolong-menolong, sikap saling menghargai dan mendukung satu sama
lain, belum atau sama sekalih tidak mati. Dukungan dan kontribusi berbagai
pihak dalam aneka bentuk baik secara materi maupun non-materi tetap mengalir.
Khususnya bagi mereka yang terkena dampak secara langsung dari badai covid-19
dan bencana alam yang terjadi di wilayah kita. Hal ini memberi bukti bahwa
semangat iman kita belum mati. Kita tetap menghidupi nilai-nilai atau spirit
iman tersebut di tengah kegentingan yang mengancam kehidupan kita sendiri.
Para murid Yesus pada hari ini
merasa gembira karena mereka sudah mengetahui siapa sosok Yesus yang
sebenarnya. Pernyataan tentang siapa Yesus, ternyata secara terbuka diungkapkan
oleh Yesus. “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku
meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28). Sebelumnya, para
murid diliputi oleh kebingungan karena Yesus lebih banyak menyampaikan segala
sesuatu tentang Diri-Nya dalam bahasa kiasan. Meskipun sudah tinggal sekian
lama, mendengarkan sabda dan melihat segala perbuatan ajaib-ilahi-Nya, rasa keragu-raguan
dan ketidakpastian mengenai sosok Yesus tetap timbul dalam diri para murid.
Dengan pernyataan Yesus yang tegas
tentang siapa Diri-Nya, keyakinan para murid semakin tebal. Keragu-raguan dan
kebimbangan mereka akan Yesus mulai pupus dan segera berganti dengan sikap
percaya. “Karena itu kami percaya, bahwa Engkau datang dari Allah” (Yoh 16:30).
Kepercayaan dan keyakinan akan Yesus sebagai “orang yang datang dari Allah”,
menjadi pemicu yang membakar semangat para murid untuk tetap konsisten berada
dalam lingkaran hidup Yesus. Mereka tidak akan pergi meninggalkan Yesus karena
mereka telah percaya akan ke-Allah-an Yesus.
Ke-Allah-an Yesus, ternyata
memberi efek “pisau bermata ganda”. Di satu pihak, mereka bersukacita dan
bergembira. Namun di pihak lain, mereka harus menerima kabar yang tidak
mengenakan. Yesus akan segera pergi dari dunia dan para murid akan mengalami
“pengalaman kegelapan” yang menantang iman mereka kepada-Nya. Gara-gara Yesus,
para murid akan hidup dalam situasi yang pahit dan mengancam nyawa. Mereka akan
dihina, difitnah, dikejar, dipenjara, dan dibunuh. Namun di sinilah letak
kehormatan dan kemuliaan para murid Yesus. Apabila mereka tetap bertahan, maka
mereka akan memperoleh hidup yang sesungguhnya bersama Yesus dan Allah Bapa di sorga.
Yesus pun meneguhkan agar para rasul tidak boleh kecut hatinya. Mereka harus
tetap kuat dan tegar menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup. “Dalam
dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah
mengalahkan dunia” (Yoh 16:33).
Para murid akan mengalami damai
sejahtera di tengah pelbagai kesulitan dan keterpurukan hidup sebagai seorang
hamba Tuhan. Inilah paradoks seorang murid Tuhan. Bertahan dalam penderitaan
dan kesusahan untuk memperoleh kehormatan dan kemuliaan. Kita sementara
mengalami pengalaman kegelapan itu dalam situasi sekarang ini walaupun tidak
seekstrim dengan keadaan yang dialami oleh para rasul. Ada bencana penyakit dan
bencala alam yang sungguh menantang panggilan iman kita sebagai murid Yesus.
Kita semacam diberi pilihan, mau menyelamatkan diri sendiri atau orang lain.
Setiap pilihan tentu ada konsekuensinya. Tentu saja paling sederhana dan
gampang adalah membuat pilihan untuk menyelamatkan diri sendiri dan tidak
peduli dengan orang lain.
Pilihan demikian memang sebuah
pilihan yang logis dan masuk akal. Tetapi bukan sebuah pilihan yang kristiani.
Sebagai seorang murid Tuhan, kita tidak boleh lari dan mencari keselamatan diri
sendiri. Kita harus tetap selalu berada di tengah-tengah mereka yang sementara mengalami
penderitaan, kesusahan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Kesusahan dan
kesulitan pribadi sebenarnya tidak menghalangi kita untuk tetap membagi kasih
dan perhatian bagi mereka yang paling merasakan dampak dari segala bencana
kehidupan. Justru di dalamnya ada syering kehidupan yang saling menguatkan dan
meneguhkan satu sama lain sebagai sesama citra Allah.
Hari ini Yesus sudah membeberkan
secara jelas tentang Diri-Nya sebagai Allah yang telah hadir secara nyata di
tengah dunia. Dan Ia memang telah tiada secara kasat mata. Namun, Roh penghibur
yakni Roh Kudus tetap senantiasa hadir dan menemani perjalanan hidup kita.
Dalam situasi yang tidak bersahabat, di tengah pandemic Covid-19 dan pengalaman
traumatic bencana alam yang belum pudar, kita tidak akan pernah merasa takut
memberi kesaksian tentang kasih Kristus kepada siapa saja karena damai
sejahtera Tuhan akan senantiasa menyelimuti setiap perjalanan dan hidup kita.
Amin. **AKDL**
Tidak ada komentar:
Posting Komentar