Selasa, 13 Oktober 2020

YANG LEBIH PENTING ADALAH NILAI KASIH DAN KEADILAN

Luk 11: 43-46

Seorang rekan kerja menceritakan pengalaman dan pandangan pribadinya tentang perilaku seorang pastor kepala yang bertugas di parokinya. Menurut rekan kerja saya, sang pastor paroki belum menunjukkan jati dirinya sebagai seorang gembala yang baik. Ia sering membuat pressure agar umat tidak boleh lupa akan kewajibannya untuk membayar iuran paroki. Ia juga tanpa malu-malu selalu mendorong umat untuk menyumbang secara pribadi atau pun kelompok. Alasan klasiknya demi pembangunan gereja dan pengembangan iman umat. Bahkan mimbar gereja dipakai oleh beliau untuk menyampaikan maksud dan tujuannya. Di satu sisi, umat tidak keberatan untuk menunaikan segala kewajiban atau pun menyumbang secara sukarela. Justru umat dengan kesadaran dan kemauan yang tinggi mau memberikan apa yang mereka miliki.

 

Namun di sisi lain, umat sangat kecewa dengan segala kebijakan dan perilaku pribadi pastor paroki yang dinilai sepihak dan tidak adil. Mulai dari laporan keuangan yang dinilai tidak wajar dan tidak transparan sampai mengerucut pada indikasi penyalagunaan keuangan milik paroki. Belum lagi ditambah dengan sikap pribadi sang pastor yang tidak populis dan diskriminatif. Ia hanya membangun dan mementingkan relasi sosial dengan orang-orang tertentu. Ia juga belum mampu merangkul semua umat. Bahkan karena sikapnya demikian, membuat umat terpecah dalam kelompok-kelompok. Bagi saya, ini hanya cerita sepihak dan belum tentu benar. Tetapi seandainya ada kebenaran yang terkuak dan menguatkan sharing pengalaman di atas, tentu hal ini sangat miris dan patut disayangkan.

 

Kalau kita menyimak dengan seksama bacaan Injil (Luk 11:43-46) yang baru saja diperdengarkan, kita pasti akan menarik kesimpulan bahwa Yesus dengan sangat keras mengecam perilaku orang-orang Farisi dan para ahli Taurat. Yesus mengecam mereka karena mereka gagal dalam mendengar sabda Tuhan dan melakukannya. Mereka juga keliru membimbing umat dan tidak memperlihatkan keteladanan yang baik untuk bisa ditiru dan diikuti. Tiga kecaman pertama dari Yesus ditujukan kepada orang-orang Farisi. Yang pertama, terkait dengan persembahan Tuhan. Orang-orang Farisi bisa memenuhi kewajiban dan aturan agamanya dengan membayar persepuluhan dari selasih, inggu dan segala jenis sayuran. Namun mereka gagal memperlihatkan hakikat dari persembahan itu yakni keadilan dan kasih Allah. Tujuan dari persepuluhan adalah sebagai tanda syukur kepada Tuhan. Tetapi orang Farisi sudah salah menafsirkannya sehingga orang merasa bukannya bersyukur melainkan sebuah pemerasan yang dirasakan. Dengan memiliki otoritas sebagai pejabat agama, tidak sulit bagi mereka untuk mempressure umat untuk memberi. Umat pasti mengikuti karena takut dicap sebagai pembangkang atau pembelot. Nilai sebuah persembahan sudah dikotori dengan niat busuk dari para pemimpin agama untuk mencari keuntungan pribadi dan kelompok.

 

Kedua, orang-orang Farisi ini senang dan bernafsu untuk mencari pamor atau prestise diri. Oleh karena itu mereka suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan suka menerima penghormatan di pasar. Karena merasa diri memiliki status dan jabatan mentereng, mereka menjadi sombong. Mereka merasa diri sangat pantas untuk menerima penghormatan dan penghargaan khusus di area-area publik. Kecenderungan sikap ini yang berseberangan dengan kehendak Allah agar setiap orang bisa menunjukkan sikap rendah hati, bertindak adil dan penuh kasih bagi semua orang tanpa tanpa sekat-sekat. Dan arogansi mereka ini, secara sosial memantik sikap antipati dari umat. Ketiga, Yesus mengecam tindakan munafik yang diperlihatkan oleh orang-orang Farisi. Pribadi mereka ibarat kubur yang dari luarnya tampak indah memesona. Tetapi di sebelah dalamnya penuh kotoran dan tulang belulang. Mereka menampilkan diri seolah-olah bersih dan suci tanpa celah. Namun hati mereka jauh dari Allah. Hati mereka dipenuhi oleh segala niat busuk untuk memenuhi segala kepentingan duniawi.

 

Selain kepada orang-orang Farisi, Yesus juga mengecam para ahli taurat. Mereka suka meletakkan beban-beban yang tak terpikul kepada orang, tetapi mereka sendiri tidak menyentuh beban itu dengan satu jari pun. Setali tiga uang dengan orang Farisi. Para ahli taurat hanya mencari kenikmatan dan keuntungan pribadi dengan mengorbankan orang lain. Mereka sebenarnya adalah golongan para alim ulama yang sangat paham dengan isi kitab suci. Tetapi mereka menutup mata dan batin mereka untuk bertindak melampaui kehendak Allah.

Hari ini Yesus memberi pembelajaran kepada kita sebagai umat beriman agar kita selalu memberi prioritas kepada nilai kasih dan keadilan dalam hidup. Untuk menggapai level ini ada tiga hal yang harus kita ikuti. Pertama, sikap tulus dalam memberikan persembahan atau sumbangan dalam bentuk apa saja. Memberi persembahan (sumbangan) merupakan bagian integral dari seluruh penampilan pribadi kita. Oleh sebab itu, jangan mengotori setiap persembahan atau pemberian yang kita lakukan dengan niat yang tidak baik. Satu sikap destruktif yang bisa merusak totalitas persembahan adalah sikap makan riba. Atau sikap mengambil untung dari setiap pemberian yang kita lakukan. Sikap makan riba lebih dari sekedar mengambil keuntungan secara ekonomi. “Saya memberi supaya bisa diberi juga”. Bisa juga berarti “saya memberi supaya dikenal sebagai orang baik”. “Saya memberi supaya diakui sebagai orang yang memiliki sesuatu”, atau saya memberi supaya bisa menceritakan dengan bangga kepada orang lain.” Untuk sampai pada sikap tulus, niat-niat terselubung dan sesat demikian harus kita hindari.

 

Kedua, selalu menunjukkan sikap rendah hati. Keutamaan ini akan menjauhi diri kita dari sikap sombong dengan suka mencari kehormatan atau popularitas diri. Sikap sombong pasti akan memberi batasan dalam lingkup pergaulan sosial kita. Hanya orang atau kelompok tertentu yang menjadi tujuan pertemanan atau persahabatan kita. Sejauh itu memberi keuntungan tertentu juga kepada kita. Kita harus membebaskan diri dari sikap sombong agar kita bisa masuk dalam diri sesama dari berbagai segmen (kalangan) untuk membawa wajah kasih Allah kepada mereka. Ketiga, menjauhi sikap munafik. Kita harus menampilkan diri sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan kekurangan yang kita miliki. Jangan membuat kepalsuan dalam segala tampilan tutur kata dan perbuatan yang dapat menghancurkan rasa persaudaraan dan kekeluargaan. Akhirnya, mari kita memberi diri kepada nilai kasih dan keadilan agar wajah Kerajaan Allah sungguh menampakan diri-Nya di muka bumi. Semoga. ***Atanasius KD Labaona***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar