Mat 10:34-11:1
Baiklah kita menyimak sebuah pesan bijak dari Paus
Fransiskus tentang bagaimana orang-orang harus tinggal di rumah dalam masa
pandemi Covid-19. Sang paus berkata: “Saya tidak menganggap bahwa situasi yang
mengharuskan kita tinggal di rumah bersama orang-orang yang kita kasihi dapat
disebut isolasi. Isolasi adalah hal yang dialami oleh orang-orang yang
benar-benar sakit. Hentikanlah berkata bahwa anda bosan, kesal, karena kalian
tidak bisa meninggalkan rumah. Sementara orang-orang di rumah sakit ingin
pulang ke rumah mereka. Jadi, berterimakasihlah kepada Tuhan kalau anda harus
tinggal di rumah, karena setelah semua yang terjadi, dengan atau tanpa uang,
dengan atau tanpa pekerjaan. Anda berada di tempat terbaik dimana anda bisa
berada, di rumah, dikelilingi oleh orang-orang yang mencintaimu. Mungkin ini
adalah waktunya untuk mengubah rumahmu menjadi tempat yang indah untuk
ditinggali, sebuah tempat kedamaian dan kehangatan. Rawatlah dirimu. Jadikanlah
rumahmu, keluargamu, tempat yang penuh kasih”.
Menurut para ahli kesehatan, faktor utama yang
memicu peningkatan jumlah kasus Covid-19 adalah ketidaktaatan orang pada
protokol kesehatan yang telah ditetapkan. Protokol kesehatan yang dimaksud
tersebut dikenal dengan 5M. Memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak,
menjauhi kerumunan, dan membatasi mobilitas atau pergerakan di luar rumah.
Kalau semua orang taat dengan aturan tersebut, dapat dipastikan bahwa badai
pandemi Covid-19 akan segera terminimalisir atau hilang dari negara dan wilayah
kita.
Namun realitas yang terjadi adalah sebaliknya.
Orang-orang menjalani kehidupannya tidak sesuai dengan aturan dan harapan dari
semua pemangku kepentingan. Berbagai himbauan baik lisan atau pun tulisan
memang didengar dan dibaca oleh manusia. Tetapi masih jauh panggang dari api di
tingkat implementasinya. Masih banyak orang yang melanggar baik secara sadar
atau tidak. Ada beberapa alasan mengapa protokol kesehatan ini menjadi hal yang
sulit untuk dilaksanakan. Pertama, kita belum terbiasa dengan cara atau pola
hidup yang baru. Kedua, mentalitas kita yang apatis dan lebih mementingkan ego
pribadi atau kelompok. Ketiga, ciri budaya atau tradisi kita adalah
keterbukaan. Tidak ekslusif. Kita lebih suka berkumpul bersama-sama orang lain.
Tidak hanya dalam suatu urusan yang penting, bahkan dalam urusan yang remeh
temeh sekali pun, tradisi berkumpul telah menjadi bagian yang sudah mendarah
daging dan susah untuk dihilangkan. Keempat, kita gampang merasa bosan dan
putus asa dengan problem hidup yang terus mendera. Terutama deraan badai
Covid-19 yang terus terjadi dan kita tidak pernah tahu sampai kapan akan
berakhir.
Faktor-faktor ini yang menjadi batu sandungan,
mengapa badai Covid-19 seakan menjadi sahabat sejati yang tidak pernah diharapkan
kehadirannya oleh manusia. Manusia boleh saja tidak menghendaki kehadirannya,
namun perbuatan manusia sendiri secara tidak langsung membuka “kran”
kehadirannya di tengah dunia. Dengan tidak menaati prokes yang sudah
digariskan, kita terus menciptakan kondisi yang nyaman bagi Covid-19 untuk
tetap bersarang dalam kehidupan. Banyak yang sakit, banyak yang telah meninggal
karena badai virus ini. Kita pun mungkin tidak luput dari terpaan badai ini.
Berungtung kita masih diberi kehidupan dan keselamatan. Tetapi, banyak dari
sesama, keluarga, sahabat, dan kenalan yang terpaksa harus pergi meninggalkan
kita karena serangan virus ini. Seharusnya fakta memilukan ini menjadi refleksi
yang kuat dalam perjalanan hidup bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk hidup.
Kata-kata dari Paus Fransiskus sungguh mengugah
sekaligus menggugat nurani kita. Sudah saatnya kita menjadikan rumah kita
sendiri sebagai tempat yang paling nyaman dan indah dalam kehidupan. Dengan
berada di rumah, kita tidak hanya memenuhi unsur prokes dan memotong laju
kembang Covid-19. Dengan setia berada di rumah, kita pun akan menggali dan
menemukan banyak nilai kehidupan yang terkandung di dalamnya. Ada nilai
persaudaraan, kasih, dan semangat pelayanan yang tercipta dan terpatri di sana.
Badai Covid-19, memberi ruang yang dalam dan luas bagi kita untuk semakin
menguatkan kesehatan fisik, mental, sosial, dan spiritual jika kita tetap setia
berada di rumah. Kita dilatih untuk mengurangi interaksi atau mobilitas di luar
rumah yang rentan dengan tertularnya Covid-19. Kita dididik untuk bersikap
sabar dan tidak mudah putus asa dalam menghadapi problem dan akibat lanjut yang
ditimbulkan dari badai Covid-19. Kita dilatih untuk mengembangkan semangat
cinta, kasih dan perhatian dalam komunitas sosial terkecil yakni keluarga. Dan
tidak lupa, kita turut meningkatkan semangat iman karena kita memiliki banyak
waktu untuk membangun relasi personal dengan-Nya.
Kata-kata
Yesus: “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak layak
bagi-Ku” (Mat 10:38), menjadi kata-kata sakti agar kita perlu menambah satu
unsur prokes lagi dalam 5M untuk memerangi badai Covid-19 di tengah dunia. Jadi
dari 5M akan bertambah menjadi 6M. Huruf M keenam yang dimaksud adalah
mendekatkan diri dengan Tuhan. Setia berada di rumah, semakin memacu kita untuk
setia juga membangun relasi personal dengan Tuhan. Kita mendekatkan diri dengan
Tuhan agar Ia dapat menunjukkan intervensinya menghilangkan badai Covid-19 dan
hidup kita pun menjadi aman dan selamat. Menaati prokes adalah bagian tak
terpisahkan dari hidup iman kita kepada Tuhan. Kita perlu menyalibkan
kebiasaan, kegemaran, kesukaan, kesenangan, dan kenikmatan dalam hidup demi
sebuah garansi kehidupan yang dapat membawa kebaikan dan keselamatan bagi diri
sendiri dan orang lain. Mari kita setia berada di rumah dan tidak lupa
menerapkan 6M dalam kehidupan kita. Amin. ***AKD***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar