Luk 9:1-6
Sewaktu melanjutkan pendidikan di sebuah sekolah
tinggi di Jakarta (Periode tahun 2003-2007), ada seorang dosen yang menjadi
idola banyak mahasiswa, termasuk saya. Ia seorang imam dari ordo fransiskan
(OFM). Ia diidolakan bukan karena memiliki wajah dan penampilan yang menarik.
Ada tiga alasan mengapa ia begitu familiar dan disukai di kalangan mahasiswa.
Pertama, gaya komunikasinya yang menarik ketika membawakan materi di dalam
kelas. Ia sangat pandai menggunakan ilustrasi-ilustrasi untuk menyederhanakan
materi atau bahan kuliahnya yang tergolong berat. Selain itu, ia juga tidak
pelit memberikan nilai. Minimal mendapat nilai B, jikalau mengikuti proses
pembelajaran mata kuliahnya sampai tuntas. Kedua, gaya bicaranya sangat santun
ketika berhadapan dengan mahasiswa di luar kelas. Hampir setiap mahasiswa dari
berbagai tingkat, ia tahu namanya. Ketiga, pola hidupnya sangat sederhana.
Model pakaiannya biasa-biasa saja. Tampak jadul
karena tidak mengikuti arus zaman. Tidak jarang ia cukup memakai sandal ke
kampus. Ia juga tidak memiliki mobil. Tentu sangat kontras dengan kebanyakan
dosen lain yang datang ke kampus dengan mobil-mobil yang bagus.
Sepuluh tahun kemudian, rentang waktu dari tahun
2007 – 2017, saya membaca dari sebuah berita online bahwa beliau telah ditunjuk
oleh otoritas tahta suci Roma menjadi uskup Pangkal Pinang pada tanggal 28 Juni
2017. Beliau adalah Mgr. Adrianus Sunarko, OFM, yang menggantikan uskup
sebelumya, Mgr. Hilarius Moa Nurak, OFM. Dan pada tanggal, 23 September 2017
(Besok genap 14 tahun mengabdikan diri sebagai uskup), Romo Sunarko, resmi
ditahbiskan menjadi uskup Pangkal Pinang yang baru. Saya tidak terkejut
mendengar berita ini. Saya berkeyakinan bahwa beliau sangat pantas menyandang
jabatan mulia tersebut. Bukan karena kepintaran intelektual atau kehebatan gaya
komunikasinya. Yang paling utama karena beliau telah dan akan selalu
menampilkan pribadi sebagai hamba Tuhan yang populis, sederhana dan rendah
hati. Ia rela menanggalkan segala keterikatannya dengan dunia untuk mengabdi
Tuhan dengan setia dan total.
Hari ini, melalui bacaan Injil (Luk 9:1-6), Yesus
memanggil kedua belas murid dan mengutus mereka untuk pergi mewartakan Injil ke
berbagai daerah. Yesus juga membekali mereka dengan kemampuan ilahi untuk
mengusir setan-setan dan menyembuhkan penyakit-penyakit. Kemampuan teknis ini
sangat urgen untuk meyakinkan orang-orang yang mendengar warta Allah melalui
para murid. Jadi, dalam diri para rasul melekat dua kemampuan. Kemampuan
komunikasi untuk menyampaikan sabda Allah dan kemampuan teknis untuk melakukan
tindakan mukjizat.
Yang menarik dan menjadi titik fokus kita adalah
pesan Yesus kepada para murid untuk tidak boleh membawa apa-apa dalam misi
mulia itu. “Jangan membawa apa-apa dalam perjalanan, jangan membawa tongkat
atau bekal, roti atau uang, atau dua helai baju” (Luk 9:3). Secara akal sehat,
pesan Yesus ini tidak masuk akal. Bagaimana mungkin warta Kerajaan Allah dapat
tuntas dan sukses dikerjakan oleh para murid tanpa faktor-faktor yang
mendukungnya. Sepertinya, Yesus sengaja membiarkan para murid untuk hidup
miskin dan penuh kesulitan di daerah misi. Mereka harus berjuang sendiri untuk
tetap eksis. Di samping harus mengerjakan misi mulia untuk membawa sebanyak
mungkin orang untuk percaya kepada Allah. Ini misson impossible (misi tidak masuk akal).
Namun tidak dinyatakan secara tekstual apabila para
murid melakukan penolakan atau mengeluh soal syarat yang diajukan oleh Yesus.
Mungkin dalam hati mereka juga bingung, mengeluh, dan protes. Kita hanya
membaca dan mendengar kalau para murid pergi dan melakukan apa yang dikatakan
oleh Yesus. Ini berarti, dalam situasi yang serba terbatas para murid tetap
menyatakan kesiapannya untuk pergi mewartakan Injil. Yesus mengharapkan agar
para murid tetap fokus pada tugas utamanya dan tidak memikirkan hal-hal lain
yang bisa mengganggu dan membelokkan tujuan utama mereka. Di atas semua itu,
Yesus menghendaki agar para murid hanya mengandalkan kekuatan Tuhan dalam
berkarya. Mereka tidak boleh mengandalkan kekuatan diri mereka sendiri. Karena
jika demikian, keterbatasan manusiawi akan mematahkan semangat juang dan
mematikan benih sabda yang telah ditanam dalam diri mereka. Para murid
sepenuhnya harus bergantung pada kekuatan yang telah diberikan oleh Tuhan
Yesus. Dalam segala kekurangan, mereka akan mendapatkan kelebihan. Dan inilah
yang terjadi. Walaupun mendapatkan banyak tantangan dan hambatan, para murid
dapat menuntaskan warta keselamatan yang diberikan oleh Yesus. Berkat kehadiran
mereka, banyak orang menjadi percaya dan disembuhkan dari berbagai penyakit.
Sebagai seorang murid Kristus di masa kini, kita
juga menghadapi pelbagai tantangan yang acapkali menggoyahkan semangat untuk
mewartakan Injil Kristus di tengah dunia. Tantangan yang paling besar
sebenarnya datang dari dalam diri. Kita masih memiliki keterikatan yang kuat
dengan hal-hal duniawi. Orientasi mencari kekayaan, jabatan, dan prestise diri
kadang masih membelenggu sehingga menutup mata hati dan pikiran kita untuk
berbagi kasih dan kebaikan untuk orang lain. Kita masih dituntun oleh sikap ego
untuk lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan dengan orang lain. Bahkan
kepentingan umum juga diabaikan demi memuaskan kepentingan pribadi. Kita juga
dikendalikan oleh arogansi pribadi yang menganggap sesama dan Tuhan tidak
begitu penting dalam hidup. Kita lebih sibuk mengandalkan diri untuk mengejar
aneka prioritas seperti kekayaan, kemewahan dan kenikmatan sehingga kita
melupakan Tuhan dan sesama dalam hidup.
Tuhan Yesus telah menggugah kita semua pada hari
ini untuk meninggalkan segala keterikatan duniawi agar kita lebih fokus
berjalan dalam nama-Nya. Meninggalkan bukan berarti melepaskan diri secara
total. Meninggalkan menunjuk pada pesan agar kita tidak menjadikan barang
duniawi sebagai orientasi atau tujuan utama dalam hidup. Tentu saja kita boleh
mencari, mengejar dan mendapatkan kekayaan, jabatan dan status hidup yang lebih
baik. Semua itu kita lakukan tanpa melupakan aktualisasi diri sebagai seorang
murid Kristus yang sejati. Kekayaan, jabatan, dan status hidup yang mentereng
dapat menjadi sarana yang baik bagi kita untuk mewujudkan semangat kasih
bersama orang lain.
Mari kita selalu mengandalkan kekuatan Tuhan dalam
tugas dan pengabdian kita di tengah dunia. Kita dapat menggunakan segala
potensi, kekuatan, kehebatan, dan keunggulan yang dimiliki untuk menjadi corong
Tuhan dengan berbagi kebaikan di tengah dunia. Sehingga nama-Nya yang agung
tetap harum dan abadi sepanjang segala zaman. Amin. ***AKD***