Mat 14: 13-21
Kita semua pasti pernah mengalami situasi krisis
dalam hidup. Krisis dalam hidup rumah tangga, krisis dalam relasi persaudaraan
dengan anggota keluarga, krisis dalam relasi sosial di tengah lingkungan
masyarakat, krisis dalam pekerjaan, dan masih banyak lagi jenis krisis hidup
yang lain. Krisis dalam aneka persoalan hidup menunjuk pada pengalaman
keterbatasan yang dialami seorang manusia. Manusia tidak bisa lepas dari setiap
situasi batas yang dialaminya. Yang membedakan adalah cara setiap manusia
menyikapi setiap persoalan yang dihadapi. Cara setiap manusia inilah yang
paling menentukan apakah manusia mampu atau tidak untuk keluar dari krisis
hidup atau situasi batas yang dialaminya.
Pengalaman krisis atau situasi batas dalam hidup
dialami juga oleh Yesus dan para murid-Nya. Ketika mendengar bahwa Yohanes
Pembaptis telah dibunuh, Yesus bersama para murid bermaksud pergi ke suatu
tempat yang sunyi untuk mengasingkan diri. Yohanes Pembaptis dan Yesus memiliki
keterikatan keluarga secara biologis. Ibu dari Yesus, Maria, dan ibu dari
Yohanes, Elisabet, adalah dua bersaudara sepupu yang saling mengasihi satu sama
lain. Walaupun sangat sedikit sumber yang menjelaskan bagaimana relasi emosional
antara Yesus dan Yohanes, namun Yesus rupanya sangat mengenal jati diri dari
Yohanes Pembaptis. “Di antara mereka yang dilahirkan oleh wanita tidak pernah
tampil seorang yang lebih besar dari pada Yohanes Pembaptis” (Mat 11:11).
Pernyataan Yesus ini sangat dalam maknanya tentang sosok yang bernama Yohanes
Pembaptis. Yesus tidak hanya mengenal tetapi mengakui eksistensi Yohanes
Pembaptis sebagai seorang utusan Tuhan. Oleh karena itu, berita kematian
Yohanes Pembaptis menjadi situasi krisis pertama yang dialami oleh Yesus dan
para murid-Nya. Yesus dan para murid sungguh bersedih sehingga mencari tempat
yang sunyi untuk menenangkan diri.
Akan tetapi kepopuleran Yesus di tengah masyarakat
sedang mengalami puncak keemasan. Banyak orang dari berbagai tempat terus
mengikuti pergerakan-Nya. Ketika mengetahui tujuan kepergian Yesus, mereka
lebih dulu mengambil jalan lain dan menunggu di tempat yang hendak disinggahi
Yesus. Benar saja, ketika Yesus mendarat, Ia melihat banyak orang yang sudah
menunggu-Nya. Karena tergerak oleh belas kasihan, Yesus menyempatkan diri untuk
menyembuhkan mereka yang sementara sakit. Masalah lain pun mulai muncul. Hari
terus bergerak menuju malam, namun tidak menyurutkan antusiasme dari
orang-orang terhadap Yesus. Mereka tetap setia berada dengan Yesus. Hal inilah
yang memicu kekuatiran para murid karena mereka tidak memiliki makanan yang
cukup untuk memberi makan sekian banyak orang tersebut. Inilah situasi batas
atau krisis kedua yang dialami oleh Yesus dan para murid-Nya.
Para murid sudah kehilangan akal bagaimana
meyakinkan orang banyak untuk kembali ke rumahnya masing-masing. Tidak ada cari
lain yang ditempuh selain mendatangi Yesus dan mengungkapkan solusi yang tepat
menurut mereka. Dalam batin, sepertinya mereka yakin Yesus memiliki kesamaan
pikiran dengan mereka. Di luar dugaan Yesus memberi jawaban yang sungguh di
luar dugaan dan akal sehat. “Tidak perlu mereka pergi, kamu harus memberi
mereka makan” (Mat 14:16). Jawaban Yesus ini menjadi sebuah solusi atas krisis
hidup atau situasi batas yang sementara mereka alami. Walaupun sementara
mengalami dua krisis atau situasi batas dalam pengalaman hidup-Nya, Yesus tetap
menunjukkan sikap sabar, tenang, dan bijaksana. Bandingkan dengan sikap
sebaliknya yang diperlihatkan oleh para murid. Mereka lebih cepat panik, takut,
cemas, dan putus asa. Dengan kesabaran dan ketenangan-Nya, Yesus berserah diri
kepada Bapa-Nya agar Ia dan para murid memperoleh solusi yang bijak dari
situasi krisis yang sementara mereka alami. Pada akhirnya, lima roti dan dua
ikan membuka jalan kebaikan bagi banyak orang. Situasi krisis berubah menjadi
pengalaman fenomenal yang semakin menguatkan hati banyak orang untuk percaya
kepada Yesus.
Seperti para murid, begitu juga seringkali kita
menyikapi aneka krisis atau persoalan hidup yang kita alami. Kita mudah panik,
cemas, kecewa, marah, putus asa, dan lari dari realitas krisis. Kita merasa
berat dan tidak mau menerimanya sebagai suatu situasi batas yang harus kita
alami. Menerima saja tidak, apalagi mau menyikapinya dengan bijak. Kita lebih
cenderung menginginkan atau menyukai hal-hal yang baik atau membawa kegembiraan
dan kebahagiaan hidup. Kita merasa senang dan bangga ketika ada kebaikan, keberhasilan,
atau kesuksesan yang menghampiri hidup. Kita lebih gampang mengklaim diri
sebagai causa prima atau penyebab
utama di balik hal-hal baik yang kita alami. Dan ketika datang saja sedikit
badai yang menerpa, kita mulai panik dan lari dari kenyataan. Anehnya, kita
susah sekalih mengaku diri sebagai penyebab utama. Kita mulai mencuci tangan
dan mencari kambing hitam. Memang sebagai manusia, kita selalu mencari
pembenaran dan merasa diri selalu benar. Rasionalisasi menjadi hal penting dan
utama manakala kita menyikapi situasi krisis atau situasi batas dengan tenang
dan bijak. Yang menjadi masalah adalah rasionalisasi menjadi jembatan bagi kita
untuk lari dari krisis hidup dan mulai mencari pembenaran diri.
Yesus telah mengajarkan bagaimana mengelola situasi
batas atau krisis hidup yang kita alami. Mencari tempat yang sunyi tidak masuk
dalam kategori melarikan diri dari kenyataan. Mencari tempat yang sunyi adalah
bagian hakiki dari solusi. Kita perlu waktu dan tempat yang khusus untuk
menepi. Kita perlu meninggalkan sejenak rutinitas yang selalu mengisi
ruang-ruang hidup di saban hari. Tempat yang sunyi bukanlah tempat yang tidak
bermakna. Ia menjadi bermakna manakala ada seberkas refleksi yang menandai jati
diri kita sebagai seorang makhluk terbatas di tengah dunia yang penuh
keterbatasan. Dalam keterbatasan, kita memerlukan sosok yang tidak terbatas.
Kita ingin menyampaikan keterbatasan atau krisis yang kita alami, sehingga kita
bisa mengalami ketidakbatasan di dalam kekuatan-Nya yang tidak terbatas.
Sosok yang tidak terbatas itu adalah Tuhan. Kita
perlu mengalami Tuhan di tempat yang sunyi, agar dari pada-Nya kita mengalami
ketidakbatasan untuk melawan situasi batas atau krisis hidup yang kita alami
dalam hidup. Banyak orang yang gagal memaknai tempat yang sunyi sebagai bagian
dari solusi krisis karena mereka tidak mampu menemukan keberadaan Tuhan di
sana. Mereka merasa diri lebih besar, hebat dan kuat dari Tuhan. Tidak heran
apabila, mereka tetap merasa cemas, takut, kecewa, putus asa dan tidak menerima
situasi batas di dalam pengalaman hidupnya. Sejatinya, situasi yang sunyi
menghantar kita untuk lebih dekat dengan sumber hidup yang tidak terbatas yakni
Tuhan. Di dalam Diri-Nya kita pasti menemukan ketenangan, kekuatan, dan
kebijaksanaan untuk menyikapi pelbagai krisis hidup yang kita alami. Mari kita
meluangkan waktu di tempat yang sunyi untuk selalu menimba kekuatan dari Tuhan
agar kita mampu menyikapi segala persoalan atau situasi batas yang kita alami
dalam hidup dengan bijaksana. Semoga. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar