Kamis, 20 Mei 2021

YESUS MENUNTUT KASIH YANG TOTAL

 

YOH 21:15-19

            Menjadi murid Yesus tidak sekedar lambang untuk memperpanjang daftar keanggotaan dalam komunitas murid Yesus, tetapi ada satu tuntutan kualitas iman yang harus dipenuhi yakni mencintai dan mengasihi Yesus Sang Gembala Agung. Yesus tidak meminta harta atau kemegahan dunia lainnya, Ia hanya meminta totalitas kasih kita kepada-Nya tanpa syarat. Masa lalu yang kelam bukanlah alasan untuk mengurung niat kita mengasihi Yesus, justru pengalaman kejatuhan itu membantu kita untuk menemukan kebenaran dalam diri Yesus yang lebih dahulu mengasihi kita tanpa jasa apa pun dari pihak manusia. Pengalaman ketidaksetiaan Petrus yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali justru membuatnya menyesal dan bangkit kembali membangun kesetiaan mengikuti Yesus sampai akhir yang tragis disalibkan seperti Yesus.

           

Betapa pentingnya peranan Petrus bagi keberlangsungan Gereja sesudah masa hidup Yesus di dunia. Yesus hanya menunjuk satu orang dari antara 12 Rasul. Yesus memiliki alasan kuat, supaya di antara para rasul tidak terjadi klaim-mengklaim siapa yang lebih tinggi di antara mereka. Kita masih ingat baik peristiwa ibu Yakobus dan Yohanes datang menghadap Yesus meminta supaya kedua anaknya ditempatkan di sebelah kanan dan kiri Yesus pada kerajaan sorga. Ternyata di antara para murid juga ada semacam ambisi dan misi terselubung menjadi yang terbesar dan paling dihormati. Untuk menghindari akses negatif itu, Yesus secara terbuka dan terang-terangan menunjuk Petrus sebagai gembala bagi domba-domba-Nya. Sebelum melantik Petrus menjadi gembala atas domba-domba, Yesus memberi kesempatan kepada Petrus untuk membenahi dirinya setelah tiga kali menyangkal Yesus dengan menyatakan cintanya kepada Yesus. Ini adalah sebuah rekonsiliasi pribadi Petrus dengan Tuhan. Mandat yang diberikan oleh Yesus kepada Petrus sebanyak tiga kali yakni “Gembalakanlah domba-dombaKu”  menunjukkan dimensi misionaris Gereja dan kepemimpinan yang dipercayakan kepadanya. Figur gembala dalam dunia kuno sebanding dengan kuasa rajawi. Dalam Kitab Suci Perjanjian Lama, Tuhan sendiri menjadi gembala bagi umat Israel. Kuasa ini juga ada dalam diri Yesus yang mengatakan diriNya sebagai Gembala yang baik bagi domba-domba yang dipercayakan Bapa kepadaNya. Sekarang giliran Yesus mempercayakan tongkat kegembalaan dan domba-dombaNya kepada Petrus.

 

            Pertanyaan yang diajukan Yesus sampai 3 kali kepada Petrus "apakah engkau mencintai aku lebih dari mereka ini?" merupakan penanda bahwa pemberian tugas dan jabatan penting bagi Petrus bukanlah tanpa syarat. Yesus ingin mendengar secara langsung (verbal) dari mulut Petrus syarat yang dituntut dari seorang gembala, yakni CINTA akan Yesus (Yoh 21:15-19). Tiga kali Yesus menanyakan hal yang sama dan tiga kali pula dijawab Petrus dengan jawaban yang sama: Aku mencintai Engkau. Bahkan pada jawaban ketiga ia sampai manangis. Bukan tanpa alasan mengapa Yesus perlu menekankan pertanyaan yang sama itu. Seorang pemimpin yang dipilihNya sendiri dari antara para rasul haruslah orang yang sungguh-sungguh mencintai-Nya. Yesus bukan mengabaikan cinta rasul yang lain. Malahan Yohanes sendiri yang disebut murid yang paling dikasihiNya tidak mendapatkan pertanyaan yang sama, begitu juga murid yang lain. Hanya kepada Petrus yang kepadanya Ia telah menyerahkan kunci kerajaan sorga, dan yang di atasnya Ia membangun Gereja-Nya.

 

            Petrus memiliki peran penting dalam memimpin komunitas dengan tugas sebagai pemimpin bagi para domba (ayat 15-17). Sebelum mempercayakan tugas kegembalaan Gereja kepada Petrus, Ia memintanya untuk mengakui atau mengkirarkan kasihnya. Ini adalah syarat mutlak bagi siapa saja yang mau bertugas sebagai pembimbing rohani. Setelah tiga kali mengikrakan kasihnya kepada Kristus maka dia juga diundang untuk mengikuti Kristus dalam jalan salib dan pemberian diri. Misi Gereja dan setiap umat secara pribadi hendaknya selaras dengan Kristus sendiri karena Dia adalah satu-satunya penyelamat kita.

Dialog Yesus dan Petrus dalam Injil hari ini ini menekankan tiga elemen penting yakni misi, kemartiran dan totalitas mengikuti Kristus.

 

            Pertama: Misi: Yesus bertanya kepada Petrus: “Apakah engkau mengasihi Aku lebih dari mereka ini”. Pertanyaan ini merupakan sebuah pertanyaan tentang kasih kepada Pribadi Kristus. Jawaban Petrus merupakan sebuah penegasan terhadap tugas pastoralnya di dalam Gereja (ayat 15,16,17). Perikop ini juga merupakan perikop yang mau menguatkan Petrus karena sebelumnya Ia telah menyangkal Yesus. Penguatan Petrus menjadi gembala agung di dalam Gereja, terlepas dar pribadi Petrus yang penuh dengan kelemahan, bukan semata-mata berdasarkan jasanya melainkan pada pilihan dan kasih Yesus yang tak terbatas. Yesus menuntut dari Petrus kasih yang lebih besar dari para rasul lainnya. Terhadap pertanyaan Yesus yang pertama, Petrus berusaha menjawab pertanyaan Yesus namun dia juga berusaha supaya tidak menyinggung perasaan para rasul lainnya. Petrus dengan rendah hati dan penuh kesederhanaan mau membuktikan dirinya bahwa dia berubah dan mau membaharui kasihnya terhadap Yesus. Dia menjawab: “Ya, benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau!”  Lalu Yesus berkata kepadanya: “Gembalakanlah domba-dombaku!”. Penguatan kepada Petrus  untuk menggembalakan domba-domba yakni yang paling kecil membuat Petrus menyadari bahwa tugas pastoralnya adalah diperuntukan bagi orang-orang kecil, kaum miskin, orang berdosa, mereka yang jauh dari Tuhan. Karya dan pelayanan Petrus adalah bukti kasihnya yang mendalam kepada Kristus dan juga kepada semua mereka yang dilayani oleh Petrus dalam misinya.

 

            Selanjutnya Tuhan Yesus bertanya lagi kepada Petrus untuk kedua kalinya. Jawaban Petrus seperti sebelumnya: “Benar Tuhan, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau”. Di sini Petrus menerima tugas bukan saja bagi orang-orang kecil tetapi bagi seluruh gereja universal. Petrus menjadi pembimbing dan gembala bagi seluruh umat beriman. Yesus bertanya lagi untuk ketiga kalinya: “Simon anak Yohanes, apakah engkau mengasihi Aku?”(ayat 17a). Petrus merasa hatinya sedih atas pertanyaan Yesus. Biar bagaimana pun juga Petrus harus tetap teguh dengan melupakan masa lalunya yang gelap karena menyangkal Yesus sampai tiga kali. Pada saat ini dia tiga kali mengikrakan cintanya kepada Yesus. Yang penting di sini adalah adanya sinkronisasi akan apa yang dikatakan dan yang dilakukan. Jawaban Petrus membuatnya semakin kuat: “Tuhan, Engkau tahu segala sesuatu, Engkau tahu bahwa aku mengasihi Engkau” (ayat 17b). Tuntutan dan dorongan Yesus tentang kasih memapukan Petrus untuk menjalin hubungan kasih sebagai seorang anak dengan Tuhan sendiri. Kepemimpinan Petrus bisa berhasil kalau dia memulainya dengan kasih kepada Tuhan.

 

            Yesus mengenal Petrus secara mendalam, karena itu, Ia berani memberikan kepercayaan besar kepadanya untuk menjadi gembala bagi domba-dombaNya. Yesus memberi kepada Petrus sifat kegembalaanNya sendiri. Seperti Yesus, Petrus pun harus mengenal domba-domba dengan namanya sendiri sehingga domba-domba juga mengenal suaranya. Sebagai gembala, ia akan berjalan mendahului atau mendampingi domba-dombanya ke padang rumput yang hijau bahkan ia sendiri mengurbankan dirinya untuk domba-dombanya.

 

            Kedua, Kemartiran. Setelah Yesus menguatkan Petrus untuk melakukan tugas sebagai gembala, Ia juga membuka pikiran Petrus untuk memahami tujuan akhir dari pelayanan kegembalaannya yaitu kemartiran. Petrus juga bersaksi dengan menumpahkan darahnya karena iman dan kasihnya pada Yesus. Cinta kasih menjadi sempurna ketika seorang rela “menyerahkan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya”. Petrus juga harus memiliki kasih yang dimiliki Yesus Kristus  sendiri yakni menyerahkan diri kepada Allah secara total meskipun harus memanggul salib penderitaan.  Yesus sendiri menegaskan masa depan Petrus dengan mengatakan: “Sesungguhnya ketika engkau masih muda engkau mengikat pinggangmu sendiri dan engkau berjalan ke mana saja kaukehendaki, tetapi jika engkau sudah menjadi tua, engkau akan mengulurkan tanganmu dan orang lain akan mengikat engkau dan membawa engkau ke tempat yang tidak kaukehendaki.” (ayat 18). Seorang gembala yang benar adalah dia yang siap untuk menyerahkan nyawanya bagi sesama. Menyerahkan hidup bagi sahabat-sahabat merupakan bagian dari misi seorang gembala di dalam Gereja. Tentang tugas sebagai seorang gembala, kita ingat apa yang dikatakan Yesus dalam Sabda Bahagia: “Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Sorga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu.” (Mat 5:10-12). Ketiga: Ikutlah Aku, berarti mengikuti jejak Kristus. Petrus mengikuti Yesus sang Maestro tanpa bersungut-sungut dan dengan kemurahan hati. Selanjutnya Petrus menjadi martir, Ia juga disalibkan seperti Yesus.

 

            Pengalaman Petrus membantu kita memahami rencana Yesus bagi GerejaNya.  Ia mengenal masing-masing pribadi, memilih dan menentukan mereka menjadi pemimpin GerejaNya. Dari sebelas rasul, Ia memilih Petrus dengan segala kelebihan dan kekurangannya untuk menjadi gembala bagi domba-dombaNya. Orang yang menyangkal Yesus sebanyak tiga kali telah dibantu Yesus untuk mengenal dirinya dan berubah total dengan menyatakan kasihnya kepada Yesus. Ia bahkan mengikuti Yesus dan mengasihiNya sampai tuntas. Perikop yang kita renungkan hari ini memiliki dampak tersendiri bagi kita terutama dengan para pemimpin di dalam Gereja: Paus, Uskup dan Imam. Para pilihan Allah ini adalah Petrus yang lain! Mereka juga memiliki kelebihan dan kekurangan. Mereka juga berkali-kali menyangkal Yesus, bukan hanya tiga kali seperti Petrus tetapi Tuhan menguduskan mereka menjadi gembala di dalam Gereja. Pilihan hidup dan panggilan seperti ini tidaklah muda. Ibarat harta terpendam dalam bejana tanah liat. Mereka telah memilih untuk mengasihi Yesus lebih dari yang lain dengan menghayati nasihat-nasihat injili dan juga tahbisan suci, itulah kemartiran mereka. Oleh karena  itu kita diajak untuk mendukung mereka dalam doa, memberikan fraternal correction/koreksi persaudaran, memperhatikan kesejahteran hidup mereka karena hidup mereka dibaktikan untuk kita sebagai Gereja Umat Allah. Perikop ini juga mengundang kita untuk berefleksi sebagai murid-murid Yesus karena imamat umum yang kita terima lewat pembaptisan. Kita juga dipanggil sebagai gembala bagi saudara-saudari di dalam keluarga, komunitas dan tempat tugas kita masing-masing. Pertanyaan reflektif bagi kita masing-masing: Apakah anda sudah mengasihi Yesus secara total dalam diri sesama baik kepada mereka yang miskin papa, sakit dan yang sedang ditimpah musibah lainnya? Mari kita berbenah diri untuk menemukan kasih sejati dalam diri Yesus agar kita total berdedikasi dan melayani sesama dengan tulus hati. ***bw***  

Senin, 17 Mei 2021

Damai Sejahtera Dalam Tuhan

Yoh 16:29-33

 

Beberapa hari yang lalu, ibu ketua lingkungan di tempat saya tinggal, memposting di grup WA lingkungan, sebuah foto kebersamaan penuh nuansa persaudaraan yang diambil sebelum badai pandemi Covid-19 terjadi. Foto itu memuat kegiatan pembinaan rohani dalam rangka hari ulang tahun pelindung lingkungan kami, yakni Santa Teresa dari Kalkuta. Kemudian ada caption (tulisan di bawah gambar) yang berbunyi, “Merindukan kenangan indah ini terulang kembali. Semoga spirit Bunda Teresa tetap abadi”. Saya merespon postingan itu dengan tulisan, “Spirit Bunda Teresa memang tidak mati di lingkungan kita, walaupun kita sementara mengalami pengalaman kematian karena terpapar badai Covid-19.”

 

Saya sengaja menulis demikian bukan tanpa sebab dan akibat. Harus kita akui bahwa terpaan badai covid-19 memang menghantam seluruh sendi kehidupan kita. Mulai dari lesunya ekonomi keluarga, merosotnya karakter pendidikan anak-anak kita, kesehatan kita yang terancam, kehidupan sosial yang dibatasi, sampai kepada kehidupan iman yang terasa garing (tidak bergairah). Situasi umum tersebut terjadi di mana-mana. Semua orang berteriak. Mengeluh. Masing-masing orang berusaha mempertahankan diri untuk tetap hidup dan selamat. Walaupun banyak juga saudara/i kita yang terhempas, terkena dampak cukup parah dari badai Covid-19.

 

Beruntungnya, dalam situasi gelap yang kita alami, nilai-nilai hidup seperti semangat kasih dan perhatian, sikap peduli dan tolong-menolong, sikap saling menghargai dan mendukung satu sama lain, belum atau sama sekalih tidak mati. Dukungan dan kontribusi berbagai pihak dalam aneka bentuk baik secara materi maupun non-materi tetap mengalir. Khususnya bagi mereka yang terkena dampak secara langsung dari badai covid-19 dan bencana alam yang terjadi di wilayah kita. Hal ini memberi bukti bahwa semangat iman kita belum mati. Kita tetap menghidupi nilai-nilai atau spirit iman tersebut di tengah kegentingan yang mengancam kehidupan kita sendiri.

 

Para murid Yesus pada hari ini merasa gembira karena mereka sudah mengetahui siapa sosok Yesus yang sebenarnya. Pernyataan tentang siapa Yesus, ternyata secara terbuka diungkapkan oleh Yesus. “Aku datang dari Bapa dan Aku datang ke dalam dunia; Aku meninggalkan dunia pula dan pergi kepada Bapa” (Yoh 16:28). Sebelumnya, para murid diliputi oleh kebingungan karena Yesus lebih banyak menyampaikan segala sesuatu tentang Diri-Nya dalam bahasa kiasan. Meskipun sudah tinggal sekian lama, mendengarkan sabda dan melihat segala perbuatan ajaib-ilahi-Nya, rasa keragu-raguan dan ketidakpastian mengenai sosok Yesus tetap timbul dalam diri para murid.

 

Dengan pernyataan Yesus yang tegas tentang siapa Diri-Nya, keyakinan para murid semakin tebal. Keragu-raguan dan kebimbangan mereka akan Yesus mulai pupus dan segera berganti dengan sikap percaya. “Karena itu kami percaya, bahwa Engkau datang dari Allah” (Yoh 16:30). Kepercayaan dan keyakinan akan Yesus sebagai “orang yang datang dari Allah”, menjadi pemicu yang membakar semangat para murid untuk tetap konsisten berada dalam lingkaran hidup Yesus. Mereka tidak akan pergi meninggalkan Yesus karena mereka telah percaya akan ke-Allah-an Yesus.

 

Ke-Allah-an Yesus, ternyata memberi efek “pisau bermata ganda”. Di satu pihak, mereka bersukacita dan bergembira. Namun di pihak lain, mereka harus menerima kabar yang tidak mengenakan. Yesus akan segera pergi dari dunia dan para murid akan mengalami “pengalaman kegelapan” yang menantang iman mereka kepada-Nya. Gara-gara Yesus, para murid akan hidup dalam situasi yang pahit dan mengancam nyawa. Mereka akan dihina, difitnah, dikejar, dipenjara, dan dibunuh. Namun di sinilah letak kehormatan dan kemuliaan para murid Yesus. Apabila mereka tetap bertahan, maka mereka akan memperoleh hidup yang sesungguhnya bersama Yesus dan Allah Bapa di sorga. Yesus pun meneguhkan agar para rasul tidak boleh kecut hatinya. Mereka harus tetap kuat dan tegar menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan hidup. “Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yoh 16:33).

 

Para murid akan mengalami damai sejahtera di tengah pelbagai kesulitan dan keterpurukan hidup sebagai seorang hamba Tuhan. Inilah paradoks seorang murid Tuhan. Bertahan dalam penderitaan dan kesusahan untuk memperoleh kehormatan dan kemuliaan. Kita sementara mengalami pengalaman kegelapan itu dalam situasi sekarang ini walaupun tidak seekstrim dengan keadaan yang dialami oleh para rasul. Ada bencana penyakit dan bencala alam yang sungguh menantang panggilan iman kita sebagai murid Yesus. Kita semacam diberi pilihan, mau menyelamatkan diri sendiri atau orang lain. Setiap pilihan tentu ada konsekuensinya. Tentu saja paling sederhana dan gampang adalah membuat pilihan untuk menyelamatkan diri sendiri dan tidak peduli dengan orang lain.

 

Pilihan demikian memang sebuah pilihan yang logis dan masuk akal. Tetapi bukan sebuah pilihan yang kristiani. Sebagai seorang murid Tuhan, kita tidak boleh lari dan mencari keselamatan diri sendiri. Kita harus tetap selalu berada di tengah-tengah mereka yang sementara mengalami penderitaan, kesusahan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Kesusahan dan kesulitan pribadi sebenarnya tidak menghalangi kita untuk tetap membagi kasih dan perhatian bagi mereka yang paling merasakan dampak dari segala bencana kehidupan. Justru di dalamnya ada syering kehidupan yang saling menguatkan dan meneguhkan satu sama lain sebagai sesama citra Allah.

 

Hari ini Yesus sudah membeberkan secara jelas tentang Diri-Nya sebagai Allah yang telah hadir secara nyata di tengah dunia. Dan Ia memang telah tiada secara kasat mata. Namun, Roh penghibur yakni Roh Kudus tetap senantiasa hadir dan menemani perjalanan hidup kita. Dalam situasi yang tidak bersahabat, di tengah pandemic Covid-19 dan pengalaman traumatic bencana alam yang belum pudar, kita tidak akan pernah merasa takut memberi kesaksian tentang kasih Kristus kepada siapa saja karena damai sejahtera Tuhan akan senantiasa menyelimuti setiap perjalanan dan hidup kita. Amin. **AKDL**

Minggu, 09 Mei 2021

Roh Kebenaran Bukan Sekedar Kata-Kata Kosong

Yoh 15:26-16:4a

Pada awal bulan Maret 2021 (dua bulan yang lalu), tepatnya hari selasa, tanggal 9 Maret, kira-kira pukul 19.00 wita (7 malam), saya mendapat telepon dari saudara sepupu yang ada di kampung bahwa kakak perempuan (saudari kandung dari pihak ayah) mengalami sakit berat. Kalau tidak ditangani dengan cepat maka kemungkinan besar beliau akan meninggal dunia. Begitu kira-kira pengakuan dari saudara sepupu. Saudara sepupu menganjurkan agar besok pagi (rabu pagi), baru saya bisa berangkat ke kampung. Mengingat hari sudah malam. Tetapi dalam keadaan demikian pada malam itu, batin saya tidak merasa tenang. Saya sangat termotivasi untuk harus menjemput kakak perempuan pada malam itu juga. Saya tidak mau membiarkan waktu terus berlalu sampai pagi, dan segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi. Dalam benak hanya ada kata-kata, “kakak perempuan harus selamat”. Akhirnya pada malam itu, sekitar pukul 20.00 wita, bersama mobil ambulans, kami (saya dan saudara yang ada di Lewoleba) bergerak ke kampung menjemput kakak perempuan untuk dibawa ke Lewoleba.

 

Walaupun mendapat peringatan dari keluarga untuk tidak berangkat pada malam hari karena sangat riskan (besar risiko membahayakan nyawa), namun saya tetap berkomitmen untuk tidak merubah keputusan. Saya terus menguatkan diri bahwa tidak akan terjadi apa-apa dalam perjalanan. Saya sungguh yakin, Tuhan pasti akan menyertai setiap orang yang memiliki jalan kebenaran. Dan pada akhirnya, sekitar pukul 00.30 wita, kami membawa kakak perempuan menuju Lewoleba. Dengan kondisi jalan yang rusak berat dan dalam waktu yang tidak mengenakan bagi sebagian besar orang, kami terus bergerak dan sampai dengan selamat di tempat tujuan. Pengalaman yang cukup menggetarkan jiwa ini mengajarkan satu nilai spiritual bahwa kita jangan pernah takut dalam keadaan apa pun; bahkan dalam keadaan paling sulit sekali pun. Roh kebenaran, Allah Tritunggal, Bapa, Putera dan Roh Kudus, selalu menyertai setiap perjalanan hidup dan pengalaman kita.

 

Di hadapan para murid-Nya pada hari ini (Yoh 15:26-16:4a), Yesus berbicara tentang Roh Kebenaran. Roh kebenaran itu adalah roh penghibur, roh kudus, yang akan menyertai dan mendampingi perjalanan para murid untuk bersaksi tentang Injil. Roh kebenaran itu tidak berdiri sendiri. Ia juga tidak berada dengan sendirinya. Ia berasal dari Bapa dan Putera. Roh kebenaran menjadi roh ilahi atau roh kudus, karena dihembuskan oleh Bapa dan Putera. Roh kebenaran akan mendampingi para murid sepeninggalan Yesus dari muka dunia. Roh kebenaran akan membimbing para murid dengan segala pengetahuan. Roh kebenaran akan menuntun para murid menuju segala kebijaksanaan sejati. Dan roh kebenaran akan menguatkan para murid sehingga mereka tidak takut dan putus asa.

 

Yesus memberi bayangan akan sejumlah tantangan dan kesulitan yang nantinya dihadapi oleh murid-murid Yesus. Mereka akan ditolak, dikucilkan, dihina, difitnah, dan nyawa pun menjadi taruhan. Oleh karena nama Yesus yang berkibar di tengah dunia, para murid akan mendapat berbagai kesulitan dan tantangan yang maha dasyat. Anehnya, tantangan dan kesulitan tersebut justru datang dari orang-orang yang mengaku sangat beragama dan taat kepada Allah. Walaupun sudah melihat banyak tanda yang mempresentasikan Diri dan kehadiran Allah, mereka tetap menunjukkan kekerasan hati untuk tidak percaya. Di satu pihak mereka tetap meyakini status quo sebagai umat pilihan Allah. Namun di pihak lain, mereka memamerkan sikap yang berseberangan dengan eksistensi diri mereka sebagai umat pilihan Allah. Mereka memfitnah, memenjarakan, dan membunuh para murid Yesus yang sementara membawa kebenaran sejati tentang Diri Allah.

 

Roh kebenaran yang diutus oleh Bapa dan Putera, tidak pernah akan tinggal diam. Dalam rupa yang tidak kelihatan, roh kebenaran akan menampilkan diri secara “kelihatan” dalam pengetahuan mumpuni, kebijaksanaan sejati, dan keberanian tiada tara dari para murid Yesus. Roh kebenaran yang merasuki diri para rasul akan membuka pikiran dan hati banyak orang untuk percaya kepada Allah. Dalam bacaan pertama hari ini (Kis16:11-15), rasul Paulus yang diliputi oleh roh kebenaran, berhasil membawa seorang perempuan kaya, bernama Lidia, yang berasal dari daerah Filipi, untuk menjadi percaya kepada Allah. Ini menjadi bukti bahwa dalam ketidaknyataannya, roh kebenaran sungguh nyata dan bekerja melalui diri para rasul untuk membawa misi keselamatan bagi umat manusia. Fakta Injil ini, semakin meyakinkan para murid bahwa janji Yesus akan roh kebenaran bukan hanya sekedar kata-kata kosong. Ia hadir untuk membimbing, menuntun, menguatkan, dan meneguhkan eksistensi para rasul.

 

Dalam perjalanan panggilan kita sebagai orang Kristen, seringkali kita merasa gamang dan tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelbagai kenyataan hidup yang pelik atau sulit. Kita sebenarnya menyadari ada roh kebenaran dari Tuhan sendiri. Namun kita menunjukkan diri seolah-olah tidak tahu. Atau bisa juga kita sungguh-sungguh tidak tahu karena tidak pernah berdoa dan bercakap-cakap kepada-Nya. Kesimpulan akhirnya, kita sebenarnya tidak percaya dalam iman bahwa ada roh kebenaran, yakni roh kudus, yang sementara berada dan menuntun setiap jalan dan panggilan hidup kita. Kita menjadi gampang putus asa, menyerah pada keadaan hidup, dan menjalani hidup tidak sesuai dengan jalan kebenaran dari Allah sendiri.

 

Hari ini, kita betul-betul dicerahkan untuk percaya pada roh kebenaran yang dijanjikan oleh Yesus. Kita harus masuk dalam dialog yang paling intim bersama Tuhan melalui firman-Nya, agar kita mampu memahami roh kebenaran dalam seluruh perjalanan dan panggilan hidup. Roh kebenaran itu senantiasa menyertai, membimbing dan menguatkan agar kita mampu mengelola hidup secara cerdas dan bijaksana. Kita tidak akan takut. Kita tetap berani menghadapi aneka tantangan dan kesulitan karena kita sungguh percaya dan menghidupi roh kebenaran itu.

 

Roh kebenaran juga akan menuntun agar kita mampu membawa wajah kasih Allah di tengah dunia. Di tengah keluarga, lingkungan social, tempat kerja, dan di mana saja kita berada. Mari kita percaya dan menghidupi roh kebenaran itu dalam seluruh perjalanan, tugas, dan panggilan kita sebagai seorang murid Kristus yang setia. Amin. ***Atanasius KD Labaona***


Selasa, 04 Mei 2021

MENJADI RANTING DAN BUAH YANG BAIK

Yoh 15: 1-8

Kita semua pasti pernah mendengar ungkapan yang berbunyi “Buah jatuh tidak jauh dari pohon”. Ungkapan ini mau menggambarkan sifat atau perilaku seorang anak tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Apa yang menjadi ciri khas, karakter dan tindakan tertentu dari seorang anak seringkali dihubungkan dengan orang tuanya. Misalnya cara seorang anak berjalan, berbicara, tertawa, dan tersenyum. Atau bisa juga saat anak menunjukkan kecerdasan dan kelemahan dalam bidang tertentu. Atau juga perilaku yang baik atau buruk dalam kehidupan sosial, acapkali dikorelasikan dengan perilaku orang tuanya. Walaupun memang harus diakui faktor turunan atau genetik bukan satu-satunya penyebab utama. Pada intinya, apa yang melekat dan dilakukan oleh seorang anak kerap disandingkan dengan eksistensi orang tuanya. Karena anak adalah buah cinta yang dihasilkan dari tindakan kasih kedua orang tuanya.

 

Pada hari ini, Yesus menegaskan Diri-Nya kepada para murid dalam bentuk alegori. Yesus membandingkan Diri-Nya dengan pokok anggur. “Akulah pokok anggur dan kamulah ranting-rantingnya” (Yoh 15:5). Pokok anggur itu terbentuk dari akar sampai batang. Pada pokok anggur itu tersedia atau melekat cabang-cabang dan ranting-ranting. Cabang-cabang atau ranting-ranting mendapat asupan makanan dari pokok anggur. Kehidupan cabang dan ranting bergantung pada asupan makanan yang disuplai sang pokok tumbuhan. Kalau asupan makanannya berjalan baik dan bernilai gizi pasti ranting dan cabang akan bertumbuh dan berkembang baik. Tidak hanya itu, dari ranting-ranting pohon anggur akan nampak buah-buah anggur yang baik dan berlimpah. Sebaliknya kalau aliran makanan tidak berjalan dengan baik dan lancar maka cabang atau ranting dari tumbuhan itu akan menjadi kering. Kemudian, ia akan dipotong dan dibuang atau dibakar karena tidak efektif menghasilkan buah.

 

Terminologi pokok anggur dalam bacaan Injil menunjuk secara jelas kepada pribadi Yesus sendiri. Dan ranting-ranting yang dimaksud adalah para rasul. Kehadiran Yesus telah menghidupi dan menjiwai kehidupan para rasul-Nya. Yesus telah tinggal di dalam hati para rasul. Dan sebaliknya, para rasul juga telah tinggal dalam hati Yesus. Dengan sabda dan perbuatan ajaib-ilahi-Nya, para rasul telah diyakinkan untuk percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah melalui Yesus. Bersama-sama dengan Yesus, para murid menginternalisasikan (merekam dan menanamkan) dalam diri segala nilai yang diajarkan Yesus. Dan secara bertahap mereka mulai mewartakan karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus kepada semua orang. Walaupun gerakan yang diperlihatkan belum terasa militan namun apa yang mereka lakukan sungguh memberi kesaksian dan peneguhan bagi banyak orang untuk ikut percaya kepada karya keselamatan Allah yang dibawa Yesus.

Secara implisit, Yesus juga mewanti-wanti para rasulnya, apabila mereka hanya mengikuti Dia karena terpesona dengan tutur kata dan aksi mukjizat-Nya, maka mereka hanya cukup menjadi ranting yang tidak sehat. Lambat laun, ranting itu akan menjadi kering dan mati. Memang ada begitu banyak orang Israel, selain para rasul, yang mengikuti Yesus. Tetapi motivasi mendasar yang melatari keputusan mereka adalah karena merasa terpesona, kagum, semakin penasaran untuk melihat hal ajaib apa lagi yang akan dilakukan oleh Yesus. Mereka tidak memiliki sikap percaya dan penyerahan diri yang total kepada Allah. Mentalitas dan perilaku dangkal seperti inilah yang gampang menyeret mereka untuk segera berlalu dan melupakan Yesus dengan segala ajaran baik yang telah Ia sampaikan.

 

Menyatakan diri untuk mengikuti Yesus itu mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Namun sangat sulit bagi orang beriman untuk menghidupi dan mengimplementasikan segala ajaran-Nya dalam kehidupan konkrit. Kita gampang terseret arus duniawi yang gelap dan sesat. Kita mudah melupakan Tuhan dengan segala perbuatan atau tindakan yang destruktif. Sebuah tindakan buruk atau jahat yang berseberangan dengan nilai-nilai Kerajaan Allah yang dikumandangkan oleh Yesus. Kita lebih suka dituntun oleh iblis, daripada Allah sendiri. Kita lebih senang mengakui kekuatan sesat si jahat, daripada kekuatan Tuhan sendiri. Kita lebih bahagia meneladani perbuatan si jahat, daripada meneladani jalan keselamatan yang ditawarkan oleh Tuhan.

 

Seringkali saya merasa aneh, ketika mendengar ada pernyataan dari orang-orang beriman, terutama (minta maaf) kaum laki-laki yang terdiri dari orang muda dan orang dewasa yang tidak tertarik lagi pergi ke gereja atau berdoa di tingkat basis dan lingkungan. Lebih fatal lagi, saya menyaksikan secara langsung bagaimana mereka lebih suka menghantar pasangan atau istrinya sampai di depan pintu gerbang gereja. Kemudian mereka pulang ke rumah. Nanti sehabis perayaan ekaristi, mereka berpura-pura mengenakan pakaian rapih dan pergi menjemput istrinya. Fenomena yang sama terjadi juga di tingkat basis dan lingkungan. Yang lebih aktif terlibat dalam pelbagai urusan rohani seperti doa, katekese, dan urusan social keagamaan lainnnya adalah para wanita dan anak-anak.

 

Saya pernah mendengar seorang bapak mengajukan pembelaan dirinya terkait dengan ketidakhadirannya dalam kegiatan rohani. Ia berpikir lebih baik menjadi orang baik daripada pergi ke gereja. Yang menciptakan persoalan semakin kompleks adalah ia tidak sungguh-sungguh berbuat seperti apa yang dikatakannya. Ia belum bisa menjadi orang baik yang menunjukkan keberpihakannya kepada nilai-nilai moral dan nilai-nilai kristiani. Saya tidak sepakat juga dengan dalil yang disampaikannya bahwa lebih baik menjadi orang baik daripada pergi ke gereja. Ini cara berpikir pragmatis untuk menghindari rasa salah dan berusaha menjadi orang benar dengan cara yang tidak benar. Dan yang lebih utama, ia sementara berusaha mengingkari identitas kristianinya dengan tidak memedulikan apa yang diwartakan oleh Tuhan sendiri. Ia hanya menjadi pengikut Tuhan secara formalistik (administratif) tetapi tidak secara mendalam dan total menjadi seorang pengikut Tuhan yang setia dan militan.

 

Tuhan telah membuka pikiran dan hati kita bahwa Ia adalah Sang Pokok Anggur, dan kita adalah ranting-ranting-Nya yang baik. Semoga kita tetap melekatkan diri kepada-Nya dengan sikap setia dan percaya. Kita tetap dan selalu menimba kekuatan firman-Nya agar terang-Nya tetap bernyala dalam hati kita. Dengan demikian, tidak hanya menjadi ranting yang baik, tetapi kita juga mampu menjadi buah-buah yang baik dalam tugas dan karya nyata kita di dunia. Tuhan tidak bisa bekerja sendiri untuk mengalirkan misi keselamatan kepada seluruh makhluk. Ia membutuhkan diri kita sebagai mitra untuk menjangkau seluruh umat-Nya. Mari kita menjadi ranting dan buah yang baik untuk menyebarkan semangat Injil-Nya melalui kesaksian hidup yang baik di tengah keluarga, basis, lingkungan, tempat kerja, dan dimana serta kapan saja kita berada. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Minggu, 02 Mei 2021

TUHAN SEBAGAI JALAN KEBENARAN DAN HIDUP

 

Yoh 14:6-14

 

Filipus merupakan salah seorang dari para rasul Yesus yang pertama. Dialah orang yang memperkenalkan dan membawa Natanael untuk bertemu dengan Yesus. Pada akhirnya Natanael menjadi murid Yesus. Filipus berasal dari kota Betsaida di Galilea sama seperti rasul Andreas dan rasul Petrus. Kemungkinan besar ia juga seorang nelayan. Filipus adalah pribadi yang polos hati dan lugu. Karena keluguannya, ia pernah secara spontan bertanya kepada Yesus: “Tuhan tunjukkanlah Bapa itu kepada kami, itu sudah cukup bagi kami” (Yoh 14:8). Dan atas pertanyaan itu, Filipus memperoleh teguran dari Yesus: “Telah sekian lama Aku bersama-sama kamu, Filipus, namun engkau tidak mengenal Aku? Barangsiapa telah melihat Aku, ia telah melihat Bapa; bagaimana engkau berkata: Tunjukkanlah Bapa itu kepada kami?” (Yoh 14:9). Setelah Yesus bangkit, Filipus adalah salah satu murid yang karyanya paling banyak dicatat dalam Kitab Para Rasul, selain Petrus dan Paulus. Filipus pergi memberitakan Injil di Samaria. Di sana, ia membuat begitu banyak mukjizat sehingga penduduk kota dengan bulat hati menerima kabar gembira yang dibawanya. Menurut tradisi umat Kristen perdana, Filipus berkarya di Syria, Phrygia dan di sekitar Asia Kecil dimana kemudian ia wafat sebagai martir di Hierapolis Phrygia (sekarang wilayah Turki).

 

Yakobus adalah putera Alfeus dan saudara sepupu Yesus. Ia disebut juga “Yakobus Muda”, karena ia lebih muda dari seorang rasul lainnya yang juga bernama Yakobus. Setelah Yesus naik ke sorga, Yakobus ditunjuk sebagai pemimpin jemaat di Yerusalem (Yakobus menjadi uskup pertama Yerusalem). Sementara para rasul lain mulai menyebar dan berkarya di tempat-tempat yang jauh, Yakobus tetap tinggal dan menggembalakan jemaat Kristen perdana di Yerusalem. Pada konsili pertama di Yerusalem (Kis 15), Yakobus mendukung Petrus, Paulus, dan Barnabas yang menghendaki agar orang bukan Yahudi yang bertobat tidak harus mematuhi semua hukum agama Yahudi. Yakobus adalah seorang pria yang jujur dan adil. Ia dikenal karena kehidupan doanya yang kudus. Ia juga lemah lembut dan pemaaf. Ia terus menerus memohon kepada Tuhan untuk mengampuni mereka yang menganiaya para pengikut Kristus. Bahkan ketika para penganiaya umat Kristen menjatuhkan hukuman mati kepadanya, Yakobus juga memohon ampun dari Tuhan kepada mereka. Menurut tradisi, St. Yakobus Rasul wafat sebagai martir pada tahun 62.

 

Di saat-saat terakhir bersama dengan para murid-Nya sebelum naik ke sorga, Yesus menanamkan sebuah keyakinan agar mereka (para murid) semakin merasa yakin dan tidak ragu-ragu lagi kepada Diri-Nya. Yesus berkata: “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). Yesus menandaskan bahwa hanya melalui Dialah ada jalan kebenaran. Jalan yang menuntun agar orang-orang tidak tersesat. Jalan kebenaran sebagai kompas agar manusia tetap berpedoman pada segala ajaran dan nilai yang telah Ia wariskan. Manusia tidak boleh menyimpang sedikitpun dari jalan-Nya, karena jalan yang lain pasti bukan jalan kebenaran dan hidup. Melainkan jalan kesesatan yang membawa kepada ketidakselamatan. Berjalan bersama Yesus, pasti akan membawa manusia kepada keselamatan. Secara eksplisit Yesus menunjukkan rumah Bapa sebagai rumah yang akan memberikan keselamatan dalam akhir peziarahan manusia di muka bumi. Karena manusia sudah berjalan dalam kebenaran Yesus, maka manusia akan mendapat keselamatan sebagai konsekuensinya.

 

Hal menarik yang ditekankan oleh Yesus adalah soal relasi-Nya dengan Allah. Yesus tidak menyebut Bapa-Nya dengan kata Allah. Yesus memanggil secara khusus dengan kata Bapa. Kata Bapa ini yang menunjukkan kedekatan dan keintiman relasi yang diperoleh Yesus bersama dengan Bapa-Nya. Yesus mau mengatakan kepada para murid (dan kita semua) bahwa Dia dan Allah adalah satu. Tidak ada sekat atau perbedaan yang memisahkan di antara kedua-Nya. Siapa yang telah melihat Yesus, berarti telah melihat Allah. Siapa yang telah mendengarkan sabda dan menyaksikan aksi-Nya yang fenomenal menandakan bahwa Ia telah mendengar dan menyaksikan karya Allah secara langsung. Dan barangsiapa percaya kepada Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup, sama artinya dengan percaya kepada Allah dengan hakikat yang sama.

 

Para rasul sungguh merasa dikuatkan dan diteguhkan dengan kata-kata yang disampaikan oleh Yesus. Mereka tidak takut lagi, dan tentunya keberanian mereka semakin terlecut dengan kehadiran roh penghibur yang menemani karya pewartaan mereka selanjutnya. Rasul Filipus dan Yakobus yang perayaannya kita peringati hari ini adalah bukti nyata dua orang yang percaya akan Yesus sebagai jalan kebenaran dan hidup. Mereka juga percaya bahwa Yesus adalah Allah itu sendiri. Dengan melihat Allah dalam diri Yesus, para murid (tidak hanya Filipus dan Yakobus), berani mempertaruhkan nyawanya demi mekarnya sabda Allah di tengah dunia. Karena mereka yakin telah berada di jalur kebenaran untuk sampai kepada keselamatan kekal di sorga.

 

Mungkin kadang-kadang kita masih menunjukkan jati diri sebagai rasul Filipus yang belum merasa percaya sepenuhnya kepada kata-kata Yesus. Kita masih dirong-rong oleh sikap keragu-raguan bahwa kita akan mendapatkan keselamatan jika berjalan dalam kebenaran nama Yesus. Kita masih ragu-ragu dan bahkan tidak percaya kepada Yesus, karena hidup kita sering diterpa oleh banyak tantangan, penderitaan, dan kesulitan hidup. Kita hanya mau percaya apabila Tuhan memberi tanda kesuksesan dan kebaikan dalam seluruh hidup. Kita mau yang enak-enak atau mulus saja. Kita tidak suka dengan pencobaan, kesulitan, kegagalan dan keterpurukan dalam hidup.

 

Hari ini pikiran dan hati kita semakin terbuka untuk memahami Yesus sebagai jalan dan kebenaran dan hidup. Bahwa dalam setiap pergumulan dan pergulatan hidup, Tuhan yang adalah Yesus dan Allah, senantiasa membimbing, mengarahkan, dan menuntun hidup kita kepada keselamatan. Tidak perlu takut dengan aneka tantangan dan hambatan. Di dalamnya, Tuhan sementara memoles, menggembleng dan menjadikan kita pribadi-pribadi yang matang dan tangguh dalam iman. Mari kita belajar dari rasul Yakobus dengan semakin membangun relasi yang intim bersama Tuhan melalui doa-doa kita. Kita juga mau menjadi pribadi yang lemah lembut dan ramah pada siapa saja terutama kepada orang-orang yang kita layani. Kita juga belajar dari Yakobus untuk bisa mengendalikan emosi. Kita tidak perlu cepat “naik darah” atau marah berlebihan di saat menemui hambatan atau tantangan, terkhusus ketika membangun sikap kerja sama dan koordinasi dalam tim kerja.

 

Dan terakhir, pastinya kita bisa menjadi pribadi yang pemaaf. Memang tugas mulia ini yang paling berat. Mudah untuk diucapkan tetapi sangat sulit dilaksanakan. Tetapi inilah ciri khas hidup kekristenan kita untuk berani memberi ampun atau maaf kepada siapa saja yang telah bersalah kepada kita. Sebaliknya, terhadap segala kekurangan, kesalahan dan kejahatan, kita juga harus bersikap terbuka dan jujur untuk mengakui dan menyampaikan permohonan maaf demi perbaikan, rasa solidaritas, dan keutuhan sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kita tidak perlu memperlihatkan sikap gengsi dan arogansi demi ego dan status yang melekat dalam diri kita. Semoga di bulan Maria yang penuh rahmat ini, kita semakin diberkati oleh Tuhan untuk tetap berjalan dalam kebenaran-Nya dan mendapatkan segala berkat dalam setiap tugas, karya, dan panggilan di unit kerja kita masing-masing. Amin. ***Atanasius KD Labaona***