Minggu, 28 Maret 2021

MERAWAT KASIH, PERSAUDARAAN DAN KEKELUARGAAN

 

Yoh 12:1-11

Semua orang tentu ingin hidup dalam suasana penuh cinta, rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang kokoh. Di dalamnya, orang saling berbagi, saling melayani, saling membutuhkan, dan saling melengkapi. Tidak hanya tergambar dalam suasana sukacita dan penuh kegembiraan. Melainkan terutama dalam situasi penuh kesulitan, penderitaan dan dukacita, rasa cinta dan persaudaraan diperlukan untuk saling menguatkan dan meneguhkan satu di antara yang lain.

 

Rasa penuh cinta, persaudaraan dan kekeluargaan sungguh dikisahkan dalam teks Injil pada hari ini (Yoh 12:1-11). Yesus datang ke Betania untuk kembali menemui orang-orang yang dicintai-Nya. Mereka adalah tiga bersaudara; Maria, Marta dan Lazarus. Pertemuan cinta antara Yesus dan tiga bersaudara ini, ternyata bukan baru kali ini saja. Setidaknya ada tiga pertemuan yang terjadi di antara mereka menurut catatan kitab suci. Pertama, moment Marta melayani Yesus, sedangkan Maria duduk di kaki-Nya untuk mendengarkan sabda. Kedua, moment Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Dan ketiga, moment pada saat ini, di mana Yesus kembali datang untuk mengadakan perjamuan bersama mereka.

 

Tiga peristiwa unik menandaskan bahwa Yesus sangat mencintai ketiga orang itu (Marta, Maria, dan Lazarus). Begitu pun sebalikinya, mereka juga sangat mencintai Yesus. Walaupun di antara Yesus dan mereka tidak ada hubungan darah, tetapi semangat cinta sebagai sesama manusia telah mempersatukan mereka sebagai satu saudara dan satu keluarga. Dipisahkan oleh jarak dan rutinitas sehari-hari, ternyata tidak menyurutkan niat mereka untuk kembali bersatu, sekedar untuk duduk bercerita, saling berbagi kisah kehidupan, dan mengadakan acara perjamuan.

 

Dalam pertemuan penuh cinta hari ini, dijelaskan peran masing-masing dari mereka. Yesus duduk makan ditemani oleh Lazarus. Sementara Marta yang bertugas melayani mereka. Sedangkan Maria mengambil minyak narwastu, yang wangi dan mahal harganya, kemudian menaruhnya pada kaki Yesus dan menyekanya dengan rambutnya. Lazarus telah memainkan perannya sebagai seorang sahabat yang baik dengan duduk menemani Yesus. Tidak hanya duduk saja tetapi ia juga setia mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yesus. Pengalaman kebangkitan yang dialaminya, tentu membuat ia semakin percaya dan mau mendengarkan setiap hal yang dikatakan oleh Yesus.

 

Marta adalah seorang perempuan pekerja yang tidak bisa diam di tempat. Pada pertemuan pertama dengan Yesus, ia juga yang sibuk di dapur untuk melayani Yesus. Sementara saudarinya Marta hanya duduk saja menemani Yesus. Pelayanannya yang total dan tulus ditunjukkannya lagi pada pertemuan yang ketiga kali ini. Ia selalu sigap dan gesit di dapur mempersiapkan makanan dan minuman untuk Yesus dan para murid-Nya. Maria adalah tipikal perempuan yang berbeda dengan saudarinya Marta. Ia lebih halus, manja dan kurang peduli dengan pekerjaan di dapur. Mungkin karena ia terlahir sebagai anak bungsu sehingga memiliki karakter seperti anak bungsu pada umumnya.

 

Yang patut diapresiasi adalah tindakannya meminyaki kaki Yesus dengan minyak wangi yang mahal. Yudas Iskariot, salah seorang murid, melihat dari sisi ekonomi semata bahwa tindakan Maria adalah sebuah tindakan  pemborosan. Namun Yesus tidak merasa bahwa Maria melakukan perbuatan yang konyol. Malahan Yesus membiarkan Maria terus melakukan hal demikian. “Biarkanlah dia melakukna hal ini mengingat hari penguburan-Ku” (Yoh 12:7). Secara implisit Yesus telah meramalkan kematian-Nya, namun kubur-Nya akan harum mewangi dengan minyak wangi yang dibawa oleh Maria.

 

Perbuatan Maria yang meminyaki kaki Yesus adalah sebuah tindakan mulia yang tidak bisa diukur dengan harta seberapa banyak pun itu. Begitu pun juga dengan sikap yang ditunjukkan oleh Marta dan Lazarus. Sikap mendengarkan dan melayani dengan tulus adalah bagian dari perbuatan mulia yang dilandasi oleh sikap cinta, rasa persaudaraan dan kekeluargaan yang kokoh. Tanpa nilai-nilai itu, dapat dipastikan bahwa ketiga orang itu (Marta, Maria, dan Lazarus) tidak akan menerima dan melayani Yesus di rumah mereka. Hanya dengan semangat cinta yang mendorong mereka melakukan segala perbuatan yang mulia.

 

Dewasa ini, semangat kasih, persaudaraan dan kekeluargaan mulai terkikis oleh arus zaman. Dalam keluarga inti, antara suami, istri dan anak-anak tidak jarang kita menyaksikan tontonan yang menyayat hati. Suami sekaligus seorang bapak, dengan mudahnya bisa melakukan kekerasan fisik dan verbal terhadap istri dan anak-anaknya. Lebih parah lagi, walaupun ia memiliki kemampuan dan potensi, tetapi ia tidak mau menafkahi mereka secara lahir dan batin. Seorang istri juga kadangkala tidak menghargai dan menaruh rasa hormat terhadap suaminya. Ia lebih sibuk dengan HP (smartphone) sebagai tempat curhat. HP bisa menjadi sarana untuk mengungkap pelbagai aib dalam keluarga sendiri. Herannya, banyak ibu atau perempuan yang merasa puas dan lega kalau sudah membeberkan segala persoalan pribadi dan keluarga di media sosial.

 

Anak-anak yang terlahir pada masa kini juga ternyata tidak tertata dengan baik sikap etika dan moralitasnya. Mereka kurang atau tidak mau mengikuti arahan, bimbingan atau nasihat dari orang tua. Bahkan mereka menunjukkan sikap resistensi atau perlawanan ketika keinginan atau gejolak muda mereka tidak terpenuhi. Di tempat kerja lain lagi. Sikap iri hati, dengki, dendam, dan angkuh seolah-olah menjadi menu harian kita. Realitas ini tentu membuat semangat cinta, persaudaraan dan kasih kehilangan maknanya. Orang-orang lebih mementingkan ego sehingga menimbulkan gesekan dan konflik yang berkepanjangan. Tidak ada semangat kerendahan hati untuk saling meminta maaf dan memberi ampun. Dalam hal ini, kita telah menjadi manusia yang mati sebelum meninggal. Manusia yang dengan tahu dan mau mematikan semangat cinta dalam hidupnya.

 

Yesus bersama ketiga sahabat setia-Nya, Marta, Maria dan Lazarus telah membumbui kehidupan mereka dengan rasa cinta, persaudaraan sejati dan kekeluargaan yang solid. Di dalam relasi yang sejati itu ada semangat pelayanan yang total dan tulus. Dalam relasi itu ada semangat perjuangan dan pengorbanan untuk saling melengkapi tanpa sikap irihati, dendam dan dengki. Yang ada hanyalah sikap rendah hati untuk saling menghormati, saling menghargai, dan saling mendukung sehingga dapat tercipta rasa cinta, persaudaraan dan kekeluargaan.

 

Marilah kita senantiasa merawat nilai cinta, persaudaraan, dan kekeluargaan di rumah, di lingkungan, di tempat kerja, dan di mana saja kita berada agar kita dapat menyambut paskah Tuhan, yang tinggal beberapa saat lagi, dengan hati layak dan pantas. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Selasa, 16 Maret 2021

ASAL SEGALA PERBUATAN LUHUR DARI ALLAH

Yoh 5: 17-30

Socrates, seorang filsuf besar dari Yunani pernah mengatakan bahwa hidup yang tidak pernah dipertanyakan adalah hidup yang tidak pantas dijalani. Memang benar adanya bahwa sebagai makhluk kodrati, manusia selalu memiliki keterarahan kepada Sang Pencipta sebagai wujud adikodratinya. Manusia senantiasa melakukan refleksi tentang hidupnya. Tentang apa yang telah dilakukannya. Apakah itu sudah sesuai dengan kehendak Allah atau belum. Dengan adanya refleksi hidup, manusia dibimbing dan dituntun untuk bertindak semakin baik dan menjauhi segala perbuatan yang buruk sesuai dengan standar moral yang berlaku. Lebih dari itu, dalam kaca iman, manusia semakin memperbaiki diri untuk berkiblat pada Tuhan dan segala firman-Nya.

 

Hanya manusia yang tidak menyadari eksistensi dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang tidak mau mempertanyakan atau melakukan refleksi atas hidupnya. Orang-orang ini cenderung merasa diri lebih pintar dan bijaksana sehingga melakukan sesuatu yang dianggap benar berdasarkan standar kebenaran pribadi tanpa mempedulikan nilai atau keutamaan lain yang lebih tinggi. Sehingga tidak heran, apa yang dibuat atau dilakukan terbaca tidak adil. Mereka lebih mementingkan pamor, jabatan dan kedudukan pribadi dengan mengabaikan semangat atau spirit kasih yang berlaku tanpa batas bagi semua orang.

 

Salah satu elemen masyarakat yang tidak menyadari jati dirinya sebagai makhluk ciptaan Tuhan adalah para pemimpin agama yang hidup sezaman dengan Yesus. Walaupun dengan jelas Yesus sudah mempresentasikan Diri-Nya sebagai Anak Allah, namun mereka tetap tidak mau mengakuinya. Akar persoalan ini muncul karena pribadi mereka telah terkontaminasi dengan sikap ego dan sombong. Mereka merasa diri paling pintar dan hebat.

 

Dalam bacaan Injil hari ini (Yoh 5:17-30), api kemarahan semakin membara dalam diri para pemimpin agama terhadap Yesus. Bahkan mereka “lebih berusaha lagi untuk membunuh-Nya, bukan saja karena Ia meniadakan hari Sabat, tetapi juga karena mengatakan bahwa Allah adalah Bapa-Nya sendiri dan dengan demikian menyamakan diri-Nya dengan Allah” (yoh 5:18). Kuasa otoritatif Yesus sebagai Anak Allah telah membuktikan tindakan-Nya yang melampaui hari Sabat. Sebuah hari suci yang dipandang lebih penting dari nilai atau martabat seorang manusia. Kehadiran Yesus akhirnya bukan menghilangkan hari Sabat tersebut, tetapi memenuhi dan menjiwainya dengan semangat kasih.

 

Tindakan atau perbuatan Yesus yang revolusioner ini sebenarnya bukan berasal dari Diri-Nya sendiri. Ada pendelegasian wewenang yang telah diterima-Nya dari Allah, Bapa-Nya di sorga. Namun, pendelegasian wewenang tidak menggariskan bahwa kedudukan Yesus lebih rendah dari Allah, Sang Bapa. Kedua-Nya bukan dua entitas yang berbeda. Kedua-Nya adalah satu. Yesus adalah Anak Allah. Dan Allah adalah Bapa dari Yesus. Atau secara tegas kita dapat mengatakan bahwa Yesus ada dalam Diri Allah. Dan Allah ada dalam diri Yesus.

 

Karena kedekatan personal antara dua pribadi ilahi ini, maka segala pekerjaan yang dilakukan oleh Yesus tentu saja disetujui dan berasal dari Bapa-Nya. Yesus mengatakan: “Sesungguhnya Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diri-Nya sendiri, jikalau tidak Ia melihat Bapa mengerjakannya; sebab apa yang dikerjakan Bapa, itu juga yang dikerjakan Anak” (Yoh 5:19). Dengan pernyataan ini, Yesus menandaskan kepada semua orang bahwa Ia datang karena kemauan dan kehendak Allah. Lebih dari itu Allah adalah Bapa-Nya. Allah telah melimpahkan segala kuasa ilahi-Nya dalam diri Yesus. Termasuk dua kuasa besar yakni kuasa untuk membangkitkan orang mati dan kuasa untuk menghakimi (ayat 21-22).

 

Kuasa ilahi yang diberikan oleh Allah Bapa kepada Yesus adalah bukti nyata kasih Allah yang paling luhur kepada umat manusia. Dengan terang benderang Yesus melakukan pekerjaan ilahi-Nya untuk mengajar, menyembuhkan orang sakit, mengusir roh jahat dan bahkan membangkitkan orang mati. Puncak dari pekerjaan-Nya yang mulia adalah kebangkitan-Nya pada hari paskah untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari keterpurukan dosa. Dan pada saat kebangkitan orang mati, Yesus memiliki kuasa untuk memberi penghakiman. Ia sendiri berkata: “Janganlah kamu heran akan hal itu, sebab saatnya akan tiba, bahwa semua orang yang di dalam kuburan akan mendengar suara-Nya, dan mereka yang telah berbuat baik akan keluar dan bangkit untuk hidup yang kekal, tetapi mereka yang telah berbuat jahat akan bangkit untuk dihukum” (Yoh 5:28-29).

 

Segala hal yang baik dan bernilai yang telah dilakukan oleh Yesus berasal dari Allah Bapa di sorga. Dengan demikian, segala hal baik dan bernilai yang telah kita lakukan di dunia ini merupakan cerminan dari pekerjaan Yesus dan Bapa-Nya di sorga. Satu pertanyaan refleksi buat kita semua. Pernahkah kita menyadari karya Allah dalam setiap tugas dan pekerjaan kita? Ataukah kita menganggap semua itu sebagai hal yang biasa saja, tanpa campur tangan sedikit pun dari Allah. Atau juga kita mengklaim segala hal yang telah kita buat adalah buah pikiran dan hasil kreasi pribadi. Kalau kita masih berada dalam “zona nyaman” seperti ini maka kita belum menyadari eksistensi pribadi kita yang sebenarnya. Kita belum menyadari diri kita sebagai makhluk Tuhan yang selalu terarah kepada-Nya. Dan selamanya kita terus dan tetap merasa diri paling hebat dan pintar dari pada sesama dan Tuhan sendiri.

 

Seperti Socrates yang selalu bertanya tentang makna kehidupannya, hendaknya kita juga senantiasa mempertanyakan segala hal yang kita buat dan membuat refleksi atasnya. Sebagai orang Kristen, kita percaya bahwa Tuhan senantiasa mengintervensi segala hal yang kita lakukan. Ia senantiasa membuka ruang kebaikan dan keselamatan agar kita dapat masuk dan berkarya di dalamnya. Segala tugas, karya, dedikasi, perjuangan dan pergorbanan yang telah kita perbuat menjadi tanda nyata bahwa Tuhan ada dan memberkati segala hal yang kita lakukan. Sekarang tugas kita di masa prapaskah ini adalah semakin mendekatkan kepada-Nya, agar semakin menyadari eksistensi kodrati kita yang selalu terarah kepada Tuhan, wujud adikodrati kehidupan iman kita. Pada akhirnya, kita tidak ragu untuk melakukan segala perbuatan baik dan mulia, karena semua itu asalnya dari Yesus dan Bapa yang ada di dalam sorga. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Minggu, 07 Maret 2021

MENJAUHI SIKAP EGO DAN IRI HATI

Luk 4:24-30

Dalam dunia kerja berlaku sebuah filosofi: “Yang berprestasi dalam kinerja patut mendapat penghargaan (reward), yang tidak menunjukkan kinerja yang baik, pastilah mendapat sanksi (punishment)”. Penghargaan bagi seorang pegawai atau karyawan yang telah bekerja dengan maksimal dan menunjukkan prestasi terealisasi dalam beragam bentuk. Bisa dalam bentuk ucapan terima kasih, dalam bentuk piagam penghargaan, atau juga bisa dalam bentuk lain. Misalnya mendapat kenaikan gaji, pangkat, jabatan, dan sebagainya.

 

Namun apa jadinya apabila segala usaha, kerja keras, perjuangan dan pengorbanan yang telah kita berikan tidak mendapat apresiasi atau penghargaan? Tidak jarang kita malah mendapat sindiran, cemoohan dan hinaan. Sebagai manusia biasa, tentu saja kita merasa kecewa, marah, sakit hati, dan tidak memiliki semangat dalam bekerja. Bagi mereka yang memiliki ketahanan tubuh yang lemah, pengalaman negatif seperti ini menjadi semacam pukulan telak yang mengguncang seluruh hidup mereka. Sementara bagi mereka yang sedikit lebih kuat, selalu ada kemungkinan untuk bangkit dan terus berjuang.

 

Pengalaman tidak dihargai, dialami juga oleh Yesus (Luk 4:24-30). Mirisnya, justru Ia tidak mendapat apresiasi dari orang-orang sekampung dan keluarganya sendiri. Tidak hanya cukup tidak memberi apresiasi, mereka juga malah mencemooh dan menghina Yesus. Pasti ada sesuatu yang melatari sikap negatif terhadap Yesus. Sikap itu adalah sikap ego dan iri hati. Mereka tidak sudi melihat Yesus menjadi terkenal oleh karena kata-kata dan perbuatan ajaib-Nya.

 

Perkataan Yesus, “Sesungguhnya tidak ada nabi yang dihargai di tempat asalnya” (Luk 4:24), mencerminkan sikap ego dari orang-orang Israel pada umumnya yang tidak memberi tempat sedikit pun kepada para nabi utusan Tuhan. Dengan terang benderang, Yesus merujuk kepada perlakuan tidak adil yang harus diterima oleh dua nabi besar Israel yakni Elia dan Elisa. Dua nabi ini diutus Tuhan untuk membawa warta keselamatan bagi umat Israel. Tetapi justru keduanya tidak dihargai oleh umat Israel sendiri. Anehnya, kedua nabi ini malahan mendapat tempat dan dihargai oleh orang-orang non-Israel, yang nota bene dicap sebagai orang kafir. “Tetapi Elia diutus bukan kepada salah satu dari seorang dari mereka (orang Israel), melainkan kepada seorang perempuan janda di Sarfat, di tanah Sidon. Dan pada zaman nabi Elisa banyak orang kusta di Israel dan tidak ada seorangpun dari mereka yang ditahirkan, selain dari pada Naaman, orang Siria itu” (Luk 4:26-27).

 

Jelas sekali fakta sejarah ini kembali terulang. Bahkan Yesus yang tidak sekedar nabi, tetapi lebih dari pada nabi, juga tidak mendapat tempat di hati orang Israel. Berulang kali Yesus berusaha meyakinkan orang-orang sebangsa-Nya bahwa Dia adalah Anak Allah. Tidak hanya lewat kata-kata yang penuh kuasa tetapi juga lewat aksi-aksi fenomenal seperti penyembuhan orang sakit dan kerasukan roh jahat, peristiwa penggandaan roti serta peristiwa orang mati dibangkitkan. Namun hati dan pikiran orang-orang sebangsa-Nya telah menjadi batu. Memang ada yang percaya dan menyerahkan diri kepada-Nya. Namun sebagian besar, tetap bersikeras untuk tidak percaya dan tidak mau memberi apresiasi bahwa Dia adalah sungguh Anak Allah. Sikap ego dan iri hati telah menggiring orang Israel untuk merasa diri paling hebat, paling pintar, paling suci, dan tidak mau dilewati oleh orang lain, termasuk oleh Yesus sendiri.

 

Sikap ego dan iri hati juga telah merasuki kita, orang-orang yang beriman kepada Yesus. Entah berapa kali kita telah menunjukkan sikap yang merendahkan dan tidak menganggap orang lain. Kita tidak mau memberi respek atau pengakuan kepada sesama atau orang lain yang telah menunjukkan prestasi dalam bidang tertentu. Kita tetap merasa diri lebih hebat dan pintar. Kita juga pintar mencari-cari alasan untuk menegakkan pembenaran diri. Kita juga mencari-cari celah untuk merendahkan dan menghina orang lain. Seakan-akan mereka tidak pantas mendapatkan penghargaan dari prestasi yang telah mereka torehkan

 

Kita merasa diri lebih berhak untuk mendapatkan penghargaan atau apresiasi. Namun, kita belum mampu memompa diri untuk mencapai level itu. Kita yang bersalah, tetapi seringkali orang lain yang disalahkan. Ibarat lempar batu sembunyi tangan dan kemudian mencari kambing hitam. Kita gampang terseret oleh egoisme yang mengagungkan diri sendiri sembari menyepelekan orang lain. Ketika muncul orang lain yang lebih bisa dari kita, rasa iri hati untuk tidak menerima pun mulai berkecamuk. Fatalnya, timbul pikiran dan perbuatan jahat untuk menghina, mencemooh, dan merendahkan.

 

Yesus sang inspirator agung telah memecah kepicikan hati dan pikiran kita agar lebih terbuka menerima, mengakui dan memberi respek kepada sesama yang telah menunjukkan prestasi apa saja dalam hidupnya. Kita harus berani memberi respek agar kita juga dapat belajar menjadi lebih bisa seperti orang lain. Kita tidak akan mampu berkembang dan berprestasi selama sikap ego dan iri hati masih menguasai diri. Prestasi yang telah ditunjukkan oleh orang lain bukan menjadi racun melainkan madu yang terus merangsang kita untuk bisa berkembang dan berprestasi. Mulai dari dalam keluarga, lingkungan dan di tempat kerja kita.

 

Marilah di pekan prapaskah yang ketiga ini, kita semakin menyadari diri untuk melepas segala sikap-sikap negatif terutama sikap ego dan iri hati. Semoga Tuhan senantiasa membimbing dan mengarahkan langkah kaki kita menuju pribadi yang semakin terbuka dan rendah hati. Bersama pemazmur kita berdoa kepada Tuhan: “Suruhlah terang-Mu dan kesetian-Mu datang, supaya aku dituntun dan dibawa ke gunung-Mu yang kudus dan ke tempat kediaman-Mu”. Amin. ***Atanasius KD Labaona***