Luk 4:24-30
Dalam dunia kerja berlaku sebuah filosofi: “Yang berprestasi dalam kinerja
patut mendapat penghargaan (reward),
yang tidak menunjukkan kinerja yang baik, pastilah mendapat sanksi (punishment)”. Penghargaan bagi seorang
pegawai atau karyawan yang telah bekerja dengan maksimal dan menunjukkan
prestasi terealisasi dalam beragam bentuk. Bisa dalam bentuk ucapan terima
kasih, dalam bentuk piagam penghargaan, atau juga bisa dalam bentuk lain. Misalnya
mendapat kenaikan gaji, pangkat, jabatan, dan sebagainya.
Namun apa jadinya apabila segala usaha, kerja keras, perjuangan dan
pengorbanan yang telah kita berikan tidak mendapat apresiasi atau penghargaan?
Tidak jarang kita malah mendapat sindiran, cemoohan dan hinaan. Sebagai manusia
biasa, tentu saja kita merasa kecewa, marah, sakit hati, dan tidak memiliki
semangat dalam bekerja. Bagi mereka yang memiliki ketahanan tubuh yang lemah,
pengalaman negatif seperti ini menjadi semacam pukulan telak yang mengguncang
seluruh hidup mereka. Sementara bagi mereka yang sedikit lebih kuat, selalu ada
kemungkinan untuk bangkit dan terus berjuang.
Pengalaman tidak dihargai, dialami juga oleh Yesus (Luk 4:24-30). Mirisnya,
justru Ia tidak mendapat apresiasi dari orang-orang sekampung dan keluarganya
sendiri. Tidak hanya cukup tidak memberi apresiasi, mereka juga malah mencemooh
dan menghina Yesus. Pasti ada sesuatu yang melatari sikap negatif terhadap
Yesus. Sikap itu adalah sikap ego dan iri hati. Mereka tidak sudi melihat Yesus
menjadi terkenal oleh karena kata-kata dan perbuatan ajaib-Nya.
Perkataan Yesus, “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat
asalnya” (Luk 4:24), mencerminkan sikap ego dari orang-orang Israel pada
umumnya yang tidak memberi tempat sedikit pun kepada para nabi utusan Tuhan.
Dengan terang benderang, Yesus merujuk kepada perlakuan tidak adil yang harus
diterima oleh dua nabi besar Israel yakni Elia dan Elisa. Dua nabi ini diutus
Tuhan untuk membawa warta keselamatan bagi umat Israel. Tetapi justru keduanya
tidak dihargai oleh umat Israel sendiri. Anehnya, kedua nabi ini malahan
mendapat tempat dan dihargai oleh orang-orang non-Israel, yang nota bene dicap
sebagai orang kafir. “Tetapi Elia diutus bukan kepada salah satu dari seorang dari
mereka (orang Israel), melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di
tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak
ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang
Siria itu” (Luk 4:26-27).
Jelas sekali fakta sejarah ini kembali terulang. Bahkan Yesus yang tidak
sekedar nabi, tetapi lebih dari pada nabi, juga tidak mendapat tempat di hati
orang Israel. Berulang kali Yesus berusaha meyakinkan orang-orang sebangsa-Nya
bahwa Dia adalah Anak Allah. Tidak hanya lewat kata-kata yang penuh kuasa
tetapi juga lewat aksi-aksi fenomenal seperti penyembuhan orang sakit dan
kerasukan roh jahat, peristiwa penggandaan roti serta peristiwa orang mati
dibangkitkan. Namun hati dan pikiran orang-orang sebangsa-Nya telah menjadi
batu. Memang ada yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya. Namun sebagian
besar, tetap bersikeras untuk tidak percaya dan tidak mau memberi apresiasi
bahwa Dia adalah sungguh Anak Allah. Sikap ego dan iri hati telah menggiring orang
Israel untuk merasa diri paling hebat, paling pintar, paling suci, dan tidak
mau dilewati oleh orang lain, termasuk oleh Yesus sendiri.
Sikap ego dan iri hati juga telah merasuki kita, orang-orang yang beriman
kepada Yesus. Entah berapa kali kita telah menunjukkan sikap yang merendahkan
dan tidak menganggap orang lain. Kita tidak mau memberi respek atau pengakuan
kepada sesama atau orang lain yang telah menunjukkan prestasi dalam bidang
tertentu. Kita tetap merasa diri lebih hebat dan pintar. Kita juga pintar
mencari-cari alasan untuk menegakkan pembenaran diri. Kita juga mencari-cari
celah untuk merendahkan dan menghina orang lain. Seakan-akan mereka tidak
pantas mendapatkan penghargaan dari prestasi yang telah mereka torehkan
Kita merasa diri lebih berhak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi.
Namun, kita belum mampu memompa diri untuk mencapai level itu. Kita yang
bersalah, tetapi seringkali orang lain yang disalahkan. Ibarat lempar batu
sembunyi tangan dan kemudian mencari kambing hitam. Kita gampang terseret oleh
egoisme yang mengagungkan diri sendiri sembari menyepelekan orang lain. Ketika
muncul orang lain yang lebih bisa dari kita, rasa iri hati untuk tidak menerima
pun mulai berkecamuk. Fatalnya, timbul pikiran dan perbuatan jahat untuk menghina,
mencemooh, dan merendahkan.
Yesus sang inspirator agung telah memecah kepicikan hati dan pikiran kita
agar lebih terbuka menerima, mengakui dan memberi respek kepada sesama yang
telah menunjukkan prestasi apa saja dalam hidupnya. Kita harus berani memberi
respek agar kita juga dapat belajar menjadi lebih bisa seperti orang lain. Kita
tidak akan mampu berkembang dan berprestasi selama sikap ego dan iri hati masih
menguasai diri. Prestasi yang telah ditunjukkan oleh orang lain bukan menjadi
racun melainkan madu yang terus merangsang kita untuk bisa berkembang dan
berprestasi. Mulai dari dalam keluarga, lingkungan dan di tempat kerja kita.
Marilah di pekan prapaskah yang ketiga ini, kita semakin menyadari diri
untuk melepas segala sikap-sikap negatif terutama sikap ego dan iri hati.
Semoga Tuhan senantiasa membimbing dan mengarahkan langkah kaki kita menuju
pribadi yang semakin terbuka dan rendah hati. Bersama pemazmur kita berdoa
kepada Tuhan: “Suruhlah terang-Mu dan kesetian-Mu datang, supaya aku dituntun
dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu”. Amin.
***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar