Selasa, 28 Februari 2023

Spirit Kasih Melampaui Batas

                                                               Luk 6:6-11

           

            Hari ini kita memperingati Santa Teresa dari Kalkuta. Santa Teresa dari Kalkuta adalah seorang kudus di abad modern ini. Selama lebih dari 45 tahun, ia berkarya di India, melayani mereka yang miskin, sakit, yatim piatu, dan sekarat, sambil membimbing ekspansi Konggregasi Misionaris Cinta Kasih dari India ke seluruh dunia. Konggerasi yang didirikannya terus berkembang. Dan pada akhir hidupnya, Santa Teresa telah menjalankan berbagai karya amal seperti panti jompo, rumah penampungan bagi para penderita HIV/AIDS, lepra dan TBC, program konseling untuk anak dan keluarga, panti asuhan, dan sekolah. Santa Teresa lahir pada tanggal 26 Agustus 1910 di Skopje, Makedonia Utara dan meninggal pada tanggal 5 September 1997 d Kalkuta, India, dalam usia 87 tahun.

 

            Pada hari ini, penginjil Lukas membentangkan sebuah kisah mukjizat yang dilakukan oleh Yesus di dalam rumah ibadat. Mukjizat itu adalah penyembuhan seseorang yang mati sebelah tangannya. Menarik karena aksi fenomenal demikian dilakukan pada hari sabat. Sebuah hari suci yang melarang segala aktivitas atau pekerjaan manusia, termasuk menyembuhkan orang sakit. Barangsiapa melanggarnya maka akan dicap sebagai pendosa. Tentu juga ada konsekuensi hukum yang harus diterima bagi setiap pelanggarnya.

 

            Tetapi tidak bagi Yesus. Yesus melihat aturan atau hukum yang berlaku pada hari sabat tidak mencerminkan keberpihakan bagi orang yang sedang menderita sakit. Memang segala jenis aturan atau hukum yang berlaku penting dalam menata kehidupan manusia. Termasuk juga hakikat aturan agama sebagai pedoman atau kompas untuk menumbuhkembangkan iman umat. Namun mendewakan aturan atau hukum agama sembari mengabaikan keselamatan bagi jiwa dan raga manusia, tentu menjadi hal yang sangat naif. Tidak bisa diterima oleh logika atau akal sehat. Bagi Yesus, aturan atau hukum agama pada hari sabat yang membredel atau menghalangi keselamatan bagi manusia sangat bertentangan dengan spirit dari hukum agama itu sendiri.

 

            Spirit dari hukum Taurat sesungguhnya adalah spirit kasih. Namun para pemimpin agama memperlakukan aturan atau hukum agama tidak sesuai dengan spirit kasih yang dikumandangkan oleh Allah. Aturan atau hukum agama hanya dilihat sebatas seperangkat aturan legal formal. Tidak lebih dari itu. Bahkan lebih fatal lagi, aturan dan hukum agama dipakai untuk mencari keuntungan ekonomi dan sosial bagi elit agama. Secara khusus aturan atau hukum yang berlaku pada hari Sabat, dipandang oleh Yesus bertentangan dengan spirit kasih yang dibawa-Nya. Oleh karena itu, dengan sikap tegas dan lugas, Yesus menyembuhkan seseorang yang mati sebelah tangannya pada hari Sabat. Apa yang dilakukan oleh Yesus menjadi tanda bahwa spirit kasih Allah melampaui segala aturan atau hukum yang dibuat oleh manusia.

 

            Yesus tidak peduli dengan reaksi negatif dari para pemimpin agama. Bagi-Nya, yang terpenting adalah memberi pemahaman bagi public tentang spirit kasih yang terdapat dalam setiap aturan atau hukum agama. Dan tidak sekedar bicara. Yesus memberi bukti spirit kasih Allah dengan tindakan yang membawa kesembuhan dan keselamatan bagi semua orang. Aksi Yesus memang di satu sisi membawa dampak yang negatif dalam kehidupan-Nya. Karena Ia sementara menabuh genderang perang dengan orang-orang yang tidak menyukai-Nya. Namun di sisi lain, aksi Yesus berhasil memikat sebagian orang untuk percaya dan menjadi pengikut-Nya.

 

            Aksi mukjizat penyembuhan oleh Yesus yang melampaui aturan hari Sabat memberi inspirasi atau pembelajaran yang penting dalam kehidupan iman kita. Bahwa dalam menjalani panggilan hidup kita sebagai orang beriman di dalam keragaman tugas, fungsi dan karya, hendaknya tidak dibatasi oleh sekat-sekat atau penghalang. Kita tidak dibatasi oleh rasa ego, gengsi, status, identitas keagamaan atau suku. Kita harus melepaskan diri dari aneka penghalang untuk berani memberi diri, mewartakan spirit kasih Tuhan kepada setiap orang yang kita layani. Harus kita akui bahwa pasti ada tantangan yang menyertai jalan kebaikan yang diretas. Mungkin saja ada orang yang tidak menyukai kemudian bersikap sentimen. Ada saja hal tidak baik yang dilakukan untuk menjegal atau menghalangi niat dan komitmen baik yang kita lakukan. Seperti Yesus, kita tidak perlu takut. Kita berada di pihak yang benar dan dibenarkan oleh Tuhan. Kita memiliki Tuhan sehingga kita tidak perlu takut.

 

            Santa Teresa dari Kalkuta adalah seorang abdi Allah yang setia. Banyak orang yang memusuhinya, termasuk para rekan sejawatnya, karena melihat pelbagai aksi kemanusiaan yang ditunjukkannya. Apa yang dilakukan oleh Santa Teresa jauh melampaui sekat-sekat yang menjadi penghalang. Spirit kasihnya  melampaui sekat agama, suku dan ras. Ia meninggalkan rasa ego dan gengsinya demi melayani orang-orang kecil, sakit, dan miskin di negara India. Kita mungkin tidak bisa melakukan hal-hal besar seperti Santa Teresa dari Kalkuta. Akan tetapi, ada banyak hal kecil dan sederhana yang bisa kita tunjukkan untuk mewartakan spirit kasih Tuhan dalam hidup. Sekecil apa pun hal yang kita lakukan, tentu sangat bermanfaat bagi orang lain yang merasakannya.

Selasa, 21 Februari 2023

Spirit Santa Perawan Maria Ratu

                                                    Mat 23:13-22

           

            Setiap tanggal 22 Agustus, Gereja Katolik Roma merayakan peringatan Santa Perawan Maria Ratu (Santa Maria Regina). Maria disebut Ratu karena dan sebagaimana Kristus adalah Raja. Konsili Vatikan II meneruskan tradisi sejak abad IV, menegaskan kembali ajaran tentang keratuan Maria: “Ia telah ditinggikan oleh Tuhan sebagai Ratu alam semesta, supaya secara lebih penuh menyerupai Puteranya” (Lumen Gentium 59). Gelar Ratu diberikan untuk menunjukkan secara resmi keadaan Santa Perawan Maria yang bertahta di sisi Puteranya, Raja Kemuliaan. Gelar sebagai Ratu beserta kekuasaannya telah diperkenalkan di lingkungan rahib Benediktin sejak awal abad XII. Nyanyian yang amat terkenal yakni Salve Regina sudah diketahui dalam abad XI. Madah itu merupakan ungkapan khas para rahib dalam menyatakan permohonan kepada Santa Perawan Maria.

 

            Mengapa Santa Perawan Maria layak digelari Ratu? Secara biblis bisa dijelaskan sebagai berikut. Pertama, Keratuan Maria bisa dimengerti sebagai cara mengambil bagian secara unggul dalam imamat rajawi umat Perjanjian Baru. Semua orang dipanggil untuk memerintah bersama Kristus. Santa Perawan Maria merupakan yang pertama dari semua orang yang terpanggil untuk memerintah bersama Kristus untuk selama-lamanya. Kedua, Keratuan Maria juga merupakan konsekuensi keikutsertaan Bunda Maria dalam misteri Paskah Puteranya yang dinyatakan dalam kerendahan diri, penderitaan dan kemuliaan. Oleh karena Maria telah ikut serta dalam merendahkan diri sebagai hamba dan mengalami sengsara bersama Kristus, maka layaklah Bunda Maria mengalami kemuliaan bersama Kristus.

 

            Ketiga, keratuan Santa Perawan Maria adalah tujuan akhir dari perjalanannya sebagai murid. Pada akhir hidupnya di dunia, Santa Perawan Maria dipindahkan ke dalam Kerajaan Puteranya dan menerima kepenuhan “mahkota kehidupan”. Tujuan akhir ini mempunyai makna bagi Gereja dan seluruh ciptaan, sebab Santa Perawan Maria yang kini telah bersatu sepenuhnya dengan Kristus merupakan gambaran arah perjalanan sejarah Gereja dan seluruh ciptaan menuju “langit dan bumi yang baru” (Why:21:1); suatu kediaman bersama Allah di mana “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau  dukacita” (Why :21:4).

 

            Paus Pius XII menyebut Maria sebagai Ratu karena ia adalah Bunda Kristus dan juga karena seturut kehendak Allah ia memainkan peranan yang unik dalam karya penebusan Tuhan. “Sebagaimana Puteranya, Maria mengalahkan maut dan diangkat dengan badan dan jiwanya ke dalam kemuliaan sorgawi, di mana sebagai ratu ia duduk dalam kemegahan di sisi Puteranya, Raja abadi” (Pius XII, Munificentissimus Deus; Acta Apostolicae Sedis (1950). Gelar Maria sebagai Ratu dinyatakan dalam dokumen Gereja, khususnya dalam ensiklik Pius XII Ad caeli reginam. Paus Pius XII memasukkan dalam kalander liturgi tanggal 31 Mei sebagai pesta Maria Ratu. Ketika kalender liturgi diperbarui pada tahun 1969, pesta Santa Perawan Maria Ratu digeser ke tanggal 22 Agustus, yaitu dalam oktaf atau hari ke kedelapan sesudah Hari Raya Pengangkatan Santa Perawan Maria ke sorga. Pesta liturgis yang baru ini dipandang sebagai kelanjutan dari ketentuan tentang pengangkatan Maria ke sorga, dan sebagai penegasan pengantaraan Maria.

 

            Seluruh ayat dalam bab 23 dari Injil Matius berisi kecaman Tuhan Yesus terhadap ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Yesus mengecam mereka karena kemunafikan mereka. Hidup mereka penuh kepalsuan. Apa yang tampak dari luar berbeda dengan apa yang ada di dalam diri. Mereka memang mengetahui secara baik kebenaran firman Tuhan, karena mereka mempelajarinya. Tetapi mereka tidak melakukannya. Bahkan perbuatan mereka jauh menyimpang dari ajaran yang telah disampaikan oleh mereka sendiri. Ini adalah gambaran cara hidup orang munafik. Orang munafik biasanya menutupi kekurangan atau kesalahannya dengan cara yang licik. Di depan orang banyak mereka berpura-pura baik, ramah, sokh rohani dan saleh. Padahal sejatinya bertolak belakang. Motivasi pelayanan yang ditampilkan pun tidak murni, “Semua pekerjaan yang mereka lakukan hanya dimaksud supaya dilihat orang”.

 

            Dengan lain kata, mereka melakukan kebaikan atau menampilkan kesalehan supaya beroleh pujian dan sanjungan dari orang lain. Pelayanan mereka tidak dilandasi kasih. Maka Tuhan memberi nasihat: “turutilah dan lakukan segala sesuatu yang mereka ajarkan kepadamu, tetapi janganlah kamu turuti perbuatan-perbuatan mereka, karena mereka mengajarkannya tetapi tidak melakukannya” (Mat 23:3). Orang beriman dewasa ini masih jatuh dalam cara hidup munafik, seperti yang digambarkan di atas. Sabda Tuhan hari ini mendorong kita untuk terus dan tetap belajar menjadi orang yang bijaksana dalam menjalankan hukum dan tata cara agama serta perilaku moral dengan jujur, baik, dan benar, tanpa mengorbankan orang lain. Kita juga belajar dari Santa Perawan Maria Ratu yang telah menunjukkan dirinya sebagai pribadi yang setia, total, dan tulus dalam menjalankan perintah Tuhan. 

Senin, 13 Februari 2023

Biji Gandum Harus Mati

 

Yoh 12:24-26

           

            Hari ini kita merayakan pesta Santo Laurensius, seorang diakon dan martir (225-258). Santo Laurensius merupakan salah satu dari tujuh diakon yang bertugas membantu Paus Sixtus II di Roma. Ia mati sebagai martir di bawah kaisar Valerianus. Kita tidak memiliki banyak informasi tentang Santo Laurensius, kecuali bahwa dia bertugas sebagai pengawas dan bendahara harta kekayaan. Dengan kapasitas dan wewenang demikian, Laurensius sungguh memberi perhatian bagi orang kecil dan miskin di kota Roma. Ia terkenal karena kemurahan hatinya kepada orang-orang miskin. Perhatian Laurensius terhadap orang miskin sungguh menggemakan karakter Tuhan. Menjelang kematiannya yang tragis sebagai martir, Laurensius mengumpulkan semua orang kecil dan miskin di kota Roma dan membagi habis semua harta kekayaan yang disimpannya kepada mereka. Kemudian ia membawa mereka ke hadapan kaisar Roma untuk diperkenalkan sebagai bagian dari harta kekayaan gereja yang abadi. Tindakan Laurensius ini yang memicu kemarahan Kaisar Valerianus. Para algojo pun diperintahkan untuk membakar hidup-hidup Laurensius di atas besi panas. Kejadian ini tercatat pada tanggal 10 Agustus 258; sekaligus menjadi tanggal kematian Santo Laurensius sebagai abdi Allah yang setia.

 

            Dengan kemartirannya, Santo Laurensius memberikan contoh paling konkrit bahkan ekstrim bagaimana menghayati kata-kata Yesus dalam Injil hari ini (Yoh 12:24-26). Dalam Injil, kita mendengar komentar dan penjelasan Yesus tentang kematian dan kebangkitan-Nya. Yesus membandingkan kematian-Nya seperti biji gandum yang jatuh ke tanah dan mati. “Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah” (Yoh 12:24). Hanya dengan proses itu kehidupan baru bersemi sampai akhirnya melipatgandakan buah-buahnya. Yesus menyerahkan hidup-Nya melalui penderitaan dan kematian di kayu salib dan bangkit kembali dalam kehidupan baru. Penderitaan dan kematian Yesus melahirkan kehidupan baru dengan bertumbuhnya jumlah orang-orang yang terinspirasi oleh hidup-Nya dan berkomitmen mengikuti Dia. Santo Laurensius mengikuti secara harafiah dengan mengalami penderitaan sesungguhnya dan menumpahkan darah kemartiran. Laurensius bagaikan sebutir gandum yang jatuh ke tanah dan mati. Tetapi dari kematiannya banyak orang mendapat inspirasi untuk bertumbuh dan dikuatkan dalam iman. Darah kemartirannya menjadi pupuk bagi perkembangan gereja hingga dewasa ini.

 

            Menarik menjadi pertanyaan bagi kita semua, bagaimana caranya kita menghayati dan menghidupi kata-kata Yesus dalam bacaan Injil hari ini. Ada seorang sahabat menceritakan pengalaman bagaimana ibu kandungnya diperlakukan secara tidak baik oleh saudaranya yang lain. Bahkan kalau dibilang perlakuan itu sudah tidak manusiawi. Ibunya sering dimarahi, dimaki, dan dihina dengan kata-kata yang tidak pantas. Namun sang ibu hanya diam. Mungkin dalam diamnya ia juga merasa kecewa dan sakit sebagai seorang manusia. Tetapi ia tidak pernah menceritakan atau mengungkapkan perasaannya terkait masalah itu kepada orang lain. Bahkan kepada anak lainnya, yang tidak tinggal bersamanya. Walaupun menerima perlakuan yang tidak baik dari anaknya, sang ibu dari sahabat ini tetap menunjukkan perhatian dan kasih yang tulus. Ia tetap bekerja di kebun untuk menafkahi sang anak. Walaupun sang anak hanya bermalas-malasan saja di rumah. Ia juga sangat bermurah hati. Ketika menerima dana BLT (bantuan Tunai Lansung) dari desa, ia akan membagi sebagian uang tersebut kepada anak. Ironis memang. Kasih ibu begitu dasyat. Kejahatan sang anak dibalas dengan kebaikan yang total dan tulus. Sahabat saya seringkali mengingatkan sang ibu untuk tidak boleh lagi memberi perhatian dan kasih kepada sang saudara yang jahat itu. Namun ibunya tidak mengindahkannya. Ia tetap mengampuni sang anak, memberi perhatian dan kasih yang tulus.

 

            Sang ibu dari sahabat saya, sebenarnya telah memperlihatkan diri dan hidupnya ibarat biji gandum yang jatuh dan mati di tanah. Walaupun secara fisik ia masih hidup, namun ia “telah mati” dari sikap-sikap keduniawiannya. Ia sudah menanggalkan sikap egois dan rasa gengsi sebagai orang tua. Ia sudah “menguburkan” sikap marah dan balas dendam ketika diperlakukan tidak manusiawi. Ia rela menanggalkan sikap-sikap manusiawinya demi menumbuhkan nilai-nilai atau keutamaan-keutamaan dalam kehidupan seperti yang diajarkan oleh Sang Guru ilahi Yesus Kristus. Dalam ketidaksadarannya, sang ibu sedang mewariskan spirit kasih Yesus dalam kehidupan. Spirit kasih yang terejawantah dalam sikap murah hati, tidak balas dendam, selalu mengampuni, tetap setia, rendah hati, dan sebagainya.

 

            Saya meyakini bahwa pengalaman dan pembelajaran tentang filosofi biji gandum yang harus jatuh dan mati untuk kemudian dapat berbuah banyak tentu sangat rumit untuk dipahami. Serumit kita membayangkan Yesus yang ilahi tetap sungguh-sungguh manusia harus rela menderita dan wafat di kayu salib. Serumit juga saat kita memikirkan nasib St. Laurensius yang harus dipanggang hidup-hidup di atas bara api. Memikirkannya saja sudah sulit apalagi melaksanakannya. Tentu kita tidak perlu menafsirkan dan menjalankan secara ekstrim konsep “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati” seperti yang dilakukan Yesus dan Santo Laurensius. Kita perlu belajar dari ibu sahabat saya untuk secara sederhana memahami dan mengimplementasikan filosofi “biji gandum yang jatuh di tanah dan mati”. Kita perlu mengolah hidup dan menata diri lebih baik. Kita hendaknya rela menanggalkan keegoan, rasa gengsi, dan sikap arogan demi menumbuhkan spirit kasih yang diajarkan oleh Yesus. Dalam konteks tupoksi kita di Rumah Sakit Bukit Lewoleba, seyogyanya kita menumbuhkembangkan semangat pelayanan yang tulus dan total dengan menghindari pelbagai kepentingan pribadi dan orientasi mencari keuntungan. Sebagai seorang pasien, mari kita menghidupkan filosofi biji gandum yang jatuh di tanah dengan bersikap sabar dan tetap teguh dalam pengharapan iman kepada Tuhan,

Senin, 06 Februari 2023

Iman Yang Menyelamatkan

                                                    Mat 15:21-28

 

Sahabat saya, seorang Katolik, menceritakan pengalaman bagaimana ia didoakan oleh seorang ustad. Sang ustad itu adalah seorang ulama muslim karismatik yang sangat disegani oleh pelbagai kalangan dan lintas agama. Kebetulan sahabat saya sangat mengagumi beliau. Dalam suatu kesempatan dimana sahabat ini bertemu muka dengan sang ustad, maka tanpa ragu-ragu ia meminta supaya didoakan. Sang ulama awalnya ragu karena melihat ada kalung salib menjuntai di leher sang sahabat. Namun sahabat saya meyakinkan sang ustad. “Saya percaya doa anda akan memberi berkat dan menyelamatkan hidup saya”. Maka dengan senyum yang tulus, sang ustad akhirnya mendoakan sahabat saya.

 

Kalau kita membaca Injil Matius, setidaknya ada dua orang yang dipuji oleh Yesus karena iman mereka yang besar. Pertama, seorang perwira tentara Romawi yang datang kepada Yesus untuk meminta pertolongan karena hambanya sedang sakit. Ketika Yesus hendak menyambangi rumahnya, perwira itu berkata: “Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh” (Mat 8:8). Mendengar hal itu, Yesus pun memuji iman sang perwira. “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel” (Mat 8:10).

 

Kedua, seorang perempuan Kanaan yang diceritakan dalam bacaan Injil hari ini (Mat 15.21-28). Ia sangat ngotot kepada Yesus supaya Yesus bisa menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Ia tidak peduli kepada para murid yang mencoba menghalanginya. Bahkan tantangan tidak datang dari para murid saja. Beberapa pernyataan Yesus pun menyudutkan dan menyepelekan perempuan Kanaan ini. Statusnya sebagai orang Kanaan yang notabene dipandang sebagai masyarakat kelas dua, dan ditambah dengan kodratnya sebagai perempuan, semakin menguatkan posisinya sebagai orang yang tidak pantas untuk menerima pertolongan. Apalagi ditolong oleh orang Yahudi, seperti Yesus, yang memang dianggap sebagai bangsa kelas atas kala itu.

 

Namun semua tantangan tidak menyurutkan niat perempuan Kanaan untuk terus meminta belaskasihan dari Yesus. Ia rela merendahkan dirinya di hadapan Yesus walau dianggap sebagai anjing yang mengharap remah-remah roti dari tuannya. Terhadap sikap perempuan Kanaan ini, Yesus pun berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki” (Mat 15:28). Karena imannya itu pula, anaknya menjadi pulih dari sakitnya.

 

Sang perwira tentara Romawi dan perempuan Kanaan, dua-duanya dianggap sebagai orang kafir. Atau orang yang tidak percaya kepada Allah. Namun keduanya tetap memiliki iman yang besar. Mereka percaya bahwa Tuhan akan mendengarkan dan mengabulkan permohonan mereka. Lebih miris lagi perempuan Kanaan. Ia dihambat dan dihina dengan kata-kata yang menyakitkan. Namun ia tetap sabar dan kuat menghadapinya. Sebagai manusia, mungkin ia merasa sakit hati dan kecewa. Tetapi ia tetap mengumpulkan kekuatannya demi belaskasihan Tuhan kepada anaknya.

 

Perempuan Kanaan dan sang perwira tentara Romawi telah menginspirasi banyak nilai kepada kita. Ada beberapa nilai atau hal positif yang kita ambil dari refleksi rohani kali ini. Pertama, belaskasihan Allah kepada manusia. Bahwa belaskasihan Allah menjamah setiap relung hati manusia yang percaya kepada-Nya. Belaskasihan Allah menerobos batas-batas kemanusiaan kita. Entah orang kaya, orang kecil dan miskin, Entah orang dengan agama dan keyakinan apa pun. Entah orang dengan budaya dan tradisi mana pun. Belaskasihan Allah senantiasa menaungi mereka yang percaya. Kedua, sikap sabar dan keteguhan hati. Konsekuensi dari sikap percaya adalah sikap sabar dan teguh hati. keutamaan ini diperlukan agar kita tidak mudah goyah dan patah manakala menghadapi aneka tantangan dan hambatan. Kita tetap percaya akan belaskasihan Tuhan walau tantangan dan hambatan itu datang bertubi-tubi. Ketiga, kerendahan hati. konsekuensi dari sikap percaya adalah selalu rendah hati di hadapan Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan mengabaikan intervensi-Nya dalam kehidupan. Dalam kerendahan hati, kita tetap memasrahkan seluruh diri dan hidup kita kepada-Nya.

 

Kisah perempuan Kanaan yang dianggap sebagai orang yang tidak ber-Tuhan sungguh mengugah dan menggugat kehidupan iman kita. Bertumbuh sejak lahir hingga beranjak menjadi dewasa, iman kita akan Tuhan senantiasa ditumbuhkan, dikembangkan, dan dipupuk agar tetap mekar layaknya bunga yang mekar tanpa layu. Namun seringkali iman kita mudah goyah manakala dihantam pelbagai badai zaman ini. Tuntutan ekonomi yang semakin sulit, gaya hidup sosial yang tinggi, hantaman budaya asing yang tidak terfilterisasi (tidak disaring dengan baik), menjadi sekian tantangan yang bisa menggerus kadar keimanan kita kepada Tuhan.

 

Kita senantiasa belajar dari perempuan Kanaan untuk tidak mudah goyah dan terperosok dalam pelbagai tantangan. Kita tetap kuat dan teguh hati kepada Tuhan. Kita tidak merasa diri paling hebat dan angkuh di hadapan-Nya. Kita tetap percaya dan berharap bahwa belaskasihan Allah akan datang dan menaungi hidup kita. Mari kita meyakini bahwa Iman kepada Tuhan sungguh menyelamatkan hidup.WL