Selasa, 30 November 2021

HARAPAN AKAN KESELAMATAN

Luk 15:29-37

           

Hari ini kita mengenang pesta Beato Dionisius dan Beato Redemptus. Dua orang martir Kristus yang menumpahkan darah  di tanah rencong Aceh. Beato Dionisius adalah seorang imam berkebangsawan Perancis. Ia lahir pada tanggal 12 Desember 1600. Sedangkan Beato Redemptus adala seorang bruder dari ordo Carmel, berkebangsawan Portugal. Ia lahir pada tanggal15 Maret 1598. Menurut catatan sejarah, pada tahun 1638, wakil raja Portugal di Goa, Pedro da Silva, bermaksud mengirim misi diplomatik untuk menjalin persahabatan dengan sultan Aceh. Misi ini dipimpin oleh seorang duta yang bernama  Dom Francisco Sousa de Castro. Para anggota misi terdiri dari Pater Dionisius, Bruder Redemptus, dua orang biarawan Fransiskan, dan 60 awak kapal.

 

Namun perjalanan misi ini berakhir dengan kisah tragis. Semua awak kapal, termasuk Pater Dionisius dan Bruder Redemptus ditangkap dan dipenjara oleh penduduk setempat atas perintah Sultan Aceh. Para awak kapal juga disiksa agar mereka dapat menyangkal imannya. Karena tidak tahan dengan siksaan, beberapa awak kapal membeli kebebasan dengan menyangkal iman mereka akan Yesus. Sedangkan Pater Dionisius dan Bruder Redemptus terus menguatkan iman rekan-rekan seperjalanan yang lain agar mereka tetap teguh akan iman kepada Yesus dan tidak takut menghadapi kematian. Akhirnya, sambil memohon pengampunan kepada Tuhan melalui perantara Pater Dionisus, semua awak kapal menyerahkan nyawa sebagai seorang martir Kristus yang sejati. Pater Dionisius dan Bruder Redemptus akhirnya dibeatifikasi pada tanggal 10 Juni 1900 oleh Paus Leo XIII.

 

Dalam pekan pertama Adven ini, pikiran kita diarahkan pada satu kata kunci yaitu harapan. Harapan adalah sebuah kebajikan ilahi. Katekismus Gereja Katolik (KGK, 1817), mengajarkan bahwa harapan adalah kebajikan ilahi yang olehnya kita merindukan Kerajaan Sorga dan kehidupan abadi sebagai kebahagiaan kita, dengan berharap kepada janji-janji Kristus. Dan tidak mengandalkan kekuatan kita, tetapi bantuan rahmat Roh Kudus. “Marilah kita berpegang teguh kepada pengakuan tentang harapan kita, sebab Ia yang menjanjikannya, setia” (Ibr 10:23). Allah telah melimpahkan Roh Kudsus kepada kita melalui Yesus Kristus, Sang Juru Selamat, supaya kita sebagai orang-orang yang dibenarkan oleh kasih karunia-Nya, berhak menerima kehidupan abadi, sesuai dengan pengharapan kita” (Titus 3:6-7).

 

Bacaan Injil hari ini mengarahkan diri kita agar selalu memiliki harapan kepada Tuhan. Harapan itu terwujud dalam diri orang-orang yang datang kepada Yesus. Mereka membawa orang lumpuh, orang timpang, orang buta, dan pelbagai sakit lainnya. Mereka meletakkan orang-orang sakit itu di hadapan Yesus dengan satu harapan agar dapat disembuhkan. Dan Yesus memenuhi harapan orang banyak dengan menyembuhkan orang sakit yang di bawa ke hadapan-Nya. Tidak hanya itu, Yesus juga membaca harapan lain yang terbersit dari wajah orang-orang yang mengikuti-Nya. Ia mengenyangkan rasa lapar mereka dengan menggandakan roti dan ikan yang tersedia. Banyak mukjizat yang dilakukan oleh Yesus, mau menunjukkan bahwa Allah melalui Diri Yesus, sangat mengasihi umat manusia. Dan bukti kasih itu telah dibuktikan oleh Yesus sendiri dengan memenuhi segala harapan yang terpatri dalam diri manusia. Segala penyakit manusia disembuhkan dan rasa lapar “diobati” dengan limpahan makanan.

 

Harapan akan kasih Allah yang tak terbatas tidak semestinya terpenuhi secara terbatas pada hal-hal fisik seperti digambarkan di atas. Sejatinya, Allah dalam diri Yesus juga datang untuk membawa keselamatan secara total bagi hidup manusia. Ia datang untuk membebaskan kita dari pelbagai luka dan sakit kemanusiaan. Yesus datang untuk mengampuni dosa-dosa dan memampukan kita sebagai manusia biasa untuk hidup sebagai anak-anak terang. Tuhan tidak mau kita jatuh dan terpuruk. Ia datang memberi harapan agar kita mau bangkit lagi. Tuhan ingin kita dapat menjadi manusia baru. Manusia yang bisa belajar dari kegagalan hidupnya. Dan kemudian dapat menatap hari esoknya dengan lebih baik melalui perbuatan-perbuatan yang selalu terarah kepada Kehendak Tuhan.

 

Saya dan anda memang tercipta sebagai manusia biasa. Secara kodrati, napas kita ditiupkan oleh Tuhan. Namun kita memiliki akal dan kehendak bebas yang menuntun dan menuntut kita untuk berpikir dan berbuat sesuatu tanpa adanya intenversi ilahi. Dengan hal ini, kita cenderung menggunakan akal dan kehendak bebas tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh Tuhan. Kita seringkali mencemari atau menodai “tubuh bait Allah kita”, dengan pikiran dan perbuatan yang tidak sejalan dengan kehendak Tuhan. Kita keluar dari jalur yang benar dan mengambil jalur lain. Jalur yang tidak membawa kepada keselamatan, Karena jalur itu begerak menuju kepada ketidakselamatan. Kita lebih mempercayai kemampuan diri sendiri, daripada kemampuan Tuhan yang kita imani. Kita acapkali terseret jauh dari jalan menuju keselamatan, oleh karena sikap ego dan arogansi pribadi.

 

Harapan akan keselamatan itu tidak pernah hilang. Kita tetap memiliki harapan akan keselamatan. Seperti wajah-wajah penuh pengharapan dari orang-orang yang disembuhkan dari sakit sekaligus dikenyangkan dari rasa lapar, kita juga memiliki pengharapan yang sama. Kita memiliki pengharapan agar Tuhan menyembuhkan kecacatan pribadi yang kita miliki. Jikalau mata kita masih buta untuk melihat sesama lain yang sedang sakit, kita memiliki harapan agar mata kita kembali terbuka sehingga dapat menunjukkan kepedulian kepada mereka. Jikalau tangan dan kaki kita masih lumpuh oleh karena sikap ego dan gengsi, kita memiliki harapan agar disembuhkan. Sehingga kita lebih mudah menaruh empati dan perhatian bagi sesama. Jikalau telinga kita masih tuli untuk mendengar jeritan akan keprihatinan sosial. Kita memiliki harapan akan telinga kita menjadi sembuh. Sehingga kita lebih bersikap terbuka dan peka untuk berpartisipasi dalam pelbagai keprihatinan sosial.

Dan terutama pada masa Adven yang pertama ini, kita memiliki harapan agar Tuhan sudi mengampuni segala dosa dan kesalahan. Sehingga dengan hati yang layak dan pantas, kita dapat mempersiapkan kedatangan-Nya di masa Natal. Ingatlah bahwa kedatangan Yesus pada hari Natal hanyalah awal dari pemenuhan janji-Nya untuk menebus dan menyembuhkan manusia. Pemenuhan janji yang total akan terjadi kelak, yaitu pada saat kedatangan-Nya kembali untuk kedua kalinya, yakni akhir zaman, pada saat dimana kita akan berjumpa dengan Yesus secara langsung (I Kor 13:12). Marilah kita selalu memiliki harapan akan keselamatan di masa Adven. Amin. ***AKD***

Minggu, 14 November 2021

Kita Tidak Menjadi Orang Buta Lagi

Luk 18:35-43

           

Hari ini kita merayakan pesta St. Albertus Agung. Albertus lahir di Lauingen, Jerman Selatan pada tahun 1206. Ia berasal dari keluarga bangsawan Bollstadt. Sejak kecil ia sangat menyukai keindahan alam. Tidak hanya itu, ia juga suka menjelajahi hutan dan sungai yang ada di daerahnya. Pengalaman ini menjadi inspirasi dalam tulisannya kelak tentang ilmu alam dan tumbuh-tumbuhan. Pendidikan tinggi ditempuhnya di Universitas Padua. Rupanya jalur pendidikan ini menjadi batu loncatan bagi Albertus untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Albertus akhirnya memutuskan untuk hidup membiara dalam ordo Dominikan. Albertus dikenal sebagai orang yang cerdas dan saleh. Karena itulah, rekan-rekan dan orang-orang sezamannya menyematkan gelar “yang agung, tiang gereja, doktor umum”kepadanya. Albertus Agung meninggal dunia pada tanggal 15 November 1280 dalam usia 87 tahun.

 

Kisah penyembuhan seorang buta oleh Yesus dalam teks Injil pada hari ini menjadi inspirasi yang menarik buat kita. Karena tidak bisa melihat, si buta hanya mengandalkan ketajaman indra pendengarannya untuk mengetahui situasi di sekitarnya. Ketika mendengar informasi tentang kehadiran Yesus dari orang-orang yang lalu lalang, secara spontanitas ia berteriak: “Yesus, Anak Daud, kasihanilah aku!” Ada orang yang coba menghalanginya dengan menyuruh dia diam. Tetapi semakin keras ia berteriak: “Anak Daud, Kasihanilah aku!” Menyaksikan keteguhan iman dari si buta, akhirnya Yesus memelekkan mata orang buta itu sehingga ia dapat melihat.

 

Ada satu aspek penting yang menjadi kunci keselamatan dari si buta. Aspek itu adalah keteguhan iman. Walau tidak melihat sosok Yesus, namun ia begitu percaya akan mendapatkan keselamatan. Selain itu ia juga mendapat tantangan dari orang-orang di sekitarnya. Ada orang yang berusaha menghalangi dia dengan menyuruhnya diam. Kalau saja ia tidak memiliki iman yang kuat, mungkin ia akan menyerah dan diam. Namun kita mendengar bahwa si buta ini semakin keras berteriak meminta pertolongan dari Yesus. Ini menjadi sinyal yang kuat bahwa si buta sangat memiliki iman yang kuat kepada Yesus. Karena keteguhan iman inilah, akhirnya si buta mendapatkan keselamatan dari Yesus.

 

Sebagai seorang pengikut Yesus, mungkin kita tidak mengalami kebutaan secara fisik. Tetapi kita mengalami kebutaan dalam hati kita. Hati kita menjadi buta terhadap pelbagai realitas sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita bersikap apatis, tidak mau peduli, dan tidak mau tahu tatkala menyaksikan aneka hidup yang timpang dan memprihatinkan. Banyak orang yang sebenarnya sementara sakit, menderita dan mengalami kesusahan. Namun karena mata hati  telah menjadi buta, menyebabkan kita tidak mau peduli atau tidak mau tahu. Kita seringkali lebih sibuk dengan urusan pribadi. Kita acapkali lebih mementingkan kepentingan pribadi dan keluarga. Dan tidak pernah merasa malu atau tidak tahu malu untuk menjadi batu  sandungan bagi orang lain. Di satu sisi, kita menginginkan segala sesuatu yang baik dan mudah demi kepentingan pribadi. Di sisi yang lain, kita cenderung mempersulit dan mengharapkan yang tidak baik atau tidak enak bagi orang lain.

 

Hari kita belajar dari si buta untuk tidak menjadi “orang buta” lagi. Kita memohon dengan sangat, bantuan dari Tuhan agar sudi melelehkan hati kita yang beku. Kita mau lebih bersikap peduli dan penuh semangat dalam melayani orang lain tanpa dibatasi oleh sekat-sekat. Entah itu sekat keluarga, suku, agama, golongan, atau pun kepentingan politik. Kita mau peduli dan melayani dengan hati yang tulus. Memang tidak mulus seperti yang kita pikir atau bayangkan. Pasti ada banyak tantangan yang mencoba membelokkan niat hati kita. Entah itu tantangan yang datang dari luar. Atau pun bisa tantangan yang muncul dari hati kita sendiri misalnya rasa malas, capek, bosan, dan iri hati. Dengan iman yang teguh, kita merasa yakin bahwa Tuhan akan selalu mempermudah dan melapangkan jalan hidup kita. Tuhan akan menerangi kebutaan hati kita dengan cahaya-Nya yang bernyala-nyala. Kuncinya hanya satu. Percaya dan menyerahkan diri sepenuhnya kepada Dia.

 

Kita mungkin tidak seperti Santo Albertus Agung yang telah melakukan hal-hal besar dalam hidupnya demi memuliakan nama Tuhan di sorga. Dengan hal-hal yang kecil dan sederhana, kita dapat membuktikan diri untuk bersikap terbuka dan peduli dengan situasi dan orang lain di sekitar kita. Terutama bagi mereka yang sementara mengalami sakit dan kesusahan. Jika semangat keterbukaan dan kepedulian telah merasuki pribadi, maka kita telah menjadi orang-orang hidup yang mendapatkan keselamatan dalam hidup dari Tuhan. Amin. ***AKD***

Minggu, 07 November 2021

Mengampuni Tanpa Batas

 

Luk 17:1-6

           

Tentang entitas mengampuni, mungkin kita pernah mendengar ada orang berkata: “Untuk dia yang telah bersalah, saya cukup menerima dua kali kata maaf dan memaafkan dia. Rasanya sangat sulit membuka ruang untuk kesempatan ketiga dan seterusnya. Sebagai manusia, saya mempunyai keterbatasan. Sangat sulit untuk menerima kesalahan yang telah ia lakukan berulang kali. Saya tidak memberi maaf lebih dari itu”. Atau bisa saja kita pernah mengalaminya secara langsung. Ada seorang saudara yang telah melakukan kesalahan dan menyakiti hati kita. Jangankan untuk kedua kali, bahkan baru pertama kali pun, kita sudah menutup pintu hati untuk memberi maaf atau pengampunan. Bagi kita sebagai manusia biasa, rasanya sulit sekalih untuk memberi ampun kepada mereka yang telah bersalah kepada kita. Dan ini realitas yang tidak bisa kita elakkan. Kita tidak menerima begitu saja fenomena kesesatan yang dilakukan oleh orang lain.

 

Yesus sudah mewanti-wanti para murid-Nya akan fenomena kesesatan yang terjadi dalam kehidupan. “Tidak mungkin tidak akan ada penyesatan, tetapi celakalah orang yang mengadakannya” (Luk 17:1). Kesesatan itu dapat terjadi karena manusia tidak dapat menggunakan kebebasannya secara baik. Manusia cenderung menyalahgunakan kebebasannya sebagai manusia dengan melakukan banyak kesesatan dalam hidup. kesesatan-kesesatan itu tidak hanya merugikan diri sendiri tetapi juga orang lain. Fatalnya, orang yang berperilaku sesat tetap tidak mau mengakui kesalahannya. Ia tetap merasa diri nyaman dan terus melakukan perbuatannya. Yesus tidak hanya mengecam, tetapi berkata dengan sangat keras terhadap orang-orang seperti ini: “Adalah lebih baik baginya jika sebuah batu kilangan diikatkan pada lehernya, lalu ia dilemparkan ke dalam laut, dari pada menyesatkan salah satu dari orang-orang yang lemah ini” (Luk 17:2).

 

Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mau mengakui kesalahannya dan memohon pengampunan. Yesus mengatakan kepada para murid-Nya bahwa mereka harus membuka hati untuk mengampuni. Tidak hanya dengan memberi teguran atau nasihat. Dengan radikal Yesus menandaskan bahwa kerelaan untuk mengampuni tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja. Itu harus dilakukan berulang kali. “Bahkan jikalau ia berbuat dosa terhadap engkau tujuh kali sehari dan tujuh kali ia kembali kepadamu dan berkata: Aku menyesal, engkau harus mengampuni dia” (Luk 17:4). Angka tujuh bukanlah angka kuantitas. Angka tujuh adalah nilai kualitatif. Sebuah nilai yang tidak bisa dijumlahkan. Sebuah nilai tanpat akhir. Di dalamnya tergambar semangat untuk mengampuni tanpa batas.

 

Mengampuni dengan batas-batas tertentu adalah perbuatan yang manusiawi. Sebaliknya, mengampuni tanpa batas adalah perbuatan yang sangat bernilai kristiani. Saya dan anda mungkin seringkali tenggelam untuk mengampuni dengan batas-batas tertentu. Satu kali memberi ampun, itu wajar. Dua kali memberi ampun, itu juga masih wajar. Tiga kali memberi ampun, sudah mulai tidak wajar. Empat kali memberi ampun, sudah tidak wajar lagi. Apalagi memberi ampun untuk yang kelima kali dan seterusnya. Anda tentu bersepakat dengan saya bahwa mengampuni itu harus ada batas toleransinya. Kalau kita terus memberi ruang untuk mengampuni, apakah ada jaminan bahwa orang akan berhenti dari perbuatan dosanya. Bisa saja yang terjadi adalah orang yang bersalah memanfaatkan kebaikan sekaligus celah yang kita miliki untuk mendapatkan keuntungan tertentu. Sampai pada titik ini, kita berkesimpulan bahwa mengampuni tanpa batas itu tidak wajar dan tidak masuk akal.

 

Namun yang terjadi pada hari ini, sungguh di luar batas normal alur pikiran manusiawi kita. Yesus menghendaki agar tidak boleh ada kata akhir untuk mengampuni. Mengampuni itu harus tanpa batas. Tanpa ada kepentingan lain di dalamnya. Selain tujuan yang mulia agar orang dapat bertobat dan kembali kepada jalan yang benar. Rasanya sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk diimplementasikan. Tetapi tidak ada kata menyerah untuk tidak melakukannya. Semangat pengampunan tanpa batas harus senantiasa diresapi, dihayati, dan dilaksanakan. Semangat pengampunan tanpa batas mengisi ruang dimensi spiritual dalam pribadi kita. Mengampuni tanpa batas memberi kesempatan bagi kita untuk semakin mendewasakan atau mematangkan kadar iman kepada Tuhan. Dan kita mulai menyadari bahwa mengampuni tanpa batas itu adalah sebuah perbuatan khas kristiani. Sebuah perbuatan yang tidak bisa dikompromi apalagi ditawar-tawar oleh seseorang yang mengakui dirinya sebagai pengikut Yesus Kristus. Mari kita menanamkan semangat mengampuni tanpa batas dalam diri dan melaksanakannya dalam hidup sehari-hari. Kita percaya, Tuhan akan melimpahi berkat-Nya bagi orang yang melakukan kehendak-Nya. Amin. ***AKD***

Selasa, 02 November 2021

Menjadi Pemimpin Yang Amanah

Luk 14:25-33

           

Dalam suatu kesempatan, seorang atasan saya pernah berkata bahwa menjadi pemimpin itu harus memiliki amanah. Memiliki amanah artinya dapat dipercaya karena memiliki karakter positif dalam dirinya. Seorang pemimpin harus memiliki karakter atau sikap yang baik manakala dirinya dipercayakan untuk mengemban tugas yang mulia itu. Pemimpin disebut beramanah karena memiliki juga keteladanan untuk diikuti oleh orang lain.  Jikalau tidak beramanah, seorang pemimpin tidak layak dipanggil sebagai seorang pemimpin. Menjadi pemimpin yang beramanah tidak mementingkan kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia harus bekerja demi kepentingan banyak orang. Seorang pemimpin yang beramanah juga tidak memiliki orientasi untuk mendapatkan uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya. Ia harus bekerja untuk memberi kesejahteraan terhadap orang yang dipimpinnya. Dan seorang pemimpin yang beramanah harus memiliki tanggung jawab dan semangat pengorbanan yang tinggi. Ia harus berada di depan ketika orang yang dipimpinnya mengalami kesulitan atau pun keterpurukan. Ia harus selalu menunjukkan semangat pelayanan sebagai bagian hakiki dari jati dirinya sebagai seorang pemimpin yang beramanah.

 

Pada awal bacaan Injil hari ini, penginjil Lukas memperlihatkan kepada kita bahwa ada banyak orang berduyun-berduyun mengikuti Yesus. Mereka mengikuti Yesus tentu dengan pelbagai alasan atau motivasi. Ada yang mengikuti Yesus karena ingin mendapatkan kesembuhan dari penyakit. Ada juga yang mengikuti Yesus karena terpesona dengan kata-kata dan aksi mukjizat-Nya. Ada yang mengikuti Yesus karena memiliki motif politik supaya Yesus dapat membebaskan bangsa mereka (Israel) dari bangsa penjajah romawi. Dan mungkin ada juga yang memiliki motivasi yang murni untuk mengikuti Yesus karena sungguh-sungguh telah percaya kepada Allah.

 

Kepada mereka semua  yang mengikuti-Nya, Yesus membentangkan tiga syarat utama. Pertama, orang-orang harus melepaskan diri dari keterikatan dengan keluarga. “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk14:26). Yesus kelihatan tidak manusiawi dengan syarat pertama yang diajukan-Nya ini. Bahkan syarat ini seolah-olah berlawanan dengan perintah Allah sendiri untuk mengasihi sesama. Termasuk di dalamnya perintah keempat dari dekalog (sepuluh perintah Allah) untuk menghormati orang tua. Sebenarnya Yesus tidak bermaksud demikian. Melepaskan keterikatan dengan keluarga tidak berarti harus membenci mereka. Ikatan keluarga tetap menjadi sebuah ikatan emosional yang penting. Namun tidak menjadi fokus sehingga menjadi penghalang bagi seseorang untuk mau mengikuti Yesus.

 

Kedua, mereka harus memikul salib. “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:27). Seseorang yang mau mengikuti Yesus harus siap menghadapi banyak tantangan, hambatan, kesulitan, dan keterpurukan hidup. Ia harus memiliki sikap sabar, semangat untuk berjuang dan berkorban demi tujuan utamanya menjadi murid Yesus. Ketiga, orang-orang harus membebaskan diri dari keterikatan dengan materi atau kekayaan. “Dengan pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku” (Luk 14:33). Mengikuti Yesus bukan menjadi suatu peluang untuk mencari kekayaan atau harta duniawi. Bahkan orang harus rela kehilangan segalanya. Orang-orang tidak akan mendapatkan kekayaan atau materi ketika menjatuhkan pilihan untuk mengikuti Yesus. Untuk itu, mengikuti Yesus berarti orang harus membebaskan diri mereka dari keterikatan dengan barang-barang duniawi. Membebaskan diri bukan berarti tidak memilikinya sama sekalih. Orang dapat tetap memiliki kekayaan namun tidak hidup untuknya. Kekayaan hanya menjadi instrumen atau sarana demi membagi semangat kasih Allah kepada orang lain.

 

Gegap gempita pesta demokrasi pilkades (pemilihan kepala desa) terasa kian nyaring bunyinya. Maklum saja saat-saat awal bulan ini (November 2021) menjadi kesempatan terakhir bagi para calon kepala desa mempresentasikan diri dan visi misinya secara terbuka kepada para konstituen. Mereka akan menampilkan diri yang terbaik sehingga bisa dipilih pada saat hari “H” nanti, yakni pada tanggal 8 November 2021. Iklim politik di desa menjadi panas karena terus diperbincangkan. Tidak saja bagi para pemilih di desa-desa yang melakukan hajatan politik pilkades. Namun bagi kita semua yang tidak turut ambil bagian secara langsung dalam pesta demokrasi tersebut, sungguh merasakan ketegangan, polemik, dinamika yang berkembang. Seperti apa profil pemimpin desa yang tampil. Latar keluarga, pendidikan, kapasitas dan kapabilitas diri, dan soal integritas menjadi tolok ukur yang dipertaruhkan. Berikutnya soal visi dan misi para pemimpin itu. Apa yang menjadi harapan atau cita-cita ideal. Kira-kira apa yang ingin mereka perjuangkan setelah terpilih nanti.

 

Di atas semua itu, benang merahnya adalah apakah mereka bisa menjadi pemimpin yang memiliki amanah atau tidak. Memiliki amanah berarti harus memiliki kapasitas, kapabilitas, dan integritas diri yang baik. Dalam konteks bacaan Injil, pemimpin yang memiliki amanah sudah sewajarnya memenuhi tiga syarat yang diberikan oleh Yesus. Pertama, mereka harus siap bekerja untuk banyak orang atau demi kepentingan umum. Mereka tidak boleh mementingkan kepentingan pribadi, keluarga, dan tim suksesnya. Kedua, mereka harus bekerja dengan semangat pelayanan dan pengorbanan yang tinggi demi warga atau masyarakat yang dipimpinnya. Mereka tidak boleh anti kritik. Bahkan siap untuk dihina dan dicaci maki manakala melakukan penyimpangan dan pelanggaran. Mereka harus siap dievaluasi demi perbaikan yang lebih baik lagi. Ketiga, mereka tidak boleh memanfaatkan jabatan yang diberikan oleh masyarakat untuk menumpuk kekayaan demi kejayaan pribadi dan keluarga. Mereka tidak boleh menyalahgunakan kekuasaan untuk mendapatkan materi misalnya dengan melakukan korupsi atau menerima gratifikasi dari proyek tertentu. Pemimpin yang beramanah sesungguhnya adalah pemimpin yang melepaskan segala sesuatu untuk mengikuti Yesus.

 

Menjadi pemimpin yang beramanah bukan hanya menjadi milik para calon pemimpin di desa. Kita semua sebagai pengikut Yesus adalah tipikal para pemimpin yang memiliki amanah. Karena hakikat pemimpin pada dasarnya adalah menjadi pemimpin bagi diri sendiri. Dengan menjadi pengikut Yesus, kita sebenarnya telah mengikrarkan diri untuk menjadi seorang pemimpin yang memiliki amanah. Kita semestinya membebaskan diri dari kepentingan keluarga, karena kita bekerja demi melayani semua orang tanpa memandang status dan latar belakang. Kita harus berani “memikul salib Yesus” dengan bekerja keras, penuh tanggung jawab dan semangat pelayanan. Dan terakhir, kita perlu membebaskan diri dari orientasi diri untuk mencari dan menumpuk kekayaan. Kita perlu mencukupkan diri dengan apa yang telah kita dapatkan. Kalaupun memiliki kekayaan atau materi yang berlimpah, semestinya diarahkan untuk menjadi sarana pewartaan bagi orang lain yang sementara mengalami kesusahan dan penderitaan. Mari kita selalu bekerja, menunjukkan jati diri dan dedikasi sebagai seorang pemimpin yang memiliki amanah dengan mengikuti apa yang telah disabdakan Yesus pada hari ini. Amin. ***AKD***