Mrk 2:23-28
Seseorang mempraktikkan ajaran agama
untuk mewujudkan kehendak Allah dalam hidupnya. Hal itu bukan untuk meninggikan
diri atau pun merendahkan orang lain, sebab tujuan utamanya adalah untuk
menyatakan kebaikan bersama dalam kasih karunia Allah. Bagi kaum Farisi, mereka
hanya mengutamakan berbagai aturan dalam hukum Taurat. Bagi orang Yahudi, tidak
ada hari yang lebih penting daripada hari Sabat. Sabat menjadi hari istimewa
dan mendapat perhatian yang khusus karena merupakan salah satu dari sepuluh
perintah Allah. Dalam hukum tersebut dijabarkan berbagai aturan secara detail,
misalnya, tidak boleh melakukan kegiatan tertentu, mengatur tindakan apa saja
yang boleh maupun tidak dilakukan oleh seseorang pada hari Sabat, dan lain
sebagainya. Dengan pemahaman tersebut tidak heran jika orang Farisi menegur
Yesus karena murid-muridNya berjalan di ladang dan memetik bulir gandum pada
hari Sabat, sebab hal itu merupakan sesuatu yang tabu untuk dilakukan pada hari
itu (24).
Hidup manusia
tidak bisa terlepas dari aturan, di mana saja kita hidup kita akan berhadapan
dengan aturan. Tujuan utama peraturan dibuat untuk menciptakan ketenteraman,
kedamaian dan kebaikan bersama. Namun,
terkadang di satu sisi banyak orang memiliki cara hidup yang kaku sesuai
dengan peraturan melebihi Tuhan. Di sisi yang lain, penegakkan aturan
dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Aturan dibuat dan
ditafsirkan untuk kepentingan tertentu sehingga hakikat terdalamnya hilang dan
bahkan malah bertentangan dengan kebaikan dan keadilan umum. Yesus dalam
Injil-Nya hari ini tampil untuk memberi arti dan makna baru terhadap aturan
hukum Sabat sesungguhnya.
Injil hari ini mengisahkan tentang
protes yang diajukan orang-orang Farisi kepada para murid yang memetik
bulir-bulir gandum pada hari Sabat dalam satu perjalanan bersama Yesus.
Orang-orang Farisi yang begitu ketat dengan peraturan hari Sabat menegur Yesus
dan mengingatkan bahwa apa yang dilakukan para murid melanggar aturan hari
Sabat. Sebetulnya, aturan Sabat yang ditetapkan bertujuan baik yakni agar
orang-orang memusatkan perhatiannya pada ibadah dan penghormatan kepada Allah.
Enam hari orang dapat bekerja dan melakukan aktivitasnya sendiri dan hanya satu
hari dalam sepekan yakni hari Sabat diperuntukkan atau dipersembahkan bagi
Tuhan. Aturan hari Sabat jangan menjadi batu sandungan untuk melegalkan
pelanggaran terhadap nilai kemanusiaan. Mestinya aturan Sabat memiliki ruang bebas bagi
peristiwa-peristiwa yang tak terhindarkan berkaitan dengan kemanusiaan itu
sendiri.
Bagi Yesus, nilai kemanusiaan jauh
lebih penting daripada sibuk mengamankan peraturan. Manusia diciptakan Allah
jauh sebelum adanya Sabat, karena itu, Hukum Sabat ditetapkan agar hidup
manusia lebih terarah kepada Allah. Yesus mengutip dari Kitab Suci bahwa bahkan
Daud mengambil perkecualian dari hukum demi pengikut-pengikutnya yang kelaparan
(1Sam 21:2-7). Yesus terus mewartakan bahwa Allah menciptakan Sabat bagi
manusia, dan bukan manusia untuk hari Sabat. Mereka yang mengikuti Yesus harus
menafsirkan seluruh hukum Yahudi dengan hidup menurut semangat hukum Allah,
yaitu berbelas kasih. Yesus memberi satu pendekatan baru dan berusaha
membebaskan umat dari beban aturan yang membelenggu. Yesus menggugat aturan
Sabat karena Ia melihat bahwa aturan yang luhur dan dimaksudkan untuk
menjauhkan orang-orang Israel dari kecenderungan menomorduakan Tuhan. Aturan
Sabat ditafsirkan secara kaku bahkan dijadikan sebagai senjata ampuh untuk menekan
masyarakat agar mereka mendapatkan pengakuan verbal dari masyarakat bahwa
merekalah penjaga kemurnian hukum Taurat yang benar. Yesus membiarkan para
murid memetik dan memakan bulir gandum pada hari Sabat untuk menunggu reaksi
orang-orang Yahudi. Tindakan Yesus ini bukan indikasi bahwa Ia tidak menghargai
aturan Sabat, tetapi Ia menantang praktek-praktek aturan Sabat yang melanggar
dan tidak menghargai keluhuran martabat manusia. Dengan kata lain, Yeus
mengajarkan bahwa nilai manusia, situasi hati dan disposisi batin manusia jauh
lebih tinggi untuk diutamakan daripada sekedar mengamankan peraturan.
Hari Sabat
hendaknya mendatangkan berkat, bukan menjadi belenggu yang menjerat dan
memasung orang. Namun, orang Farisi membuat Sabat menjadi belenggu yang membatasi
ruang gerak. Oleh sebab itu, Yesus menunjukkan bahwa Sabat merupakan karunia
Allah, yang dirancang sebagai hari istirahat dan hari ibadah. Bila Yesus dan
para murid beraktivitas pada hari Sabat, Ia tidak bermaksud melanggar hari
Sabat. Ia juga tidak sedang mengajar para murid melawan hukum Sabat. Yesus
menjadikan karya-Nya sebagai bukti bahwa Anak Manusia adalah Tuhan atas hari
Sabat. Dalam peristiwa makan di ladang gandum, Yesus ingin mengembalikan arti
Sabat yang sesungguhnya. Sabat harusnya menjadikan manusia semakin menyadari
hakikat diri dan memahami bahwa Allah adalah Empunya hari Sabat. Manusia mesti
menjadikan hari Sabat sebagai hari penuh berkat dan membagi berkat itu kepada
semua orang. Berkat belas kasih bagi yang sedang sakit, makanan bagi yang
lapar, dan pembebasan bagi yang tertindas. Memaknai Sabat sebagai hari penuh
berkat berarti menyediakan ruang bagi Allah untuk menyatakan karya-Nya dalam
hidup kita, juga ruang bagi kita untuk menumbuhkan kepekaan terhadap sesama. Sebagaimana program
di rumah saja ketika pandemi Covid-19 ini memberikan banyak sekali pengalaman
rohani. Salah satu yang mendasar antara lain banyak orang menemukan makna di
rumah saja seperti Sabat dalam Injil. Di rumah saja bukan persoalan berhenti
bekerja atau berhenti berbuat baik melainkan semakin memacu kita untuk
menemukan dan merasakan sapaan Allah secara personal. Orang tidak sibuk dengan
pekerjaannya, tetapi mereka mengerti bahwa dalam kebersamaan dengan Allah kita
bisa melihat dan melakukan banyak hal baik bagi orang lain. Pada hari Sabat
Yesus juga menemukan apa yang dibutuhkan oleh orang-orang yang menderita.
Semoga Sabda
Tuhan pada hari ini, menggugah dan mengajak kita sekalian untuk bersikap kritis
terhadap cara bertindak kita berkaitan dengan hukum dan peraturan. Sering, demi
peraturan kita secara sadar mengorbankan martabat dan kemanusiaan sesama kita.
Sering juga tanpa sadar kita mengorbankan sesama demi penegakkan hukum padahal
hukum itu ditetapkan untuk kepentingan manusia. Tanpa bermaksud meremehkan
segala hukum, kasih jauh lebih bermakna daripada hanya sekedar taat hukum tanpa
penghayatan kasih. Kasih yang total kepada manusia jauh lebih bernilai daripada
sekedar taat buta tanpa makna terhadap hukum buatan manusia. Semoga kita
semakin sadar dan terpanggil untuk menjadikan hukum dan peraturan demi menjamin
keadilan dan kepentingan semua orang tanpa kecuali. Semoga...
***Bernard Wadan***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar