Rabu, 10 Februari 2021

MENJAGA KEHALALAN DIRI

Mrk 7: 14-23

Saya kira beberapa istilah yang sangat kental dengan kelompok agama tertentu seperti haram, halal, dan najis sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ada kelompok agama tertentu yang sangat ketat mewajibkan anggota jemaatnya untuk mengikuti dan melaksanakan segala aturan yang berkaitan dengan tiga istilah di atas. Haram, halal, dan najis yang dikedepankan dalam hal ini cenderung segala sesuatu yang bersifat materi (jasmaniah). Lebih tepatnya pada tataran makanan dan minuman. Ada makanan dan minuman tertentu yang masuk kategori haram dan najis. Dan ini tidak boleh dikonsumsi. Barangsiapa entah sengaja atau pun tidak sengaja, melanggarnya, artinya ia sudah melakukan perbuatan dosa bagi dirinya. Di samping itu ada kategori makanan dan minuman yang bisa atau layak dikonsumsi. Makanan dan minuman ini yang masuk dalam kategori halal.

 

Saya yakin bahwa pada prinsipnya semua aturan keagamaan itu baik adanya. Aturan itu dibuat dengan tujuan mulia untuk semakin mendekatkan umat manusia dengan penciptanya. Pada area makan dan minum, tentu ada yang boleh dan tidak. Namun di atas semuanya, yang mau ditekankan dalam aturan keagamaan adalah pada soal bagaimana manusia bisa menjaga kemurnian hatinya agar tetap layak dan pantas di mata Tuhan. Inilah esensi sebenarnya dari kata haram, najis dan halal. Manusia harus menjaga tutur kata dan perbuatannya agar tidak menjadi haram dan najis. Yang dituntut dalam hal ini adalah kehalalan dalam setiap ucapan dan tindakan manusia. kehalalan yang dibuktikan dengan segala ucapan dan perbuatan yang baik. Bukan dengan ucapan dan perbuatan jahat yang menggiring jati diri manusia menjadi makhluk najis dan haram.

 

Ada yang menarik dalam bacaan Injil (Mrk 7:14-23) pada hari ini. Secara terbuka Yesus mengatakan kepada orang banyak bahwa apapun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya. Secara satir, Yesus menyindir sikap dan perilaku orang Yahudi yang sangat mementingkan aturan dan tradisi dalam agamanya, tetapi hati mereka sangat jauh dari Allah. Orang Yahudi, terutama para pemimpinnya kala itu, sangat getol meneriakan dan mewajibkan semua penganut agama Yahudi untuk sungguh-sungguh menaati segala aturan dan tradisi yang berlaku. Kita bisa mengecek beberapa aturan dan tradisi yang tertulis pada beberapa ayat Kitab Suci sebelumya. Misalnya kalau mau makan harus dengan tangan yang sudah dibasuh terlebih dahulu. Atau setelah pulang dari pasar orang tidak dapat makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya terlebih dahulu (Mrk 7:3-4). Dan berbagai aturan dan tradisi lain yang sangat detil diuraikan serta wajib dilaksanakan tanpa kecuali.

 

Yesus sebenarnya tidak menolak segala aturan dan tradisi yang berlaku dalam agamanya. Malahan Yesus sangat mendukung semua itu. Yang dikecam Yesus adalah sikap dan perilaku orang Yahudi sendiri yang tidak menggambarkan eksistensi diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Mereka begitu tunduk pada segala aturan dan tradisi keagamaan, tetapi dari dalam hati masih muncul sikap-sikap destruktif yang menjauhkan diri mereka dari Allah. Mereka masih setia untuk berkompromi dengan perilaku ketidakadilan, ketidakjujuran, fitnah, iri hati, dendam, amarah yang berlebihan, kesombongan, kelicikan, dan sebagainya. Para pemimpin Yahudi adalah para insan Tuhan yang sangat legal formal. Mereka lebih mementingkan tradisi dan aturan, daripada nilai kasih yang harus diaplikasikan kepada Tuhan dan sesama. Secara lahiriah, mereka tampak bersih dan halal dari luar. Namun di sisi dalamnya penuh kotoran dan ngengat. Hati mereka tidak sungguh-sungguh halal untuk dipersembahkan kepada Tuhan.

 

Dalam konteks kehidupan iman, manusia digambarkan sebagai makhluk paradoks. Di satu sisi manusia adalah makhluk ciptaan yang paling baik. Paling luhur. Karena ia diciptakan dari rupa dan gambar Allah sendiri. Namun di lain sisi, manusia memiliki kebebasan dan kehendak untuk memilih tindakannya. Manusia bisa memilih melakukan yang baik atau jahat. Dan di sinilah letak akar permasalahannya. Sejatinya, manusia yang terbentuk dari “elemen kudus Allah”, harus selalu dan tetap mengarahkan jati dirinya kepada Allah. Ia harus memilih Allah sebagai “pengantinnya” karena kebermulaannya berasal dari Allah. Ia harus menjaga tutur kata dan perbuatannya agar selalu halal di mata Tuhan. Sialnya, jamak terjadi tidak demikian. Saya dan anda sering terjebak untuk masuk dalam pusaran yang menjadikan pribadi kita tidak pantas di hadapan Tuhan. Kita lebih suka mendandani diri kita dengan cap najis dan haram. Secara fisik kita nampak bersih, cantik, ganteng, gagah, dan bonafid. Namun jauh di kedalaman hati, kita masih mempertontonkan sikap-sikap anti Tuhan. Kita masih mencintai diri kita yang penuh iri hati, penuh amarah, penuh kelicikan, penuh kesombongan, penuh kemunafikan, dan sikap-sikap negatif lainnya.

 

Hari ini, Tuhan datang menegur agar kita mau mengolah dan menjaga hati kita dengan baik. Hati itu kunci segalanya. Kalau hati kita baik maka kita menjadi orang baik. Sebaliknya hati kita jahat maka kita menjadi orang jahat. Sebagai manusia biasa, kita tidak luput dari segala kekeliruan, kesalahan dan dosa yang menyesatkan. Namun Tuhan itu mahabaik. Ia selalu menerima kita dengan kedua tangan-Nya. Berapa pun, sekian kali kita telah jatuh dan terperosok. Oleh karena itu sudah sepantasnya, kita menjaga kehalalan diri kita dengan menunjukkan tutur kata dan perilaku yang baik. Tidak hanya dengan berdoa dan memenuhi segala kewajiban agama. Yang lebih penting adalah kita mampu membawa nilai kasih di mana dan kapan saja kita berada. Tidak peduli siapa orangnya. Tentu kita tidak boleh memandang bulu. Kita harus memberikan pribadi kita sebagai harta kudus yang halal demi membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi semua orang.

 

Mari kita menjaga kehalalan diri kita masing-masing, baik di rumah, di lingkungan tempat tinggal, di tempat kerja, maupun di mana saja kita berada, agar kita semakin menjadi pribadi yang terarah kepada Tuhan dan bermartabat di mata sesama. Amin. ***Atanasius KD Labaona***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar