Yoh 5: 17-30
Socrates, seorang filsuf besar dari Yunani pernah mengatakan bahwa hidup
yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani. Memang
benar adanya bahwa sebagai makhluk kodrati, manusia selalu memiliki keterarahan
kepada Sang Pencipta sebagai wujud adikodratinya. Manusia senantiasa melakukan
refleksi tentang hidupnya. Tentang apa yang telah dilakukannya. Apakah itu
sudah sesuai dengan kehendak Allah atau belum. Dengan adanya refleksi hidup,
manusia dibimbing dan dituntun untuk bertindak semakin baik dan menjauhi segala
perbuatan yang buruk sesuai dengan standar moral yang berlaku. Lebih dari itu,
dalam kaca iman, manusia semakin memperbaiki diri untuk berkiblat pada Tuhan
dan segala firman-Nya.
Hanya manusia yang tidak menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk
ciptaan Tuhan yang tidak mau mempertanyakan atau melakukan refleksi atas
hidupnya. Orang-orang ini cenderung merasa diri lebih pintar dan bijaksana
sehingga melakukan sesuatu yang dianggap benar berdasarkan standar kebenaran
pribadi tanpa mempedulikan nilai atau keutamaan lain yang lebih tinggi.
Sehingga tidak heran, apa yang dibuat atau dilakukan terbaca tidak adil. Mereka
lebih mementingkan pamor, jabatan dan kedudukan pribadi dengan mengabaikan
semangat atau spirit kasih yang berlaku tanpa batas bagi semua orang.
Salah satu elemen masyarakat yang tidak menyadari jati dirinya sebagai
makhluk ciptaan Tuhan adalah para pemimpin agama yang hidup sezaman dengan
Yesus. Walaupun dengan jelas Yesus sudah mempresentasikan Diri-Nya sebagai Anak
Allah, namun mereka tetap tidak mau mengakuinya. Akar persoalan ini muncul
karena pribadi mereka telah terkontaminasi dengan sikap ego dan sombong. Mereka
merasa diri paling pintar dan hebat.
Dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 5:17-30), api kemarahan semakin membara
dalam diri para pemimpin agama terhadap Yesus. Bahkan mereka “lebih berusaha
lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi
juga karena mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian
menyamakan diri-Nya dengan Allah” (yoh 5:18). Kuasa otoritatif Yesus sebagai
Anak Allah telah membuktikan tindakan-Nya yang melampaui hari Sabat. Sebuah
hari suci yang dipandang lebih penting dari nilai atau martabat seorang
manusia. Kehadiran Yesus akhirnya bukan menghilangkan hari Sabat tersebut,
tetapi memenuhi dan menjiwainya dengan semangat kasih.
Tindakan atau perbuatan Yesus yang revolusioner ini sebenarnya bukan
berasal dari Diri-Nya sendiri. Ada pendelegasian wewenang yang telah
diterima-Nya dari Allah, Bapa-Nya di sorga. Namun, pendelegasian wewenang tidak
menggariskan bahwa kedudukan Yesus lebih rendah dari Allah, Sang Bapa.
Kedua-Nya bukan dua entitas yang berbeda. Kedua-Nya adalah satu. Yesus adalah
Anak Allah. Dan Allah adalah Bapa dari Yesus. Atau secara tegas kita dapat
mengatakan bahwa Yesus ada dalam Diri Allah. Dan Allah ada dalam diri Yesus.
Karena kedekatan personal antara dua pribadi ilahi ini, maka segala
pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus tentu saja disetujui dan berasal dari
Bapa-Nya. Yesus mengatakan: “Sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu
dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa
yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” (Yoh 5:19). Dengan
pernyataan ini, Yesus menandaskan kepada semua orang bahwa Ia datang karena
kemauan dan kehendak Allah. Lebih dari itu Allah adalah Bapa-Nya. Allah telah
melimpahkan segala kuasa ilahi-Nya dalam diri Yesus. Termasuk dua kuasa besar
yakni kuasa untuk membangkitkan orang mati dan kuasa untuk menghakimi (ayat
21-22).
Kuasa ilahi yang diberikan oleh Allah Bapa kepada Yesus adalah bukti nyata
kasih Allah yang paling luhur kepada umat manusia. Dengan terang benderang
Yesus melakukan pekerjaan ilahi-Nya untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit,
mengusir roh jahat dan bahkan membangkitkan orang mati. Puncak dari
pekerjaan-Nya yang mulia adalah kebangkitan-Nya pada hari paskah untuk
menyelamatkan seluruh umat manusia dari keterpurukan dosa. Dan pada saat
kebangkitan orang mati, Yesus memiliki kuasa untuk memberi penghakiman. Ia
sendiri berkata: “Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba,
bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka
yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi
mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29).
Segala hal yang baik dan bernilai yang telah dilakukan oleh Yesus berasal
dari Allah Bapa di sorga. Dengan demikian, segala hal baik dan bernilai yang
telah kita lakukan di dunia ini merupakan cerminan dari pekerjaan Yesus dan
Bapa-Nya di sorga. Satu pertanyaan refleksi buat kita semua. Pernahkah kita
menyadari karya Allah dalam setiap tugas dan pekerjaan kita? Ataukah kita
menganggap semua itu sebagai hal yang biasa saja, tanpa campur tangan sedikit
pun dari Allah. Atau juga kita mengklaim segala hal yang telah kita buat adalah
buah pikiran dan hasil kreasi pribadi. Kalau kita masih berada dalam “zona
nyaman” seperti ini maka kita belum menyadari eksistensi pribadi kita yang
sebenarnya. Kita belum menyadari diri kita sebagai makhluk Tuhan yang selalu
terarah kepada-Nya. Dan selamanya kita terus dan tetap merasa diri paling hebat
dan pintar dari pada sesama dan Tuhan sendiri.
Seperti Socrates yang selalu bertanya tentang makna kehidupannya, hendaknya
kita juga senantiasa mempertanyakan segala hal yang kita buat dan membuat
refleksi atasnya. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa Tuhan senantiasa
mengintervensi segala hal yang kita lakukan. Ia senantiasa membuka ruang
kebaikan dan keselamatan agar kita dapat masuk dan berkarya di dalamnya. Segala
tugas, karya, dedikasi, perjuangan dan pergorbanan yang telah kita perbuat
menjadi tanda nyata bahwa Tuhan ada dan memberkati segala hal yang kita
lakukan. Sekarang tugas kita di masa prapaskah ini adalah semakin mendekatkan
kepada-Nya, agar semakin menyadari eksistensi kodrati kita yang selalu terarah
kepada Tuhan, wujud adikodrati kehidupan iman kita. Pada akhirnya, kita tidak ragu
untuk melakukan segala perbuatan baik dan mulia, karena semua itu asalnya dari
Yesus dan Bapa yang ada di dalam sorga. Amin. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar