Mrk 7: 14-23
Saya kira beberapa istilah yang sangat kental dengan kelompok agama
tertentu seperti haram, halal, dan najis sudah tidak asing lagi di telinga
kita. Ada kelompok agama tertentu yang sangat ketat mewajibkan anggota
jemaatnya untuk mengikuti dan melaksanakan segala aturan yang berkaitan dengan
tiga istilah di atas. Haram, halal, dan najis yang dikedepankan dalam hal ini
cenderung segala sesuatu yang bersifat materi (jasmaniah). Lebih tepatnya pada
tataran makanan dan minuman. Ada makanan dan minuman tertentu yang masuk
kategori haram dan najis. Dan ini tidak boleh dikonsumsi. Barangsiapa entah
sengaja atau pun tidak sengaja, melanggarnya, artinya ia sudah melakukan
perbuatan dosa bagi dirinya. Di samping itu ada kategori makanan dan minuman
yang bisa atau layak dikonsumsi. Makanan dan minuman ini yang masuk dalam
kategori halal.
Saya yakin bahwa pada prinsipnya semua aturan keagamaan itu baik adanya.
Aturan itu dibuat dengan tujuan mulia untuk semakin mendekatkan umat manusia
dengan penciptanya. Pada area makan dan minum, tentu ada yang boleh dan tidak.
Namun di atas semuanya, yang mau ditekankan dalam aturan keagamaan adalah pada
soal bagaimana manusia bisa menjaga kemurnian hatinya agar tetap layak dan
pantas di mata Tuhan. Inilah esensi sebenarnya dari kata haram, najis dan
halal. Manusia harus menjaga tutur kata dan perbuatannya agar tidak menjadi
haram dan najis. Yang dituntut dalam hal ini adalah kehalalan dalam setiap
ucapan dan tindakan manusia. kehalalan yang dibuktikan dengan segala ucapan dan
perbuatan yang baik. Bukan dengan ucapan dan perbuatan jahat yang menggiring
jati diri manusia menjadi makhluk najis dan haram.
Ada yang menarik dalam bacaan Injil (Mrk 7:14-23) pada hari ini. Secara
terbuka Yesus mengatakan kepada orang banyak bahwa apapun dari luar, yang masuk
ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari
seseorang, itulah yang menajiskannya. Secara satir, Yesus menyindir sikap dan
perilaku orang Yahudi yang sangat mementingkan aturan dan tradisi dalam
agamanya, tetapi hati mereka sangat jauh dari Allah. Orang Yahudi, terutama
para pemimpinnya kala itu, sangat getol meneriakan dan mewajibkan semua
penganut agama Yahudi untuk sungguh-sungguh menaati segala aturan dan tradisi
yang berlaku. Kita bisa mengecek beberapa aturan dan tradisi yang tertulis pada
beberapa ayat Kitab Suci sebelumya. Misalnya kalau mau makan harus dengan
tangan yang sudah dibasuh terlebih dahulu. Atau setelah pulang dari pasar orang
tidak dapat makan kalau tidak lebih dahulu membersihkan dirinya terlebih dahulu
(Mrk 7:3-4). Dan berbagai aturan dan tradisi lain yang sangat detil diuraikan
serta wajib dilaksanakan tanpa kecuali.
Yesus sebenarnya tidak menolak segala aturan dan tradisi yang berlaku dalam
agamanya. Malahan Yesus sangat mendukung semua itu. Yang dikecam Yesus adalah
sikap dan perilaku orang Yahudi sendiri yang tidak menggambarkan eksistensi
diri mereka sebagai orang-orang yang beriman kepada Tuhan. Mereka begitu tunduk
pada segala aturan dan tradisi keagamaan, tetapi dari dalam hati masih muncul
sikap-sikap destruktif yang menjauhkan diri mereka dari Allah. Mereka masih
setia untuk berkompromi dengan perilaku ketidakadilan, ketidakjujuran, fitnah,
iri hati, dendam, amarah yang berlebihan, kesombongan, kelicikan, dan
sebagainya. Para pemimpin Yahudi adalah para insan Tuhan yang sangat legal
formal. Mereka lebih mementingkan tradisi dan aturan, daripada nilai kasih yang
harus diaplikasikan kepada Tuhan dan sesama. Secara lahiriah, mereka tampak
bersih dan halal dari luar. Namun di sisi dalamnya penuh kotoran dan ngengat.
Hati mereka tidak sungguh-sungguh halal untuk dipersembahkan kepada Tuhan.
Dalam konteks kehidupan iman, manusia digambarkan sebagai makhluk paradoks.
Di satu sisi manusia adalah makhluk ciptaan yang paling baik. Paling luhur.
Karena ia diciptakan dari rupa dan gambar Allah sendiri. Namun di lain sisi,
manusia memiliki kebebasan dan kehendak untuk memilih tindakannya. Manusia bisa
memilih melakukan yang baik atau jahat. Dan di sinilah letak akar
permasalahannya. Sejatinya, manusia yang terbentuk dari “elemen kudus Allah”,
harus selalu dan tetap mengarahkan jati dirinya kepada Allah. Ia harus memilih
Allah sebagai “pengantinnya” karena kebermulaannya berasal dari Allah. Ia harus
menjaga tutur kata dan perbuatannya agar selalu halal di mata Tuhan. Sialnya,
jamak terjadi tidak demikian. Saya dan anda sering terjebak untuk masuk dalam
pusaran yang menjadikan pribadi kita tidak pantas di hadapan Tuhan. Kita lebih
suka mendandani diri kita dengan cap najis dan haram. Secara fisik kita nampak
bersih, cantik, ganteng, gagah, dan bonafid. Namun jauh di kedalaman hati, kita
masih mempertontonkan sikap-sikap anti Tuhan. Kita masih mencintai diri kita
yang penuh iri hati, penuh amarah, penuh kelicikan, penuh kesombongan, penuh
kemunafikan, dan sikap-sikap negatif lainnya.
Hari ini, Tuhan datang menegur agar kita mau mengolah dan menjaga hati kita
dengan baik. Hati itu kunci segalanya. Kalau hati kita baik maka kita menjadi
orang baik. Sebaliknya hati kita jahat maka kita menjadi orang jahat. Sebagai
manusia biasa, kita tidak luput dari segala kekeliruan, kesalahan dan dosa yang
menyesatkan. Namun Tuhan itu mahabaik. Ia selalu menerima kita dengan kedua
tangan-Nya. Berapa pun, sekian kali kita telah jatuh dan terperosok. Oleh
karena itu sudah sepantasnya, kita menjaga kehalalan diri kita dengan
menunjukkan tutur kata dan perilaku yang baik. Tidak hanya dengan berdoa dan
memenuhi segala kewajiban agama. Yang lebih penting adalah kita mampu membawa
nilai kasih di mana dan kapan saja kita berada. Tidak peduli siapa orangnya.
Tentu kita tidak boleh memandang bulu. Kita harus memberikan pribadi kita
sebagai harta kudus yang halal demi membawa kebaikan dan kesejahteraan bagi
semua orang.
Mari kita menjaga kehalalan diri kita masing-masing, baik di rumah, di
lingkungan tempat tinggal, di tempat kerja, maupun di mana saja kita berada, agar
kita semakin menjadi pribadi yang terarah kepada Tuhan dan bermartabat di mata
sesama. Amin. ***Atanasius KD Labaona***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar