Minggu, 01 Agustus 2021

Mengelola Krisis Hidup Dengan Memaknai Kesunyian

Mat 14: 13-21

 

Kita semua pasti pernah mengalami situasi krisis dalam hidup. Krisis dalam hidup rumah tangga, krisis dalam relasi persaudaraan dengan anggota keluarga, krisis dalam relasi sosial di tengah lingkungan masyarakat, krisis dalam pekerjaan, dan masih banyak lagi jenis krisis hidup yang lain. Krisis dalam aneka persoalan hidup menunjuk pada pengalaman keterbatasan yang dialami seorang manusia. Manusia tidak bisa lepas dari setiap situasi batas yang dialaminya. Yang membedakan adalah cara setiap manusia menyikapi setiap persoalan yang dihadapi. Cara setiap manusia inilah yang paling menentukan apakah manusia mampu atau tidak untuk keluar dari krisis hidup atau situasi batas yang dialaminya.

 

Pengalaman krisis atau situasi batas dalam hidup dialami juga oleh Yesus dan para murid-Nya. Ketika mendengar bahwa Yohanes Pembaptis telah dibunuh, Yesus bersama para murid bermaksud pergi ke suatu tempat yang sunyi untuk mengasingkan diri. Yohanes Pembaptis dan Yesus memiliki keterikatan keluarga secara biologis. Ibu dari Yesus, Maria, dan ibu dari Yohanes, Elisabet, adalah dua bersaudara sepupu yang saling mengasihi satu sama lain. Walaupun sangat sedikit sumber yang menjelaskan bagaimana relasi emosional antara Yesus dan Yohanes, namun Yesus rupanya sangat mengenal jati diri dari Yohanes Pembaptis. “Di antara mereka yang dilahirkan oleh wanita tidak pernah tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis” (Mat 11:11). Pernyataan Yesus ini sangat dalam maknanya tentang sosok yang bernama Yohanes Pembaptis. Yesus tidak hanya mengenal tetapi mengakui eksistensi Yohanes Pembaptis sebagai seorang utusan Tuhan. Oleh karena itu, berita kematian Yohanes Pembaptis menjadi situasi krisis pertama yang dialami oleh Yesus dan para murid-Nya. Yesus dan para murid sungguh bersedih sehingga mencari tempat yang sunyi untuk menenangkan diri.

 

Akan tetapi kepopuleran Yesus di tengah masyarakat sedang mengalami puncak keemasan. Banyak orang dari berbagai tempat terus mengikuti pergerakan-Nya. Ketika mengetahui tujuan kepergian Yesus, mereka lebih dulu mengambil jalan lain dan menunggu di tempat yang hendak disinggahi Yesus. Benar saja, ketika Yesus mendarat, Ia melihat banyak orang yang sudah menunggu-Nya. Karena tergerak oleh belas kasihan, Yesus menyempatkan diri untuk menyembuhkan mereka yang sementara sakit. Masalah lain pun mulai muncul. Hari terus bergerak menuju malam, namun tidak menyurutkan antusiasme dari orang-orang terhadap Yesus. Mereka tetap setia berada dengan Yesus. Hal inilah yang memicu kekuatiran para murid karena mereka tidak memiliki makanan yang cukup untuk memberi makan sekian banyak orang tersebut. Inilah situasi batas atau krisis kedua yang dialami oleh Yesus dan para murid-Nya.

 

Para murid sudah kehilangan akal bagaimana meyakinkan orang banyak untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Tidak ada cari lain yang ditempuh selain mendatangi Yesus dan mengungkapkan solusi yang tepat menurut mereka. Dalam batin, sepertinya mereka yakin Yesus memiliki kesamaan pikiran dengan mereka. Di luar dugaan Yesus memberi jawaban yang sungguh di luar dugaan dan akal sehat. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi mereka makan” (Mat 14:16). Jawaban Yesus ini menjadi sebuah solusi atas krisis hidup atau situasi batas yang sementara mereka alami. Walaupun sementara mengalami dua krisis atau situasi batas dalam pengalaman hidup-Nya, Yesus tetap menunjukkan sikap sabar, tenang, dan bijaksana. Bandingkan dengan sikap sebaliknya yang diperlihatkan oleh para murid. Mereka lebih cepat panik, takut, cemas, dan putus asa. Dengan kesabaran dan ketenangan-Nya, Yesus berserah diri kepada Bapa-Nya agar Ia dan para murid memperoleh solusi yang bijak dari situasi krisis yang sementara mereka alami. Pada akhirnya, lima roti dan dua ikan membuka jalan kebaikan bagi banyak orang. Situasi krisis berubah menjadi pengalaman fenomenal yang semakin menguatkan hati banyak orang untuk percaya kepada Yesus.

 

Seperti para murid, begitu juga seringkali kita menyikapi aneka krisis atau persoalan hidup yang kita alami. Kita mudah panik, cemas, kecewa, marah, putus asa, dan lari dari realitas krisis. Kita merasa berat dan tidak mau menerimanya sebagai suatu situasi batas yang harus kita alami. Menerima saja tidak, apalagi mau menyikapinya dengan bijak. Kita lebih cenderung menginginkan atau menyukai hal-hal yang baik atau membawa kegembiraan dan kebahagiaan hidup. Kita merasa senang dan bangga ketika ada kebaikan, keberhasilan, atau kesuksesan yang menghampiri hidup. Kita lebih gampang mengklaim diri sebagai causa prima atau penyebab utama di balik hal-hal baik yang kita alami. Dan ketika datang saja sedikit badai yang menerpa, kita mulai panik dan lari dari kenyataan. Anehnya, kita susah sekalih mengaku diri sebagai penyebab utama. Kita mulai mencuci tangan dan mencari kambing hitam. Memang sebagai manusia, kita selalu mencari pembenaran dan merasa diri selalu benar. Rasionalisasi menjadi hal penting dan utama manakala kita menyikapi situasi krisis atau situasi batas dengan tenang dan bijak. Yang menjadi masalah adalah rasionalisasi menjadi jembatan bagi kita untuk lari dari krisis hidup dan mulai mencari pembenaran diri.

 

Yesus telah mengajarkan bagaimana mengelola situasi batas atau krisis hidup yang kita alami. Mencari tempat yang sunyi tidak masuk dalam kategori melarikan diri dari kenyataan. Mencari tempat yang sunyi adalah bagian hakiki dari solusi. Kita perlu waktu dan tempat yang khusus untuk menepi. Kita perlu meninggalkan sejenak rutinitas yang selalu mengisi ruang-ruang hidup di saban hari. Tempat yang sunyi bukanlah tempat yang tidak bermakna. Ia menjadi bermakna manakala ada seberkas refleksi yang menandai jati diri kita sebagai seorang makhluk terbatas di tengah dunia yang penuh keterbatasan. Dalam keterbatasan, kita memerlukan sosok yang tidak terbatas. Kita ingin menyampaikan keterbatasan atau krisis yang kita alami, sehingga kita bisa mengalami ketidakbatasan di dalam kekuatan-Nya yang tidak terbatas.

Sosok yang tidak terbatas itu adalah Tuhan. Kita perlu mengalami Tuhan di tempat yang sunyi, agar dari pada-Nya kita mengalami ketidakbatasan untuk melawan situasi batas atau krisis hidup yang kita alami dalam hidup. Banyak orang yang gagal memaknai tempat yang sunyi sebagai bagian dari solusi krisis karena mereka tidak mampu menemukan keberadaan Tuhan di sana. Mereka merasa diri lebih besar, hebat dan kuat dari Tuhan. Tidak heran apabila, mereka tetap merasa cemas, takut, kecewa, putus asa dan tidak menerima situasi batas di dalam pengalaman hidupnya. Sejatinya, situasi yang sunyi menghantar kita untuk lebih dekat dengan sumber hidup yang tidak terbatas yakni Tuhan. Di dalam Diri-Nya kita pasti menemukan ketenangan, kekuatan, dan kebijaksanaan untuk menyikapi pelbagai krisis hidup yang kita alami. Mari kita meluangkan waktu di tempat yang sunyi untuk selalu menimba kekuatan dari Tuhan agar kita mampu menyikapi segala persoalan atau situasi batas yang kita alami dalam hidup dengan bijaksana. Semoga. ***AKD***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar