Selasa, 16 Maret 2021

ASAL SEGALA PERBUATAN LUHUR DARI ALLAH

Yoh 5: 17-30

Socrates, seorang filsuf besar dari Yunani pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani. Memang benar adanya bahwa sebagai makhluk kodrati, manusia selalu memiliki keterarahan kepada Sang Pencipta sebagai wujud adikodratinya. Manusia senantiasa melakukan refleksi tentang hidupnya. Tentang apa yang telah dilakukannya. Apakah itu sudah sesuai dengan kehendak Allah atau belum. Dengan adanya refleksi hidup, manusia dibimbing dan dituntun untuk bertindak semakin baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk sesuai dengan standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, dalam kaca iman, manusia semakin memperbaiki diri untuk berkiblat pada Tuhan dan segala firman-Nya.

 

Hanya manusia yang tidak menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mau mempertanyakan atau melakukan refleksi atas hidupnya. Orang-orang ini cenderung merasa diri lebih pintar dan bijaksana sehingga melakukan sesuatu yang dianggap benar berdasarkan standar kebenaran pribadi tanpa mempedulikan nilai atau keutamaan lain yang lebih tinggi. Sehingga tidak heran, apa yang dibuat atau dilakukan terbaca tidak adil. Mereka lebih mementingkan pamor, jabatan dan kedudukan pribadi dengan mengabaikan semangat atau spirit kasih yang berlaku tanpa batas bagi semua orang.

 

Salah satu elemen masyarakat yang tidak menyadari jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah para pemimpin agama yang hidup sezaman dengan Yesus. Walaupun dengan jelas Yesus sudah mempresentasikan Diri-Nya sebagai Anak Allah, namun mereka tetap tidak mau mengakuinya. Akar persoalan ini muncul karena pribadi mereka telah terkontaminasi dengan sikap ego dan sombong. Mereka merasa diri paling pintar dan hebat.

 

Dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 5:17-30), api kemarahan semakin membara dalam diri para pemimpin agama terhadap Yesus. Bahkan mereka “lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah” (yoh 5:18). Kuasa otoritatif Yesus sebagai Anak Allah telah membuktikan tindakan-Nya yang melampaui hari Sabat. Sebuah hari suci yang dipandang lebih penting dari nilai atau martabat seorang manusia. Kehadiran Yesus akhirnya bukan menghilangkan hari Sabat tersebut, tetapi memenuhi dan menjiwainya dengan semangat kasih.

 

Tindakan atau perbuatan Yesus yang revolusioner ini sebenarnya bukan berasal dari Diri-Nya sendiri. Ada pendelegasian wewenang yang telah diterima-Nya dari Allah, Bapa-Nya di sorga. Namun, pendelegasian wewenang tidak menggariskan bahwa kedudukan Yesus lebih rendah dari Allah, Sang Bapa. Kedua-Nya bukan dua entitas yang berbeda. Kedua-Nya adalah satu. Yesus adalah Anak Allah. Dan Allah adalah Bapa dari Yesus. Atau secara tegas kita dapat mengatakan bahwa Yesus ada dalam Diri Allah. Dan Allah ada dalam diri Yesus.

 

Karena kedekatan personal antara dua pribadi ilahi ini, maka segala pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus tentu saja disetujui dan berasal dari Bapa-Nya. Yesus mengatakan: “Sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” (Yoh 5:19). Dengan pernyataan ini, Yesus menandaskan kepada semua orang bahwa Ia datang karena kemauan dan kehendak Allah. Lebih dari itu Allah adalah Bapa-Nya. Allah telah melimpahkan segala kuasa ilahi-Nya dalam diri Yesus. Termasuk dua kuasa besar yakni kuasa untuk membangkitkan orang mati dan kuasa untuk menghakimi (ayat 21-22).

 

Kuasa ilahi yang diberikan oleh Allah Bapa kepada Yesus adalah bukti nyata kasih Allah yang paling luhur kepada umat manusia. Dengan terang benderang Yesus melakukan pekerjaan ilahi-Nya untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat dan bahkan membangkitkan orang mati. Puncak dari pekerjaan-Nya yang mulia adalah kebangkitan-Nya pada hari paskah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari keterpurukan dosa. Dan pada saat kebangkitan orang mati, Yesus memiliki kuasa untuk memberi penghakiman. Ia sendiri berkata: “Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29).

 

Segala hal yang baik dan bernilai yang telah dilakukan oleh Yesus berasal dari Allah Bapa di sorga. Dengan demikian, segala hal baik dan bernilai yang telah kita lakukan di dunia ini merupakan cerminan dari pekerjaan Yesus dan Bapa-Nya di sorga. Satu pertanyaan refleksi buat kita semua. Pernahkah kita menyadari karya Allah dalam setiap tugas dan pekerjaan kita? Ataukah kita menganggap semua itu sebagai hal yang biasa saja, tanpa campur tangan sedikit pun dari Allah. Atau juga kita mengklaim segala hal yang telah kita buat adalah buah pikiran dan hasil kreasi pribadi. Kalau kita masih berada dalam “zona nyaman” seperti ini maka kita belum menyadari eksistensi pribadi kita yang sebenarnya. Kita belum menyadari diri kita sebagai makhluk Tuhan yang selalu terarah kepada-Nya. Dan selamanya kita terus dan tetap merasa diri paling hebat dan pintar dari pada sesama dan Tuhan sendiri.

 

Seperti Socrates yang selalu bertanya tentang makna kehidupannya, hendaknya kita juga senantiasa mempertanyakan segala hal yang kita buat dan membuat refleksi atasnya. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa Tuhan senantiasa mengintervensi segala hal yang kita lakukan. Ia senantiasa membuka ruang kebaikan dan keselamatan agar kita dapat masuk dan berkarya di dalamnya. Segala tugas, karya, dedikasi, perjuangan dan pergorbanan yang telah kita perbuat menjadi tanda nyata bahwa Tuhan ada dan memberkati segala hal yang kita lakukan. Sekarang tugas kita di masa prapaskah ini adalah semakin mendekatkan kepada-Nya, agar semakin menyadari eksistensi kodrati kita yang selalu terarah kepada Tuhan, wujud adikodrati kehidupan iman kita. Pada akhirnya, kita tidak ragu untuk melakukan segala perbuatan baik dan mulia, karena semua itu asalnya dari Yesus dan Bapa yang ada di dalam sorga. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar